Anda di halaman 1dari 3

Menyoal Asas Praduga Tak Bersalah dalam

Kasus-kasus Kekerasan Seksual

Beberapa waktu lalu, Balairung Press, media daring pers mahasiswa Universitas
Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan kasus pemerkosaan yang dialami Agni, oleh
sesama mahasiswa saat mengikuti kuliah kerja nyata. Artikel tersebut memicu
kemarahan publik atas ketidakmampuan institusi pendidikan menangani kasus
kekerasan seksual. Dukungan terhadap Agni pun mengalir di media sosial. Publik
beramai-ramai mengecam HS, pelaku pemerkosaan. Beberapa di antaranya bahkan
mempublikasikan identitas serta akun media sosial HS di Twitter.

Di tengah-tengah dukungan publik yang masif, muncul respons negatif terhadap artikel
Balairung Press sekaligus terhadap respon publik yang mengecam HS. Menurut
beberapa pihak, apa yang dilakukan Balairung Press dan publik melanggar salah satu
asas hukum yang paling esensial: asas praduga tidak bersalah. Alasannya, kejahatan
tersebut belum pernah terbukti di pengadilan. Berdasarkan asas ini, HS harus dianggap
tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan tetap yang menyatakan
sebaliknya -- Innocent until proven guilty.

Asas praduga tidak bersalah acap kali menjadi problem yang dihadapi jurnalis, media
maupun penyintas yang mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual yang belum
pernah terbukti di pengadilan. Persoalan ini pun semakin mengemuka sejak munculnya
gerakan #MeToo. Gerakan ini sering kali dianggap mencederai asas praduga tidak
bersalah karena mendorong penyintas untuk mengungkapkan kekerasan seksual yang
pernah dialaminya serta pelaku kekerasan di media sosial. Istilah trial by Twitter pun
muncul karena #MeToo dianggap menjadikan media sosial sebagai “pengadilan” dan
publiklah “hakimnya'. Benarkah demikian?

Bila hendak berbicara tentang asas praduga tidak bersalah, maka kita harus kembali
pada sifat peradilan pidana, yakni negara versus warga negara. Sifat peradilan pidana
tidaklah imbang karena negara memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada
warga negaranya. Dalam proses peradilan pidana, negara berhak untuk mengurangi
dan merampas hak-hak warga negara. Ketika seseorang terbukti melakukan kejahatan,
maka negara berhak merampas hak atas kebebasannya melalui pidana penjara.

Karena sifat peradilan pidana yang cenderung mengurangi dan merampas hak-hak
warga negara, maka prosedurnya harus dilakukan dengan hati-hati. Jangan sampai
orang yang tidak bersalah dipidana dan dirampas hak-haknya. Di sinilah muncul asas
praduga tidak bersalah. Dengan kata lain, asas praduga tidak bersalah adalah asas
prosedural dalam peradilan pidana, bukan di luar peradilan pidana, yang tujuannya
menghindari dihukumnya orang yang tidak bersalah. Asas ini salah satunya diwujudkan
melalui kewajiban aparat penegak hukum membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh
tersangka atau terdakwa (beban pembuktian ada pada penegak hukum, bukan pada
tersangka atau terdakwa).

Miskonsepsi lain terhadap asas praduga tidak bersalah adalah asas ini dianggap
mewajibkan penegak hukum mengasumsikan bahwa tersangka/terdakwa secara faktual
tidak bersalah. Hal ini tentu saja tidak relevan apabila tersangka/terdakwa tertangkap
tangan melakukan kejahatan. Sekali lagi, asas praduga tidak bersalah adalah asas
prosedural, bagaimana aparat penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam
menjatuhkan pidana kepada seseorang.

Dalam liputan-liputan media dan pengungkapan kasus kekerasan seksual oleh


penyintas di media sosial, pelaku tidak dihadapkan pada negara. Hak-haknya tidak
mungkin dikurangi atau dirampas. Oleh karena itu, secara hukum tidak dapat
dinyatakan sebagai pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Percaya pada korban

Di berbagai belahan dunia, gerakan “Believe the Victim” mendapatkan kritik dan
kecaman karena dianggap memaksa publik berhenti berpikir kritis terhadap kasus-
kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Media dikritik karena dianggap
mengesampingkan keakuratan fakta. Pihak yang kontra seringkali mengungkapkan
bahwa sebelum terbukti berdasarkan putusan pengadilan, maka selalu terdapat
kemungkinan bahwa tuduhan korban tidak benar. Tapi, seberapa besar
kemungkinannya?

Dalam artikel yang berjudul "What kind of person makes false rape
accussation?" oleh Sandra Newman, data menunjukan bahwa laporan perkosaan
yang terbukti palsu sangat jarang terjadi. Sejak tahun 1989 di Amerika Serikat hanya
terdapat 52 kasus dimana pelaku akhirnya dibebaskan karena laporan terbukti palsu,
dibandingkan dengan 790 kasus pembunuhan pada periode yang sama. Namun,
kasus-kasus tersebut pun seringkali dianggap palsu karena inkonsistensi definisi
hukum perkosaan dan pemahaman aparat penegak hukum yang rendah terhadap
perkosaan.

Selain itu, di tengah-tengah kultur masyarakat kita yang patriarkal, di mana penyintas
sering kali disalahkan karena dianggap memprovokasi pelaku atau ikut “berkontribusi”
atas kekerasan yang dialami, mengungkap kekerasan seksual yang dialami merupakan
tindakan yang penuh risiko. Oleh karena itu, percaya pada korban bukan berarti
meredam kemampuan berpikir publik. Percaya pada korban juga bukan berarti
menciptakan liputan media yang serampangan. Percaya pada korban adalah tentang
besarnya kemungkinan bahwa korban menyatakan yang sebenarnya.

Terakhir, ada hal yang mungkin patut kita renungkan. Jika saat ini publik lebih memilih
media sosial untuk “mengadili” pelaku kekerasan, saya rasa alasannya satu: karena
selama ini sistem peradilan pidana kita tidak bisa memberikan keadilan bagi korban
sebagaimana mestinya.

Carla Nathania adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai