Anda di halaman 1dari 7

Ragam Bahasa Politik.

Bahasa politik adalah bahasa yang khusus, dan saya ingin mengtahui tentang bagaimana
bahasa mempengaruhi politik, dan politik mempengaruhi bahasa. Satu aspek dalam penelitian
saya meneliti tentang jargon politik dan wacana politik. Penomena plesetan menarik saya
karena hal ini tidak banyak di jumpai Indonesia. Ada banyak kata baru yang dibuat oleh
pemerintah di satu sisi dan terdapat cara masyarakat untuk melawan pemerintah di sisi lain untuk
menyerang bahasa melalui plesetan. Bahasa politik tidak sekedar memberitahukan
kebijaksanaan, tetapi lebih lagi. Setiap orang perlu mengerti arti lain yang disembunyikan dalam
katanya. Karena tidak ada sesuatu yang berkata tanpa alasan bagus, dan setiap politikus tahu
bagaimana mengatakan kata-kata kosong sambil mewujudkan kesannya yang baik. Banyak
orang tidak percaya politikus-politikus karena masyarakat tahu bagaimana politikus-politikus
pandai bersilat lidah dengan mengunakan bahasa.

Beberapa contoh akronim-akronim dan singkatan adalah sebagai berikut:

Bidang Politik
SBY = Susilo Bambang Yudoyono

PNS = Pegawai Negeri Sipil

HAM = Hak Asasi Manusia

DPR = Dewan Pewakilan Rakyat

GolKar = Golongan Karya

Pilkadal = Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Plestan adalah, dasarnya, bercanda dibuat dari mengubah singkatan-singkatan. Tetapi


plesetan lebih banyak bercanda saja. Walaupun dalam setiap bahasa orang-orang membuat
lelecon sendirinya, di antara pendudukan Indonesia plesetan adalah semacam seni dan olah raga.
Setiap bidang mempunyai plesetan sendirinya, karena setiap bidang mempunyai singkatan
sendirinya. Plesetan bisa dibuat tentang apa saja, bukan politik saja. Tetapi orang merasa khusus
kesenangan menceritakan plesetan politik, karena mereka kurang suka politikus-politikus atau
pemerintah.

Beberapa contoh kata-kata plesetan dalam ragam Bahasa Politik:

Harmoko dulu adalah Menteri untuk Informasi pada hampir lima belas tahun, dan orang-orang di
mana mana panggil dia Hari-hari omong kosong.

Politik = poli + tikus (banyak tikus)

Tommy Suharto, anak mantan Presiden Suharto, dulu ingin memiliki perusahaan yang membuat
mobil nasional Indonesia pertama. Mobil bernama Timor. Tommy juga terkenal untuk kehidupan yang
kaya, memiliki Rolls Royce biru dan pergi ke banyak pesta.

Tetapi walaupun dia menerima hak-hak tunggal dari Bapaknya untuk membuat mobil ini, pada
1998 dia terpaksa berhenti oleh IMF. Kemudian dia melarikan diri dari tuntutan korupsi (Putra, 2001).

TIMOR = Tommy Itu Memang Orang Rakus.

Menurut aktivis-aktivis, Amien Rais tidak suka orang asing atau orang Kristin.

UUD = Undang Undang Dasar, atau Ujung-Ujungnya Duit.

Koalisi Kebangsaan (PDI-P + Golkar) = Koalisi Kebangsatan

Menurut aktivis-aktivis, koalisi ini berisi dua partai yang terlebih jahat.

Orang yang pedukung SBY sebelum pemilu dilaporan menyatakan, Rutenya Surabaya-Jogjakarta
pulang pergi. Surabaya sering dipanggil sebagai SBY, seperti Susilo Bambang Yudoyono, dan Jusef
Kalla adalah JK seperti Jogyakarta. Atau satu yang tidak terkait dengan partai saja. MPR = Masyarakat
Peduli Reformasi. Orang yang berpikir Megawati memimpin negara kembali seperti Orde Baru membari
dia nama Megawati Suhartoputri. Karena kebijaksankan lebih dekat dengan Suharto daripada Sukarno.

KKN = Kanan Kiri Nuntun

KUHP = Kasih Uang Habis Perkara

IDT = Ikilo Duwite Teko


Komentar:

Menurut saya ragam bahasa politik ini ada kekurangannya yaitu bahasa yang digunakan
sangat tidak baku. Singkatan dalam bahasa politik yang sering diomongkan di televisi sangat
mudah untuk dipahami. Beberapa singkatan-singkatan tersebut ada yang di plesetkan untuk
bahan candaan para politiukus saat rapat umum. Di dalam plesetan tersebut ada sebuah makna
untuk menyinggung para politikus. Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah
ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati
bahasa Indonesia.

Ragam bahasa ini terbentuk akibat adanya faktor-faktor sebagai berikut :

1. Kondisi geografis Bangsa Indonesia,


dipisahkan oleh samudera luas, bentuk kepulauan bangsa Indonesia, merupakan faktor
penting atas keragaman budaya dan corak bahasa. Gaya bahasa di kepuluan Sumatera
akan banyak berbeda dengan bahasa yang lazim dipakai di kepulauan Papua.
2. Kondisi sosial lingkungan,
akan sangat mempengaruhi keragaman bahasa, baik lisan maupun tulisan. Contoh yang
umum, saat sedang berada dalam suatu forum resmi struktur bahasa yang digunakan
merupakan struktur bahasa yang baku. Namun, di luar forum struktur bahasanya tidak
terlalu baku.
3. Tingkat pendidikan dan profesi,
merupakan faktor yang banyak mempengaruhi ragam bahasa yang digunakan. Seseorang
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan berbeda pemilihan kata serta struktur
bahasa yang digunakan. Juga akan berbeda kosakata serta istilah yang digunakan menurut
profesi yang digeluti.

Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai
prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan
teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi
(seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Ragam Bahasa Hukum

Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang
hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia
adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian
yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres
Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober 2 November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun
kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan
simposium bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut
menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam
bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh
karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah
bahasa Indonesia.

2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya.

3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus
tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika.

4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang


sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi
kalimat.

Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat perjanjian, ditemukan
beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca,
pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh
unsur bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di depan Subjek,
pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat yang panjang, dan pemakaian
Dalam Hal dan Maka.

Pemakaian Dalam Hal dan Maka

Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan penggunaan bahasa, terdapat


sejumlah kalimat yang cukup berhasil dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi
kaidah, kalimat-kalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang dimaksud
adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya mana yang merupakan inti
kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat (penjelas induk kalimat). Anak kalimat
lazim didahului oleh konjungsi dan induk kalimat tidak didahului oleh konjungsi.

Dalam contoh di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai konjungsi, yang sebenarnya
menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip
dengan jika, apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat tersebut
diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali konjungsi
maka. Oleh karena itu, kalimat tidak dapat disebut kalimat majemuk bertingkat karena tidak ada
informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.

Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,
maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.Perbaikan untuk adalah dengan meniadakan salah
satu konjungsi, misalnya maka. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Komentar:

Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa penulis dokumen hukum
belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa hukum Indonesia di dalam surat perjanjian
yang diamati masih menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam
penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk yang
diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang dari kalangan
hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih menyederhanakan penyampaian pesan atau
maksud dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca lebih mudah dan
cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah ejaan bahasa
Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa
Indonesia.

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut
topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan,
serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ditinjau dari media atau sarana yang
digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis.

Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku
lisan. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak
ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang
diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan
unsur kalimat. perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis berdasarkan tata bahasa dan
kosa kata.

Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi
standar dan nonstandar. laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya.
Adapun Ragam bahasa berdasarkan penutur yakni : Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut
ragam daerah (logat/dialek), Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur, dan Ragam bahasa
berdasarkan sikap penutur.
Sumber:

1. Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: Pustaka.
2. Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
3. Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum
Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.
4. Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.
5. --------. 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional. Dalam Hukum
dan Pembangunan No. 3 Tahun XIII Mei.
6. Murniah. 2007. Bahasa Hukum Rumit dan Membingungkan. Wawasan, 30 November.
7. Nasucha, Yakub, Muhammad Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia untuk
Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Media Perkasa.
8. Natabaya, H.A.S. 2000. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan (Ed.). Bahasa
Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan
Bangsa. Jakarta: Depdiknas.
9. Sudjiman, Panuti. 1999. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap.
Atma nan Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.
10. Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
11. Arifin,Zaenal dan Amran Tasai.1991.Cermat Berbahasa Indonesia.Jakarta:MSP
12. Sugono,Dendy.1999.Berbahasa Indonesia dengan Benar.Jakarta:Puspa Swara

Anda mungkin juga menyukai