Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

BAHASA INDONESIA HUKUM

DISUSUN OLEH :
NAMA : HERLIA HERMAN
NPM : 333 111 8028
SEMESTER : 1 D

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)


KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya


sehingga saya dapat menyelesaikan makalah “Bahasa Indonesia
Hukum” ini hingga selesai.
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin saya
upayakan dan didukung dari berbagai pihak,sehingga dapat
memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
saya dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,untuk kedepannya
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan saya,saya yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Manokwari, 9 Oktober 2018

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

BAB 1 : PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB 2 : PEMBAHASAN............................................................................ 2

1.1 Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya ..............

1.2 Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah.......... 3

1.3 Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca........................................... 5

BAB 3 PENUTUP .................................................................................... 8

Kesimpulan Dan Saran............................................................................... 8

Daftar Pustaka............................................................................................ 9

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional


dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.  Alasan yang mendukung
pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai
lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara.
Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa
negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945
(Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi hampir 
sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu,
melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah.
Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau
variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan
fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam bahasa
(Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa dikelompokkan
menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi.
Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-
bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang
tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa
Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen
penjelasnya.

BAB II

3
PEMBAHASAN

1.1 Bahasa Indonesia Hukum dan Permasalahannya


Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan
dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi
(1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak
penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar
terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan
Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di
Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di
kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat
konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).
1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang
dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai
karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah
memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,
serta gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum
yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk,
dan komposisi kalimat.
Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti
terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah
membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-
undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu
banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan

v
dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur
bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu, 
ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada bahasa
asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa Belanda wajib
dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum
sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan,
konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa
pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b)
dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai
sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum
sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam
bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah
asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum
konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat
Mahadi 1979).
Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa
kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam
kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus
hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-samar; (d)
menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa
Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta
notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan
terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen
hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat
perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan,
sulit dipahami masyarakat awam. 
Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan
karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan
komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan
gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau

3
orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301).
Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul
perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu
penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh
Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum
yang berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen
HKI, surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan,
permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan
penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.  
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja
masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani
kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007).
Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada
masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974
waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di
fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan
rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis
dokumen hukum yang  memahami ketentuan perundang-undangan yang
menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan
pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

1.2 Bahasa Indonesia Hukum sebagai Bahasa Tulis Ilmiah


Tidak berbeda dengan  bidang ilmu lainnya, bahasa hukum
Indonesia memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan  (Moeliono 1974 dalam
Natabaya 2000), yakni :
1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaman
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya
berdasarkan konvensi

vii
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai
7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang
dimiliki kata biasa.
Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut
Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah
yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat
yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan
kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk
menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan
menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam
undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah
ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam
dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan
hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang
tersusun dalam kalimat yang efektif.
Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang
memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca
berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh
penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif dapat
dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna
antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan
kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang
bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata.
Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa hukum di dalam surat
perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat perjanjian
pemberian pinjaman(2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu
dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan
mengungkap penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.

BAHASA HUKUM ( BAHASA INDONESIA MODERN)

3
                Bahasa hukum adalah: bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan untuk mempertahankan kepentingan
pribadi dalam masyarakat. Bahasa hukum sebagian bagian dari bahasa Indonesia
modern maka penggunaannya harus tetap.

1.       Tenang

2.       Mono smantik atau kesatuan makna (jangan memberikan penafsiran


berbeda-beda)

3.       Harus memenuhi syarat-syarat SP3 bahasa Indonesia yaitu:

a.       Sintaktik: ilmu tentang makna kata

b.      Smantik: seluk beluk

c.       Prahmatik

(abc, untuk menyampaikan suatu komunikasi kepada pendengar)

                Kegiatan berfikir secara hukum dengan menggunakan bahasa hukum


merupakan upaya untuk menemukan pengertian yang esensial dari hukum itu
sendiri.

                Menurut purnadi Purwacarakadengan sarjoeno Soekanto dalam buku


(bahder johan Nasution) judul buku bahasa hukum th 2001 hal 37 menyebutkan
ada 9 macam arti hukum yang diberikan masyarakat yaitu.

1.       Hukum sebagai ilmu pengetahuan: merupakan suatu ilmu pengetahuan yang


tersusun secara sistematis berdasarkan kekuatan pemikiran.

2.       Hukum sebagai suatu disiplin:  merupakan suatu system tentang ajaran


kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

3.       Hukum sebagai kaidah: merupakan sebagai pola atau pedoman atau


petunjuk yang harus ditaati.

4.       Hukum sebagai tata hukum: melihat bagaimana struktur dan proses


perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu dalam bentuk tertulis.

Dari paparan tersebut telah dilihat jelas bahwa hukum memiliki kaitan erat dengan
cara-cara berfikir hukum.

Oleh sebab itu bahasa hukum dapat dibagi 3 kelompok yaitu:

1.       Bahsa hukum yang bersumber pada aturan-aturan yang dibuat oleh Negara
artinya lebih bersifat pengaturan hak dan kewajiban.

ix
Ex: aturan tentang hukum pentensir( membicarakan tentang hukumannya)

UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

UU No 3 tahun 1997 tentang peradilan anak. Yaitu anak yang berusia 8-18 tahun
atau yang belum menikah maka pertanggung jawabannya pidana. Umur 12 tahun
kebawa maka ada 3 kemungkinan yaitu:

a.       Kembalikan kepaada orang tuanya (dalam pengawasan lapas)

b.      Diserahkan kepada departemen social untuk di didik

c.       ….

Hukuman anak adalah ½ dari hukuman orang dewasa:

a.       Anak pidana dibina oleh Negara

b.      Anak Negara dibina oleh Negara dengan biaya Negara

c.       Anak sipil dibina oleh Negara tetapi biaya orang tuanya.

UU No 12 tahun 1995 tentang lembaga kemasyarakatan

2.       Bahasa hukum yang bersumber pada aturan-aturan hukum yang berlaku


dimasyarakat. Bahasa hukum seperti ini ditemui dalam hukum adat dan tidak
bertentangan dengan hukum Negara.

Ex: perkawinan, warisan

3.       Bahasa hukum yang bersumber dari para ahli hukum, kelompok-kelompok


yang berprofesi hukum

Ex: yurisprudensi, asas legalitas, exepsi.

Does lag( pembunuhan biasa )  pasal 338-350 KUHP pembunuhan sengaja


ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Culva: pasal 359-360 ancaman hukuman 5 tahun.

1.3 Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca


Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda
baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan
penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dan mampu

3
menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala
pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang
disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam
bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas
dari struktur kalimatnya.

BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum dibuat untuk disampaikan, dipahami/disadari dan dipatuhi oleh
masyarakat. Namun kenyataannya sebagai sarana komunikasi,bahasa
Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat
awam. Pemakaia bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu
disempurnakan. Hukumhanyadapat berjalan efektif jika dirumuskan dengan
bahasa yang tegas dan benar serta empunyai nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat serta dapat dikomunikasikan dengan baik dan benar,apabila tidak
dapat dipahami oleh masyarakat maka akan berdampak terhadap penengakkan
hukum itu sendiri.

Saran :
Semoga pembaca dapat mengerti dan mengkritik makalah ini sehingga
dapat menghasilkan suatu makalah yang bermanfaat.

xi
DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum.


Bandung: Pustaka.

3
Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan


Hukum Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia.


Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta:
Binacipta.

xiii

Anda mungkin juga menyukai