Anda di halaman 1dari 7

Penerapan Pidana Penjara dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak


Penting untuk diketahui, pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir.[1] Hal ini karena sistem peradilan pidana anak
dilaksanakan, salah satunya, berdasarkan asas perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir.[2]
Selain itu, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak tidak ditangkap,
ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat.[3]
Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 1 angka 1 UU SPPA menerangkan bahwa sistem peradilan pidana
anak/SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahapan penyelidikan sampai tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Anak Berhadapan dengan Hukum
Anak berhadapan dengan hukum, kita dapat menyimpulkan bahwa “anak”
dalam hal ini adalah anak yang melakukan tindak pidana. Sebagai informasi,
UU SPPA membagi tiga definisi anak yang berhubungan dengan tindak pidana
sebagai berikut:
1. Anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur
12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.[4]
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang belum
berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.[5]
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang belum
berumur
18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
[6]

Anak Belum Cukup Umur


Perlu digarisbawahi, batas umur bagi anak untuk dapat diajukan ke sidang anak
didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis adalah 12
(dua belas) tahun. Dalam hal ini anak yang belum mencapai umur 12 tahun
dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.[7]
Jika anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial akan
mengambil keputusan sebagai berikut:[8]
1. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
2. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial (LPKS) di instansi terkait, maksimal enam bulan.
Restoratif dan Diversi
Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif.[9]
Keadilan restoratif adalah proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait
dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil bersama-sama dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semua, bukan pembalasan.[10]
Sistem peradilan pidana anak meliputi:[11]
a. penyidikan dan penuntutan pidana anak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU SPPA;
b. persidangan anak oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atau tindakan.
Diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan dalam lingkup
poin a dan b di atas.[12]
Diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[13]
Adapun tujuan dilakukannya diversi, yaitu:[14]
1. mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan, barulah proses peradilan pidana anak dapat dilanjutkan.[15]

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)


Perlu diketahui, “penjara anak” yang Anda sebutkan bukanlah istilah yang
dikenal dalam UU SPPA. Kami luruskan bahwa istilah yang digunakan dalam
UU SPPA adalah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”).
LPKA adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya.[16] Terkait
LPKA ini, dalam UU SPPA diatur bahwa setiap lembaga pemasyarakatan anak
harus melakukan perubahan sistem menjadi LPKA sesuai dengan UU SPPA
paling lama 3 tahun.[17]
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
juga wajib membangun LPKA di provinsi paling lama 5 tahun setelah
berlakunya UU SPPA.[18]
Menjawab pertanyaan Anda soal anak yang di penjara, merujuk pada penjelasan
di atas, anak tidak ditempatkan di penjara orang dewasa. Anak yang dijatuhi
pidana penjara ditempatkan di LPKA.[19]
Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, anak dapat ditempatkan
di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa.
[20]
Mengenai kapan anak dapat dipindah ke lapas dewasa, dapat Anda simak dalam
artikel Kapan Terpidana Anak Ditempatkan di Lapas Orang Dewasa?
Penggolongan dalam LAPAS Anak
Pemisahan ini tidak hanya dalam penjara, perbedaan sistem peradilan anak
dengan orang dewasa pun dilakukan untuk kasus anak. Sebab, berdasarkan
undang-undang, dalam proses peradilan pidana, anak berhak dipisahkan dari
orang dewasa dan penahanan terhadap anak juga harus dipisahkan dari tempat
tahanan orang dewasa dengan tujuan agar anak terhindar dari pengaruh yang
kurang baik.[21]
Mengenai penempatan anak yang dihukum pidana yang dipisahkan dari orang
dewasa juga dapat dilihat dalam UU Pemasyarakatan. Akan tetapi dalam Pasal
18 ayat (1) UU Pemasyarakatan penyebutannya adalah lembaga
pemasyarakatan anak:
Anak Pidana ditempatkan di LAPAS Anak.
Di dalam LAPAS anak, anak tersebut akan digolongkan berdasarkan umur,
jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis pidana anak atau
kejahatannya, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau dalam rangka
pembinaan.[22]
Dengan kata lain, dalam “penjara” anak pada sistem peradilan pidana anak,
anak tidak hanya dipisahkan dari orang dewasa, namun juga dipisahkan lagi
berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan,
dan kriteria lainnya dalam rangka pembinaan.

Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan diubah kedua kalinya dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[1] Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”)
Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang
terdiri dari lembaga – lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan
permasyarakatan terpidana. Dikemukakan pula oleh Mardjono
Reksodiputro bahwa sistem peradilan pidana ( criminal justice
system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan.
Apabila kita telaah dari isi ketentuan yang dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka sistem peradilan pidana
“criminal justice system” di Indonesia terdiri dari komponen
kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan
sebagai aparat penegak hukum. Keempat aparat penegak hukum
tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya.
Undang-Undang no 8 tahun 1981 yang di undangkan pada Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76, merupakan
langkah pemerintah Indonesia untuk menggantikan Het Herzienen
Reglement Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 yang dipandang tidak
sesuai lagi dengan cita-cita hukum Indonesia. Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal dengan KUHAP terdiri dari 22
Bab disertai penjelasan secara lengkap yang merupakan proses
penyelesaian perkara pidana melalui penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan dipengadilan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia telah menganut sistem campuran
dan mulai meninggalkan sistem lama yang kurang memperhatikan
kedudukan seorang yang dituduh melakukan tindak pidana.[1]
Undang-Undang No 8 tahun 1981 dapat dikatakan sebagai landasan
bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar
bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan
perlindungan hukum terhadap harkat martabat tersangka, tertuduh
atau terdakwa sebagai manusia.
Dalam sistem peradilan Indonesia mencakup sub-sistem dengan
ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai
berikut :
1. Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan
pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana;
melakukan penyelidikan; penyidikan tindak pidana; melakukan
penyaringan perkarayang memenuhi syarat untuk diajukan
kekejaksaan; melaporkan hasil penyidika kepada kejaksaan dan
memastikan dilindunginya para hak yang terlibat dalam proses
peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok; menyaring kasus yang layak
diajukan kepengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan;
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
3. Pengadilan yang berkewajiban untuk; menegakkan hukum dan
keadilan; melindungi hak- hak terdakwa, saksi dan korban
dalam proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-
kasus secara efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil
dan berdasarkan Hukum.
4. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk; menjalankan
putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan
perlindungan hak-hak narapidana; melakukan upaya-upaya
untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan narapidana
untuk kembali kepada masyarakat.
5. Pengacara dengan fungsi; melakukan pembelaan bagi klien; dan
menjaga hak-hak klien dalam proses peradilan pidana.

Daftar Pustaka :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981
Nomor 76
Adang, dan Yesmil Anwar, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,
dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia). Widya
padjajaran,
Bandung.Baringbing, RE., 2001, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat
kajian Reformasi, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat


Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas – Batas Toleransi),
Fakultas Hukum Unversitas Indonesia,

Anda mungkin juga menyukai