Anda di halaman 1dari 5

evolusi sistem peradilan pidana anak di Indonesia serta pertimbangan filosofi, sosiologi,

dan yuridis yang melatarbelakangi sistem ini.


Evolusi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia:
1. Tahun 1945-1999:
o Pada awal kemerdekaan Indonesia, belum ada sistem peradilan khusus untuk
anak-anak.
o Anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana diadili seperti orang dewasa.
2. Tahun 1999-2002:
o Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mulai diberlakukan.
o Pembentukan Pengadilan Anak sebagai lembaga khusus yang memproses
kasus anak.
3. Tahun 2002-sekarang:
o Penyempurnaan hukum melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
o Pemberian perlindungan khusus bagi anak di bawah umur yang terlibat dalam
sistem peradilan pidana.
Pertimbangan Filosofi, Sosiologi, dan Yuridis:
1. Filosofi:
o Mengutamakan kepentingan terbaik anak sebagai prinsip utama.
o Mendorong rehabilitasi dan reintegrasi anak-anak yang terlibat dalam tindak
pidana ke dalam masyarakat.
2. Sosiologi:
o Memahami bahwa anak-anak memiliki kondisi fisik, mental, dan emosional yang
berbeda dari orang dewasa.
o Memperlakukan anak sebagai korban dari lingkungan yang tidak mendukung
perkembangan positif mereka.
3. Yuridis:
o Memastikan bahwa hak-hak anak terlindungi, termasuk hak atas pembelaan
hukum yang adil.
o Mengakui bahwa tanggung jawab hukum anak berbeda dari orang dewasa dan
harus diatur dengan cara yang sesuai.
Dalam info grafis, Anda dapat menggambarkan evolusi sistem peradilan pidana anak di
Indonesia dalam bentuk kronologi, dengan menekankan perubahan utama dalam
hukum dan pendekatan hukum terhadap anak-anak. Anda juga dapat menambahkan
elemen visual seperti gambar anak-anak, pengadilan anak, dan prinsip-prinsip filosofi
yang menjadi dasar sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Ini akan membantu
menyampaikan informasi dengan lebih jelas dan menarik secara visual.

Hukum Pidana Formil dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
berbeda dengan hukum pidana formil yang dianut dalam UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Beberapa aspek perbedaannya meliputi:
1. Objek Regulasi:
o KUHAP: Mengatur prosedur hukum acara pidana untuk orang dewasa yang
terlibat dalam tindak pidana.
o UU No. 11 Tahun 2012: Mengatur prosedur hukum acara pidana untuk anak-
anak yang terlibat dalam tindak pidana.
2. Tujuan dan Fokus:
o KUHAP: Fokus pada penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana dewasa
dan pengadilan untuk orang dewasa.
o UU No. 11 Tahun 2012: Fokus pada perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi
anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana.
3. Sistem Peradilan Pidana Anak:
o KUHAP: Tidak memiliki ketentuan khusus tentang sistem peradilan pidana anak.
o UU No. 11 Tahun 2012: Membentuk sistem peradilan pidana anak yang
melibatkan pengadilan anak dan prinsip-prinsip perlindungan anak.
4. Prosedur Pengadilan:
o KUHAP: Mengatur prosedur pengadilan yang sesuai dengan hukum pidana
untuk orang dewasa, termasuk penahanan, penyidikan, persidangan, dan
hukuman.
o UU No. 11 Tahun 2012: Mengatur prosedur pengadilan yang
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, seperti proses mediasi dan
pendekatan restoratif.
Contoh konkret dari perbedaan ini adalah ketika seorang anak terlibat dalam tindak
pidana. Dalam KUHAP, anak tersebut akan diperlakukan seperti orang dewasa, dengan
penekanan pada penahanan dan hukuman. Sedangkan dalam UU No. 11 Tahun 2012,
anak tersebut akan dihadapkan pada sistem peradilan pidana anak yang
mempertimbangkan rehabilitasi, perlindungan hak-hak anak, dan pendekatan yang
lebih terfokus pada reintegrasi anak ke dalam masyarakat.
Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang lebih sensitif terhadap anak-anak dalam
konteks hukum pidana dan tujuan perlindungan mereka dalam UU No. 11 Tahun 2012

Pada umumnya, tindakan penyelidikan dan penegakan hukum harus mengikuti prinsip-
prinsip hukum yang berlaku, termasuk prinsip asas praduga tidak bersalah. Dalam
kasus yang Anda sebutkan, seorang anak berusia 10 tahun diduga melakukan tindak
pidana pembunuhan yang mengakibatkan dua orang anak berusia 11 tahun meninggal
dunia. Tindakan yang diambil oleh polisi untuk menaikkan status dari penyelidikan ke
penyidikan adalah tindakan yang wajar dalam penegakan hukum, namun ada beberapa
aspek yang harus diperhatikan:
1. 1. Perlindungan Hak Anak: Dalam banyak yurisdiksi, anak-anak memiliki perlindungan
hukum khusus. Dalam kasus seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, perlu
dipastikan bahwa hak-hak anak tersebut terlindungi. Hal ini mencakup hak untuk
memiliki pendamping hukum yang kompeten dan adil serta perlindungan dari
penyalahgunaan fisik atau mental.
2. Proses Hukum yang Adil: Polisi harus memastikan bahwa proses penyelidikan
dan penyidikan dilakukan dengan adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ini mencakup memastikan bahwa bukti-bukti yang diperoleh sah, dan proses
penyidikan tidak melanggar hak-hak individu.
3. Pertimbangan Usia: Pertimbangan usia harus menjadi faktor yang penting dalam
kasus ini. Keterlibatan seorang anak berusia 10 tahun dalam tindak pidana
adalah masalah serius, tetapi hukum sering kali memiliki pendekatan yang
berbeda terhadap anak-anak yang terlibat dalam kejahatan daripada orang
dewasa. Sebagai contoh, dalam beberapa yurisdiksi, anak-anak dapat diproses
di pengadilan anak-anak atau dapat ditempatkan di bawah pengawasan lembaga
perawatan anak.
4. Dukungan Psikologis: Mengingat umur anak yang terlibat, penting untuk
menyediakan dukungan psikologis kepada anak tersebut selama proses hukum.
Ini dapat membantu anak tersebut dalam memahami proses dan dampak
tindakannya.
Dengan memperhatikan semua aspek ini, tindakan yang diambil oleh polisi untuk
menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan dapat dianggap tepat jika mematuhi
hukum dan hak-hak anak tersebut. Namun, setiap kasus harus dievaluasi secara
individu sesuai dengan hukum yang berlaku di yurisdiksi tertentu untuk memastikan
bahwa hak-hak individu dilindungi dan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan.

Dalam situasi seperti ini, tindakan hukum yang harus diambil akan bervariasi tergantung
pada yurisdiksi hukum yang berlaku dan hukum yang ada di wilayah tersebut. Namun,
secara umum, saya dapat memberikan panduan umum yang bisa digunakan sebagai
acuan. Silakan konsultasikan dengan seorang pengacara atau ahli hukum yang
berlisensi untuk mendapatkan nasihat yang lebih spesifik sesuai dengan yurisdiksi
tempat kejadian ini terjadi.
1. Perlindungan Anak:
o Yang terpenting adalah melindungi hak-hak dan kepentingan anak yang berusia
kurang dari 14 tahun yang terlibat dalam kasus ini. Anak-anak di bawah usia
tersebut sering dianggap tidak memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab atas
tindakan mereka sendiri.
2. Tindakan Terhadap Pelaku:
o Penegakan hukum harus tetap dilakukan terhadap anak tersebut, meskipun dia
berusia kurang dari 14 tahun. Namun, tindakan hukum yang diambil dapat
berbeda dari kasus yang melibatkan pelaku dewasa.
3. Penyelidikan:
o Penyidikan terhadap kasus perkosaan harus dilakukan dengan cermat, termasuk
mengumpulkan bukti, mendengarkan saksi, dan melakukan pemeriksaan medis
jika diperlukan.
4. Penyelidikan Terhadap Orang Tua atau Wali:
o Orang tua atau wali yang memberikan akses anak tersebut ke konten porno
pada handphone mungkin juga akan diselidiki dan dapat menghadapi
konsekuensi hukum, terutama jika dapat dibuktikan bahwa mereka dengan
sengaja menyebabkan anak tersebut mengakses materi yang tidak sesuai
dengan usianya.
5. Aspek Psikologis dan Sosial:
o Perlunya perhatian terhadap aspek psikologis dan sosial dari kasus ini. Anak
tersebut mungkin memerlukan konseling atau dukungan psikologis untuk
memahami konsekuensi dari tindakannya.
6. Penyuluhan:
o Perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
mengawasi akses anak-anak terhadap konten yang tidak sesuai dengan usia
mereka di media sosial dan perangkat elektronik.
7. Hukum Perlindungan Anak:
o Tindakan hukum yang diambil harus sesuai dengan undang-undang
perlindungan anak yang berlaku di wilayah tersebut, serta konvensi internasional
yang mungkin menjadi dasar hukum.
Harap dicatat bahwa hukum dan regulasi mengenai kasus semacam ini dapat
bervariasi antara negara dan yurisdiksi. Oleh karena itu, sangat penting untuk
berkonsultasi dengan seorang ahli hukum yang berpengalaman dalam hukum anak dan
hukum pidana untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam kasus ini.

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan dalam sistem
hukum yang lebih menekankan pemulihan hubungan dan rekonsiliasi daripada
hukuman yang keras. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini tidak berasal dari
hukum adat tradisional, tetapi lebih merupakan pengaruh konsep barat yang diadopsi
ke dalam perundang-undangan nasional, termasuk dalam UU No 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dasar Teori Keadilan Restoratif: Keadilan restoratif berakar dalam beberapa konsep
teoritis, termasuk:
1. 1. Prinsip Reintegrative Shaming: Teori ini dikemukakan oleh Braithwaite (1989) dan
menekankan perlunya mengembalikan pelaku ke dalam masyarakat melalui proses
perbaikan hubungan dan pengalaman penyesalan daripada mengucilkan pelaku dari
masyarakat.
2. Pendekatan Victim-Centered: Keadilan restoratif mengutamakan kesejahteraan
korban, memberikan mereka peran yang lebih aktif dalam proses peradilan, dan
memberikan kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka
serta memenuhi kebutuhan mereka.
3. Proses Dialog dan Mediasi: Keadilan restoratif sering melibatkan dialog antara
pelaku, korban, dan komunitas. Melalui mediasi, mereka berusaha untuk
mencapai kesepakatan yang memungkinkan pemulihan dan rekonsiliasi.
Contoh Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia (UU No 11 Tahun 2012): Dalam
UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, terdapat
beberapa elemen keadilan restoratif, termasuk:
1. Pendekatan Pemulihan: Hukuman pidana bagi anak-anak diarahkan pada
pemulihan dan pembinaan anak, bukan hukuman penjara seperti pada orang dewasa.
2. Mediasi: UU tersebut memberikan ruang bagi mediasi antara anak pelaku, korban,
dan komunitas dalam menyelesaikan kasus kriminal yang melibatkan anak.
3. Partisipasi Korban: UU ini memberikan peran yang lebih aktif bagi korban dalam
proses peradilan anak, termasuk memberikan kesempatan kepada korban untuk
menyampaikan pendapatnya tentang penyelesaian kasus.
4. Rekonsiliasi dan Rehabilitasi: UU tersebut menekankan pemulihan dan rehabilitasi
anak sebagai tujuan utama dalam menghadapi kasus kriminal yang melibatkan anak.
Meskipun UU No 11 Tahun 2012 mengadopsi elemen-elemen keadilan restoratif, masih
ada perbedaan signifikan antara konsep ini dan hukum adat tradisional di Indonesia.
Hukum adat Indonesia memiliki prinsip dan praktik yang berbeda, tergantung pada
budaya dan suku bangsa yang berbeda di seluruh negara. Jadi, meskipun ada unsur
rekonsiliasi dalam beberapa budaya adat, keadilan restoratif dalam UU tersebut lebih
didasarkan pada pengaruh konsep barat daripada hukum adat.

Anda mungkin juga menyukai