DISUSUN OLEH
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu perundang-undangan ini
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula, penulis kirimkan salam dan
salawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh
sahabatnya.
Makalah ilmu perundang-undangan yang saya susun ini berjudul Bahasa Hukum dalam
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas ilmu
perundang-undangan yang diberikan oleh dosen pembimbing. Pemilihan topik ini berawal dari
ketertarikan penulis terhadap teknis yuridis dalam peraturan perundang-undangan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama proses pembuatan makalah ini dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki
penulis.
Namun penulis mengharapkan dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan
tersebut, skripsi ini masih mempunyai nilai akademis dan dapat bermanfaat bagi pembaca oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk menutupi keterbatasan
dan kemampuan penulis.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...... 2
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………………………………...…4
Rumusan Masalah…………………………………………………………………..................5
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan…………………………………………………………………………………...14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..15
3
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Bahasa memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam
berkomunikasi dengan sesamanya manusia memerlukan bahasa hanya dengan bahasa
dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung. Dan
dari komunikasi itulah maka manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Hal lain
yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ialah hukum, dalam negara
hukum seperti Indonesia tentunya terdapat peraturan perundang-undangan. Suatu
aturan baik dalam bentuk tertulis, maupun lisan tentunya akan digunakan bahasa.
Sesuai dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah
bahasa Indonesia, maka bahasa yang digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan juga digunakan bahasa Indonesia1.
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36
4
dimengerti agar tidak menimbulkan penafsiran ganda maupun kekeliruan yang kerap
terjadi di masyarakat.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2
Syarif Maroni, Pengertian dan Kegunaan bahasa Hukum, diakses dari
http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html pada tanggal 10 April 2016
pukul 20:13 WIB
3
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan”, Bab III Angka 242 hal 193
6
1. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang
menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada
kaidah bahasa.
2. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan
dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian
kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan
memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan
yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat
yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat,
obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
3. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya
disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-
andai.4
4
Ahmad Saifudin. Ragam Bahasa Perundang-Undangan, diakses dari
https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUNDANG-
UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan pada tanggal 10 April 2016 pukul 21:14 WIB
5
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, 2007, hal 199
7
1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana
2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relative,
dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan
pendapat secara individual
3. Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan actual, serta menghindarkan
diri dari kiasan dan dugaan
4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran
pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang
sedang-sedang saja hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk
pikiran sederhana yang ada rata-rata manusia
5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian,
pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu
6. Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’: adalah berbahaya
memberikan alas an-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat
membuka pintu pertentangan
7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah
mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar
nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami; karena peraturan yang
lemah, tidak diperlukan, dan yang tidak adil akan menyebabkan seluruh
sistem peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena itu
mengguncangkan kewibawaan negara6
6
Ibid, halaman 203
8
mempengaruhinya sehingga penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan
di dalamnya dapat dipahami lebih baik
2. Penggunaan ragam bahasa teknis memang tidak dapat dihindarkan
dimana-mana tetapi penggunaan ragam bahasa teknis perundang-
undangan dapat diatur lebih baik daripada ragam bahasa teknis lainnya
jargon atau bahasa yang tipikal dank has di bidang hukum dapat diganti
misalnya, meskipun ‘ciptaan-ciptaan’ baru hendaknya tidak makin
menyulitkan
3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan untuk
memberikan ketepatan penegertian. Tetapi arti kata-kata yang sudah
diketahui masyarakat tidak perlu didefinisikan apabila definisi sulit
dirumuskan maka uraian pengertian dapat digunakan7
Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus diperhatikan
bagi penyusun peraturan perundang-undangan ialah kemampuan dalam mengantisipasi
dan menafsirkan apa yang mungkin akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.
7
Ibid, halaman 204
9
Selain itu yang juga harus dihindarkan ialah penggunaan satu kata atau istilah yang
mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat yang lain dalam satu undang-undang. Dalam
perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan sering kali kita
harus menggunakan kata-kata yang menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para
perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal
itu tepaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya
ditempatkan di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang tubuh)
peraturan.8
Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat dalam
peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan / pilihan kata atau
istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:
1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam
menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata ‘paling’.
Contoh: ….dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun,
atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda ‘paling’
sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan ‘paling’ banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama
b. Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak
c. Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata
kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat
4. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh: Selain
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7 pemohon
wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
5. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata
jika, apabila, atau frase dalam hal
8
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 172
10
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka)
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu
c. frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka)
6. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti
akan terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum Pidana
dinyatakan tidak berlaku
7. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B
dapat menjadi…
8. Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A atau B
wajib memberikan
9. Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan frase
dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
10. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau
mengabulkan permohonan grasi
11. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
guanakan kata berwenang
12. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten
13. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan
kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan
dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan
14. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
11
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau prasyaratan tersebut
15. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang9
Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan
kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh permasalahan
yang akan di bahas ialah “Clerical Error”
9
Pipin Syarifin s.H., M.H & Dra. Dedah Jubaedah, M.Si, Ilmu Perundang-Undangan, 2012, halaman 216
10
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 173
12
Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4)
UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh Hakim Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A ayat (4)
UUD 1945 jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah “wakil
ketua” pada pasal 24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian jabatan wakil
ketua Mahkamah Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945
bersifat umum11.
Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat
prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum.
Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan adanya
kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya menyangkut minor
staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU, tetap perlu dipikirkan
mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara resmi12.
Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan disalahgunakan.
Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang pasti bahwa
menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat ahli bahasa yang
bertindak sebagai “final reader”
BAB III
11
Ibid, hal 174
12
Ibid, hal 174
13
PENUTUP
Kesimpulan
Akan tetapi meskipun telah disusun dengan sedemikian rupa nyatanya kelalaian tidak
lepas dari diri manusia, ada saja permasalahan yang timbul dalam penyusunan perundang-
undangan itu sendiri, salah satu contohnya ialah “Clerical Erorr”. Dalam hal seperti ini dituntut
adanya pihak yang bertanggung jawab dengan misalnya mengangkat seorang pejabat ahli bahasa.
Dan masyarakat pun harus lebih bijak dan kritis dalam menafsirkan peraturan perundang-
undangan.
DAFTAR PUSTAKA
14
Buku :
Maria Farida Indriati S., Ilmu Perundang-undangan 2 (proses dan Teknik Pembuatannya),
Yogyakarta: Kansius (2007)
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2012. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia.
Undang-Undang:
Internet:
15