Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28
Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa
Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh
kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa
negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009).
Meskipun sudah menjadi bahasa negara, bagi hampir sebagian orang di Indonesia bahasa
Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di
bangku sekolah.
Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau variasi bahasa Indonesia.
Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi
tersebut dinamakan ragam bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam
bahasa dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi.
Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi dan digunakan oleh
kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.
Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang
hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum
Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia
hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai
sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di
Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama,
Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan
Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).
1.
1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan
dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik
tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-
syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta
gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang
sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan
komposisi kalimat.
Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik bahasa hukum
dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun
diakui bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi,
dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang
yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan
praktisi hukum sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat
Murniah 2007). Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan
pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang
berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat
teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek,
hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan dirugikan
padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum
yang dihasilkan (Murniah 2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan
diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974 waktu itu
sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan
melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan
hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang memahami ketentuan
perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan
pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah
Tidak berbeda dengan bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia memiliki ciri-ciri
bahasa keilmuan (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000), yakni
1.
1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya
berdasarkan konvensi
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai
7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang
dimiliki kata biasa.
Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang memperlihatkan bahwa proses
penyampaian oleh penulis dan pembaca berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud
yang disampaikan oleh penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang
efektif dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna
antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan kesejajaran
makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang bagian-bagian yang
ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan pemakaian
bahasa hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat
perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu
dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap
penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.
Surat Perjanjian
Surat perjanjian adalah surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah sepakat untuk suatu
urusan. Jenis surat perjanjian ada bermacam-macam, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian
sewa beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan perjanjian pinjaman uang. Surat
perjanjian dibuat sebagai bukti autentik adanya ikatan kedua belah pihak dan untuk
menghindari persengketaan di kemudian hari. Anatomi surat perjanjian terdiri dari (a) judul,
(b) pembukaan, (c) komparisi, (d) premis/dasar pertimbangan, (e) isi perjanjian, (f) penutup,
dan (g) tanda tangan dan lampiran (Widjaja 2004).
Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat perjanjian, ditemukan
beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca,
pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim,
pengaruh unsur bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di depan
Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat yang panjang, dan
pemakaian Dalam Hal dan Maka.
Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda baca yang benar.
Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan penulis memperhatikan kaidah-
kaidah kebahasaan dan mampu menggunakannya secara tepat untuk menyatakan
maksudnya. Kadang kala pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna
yang disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam bahasa
hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas dari struktur
kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut.
(1) Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas
terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa;
Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat pada (2) berikut
ini.
(2) Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas DEBITUR tidak
diperkenankan untuk:
a. Menerima Kredit dari Bank lain,
Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang masih merupakan
bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan. Karena masih merupakan bagian
dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu diawali dengan huruf kapital layaknya awal
kalimat. Juga kata lain di dalam kalimat yang bukan awal kalimat atau nama
orang/tempat, tidak perlu ditulis huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing
sebaiknya ditulis dengan huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2).
(2a) Tanpa persetujuan tertulis dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak
diperkenankan untuk
Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak di dalam bahasa
Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti beberapa, para, semua, atau kata
bilangan. Ketika bentuk jamak itu digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi
diulang katanya.
(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk tetapi tidak terbatas kepada, seluruh ketentuan-ketentuanyang berlaku serta sesuai
standar profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga Pemasaran di
Indonesia.
(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan semua tindakan-
tindakan hukum…
Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang makna dan fungsinya sama,
seperti adalah merupakan, seperti terlihat pada contoh berikut.
Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di antara kedua kata
tersebut, yaitu adalah atau merupakan.
(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak Pertama akan
membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati bersama oleh Para Pihak, yang
mana rekening tersebut akan digunakan oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan
dana keluar sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).
(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau bunga) sesuai jadwal
yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh
belas persil) per hari atas jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar
secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.
(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak Pertama akan
membuka rekening khusus pada bank yang disepakati bersama oleh para pihak. Rekening
tersebut akan digunakan oleh para pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).
(7a) […] Denda tersebut harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan
angsuran yang tertunggak.
b. Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri Perjanjian ini.
c. Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha
utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak
Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak sama. Rincian a tidak diawali
dengan Subjek seperti halnya b dan c yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak
Pertama. Oleh karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika masing-
masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti kalimat pengantar ke rincian,
yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat
yang lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai
berikut.
(9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.
b. Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri perjanjian ini.
c. Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha
utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak
Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi karena ada beberapa
gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.
(10)
1. Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian atau
bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui
oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK,
dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan
penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK
ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala pembayaran berdasarkan
asuransi itu (Banker’s Clause).
2. […]
Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang dikemukakan di dalam
kalimat itu, yaitu
Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91 kata. Dalam satu
kalimat itu ada beberapa pokok pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu
(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling lambat satu bulan
sebelum jatuh tempo polis asuransi;
(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada bank paling lambat pada
tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang;
(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan polis perpanjangan
asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;
Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas, tidak akan
menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh (10) menunjukkan ada
kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan dengan konjungsi dan, padahal tidak
semestinya setiap gagasan digabungkan dengan dan.Berikut perbaikan yang disarankan untuk
(10).
(10a)
1. Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya
lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi
asuransi dan lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada
debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (banker’s
clause).
2. […]
Pemakaian Dalam Hal dan Maka
Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai konjungsi, yang sebenarnya
menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip
dengan jika, apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat
tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali
konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat majemuk
bertingkat karena tidak ada informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.
(11) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu konjungsi, misalnyamaka (11a).
(11a) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Simpulan
Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa penulis dokumen hukum
belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum Indonesia di dalam surat
perjanjian yang diamati masih menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan
dalam penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk
yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang dari
kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih menyederhanakan
penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya
sehingga pembaca lebih mudah dan cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif
perlu didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar
ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.
__________________
Dosen tetap matakuliah bahasa Indonesia di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Unika
1
Daftar Pustaka
--------. 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional.Dalam Hukum
dan Pembangunan No. 3 Tahun XIII Mei.
Natabaya, H.A.S. 2000. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan
(Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Depdiknas.
Sudjiman, Panuti. 1999. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum
Tergarap. Atma nan Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Suryomurcito, Gunawan. 2009. Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar? Capek Deh!
Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar HKI, 15 April di Unika Atma
Jaya.
Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. 2004. DiktatBahasa Indonesia
Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok. Program PDPT Universitas Indonesia.
Widjaja, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan
Paktik. Bekasi: Megapoin.