Anda di halaman 1dari 11

Pengantar

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28
Oktober 1928.  Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa
Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh
kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa
negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009).
Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi hampir  sebagian orang di Indonesia bahasa
Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di
bangku sekolah.

Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau variasi bahasa Indonesia.
Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi
tersebut dinamakan ragam bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam
bahasa dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi.
Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi dan  digunakan oleh
kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.

Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya

Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang
hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum
Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia
hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai
sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di
Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama,
Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan
Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).

1.
1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan
dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik
tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-
syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta
gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang
sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan
komposisi kalimat.

Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat


dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen
hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum
Indonesia, terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum
Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan dari bahasa
Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia
(Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih
mengenal bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman)
karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di
dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).

Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi, ukuran-


ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada
masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya
sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit
dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih
perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang
kurang dipahami maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang
dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa kalangan hukum


cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan
anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan
istilah ganda atau samar-samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari
padanannya dalam bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya
dalam akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan terlepas
dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan
perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan
pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat awam. 

Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik bahasa hukum
dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun
diakui bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi,
dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang
yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan
praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat
Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan
pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang
berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat
teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek,
hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.  

Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan
padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum
yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan
diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974 waktu itu
sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan
melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan
hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang memahami ketentuan
perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan
pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah

Tidak berbeda dengan  bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia memiliki ciri-ciri
bahasa keilmuan  (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000), yakni

1.
1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya
berdasarkan konvensi
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai
7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang
dimiliki kata biasa.

Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut Suryomurcito (2009),


perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah yang tepat, kosakata yang beragam,
kalimat yang singkat dan jelas, kalimat yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca
yang benar. Dengan kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan
untuk menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan menggunakan
istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam undang-undang, jangan salah
menggunakan tanda baca, dan jangan salah ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam
bidang ilmu lainnya, dalam dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang
baik dan benar yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan
hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang tersusun dalam
kalimat yang efektif.

Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang memperlihatkan bahwa proses
penyampaian oleh penulis dan pembaca berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud
yang disampaikan oleh penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang
efektif dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna
antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan kesejajaran
makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang bagian-bagian yang
ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan pemakaian
bahasa hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat
perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu
dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap
penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.

Surat Perjanjian

Surat perjanjian adalah surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah sepakat untuk suatu
urusan. Jenis surat perjanjian ada bermacam-macam, misalnya perjanjian jual beli,  perjanjian
sewa beli,  perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan perjanjian pinjaman uang. Surat
perjanjian dibuat sebagai bukti autentik adanya ikatan kedua belah pihak dan untuk
menghindari persengketaan di kemudian hari. Anatomi surat perjanjian terdiri dari (a) judul,
(b) pembukaan, (c) komparisi, (d) premis/dasar pertimbangan, (e) isi perjanjian, (f) penutup,
dan (g) tanda tangan dan lampiran (Widjaja 2004).

Temuan dan Pembahasan

Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat perjanjian, ditemukan
beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca,
pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim,
pengaruh unsur bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di depan
Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat yang panjang, dan
pemakaian Dalam Hal dan Maka.

Pemakaian Ejaan dan Tanda baca

Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda baca yang benar.
Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan penulis memperhatikan kaidah-
kaidah kebahasaan dan mampu menggunakannya secara tepat untuk menyatakan
maksudnya. Kadang kala pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna
yang disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam bahasa
hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas dari struktur
kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut.

(1)    Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas
terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa;

Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu pada kalimat lengkap


yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan perincian diakhiri tanda titik
(Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena itu, pada kalimat pertama bukan titik
dua yang mengakhiri kalimat, melainkan titik satu karena perincian berikutnya, yaitu
kalimat kedua, merupakan kalimat yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-
Predikat-Pelengkap).  

Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum diperhatikan oleh


penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang mengikutinya merupakan verba (kata
kerja). Kata berimbuhan di- sebagai awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif.
Contoh: divonis-memvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah,
misalnya di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada contoh
(1) dibidang diperbaiki menjadi  di bidang.

Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat pada (2) berikut
ini.

(2)  Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas DEBITUR tidak
diperkenankan untuk:
a. Menerima Kredit dari Bank lain,

b. Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang masih merupakan
bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan. Karena masih merupakan bagian
dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu diawali dengan huruf kapital layaknya awal
kalimat. Juga kata lain di dalam kalimat yang bukan awal kalimat atau nama
orang/tempat, tidak perlu ditulis huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing
sebaiknya ditulis dengan huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2).

(2a) Tanpa persetujuan tertulis dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak
diperkenankan untuk

a. menerima kredit dari bank lain,

b. mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata

Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak di dalam bahasa
Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti beberapa, para, semua, atau kata
bilangan. Ketika bentuk jamak itu digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi
diulang katanya.

(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk tetapi tidak terbatas kepada, seluruh ketentuan-ketentuanyang berlaku serta sesuai
standar profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga Pemasaran di
Indonesia.

(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan semua tindakan-
tindakan hukum…

Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya menaati,


ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua tindakan-tindakan. Supaya
lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki masing-masing menjadi seluruh
ketentuan dan semua tindakan.

Pemakaian kata yang bersinonim

Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang makna dan fungsinya sama,
seperti adalah merupakan, seperti terlihat pada contoh berikut.

(5)Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah merupakan satu kesatuan


yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit ini.

Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di antara kedua kata
tersebut, yaitu  adalah atau merupakan.

Pengaruh unsur bahasa Inggris


Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal tersebut dapat
disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan. Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam
penggunaan kata which dan where, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana,
yang mana. Kedua kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti
halnya which dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau diganti
dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana dalam (7) dan
menambahkan tersebut(7a).

(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak Pertama akan
membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati bersama oleh Para Pihak, yang
mana rekening tersebut akan digunakan oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan
dana  keluar sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau bunga) sesuai jadwal
yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh
belas persil) per hari atas jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar
secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak Pertama akan
membuka rekening khusus pada bank yang disepakati bersama oleh para pihak. Rekening
tersebut akan digunakan oleh para pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7a) […] Denda tersebut harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan
angsuran yang tertunggak.

Pemakaian bahwa di depan Subjek

Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan konjungsi yang banyak


digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum. Akan tetapi, perlu diperhatikan tidak semua
awal pernyataan dapat diawali dengan bahwa.Perhatikan contoh (8) berikut.

(8)  Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas


terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur yang menyertainya


adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia tidak bersalah//telah
dibuktikan  (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat dipermutasi menjadi Telah dibuktikan
bahwa dia tidak bersalah. Bahwa juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat
pada kalimat yang menggunakanadalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa percobaan itu
gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan bahwa pada (8) sebaiknya
ditiadakan sehingga dengan tegas kalimat itu menampakkan Subjek, yaitu Para Pihak
masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas (lihat 8a).

(8a)  Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas// terlebih


dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut.

Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar 


Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di dalam kalimat sehingga
memudahkan pemahaman pengungkapan pikiran (Alwi 2001). Bentuk kata yang sejajar
lazim muncul pada kalimat yang membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian
menggunakan  bentuk atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).

(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:

a.   Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.

b.   Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri Perjanjian ini.

c.   Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha
utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak
Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak sama. Rincian a tidak diawali
dengan Subjek seperti halnya b dan c yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak
Pertama. Oleh karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika masing-
masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti kalimat pengantar ke rincian,
yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat
yang lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai
berikut.

(9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.

a.   Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.

b.   Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri perjanjian ini.

c.   Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha
utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak
Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

Pemakaian kalimat yang panjang

Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi karena ada beberapa
gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.

(10)

1. Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian atau
bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui
oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK,
dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan
penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK
ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala pembayaran berdasarkan
asuransi itu (Banker’s Clause).
2.       […]

3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh


DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah mengajukan permohonan perpanjangan
asuransi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh
tempo polis asuransi, dan polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan oleh
DIBITUR kepada BANK selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi
yang diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada tanggal jatuh tempo
polis asuransi tersebut, DEBITUR tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan
asuransi,  maka DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa BANK
berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas
biaya DEBITUR.

Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang dikemukakan di dalam
kalimat itu, yaitu

 barang jaminan dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran,


kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai asuransi yang disetujui oleh
bank,
 ketentuan pertanggungan adalah premi asuransi dan biaya lain berkenaan dengan
penutupan asuransi dipikul oleh debitor;
 di dalam polis asuransi terdapat klausul tentang hak bank untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi itu.

Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91 kata. Dalam satu
kalimat itu ada beberapa pokok pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu

(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling lambat satu bulan
sebelum jatuh tempo polis asuransi;

(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada bank paling lambat pada
tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang;

(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan polis perpanjangan
asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;

(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;

(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.

Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas, tidak akan
menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh (10) menunjukkan ada
kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan dengan konjungsi dan, padahal tidak
semestinya setiap gagasan digabungkan dengan dan.Berikut perbaikan yang disarankan untuk
(10).

(10a)
1.  Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya
lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi
asuransi dan lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada
debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (banker’s
clause).

2. […]

3.  Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh


debitor,  debitor wajib telah mengajukan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya  1 (satu)
bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah
diserahkan kepada bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut debitor tidak/belum
menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank, tetapi bank
tidak berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas
dengan  biaya debitor.

Pemakaian Dalam Hal dan Maka

Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan penggunaan bahasa, terdapat


sejumlah kalimat yang cukup berhasil dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi
kaidah, kalimat-kalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang
dimaksud adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya mana yang
merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat (penjelas induk
kalimat). Anak kalimat lazim didahului oleh konjungsi dan induk kalimat tidak didahului
oleh konjungsi.

Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai konjungsi, yang sebenarnya
menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip
dengan jika, apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat
tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali
konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat majemuk
bertingkat karena tidak ada informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.

(11) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu konjungsi, misalnyamaka (11a).

(11a) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

Simpulan

Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa penulis dokumen hukum
belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum Indonesia di dalam surat
perjanjian yang diamati masih menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan
dalam penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk
yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang dari
kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih menyederhanakan
penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya
sehingga pembaca lebih mudah dan cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif
perlu didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar
ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.

__________________

 Dosen tetap  matakuliah bahasa Indonesia di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Unika
1

Atma Jaya, Jakarta.

Daftar Pustaka

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum.Bandung:


Pustaka.

Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen


Pendidikan Nasional.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum


Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan


Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.

--------. 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional.Dalam Hukum
dan Pembangunan No. 3 Tahun XIII Mei.

Murniah. 2007. Bahasa Hukum Rumit dan Membingungkan. Wawasan, 30 November.

Nasucha, Yakub, Muhammad Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia


untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Media Perkasa.

Natabaya, H.A.S. 2000. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan
(Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Depdiknas.

Sudjiman, Panuti. 1999. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum
Tergarap. Atma nan Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.

Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Suryomurcito, Gunawan. 2009. Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar? Capek Deh!
Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar HKI, 15 April di Unika Atma
Jaya.
Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. 2004. DiktatBahasa Indonesia
Sebuah Pengantar  Penulisan Ilmiah. Depok. Program PDPT Universitas Indonesia.

Widjaja, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan
Paktik. Bekasi: Megapoin.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006.

Perjanjian Kredit No.: 52/2003.

Perjanjian Pemberian Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008.

Anda mungkin juga menyukai