Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejaksaan RI dalam kedudukan sentralnya sehubungan dengan penegakan hukum di


Indonesia mengarahkan kita pada suatu pemahaman mengenai pentingya keberadaan
kejaksaan sebagai salah satu subsistem dari suatu sistem hukum. Oleh karena itu, sebelum
lebih jauh membahas kedudukan sentral kejaksaan dalam penegakan hukum, berikut ini akan
dibahas dahulu pengertian sistem hukum.[1]

R. Subekti[2] menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang
teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain,
tersusun menurut suatu rncana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu
tujuan. Selain itu, L.M. Friedman mengatakan bahwa sistem hukum tersusun dari sub-sistem
hukum berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem
hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau
tidak. Substansi hukum biasanya menyangkut aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan
perundang-undangan. Struktur hukum penenkanya lebih kepada aparatur serta sarana dan
prasarana hukum itu sendiri. Sementara itu, budaya hukum menyangkut prilaku
masyarakatnya.[3]

Terlepas dari itu semua, hal tepenting bagi suatu proses sistem adalah kesinambungan potensi
dan fungsi masing-masing komponenya. Kerusakan salah satu komponen dapat merusak
kesinambungan global, dan juga karenanya akan berpengaruh terhadap perwujudan tujuan
sisitem itu. Hakikat dari suatu pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap
komponen-komponenya.

Berbagai pendapat di atas menjelaskan bahwa kedudukan Sentral Kejaksaan RI dalam


penegakan hukum di Indonesia, sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam suatu
kesatuan yang teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan
subsistem lainya untuk mencapai tujuan dari sistem hukum tersebut.

Bertolak dari kedudukan sentral kejaksaan RI yang telah di uraikan secara singkat diatas,
dalam sistem peradilan peranan kejaksaan juga sangat sentral karena kejaksaan juga
merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau
tidak. Jaksa juga menentukan apakah seseorang tersangka akan dijatuhi hukuman atau tidak
melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Hubungan Kepolisian dan
Kejaksaan dalam rangka penegakan hukum dimulai dengan tahap prapenuntutan. Tahap ini
dimulai pada saat penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik.[4]

Apabila jaksa telah menerima dan meneliti berkas dari penyidik dan apabila jaksa
berpendapat bahwa hasil penyidikan ini belum lengkap dan sempurna, sekiranya masih ada
yang perlu diperbaiki berita acaranya, maka jaksa akan mengirimkan kembalik kepada
penyidik berkas yang bersangkutan dengan sebuah nota dan petunjuk-petunjuk perbaikan.
Misalnya, tidak dilampirkan visum et repertum, alat bukti untuk melakukan tindak pidana
tidak disertakan, atau salah satu unsur tindak pidana kurang jelas dan mendalam dalam
penyidikan atau juga surat perintah penahan, penangkapan, dan pengeledahan tidak
dilampirkan sedangkan dalam berkas hal itu dilakukan oleh penyidik. Itu sebabnya,
seandainya penuntut umum berpendapat pemeriksaan belum sempurna dan belum dapat
diajukan ke muka persidangan, berkas dikembalikan kepada penyidik untuk menambah dan
menyempurnakan penyidikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut umum.[5]

Hal ini membawa konsekuaensi logis, yaitu merupakan kewajiban mutlak bagi penuntut
umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setiap pemeriksaan yang dilakukan
penyidik dalam hal seseorang disangka melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk
menghasilkan hasil yang maksimal dalam penuntutan. Oleh karena itu, apabila penyidik
berpendapat bahwa pemeriksaan penyidikan telah selesai dan sempurna, secepatnya harus
segera mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum.[6] Akan tetapi
di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik haruslah menyesuaikan pemberkasan perkara
dengan ketentuan pasal undang-undang yang mengariskan pembuatan berita acara
pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP.

Titik berat prapenuntutan ditujukan kepada berkas perkara karena berkas perkara inilah yang
akan diajukan dipersidangan sebagai objek yang akan di uji dalam pemeriksaan persidangan
pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan sejauh mana dapat dibuktikan dakwaaan
penuntut umum dan berkas perkara ini berfungsi bagi terdakwa untuk bahan pembelaanya
dalam pemeriksaan persidangan, maka penuntut umum harus cermat dan benar-benar harus
menguasai unsur-unsur apa yang diperlukan dalam setiap kasus yang dimuat dalam berkas
perkara karena prapenuntutan inilah yang akan memberikan warna kepada tindakan
penuntutan, hasil pra penuntutanlah yang akan memberi arah dan warna kepada bentuk-
bentuk surat dakwaan dan materi surat dakwaan serta ketentuan-ketentuan pidana yang akan
diterapkan dan sangat menentukan juga bagi surat tuntutan dan tuntutan hukum.[7]

Akan tetapi banyak juga terdapat berkas perkara yang dalam praktinya mengalami
pemeriksaan yang bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum yang akan
memperlambat proses peradilan. Kekurangsempurnaan pemeriksaan dan pengembalian
berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan akan membawa akibat yang kurang baik
bagi nama instansi penyidik sendiri, karena dalam konteks hubungan penyidik dan penuntut
umum beda penafsiran yang sering terjadi diantara mereka yang berakibat seringkali
terjadinya bolak-balik berkas perkara sehingga asumsi yang timbul dalam masyarakat bahwa
terjadi miss komunikasi antara dua instansi tersebut.

Oleh karena itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas perkara oleh pihak penuntut
umum kepada penyidik akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada instansi
penyidik.[8] Hal inilah yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan tersangka serta
berlawanan dengan prinsip peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka team penulis tertarik
untuk mengkaji secara normatif mengenai permasalahan yang terjadi disekitar proses
prapenuntutan terkhusus masalah bolak balik berkas perkara dari penuntut umum dengan
pihak penyidik.
B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah di uraikan di atas, team penulis mengajukan perumusan
masalah sebagai berikut, :

1. Apakah terdapat kelemahan secara normatif dalam proses pengembalian berkas perkara
pada tahap prapenuntutan ?

2. Apakah ada prinsip-prinsip dalam hukum acara yang terciderai akibat bolak-balik
perkara tersebut ?

3. Bagaimana mekanisme membuat rencana tuntutan yang di buat oleh penuntut umum
dalam berbagai jenis perkara ?

C. Metode Penelitian[9]

1 . Objek atau Fokus yang diteliti

Obyek dari penelitian ini terbatas pada permasalahan pengaturan pengembalian berkas
perkara dari penuntut umum kepada penyidik dalam tahap prapenuntutan yang diatur dalam
KUHAP yang mencantumkan mengenai mekanisme pengembalian berkas perkara secara
parsial serta mengkaji secara terbatas mengenai rencana tuntutan yang diajukan oleh penuntut
umum ketika permasalahan mengenai berkas perkara sudah selesai.

Adapun yang dimaksud dengan prapenuntutan adalah pengembalian berkas perkara dari
penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. Penyidikan
dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari peniuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara.

Dalam Penelitian ini, team penulis ingin melakukan tinjaun terhadap permasalahan diskitar
KUHAP yang mengatur masalah mengenai pengembalian berkas perkara dari penuntut
umum kepada penyidik.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
sosiologis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
merupakan data sekunder dan disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian
hukum sosiologis/empires terutama meneliti data primer yaitu data yang diperoleh langsung
dari masyarakat.[10]

Mengingat permasalahan dalam penelitian difokuskan pada tahap prapenuntutan yakni


mengenai bolak-balik arus perkara, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder. Pendekatan terhadap hukum dengan
menggunakan metode normatif dilakukan dengan cara mengidentifikasikan dan
mengkonsepsikan hukum sebagai norma kaidah, peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada suatu negara tertentu yang berdaulat. Penelitian terhadap hukum dengan pendekatan
demikian merupakan penelitian hukum yang normatif atau penelitian hukum yang doktrinal.
[11]

Pendekatan yuridis komparatif diperlukan dalam melihat norma-norma yang menyangkut


mengenai pengaturan pra penuntutan serta pengaturan pengtembalian berkas perkara dari
penuntut umum kepada penyidik. Hal ini berkaitan dengan pula dengan usaha-usaha
pembaharuan hukum pidana, Khususnya KUHAP. Dalam hal ini, perbandingan hukum
penting untuk lebih mempertajam dan mengarahkan proses penelitian.[12]

3. Jenis dan Sumber Data

Sebagaimana uraian di ata, bahwa penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder[13],
maka jenis data penelitian ini meliputui data sekunder. Pemggunaaan data sekunder terutama
akan disajikan pada data sekunder yang bersifat publik, baik yang berupa arsip maupun data
resmi pada instansi-instansi pemerintah.[14]

Sumber data dari data sekunder dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat,
antara lain :[15]

· Norma dasar Pancasila

· Peraturan dasar; batang tubuh Undang-undang Dasar 1945

· Ketetapan-ketetapan MPR

· Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, antaralain Kitab Undang-undang


Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
beberapa undang-undang yang didalamnya mencantumkan mengenai arus bolak-balik
perkara.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitanya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, antara lain :

· Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)

· Hasil-hasil karya ilmiah (makalah, tulisan di majalah hukum)

· Hasil-hasil Penelitian

· Pendapat-pendapat dari ahli Hukum Pidana

4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori
dan satuan urain dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kuantitatif, kualitatif dengan
menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang telah diperoleh ke
dalam bentuk penjelasan-penjelasan, Artinya probem yang ada dianalisis dan dipecahkan
berdasarkan teori dan peraturan yang ada serta dilengkapi analisis komparatif.

II. Data Sekunder

P-19

Lampiran : -

Perihal : Pengembalian berkas perkara untuk KEPADA YTH

Dilengkapi atas nama tersangka KAPOLRESTA


PALEMBANG

ROMI BIN M NUR DI-

PALEMBANG

Sehubungan dengan surat kami Nomor : B-569/ N.6.10/EPP.1/08/2011, tanggal 08


Agustus 2011 sesuai dengan Pasal 110 (2) (3) dan 138(2) KUHAP, bersama ini kami
kembalikan Berkas Perkara Pidana atas nama tersangka ROMI BIN M NUR Nomor :
BP/219/VII/2011 tanggal 30 juli 2011 yang kami terima tanggal 02 Agustus 2011 untuk
saudara lengkapi pada waktu 14 (empat belas hari) seterimanya berkas perkara ini, dengan
petunjuk-petunjuk sebagai berikut :

FORMIL

Pada pemeriksaan para saksi belum dibuatkan Berita Acara Penyumpahan Saksi

PETUNJUK

Guna menghindari ketidakhadiran saksi dalam memberikan keterangannya di muka


persidangan walaupun telah dipanggil secara patut, agar dibuatkan Berita Acara
Penyumpahan saksi untuk dibacakan keterangannya di muka persidangan.

MATERIL

1. Pada BAP MAHFI TRISNA BIN JAMIL pada point 07 menjelaskan bahwa Saksi
Mahfi Trisna Bin Jamil telah menyerahkan uang sebesar Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta
Rupiah ) dan telah dibuatkan dalam bentuk kuitansi tanda terima uang tersebut.

PETUNJUK

· Agar ditanyakan kembali kepada saksi Mahfi Trisna Bin Jamil bulti 1 (satu) lembar
kuitansi penyerahan uang Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tersebut dan terhadap 1
(satu) buah kuitansi tersebut dilakukan penyitaan dan dijadikan barang bukti guna
pembuktian di persidangan.

· Untuk memenuhi unsur pasal 378 KUHP dalam berkas perkara ini agar ditanyakan
kembali kepada saksi Mahfi Trisna Bin Jamil apa yang dilakukan oleh tersangka Romi Bin M
Nur sebagaimana terdapat dalam unsur “ secara melawan hukum, dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan” sehingga
saksi Mahfi Trisna Bin Jamil tergerak untuk melakukan sesuatu, ,menyerahkan sesuatu
sehingga terpenuhi unsur “ menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang”.

· Dan atau untuk memenuhi unsur pasal 372 KUHP agar ditanyakan kembali kepada
saksi Mahfi Trisna Bin Jamil apakah benar saksi Mahfi Trisna Bin Jamil telah memberikan
akte kepemilikan 3 kapling milik saksi Mahfi Trisna Bin Jamil dan uang sebesar Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) serta apa maksud dan tujuan memberikan, menitipkan
akta 3 kapling milik saksi Mahfi Trisna Bin Jamil dan uang sebesar Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) kepada tersangka Romi Bin M Nur sehingga terpenuhi unsur “ dengan
sengaja melawan hukum memiliki barang atau sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada padanya bukan karena kejahatan”

PETUNJUK

· Agar dimintakan kembali kepada saksi Mulkan, SH bukti asli akte nomor 18 tanggal
15 februari 2011 dengan luas tanah 400m2 yang dibuat oleh saksi Mulkan, SH. Sebagai dasar
saksi Mulkan, SH menerbitkan akte nomor 18 tanggal 15 februari 2011.

· Agar ditanyakan kepada saksi Mulkan, SH apakah perubahan akte nomor 18 tanggal
15 februari 2011 dengan luas tanah 400m2 diubah menjadi luas tanah 1040m tanpa
sepengetahuan saksi Mulkan, SH yang dilakukan oleh saksi Deti Zahara atas permintaan
Romi Bin M Nur dan Mahfi Trisna Bin Jamil sah, dapat dibenarkan dan legal.

· Apakh saksi Deti Zahara berwenang dalam perubahan luas akte tersebut.

· Agar terhadap saksi Deti Zahara dimintai keterangan sehubungan dengan perannya
dalam perkara tersebut.

2. Pada BAP Romi Bin M Nur pada point 6 menjelaskan bahwa tukar menukar tanah
tersebut tidak jadi dilaksanakan dikarenakan tanah tersebut bukan milik tersangka Romi Bin
M Nur lagi melainkan milik DEPA/ NARADEVA

PETUNJUK

· Agar ditanyakan kepada tersangka Romi Bin M Nur mengapa tersangka masih berani/
mau menjual tanah yang senyatanya dan diketahuinya tanah tersebut bukan milik tersangka
Romi Bin M Nur lagi melainkan milik orang lain.

· Agar dilakukan pembuktian mengenai kepemilikan sah objek tanah tersebut, apa dasar
hukum kepemilikan tanah tersebut.

· Agar dilakukan pemeriksaan terhadap saksi Depa/ Naradeva atas kepemilikan objek
tanah tersebut, sejak kapan tanah tersebut dimilikinya dan darimana saksi Depa/ Naradeva
memperolehnya.

· Terhadap tersangka Romi Bin M Nur agar ditanyakan apakah pernah membuat surat
pernyataan mengenai titipan uang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) serta apa
maksud dan tujuan surat tersebut.

· Dan terhadap akte 3 (tiga) kapling tanah tersebut milik saksi Mahfi Trisna Bin Jamil
yang berada ditangan/ penguasaan tersangka Romi Bin M Nur agar diminta dari tersangka
Romi Bin M Nur dan dilakukan penyitaan.
Setelah dilengkapi sesuai dengan petunjuk di atas agar segera disampaikan kembali kepada
kami untuk penyelesaian selanjutnya.

Demikian untuk dimaklumi.

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI PALEMBANG

SELAKU PENUNTUT UMUM

SUNARTA, SH, MH

JAKSA UTAMA PRATAMA NIP. 19640612 199103 1 001

TEMBUSAN:

1. YTH. KAJATI SUMSEL

2. YTH. KAPOLDA SUMSEL

3. ARSIP
P-18

Sifat : Biasa

Lampiran : -

Perihal : Hasil penyidikan atas nama Romi KEPADA YTH:

Bin M Nur yang disangka KAPOLRESTA PLG

melanggar pasal 378 atau 372 DI-

KUHP belum lengkap. PALEMBANG

Sehubungan penyerahan berkas perkara pidana atas nama tersangka ROMI BIN M
NUR Nomor : BP/219/VII/2011 tanggal 30 juli 2011 yang kami terima tanggal 02 agustus
2011 setelah kami lakukan penelitian sesuai dengan pasal 110 dan 138 (1) KUHAP, ternyata
hasil penyidikan belum lengkap.

Demikian untuk dimaklumi.

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI PALEMBANG

SELAKU PENUNTUT UMUM

SUNARTA, SH, MH

JAKSA UTAMA PRATAMA NIP. 19640612 199103 1 001

TEMBUSAN:

1. YTH. KAJATI SUMSEL

2. YTH. KAPOLDA SUMSEL


3. ARSIP

P-41

KEJAKSAAN NEGERI

PALEMBANG

Nomor : R-170/N.6.10/Ep.1/04/2011 KEPADA YTH

Sifat : Rahasia/ Segera KEPALA KEJAKSAAN

Lampiran :- TINGGI

Perihal : Rencana Tuntutan Tindak Pidana SUMATERA SELATAN

Perlindungan Anak Pasal 81 Ayat (2) UU RI DI-

No.23 Tahun 2002 atas nama terdakwa PALEMBANG

PUJIONO ALS FERY BINTI JAMINGUN

-----------------------------------------------------

Sehubungan dengan tahap pemeriksaan perkara Tindak Pidana Perlindungan Anak, atas nama
terdakwa PUJIONO FERY BINTY JAMINGUN, telah selesai pemeriksaannya di
Perseidangan Pegadilan Negeri Palembang, dengan ini dilaporkan sebagai berikut:

1. Perkara Tindak Pidana atas nama terdakwa:

Nama lengkap : PUJIONO ALS FERY BINTI JAMINGUN

Tempat lahir : Palembang

Umur/Tgl lahir : 27 Tahun/ 5 Desember 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. Brigjen Dr. H. Nusmir Lr. Rindu

Rt.42/06 No.3515 Kel. Sukabangun Kec. Sukarame Palembang

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA (Tidak Tamat)

2. Jaksa Penuntut Umum yang menangani : NINA LESTARINA, SH telah sampai pada
tahap tuntutan pidana (requisitoir), yang akan dibacakan hari Senin tanggal 02 Mei 2011.

3. Kasus Posisi

Bahwa ia terdakwa PUJIONO ALS FERY BIN JAMINGUN, pada hari yang tidak dapat
diingat lagi pada bulan juli, agustus dan bulan desember 2010 sekira pukul 12.00 Wib atau
setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam tahun 2010 bertempat di Jl. Sukawinatan
Palembang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah
Hukum Pengadilan Negeri Palembang, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaina
kebohongan, atau membujuk anak yaitu korban CHRISTINE NATHALIA BINTI FAUZI
SIPABOLA’AN yang berumur 16 (enam belas) tahun melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:

Terdakwa mengajak korban untuk bersetubuh, namun ditolak oleh korban, namun kemudian
terdakwa merayu korban dengan mengatakan bahwa terdakwa akan bertanggungjawab dan
akan menikahi korban apabila hamil nanti. Mendengar rayuan drai terdakwa lalu korban
bersedia menuruti kemauan terdakwa untuk bersetubuh. Kemudian terdakwa menidurkan
atau membaringkan tubuh korban di atas tempat tidur dan menarik atau menaikkan rok
(seragam sekolah) kea rah dada korban dan membuka celana dalam korban, lalu terdakwa
pun membuka celana panjang dan celana dalam terdakwa kemudian terdakwa menindih
badan korban selanjutnya terdakwa memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam lubang
vagina (alat kelamin korban) kemudian terdakwa menaik turunkan pantat terdakwa selama
kurang lebih 5(lima) menit, lalu dari alat kelamin terdakwa mengeluarkan air mani dan
terdakwa langsung menarik alat kelamin terdakwa dari vagina korban dan menumpahkan air
mani tersebut di atas perut korban dan dari vagina korban mengeluarkan darah. Akibat
perbuatan terdakwa tersebut, korban mengalami luka robek pada selaput darah sesuai dengan
Visum Et Repertum No. 440/08/Med.Rec/2011 dengan kesimpulan bahwa korban mengalami
selaput darah tidak utuh, tampak luka di jam lima, tujuh sampai dasar, tidak ada tanda-tanda
kekerasan. Perbuatan terdakwa sebagaimana di atur dan diancam pidana dalam pasal 81 Ayat
(2) UU RI No. 23 Tahun 2002 (Tentang Perlindungan Anak).

4. Penahanan terdakwa ditahan sejak tanggal 12 januari 2011 s/d sekarang

5. Pasal yang didakwakan : Ke satu Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 (Tentang
Perlindungan Anak). Atau kedua primair Pasal 287 Ayat (1) KUHP Subsidair Pasal 290 Ayat
(3) KUHP

6. Pasal dakwaan yang dapat dibuktikan : Ke satu Pasal 81 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun
2002 (Tentang Perlindungan Anak)

7. Ancaman Maksimal pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) atau denda paling
banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) paling sedikit Rp.60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah)
8. Barang bukti: 1 (satu) helai baju tangan pendek warna putih pada lengan kanannya
terdapat bed “ SMK Utama Bhakti Palembang” dan pada dada kanannya terdapat bed nama “
Cristine Nathalia” 1 (satu) helai rok wanita warna abu-abu.

9. Akibat yang ditimbulkan:

a. Kerugian Keuangan Negara Rp :-

b. Mati :-

c. Luka :-

d. Akibat lain :-

10. Hal-hal yang mempengaruhi tuntutan :

10.1.1 Hal-hal yang memberatkan:

Perbuatan terdakwa membuat keluarga korban menjadi malu terhadap lingkungan masyarakat
dan keluarga

10.1.2 Hal –hal yang meringankan:

- Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan

- Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya

11. Tolak ukur

12. 12. Rencana tuntutan pidana:

12.1 Usul Jaksa penuntut umum:

Pidana pokok : Pidana penjara selama 3 (tiga) tahun

dikurangi masa penahanan yang telah dijalani dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan

Pidana Tambahan : Denda Rp 60.000.000,- subsidair 6

(enam)

Bulan

Barang bukti : 1 (satu) helai baju tangan pendek warna

putih pada lengan kanannya terdapat bed “SMK Utama Bhakti Palembang” dan pada dada
kanannya terdapat bed nama “ Cristine Nathalia, 1 (satu) helai rok wanita warna abu-abu.
(Dirampas untuk dimusnahkan).

Biaya perkara : Rp 2.000 (Dua ribu rupiah)

12.2 Usul pendapat kepala Kejaksaan Negeri Palembang :


Pidana pokok : Pidana penjara selama 8 (delapan) tahun

dikurangi masa penahanan yang telah dijalani dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.

Pidana tambahan : Denda Rp 60.000.000,- subsidair 6

(enam)

Bulan.

Barang bukti : 1 (satu) helai baju tangan pendek warna

putih pada lengan kananya terdapat bed “SMK Utama Bhakti Palembang” dan pada dada
kanannya terdapat bed nama “Christine Nathalia, 1 (satu) helai rok wanita warna abu-abu.
(Dirampas untuk dimusnahkan).

Biaya perkara : Rp 2.000,- (Dua ribu rupiah)

12.3 Usul pendapat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan:

……………………………………………………………

…………………………………………………………

Demikian untuk maklum dan mohon petunjuk.

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI PALEMBANG

H. YUSPAR, SH.,MH

JAKSA UTAMA PRATAMA NIP.196106281983111001


Tembusan :

1. Yth. Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan

2. Yth. Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan

3. Yth. Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan

4. Arsip ………………………………………………………….

III. Pembahasan

A. Kejaksaan RI dalam Paradigma Hukum[16]

Dalam mengkaji kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam pespektif ajaran/paradigma hukum,
penting terlebih dahulu memahami apa tujuan hukum. Dapat dipastikan bahwa pada
hakikatnya eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk
mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi
pencari keadilan (masyarakat).
Apa yang menajdi tujuan hukum dapat dilihat dari berbagai ajaran/paradigma hukum yang
berkembang sepanjang sejarah hukum, misalnya : paradigma hukum alam, paradigma hukum
historis, paradigma hukum positif, utilititarianisme, paradigma hukum sosoiologis, paradigma
hukum realis-pragmatis.

Jika direduksi, tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban. Tujuan ini sejalan
dengan fungsi utama hukum yaitu untuk mengatur. Ketertiban merupakan syarat mendasar
yang sangat dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan
masyarakat manusia yang nyata dan objektif.[17]

Para pengganut paradigma hukum positif menyatakan bahwa tujuan hukum adalah “kepastian
hukum”[18]. Aliran ini menganggap ketertiban atau keteraturan tidak mungkin terwujud
tanpa pola prilaku yang pasti.

Berkaitan dengan pemikiran diatas, dalam tatanan hukum positif, telah diketahui dan
dipahawi bahwa kejaksaan dalam kedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan adalah satu dan tidak terpisahkan
dalam melakukan penuntutan.[19] Sedangkan fungsi kejaksaan, disamping melaksanakan
fungsi kekuasaan yudikatif yaitu melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dalam penegakan hukum dan keadilan, juga melakukan fungsi-fungsi yidikatif lain yang
diberikan oleh undang-undang.

Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif dalam bidang kepidanaan
serta pengacara neagra dalam keperdataan dan tata usaha negara. Fungsi preventif berupa
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum,
pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan
penyalahgunaan dan.atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal. Dalam pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
melkukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas
perkara tertentu yang berasal dari penyidik Polri dan penyidik PNS.[20]

Hakikat deskripsi di atas memperlihatkan bahwa kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam
proses penegakan hukum mengacu pada beberapa tujuan hukum di atas yang dikonkretkan
dalam hukum positif. Kejaksaan menjadi suatu badan yang berorintasi pada pencapaian
tujuan hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun p-emerinta sendiri, yaitu
kepastian hukum, keadilan, dan kesejahtraan bagi masyarakat hukum.[21] Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum berorientasi
pada pencapain tujuan hukum, keadilan, dan kesejahtraan yang berada dalam tataran atau
ruang lingkup paradigma hukum positif, paradigma hukum alam, dan paradigma hukum
utilititarianisme. Ketiga tujuan hukum tersebut menurut B. Arief Sidharta[22] merupakan cita
hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam pancasila, yang dinyatakan di dalam Alinea
Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menjadi landasan falsafah dalam menata kerangka dan
struktur dasar organisasi negara. Cita hukum tersebut mencerminkan tujuan negara serta
nilai-nilai dasar yang tercantum dalam UUD 1945. Berlandasakan pada cita hukum di atas,
seharusnya Undang-undang Kejakasaan RI di masa depan adalah sebagai subordinat dari
UUD 1945 dan harus mencerminkan ketiga tujuan hukum tersebut. Dalam pengertian lain,
ketiga tujuan hukum tersebut, menurut Sudarto, masing-masing ditemoatkan ke dalam ajaran
hukum sebagai pandangan legalisme yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan
fungsionil yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil yang menitik beratkan
pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis yang menitikberatkan pada kapastian hukum.

B. Kedudukan Kejaksaan[23]

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1991 memuat ketentuan sebagai berikut :

“ Kejaksaan Republik Indonesia, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan


adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan “.

Pada rumusan Pasal 2 Undang-undang No. 16 Tahun 2004, ditambahi : “serta kewenangan
lain berdasarkan undang-undang”. Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat diketahui
bahwa kejaksaan adalah :

- Lembaga pemerintah. Dengan demikian, kejaksaan termasuk eksekutif, bukan


legislatif, dan bukan yudikatif.

- Melaksanakan kekuasaan negara; dengan demikian maka Kejaksaan merupakan


aparatur negara.

Berdasarkan Urain di atas, dapat dikatakan bahwa Undang-undang No. 16 Tahun 2004
menempatkan Kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, kejaksaan dituntut
menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain, kejaksaan dipasung
karena kedudukan berada dibawah kekuasaan eksekutif. Disinilah antara lain letak kelemahan
pengaturan undang-undang ini. Apabila pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk
mengakkan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila kejaksaan tetap
berada di lingkungan eksekutif, asalkan kejaksaan diberdayakan dengan diberikan
kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun proporsional. Apabila pemerintah
tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu
institusi penegak hukum, didudukan sebagai badan negara yang mandiri dan independen,
bukan menjadi lembaga pemerintahan,yang tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif,
maupun di bawah kekuasaan lainya, sehingga kejaksaan bersifat independen dan merdeka,
dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.

Hal-hal diatas perlu dipahami untuk mengetahui kedudukan kejaksaan baik dalam
pemerintahan maupun selaku perngemban tugas negara. Itulah sebabnya Pimpinan Kejaksaan
Agung yakni Jaksa Agung tidak termasuk anggota kabinet karena Jaksa Agung bukan
menteri tetapi kedudukanya disamakan dengan Menteri. Jaksa Agung merupakan pembantu
Presiden selaku Kepala Pemerintahan melainkan Presiden selaku kepala negara. Pada negara-
negara yang menganut demokrasi parlementer, jika Kabinet mendapat mosi tak percaya dari
parlemen maka kabinet tersebut akan bubar dalam dan dalam situasi belum terbentuk kabinet
baru, maka kabinet tersebut “domisioner”. Karena Jaksa Agung tidak termasuk anggota
kabinet, maka Jaksa Agung tidak dapat didomesionerkan, tetapi tidak berarti bahwa tidak
dapat diganti. Selaku pembantu Kepala Negara, tentu jika Kepala Negara bekeinginan untuk
mengganti Jaksa Agung, hal tersebut dapat dilakukan.
C. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI

Komperasi pengaturan menggenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara normatif dapat
dilihat dalam berberap ketentuan undang-undang menggenai kejaksaan, sebagaimana yang
hendak diketengahkan di bawah ini. Ditegaskan dalam Undang-undang No. 16 tahun 2004,
Pasal 30 :

(1). Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;[24]

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh


kekuatan hukum tetap;[25]

c. Melakuan pengawasan terhdap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana


pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;[26]

d. Melakuan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan
penyidik.[27]

(2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelengarakan
kegiatan :

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengamanan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Selanjutnya, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta
keapda hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan
jiwa, atau berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain,
lingkungan, atau dirinya sendiri.

Lalu, Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang
tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainya.[28] Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa
kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum keapda instansi
pemerintahan lainya.

D. Penuntut Umum[29]

KUHAP memberi urain pengertian Jaksa dan Penuntut umum pada Pasal 1 butir 6a dan b
serta Pasal 13. Ditegaskan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a). Penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
mealksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13). Rumusan pengertian ini
ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan RI.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Dalam
melakukan tugas penuntutan. Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dengan keyakinan
berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan alat bukti
yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuahnan Yang Maha Esa. Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan
mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1991 telah diatur berkaitan dengan Jaksa. Misalnya
syarat-syarat dapat diangkat menjadi jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi yang melaksanakan tugas
penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penutut
Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatanya
adalah jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus jaksa
disebut Kejaksaan.

E. Prapenuntutan[30]

Prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tidak diatur dalam bab tersendiri tetapi terdapat didalam bab penyidikan dan bab penuntutan
yakni pada Pasal 109 dan Pasal 138 KUHAP. Lembaga prapenuntutan ini bersifat mutlak,
karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses
prapenuntutan, sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
penuntut umum.

Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri yakni Pengembalian berkas perkara dari penuntut
umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut
ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. Penyidikan dianggap telah
selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan
berkas perkara. Sedangkan pengertian dari tingkat prapenuntutan, yakni antara dimulainya
Penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik. Prapenuntutan merupakan tindakan jaksa untuk memantau perkembangan
penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari
penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi penyidik untuk dapat menentukan
apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Proses berlangsungnya prapenuntutan dilaksanakan baik oleh penyidik maupun penuntut


umum berdasarkan ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 138 ayat (1) dan ayat
(2) KUHAP, antara lain sebagai berikut :

Penuntut umum setelah menerima pelimpahan berkas perkara wajib memberitahukan lengkap
tidaknya berkas perkara tersebut kepada penyidik. Apabila hasil penelitian terhadap berkas
perkara hasil penyidikan penyidik belum lengkap maka penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk paling lama 14 (empat belas) hari terhitung
berkas perkara diterirna oleh penuntut umum. Penyidik yang tidak melaksanakan petunjuk
untuk melengkapi berkas perkara maka proses kelengkapan berkas perkara tersebut menjadi
bolak-balik.

Dalam pelaksanaannya, proses prapenuntutan selain dapat menghindari rekayasa penyidikan


juga dapat mempercepat penyelesaian penyidikan serta menghindari terjadinya arus bolak-
balik perkara. Proses prapenuntutan selain dapat menghilangkan kewenangan penyidikan
oleh penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum juga dalam melakukan pemeriksaan
tambahan bilamana penyidik Polri menyatakan telah melaksanakan petunjuk penuntut umum
secara optimal namun penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan secara
menyeluruh artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan tambahan terhadap
saksi-saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan
keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari
kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan. Dalam pengertian
prapenuntutan juga terdapat istilah penyidikan, hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP,
yang menyebutkan bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (KUHAP) untuk mencari dan
mengumpulkan bukti yangmana dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan dilakukan oleh pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang, hal ini disebutkan di dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP.

Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP,
penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Hal ini
untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Berkas perkara diterima
oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut. Bila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka
Jaksa atau Penuntut Umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi. Jika
Jaksa atau Penuntut Umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera
dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses
Penuntutan. Definisi dari Penuntutan itu sendiri yakni tindakan Penuntut Umum (PU) untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim dalam persidangan.

Didalam Pasal 30 ayat (1) butir e UU kejaksaan dapat diadakn sedikit perubahan
dimanadisebutkan“melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanannya
dikoordinasi denganpenyidik” Terdapat dua batasan didalam hal ini yaitu:Berkas perkara
tertentuDalam pelaksanannya dikoordinasikan dengan penyidik.Maksud didalam hal ini
adalah untuk melengkapi berkas perkara dibutuhkanpemerikasaan tambahan sebagai
berikut:Tidak dilakukan terhadap tersangkaHanya terdapat perkara perkara yang sulit
pembuktiannya dan atau dapat meresahkanmasyarakat dan atau yang dapat membahayakan
keselmatan negaraHarus dapat diselesaikan dalam waktu 14 bhari setelah dilaksanakan
ketentuan pasal110 dan pasal 138(2) KUHAP.

Bertolak dari hal tersebut, jika kita perhatika ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan “ Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus
dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut
umum”.

Ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ternyata terdapat kelemahan yang cukup fatal yakni
berkaitan dengan pengembalian berkas perkara untuk kedua kalinya dari penuntut umum
karena hanya di atur mengenai pengembalian berkas perkara yang pertama yaitu penyidik
dalam jangka waktu 14 hari harus mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum
yang sebelumnya dinyatakan belum lengkap melalui P-18 diserta petunjuk dalam P-19 yang
jika dilihat pada Kejaksaan Negeri Pelembang pengembalian berkas perkara untuk
keduakalinya sering terjadi karena ketidakmampuan penydidik dalam mengartikulasi
petunjuk penuntut umum, akan tetapi jika dalam hal pengembalian berkas perkara dalam
jangka waktu 14 hari tersebut juga belum lengkap maka Pasal 138 ayat (2) KUHAP tidak
mengaturnya lebih lanjut, hal inilah yang akan menciderai daripada asas peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana adalah hukum acara yang mudah
dipahami dan tidak berbela-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan
berjalan dengan waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya perkara juga menjadi
ringan.

Asas tersebut akan menjadi termarginalkan jika terjadi arus bolak-balik perkara untuk kedua
kali dan seterunya karena tidak ada ketentuan batas waktu tertentu dalam KUHAP bagi
penyidik untuk mengembalikan berkas tersebut kepada penuntut umum, Namun hal itu
menurut Kasubsi Prapenuntutan Kejaksaan Negeri Pelembang Arif Syafrianto[31], Penuntut
Umum dapat membuat Surat Biasa yang ditujukan Kepada instansi penyidik terkait untuk
sesegera mungkin mengembalikan berkas perkara yang di perintahkan untuk dilengkapi
bedasarkan Anjuran dari Jaksa Agung Muda Bagian Pengawasan dan satu catatan penting
bahwa penuntut umum dalam memberikan petunjuk haruslah bersifat tetap dalam arti antara
petunjuk dalam pengembalian berkas pertama harus sama dengan pengembalian berkas
perkara untuk kedua kalinya dan seterusnya agar tidak terjadi kerancuan bagi penyidik.

Prosedur prapenuntutan

Penyidik siapkan

BAP

Limpahkan BAP

penyidik

ke Penuntut umum

Penuntut umum

Waktu 7 hari diteliti

14 hari pemberitahuan
Beritahu penyidik

Apakah hasil penyidikan

Sudah lengkap atau belum

Lengkap Belum

Segera terima tanggung Kembalikan berkas ke

Jawab atas barang bukti penyidik disertai petunjuk

Dan tersangka

Penyidik lakukan penyidikan

Tambahan

Penuntutan Sudah lengkap

F. Rencana Tuntutan
SURAT EDARAN

NOMOR: SE- 003/A/JA/02/2009

TENTANG

PENGENDALIAN RENCANA TUNTUTAN PIDANA

PERKARA PENTING TINDAK PIDANA UMUM

Menindak lanjuti hasil Rapat Kerja Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2008 dalam
rangka reformasi birokrasi Kejaksaan, antara lain telah menyepakati perlu adanya
penyesuaian kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak
pidana umum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Ri Nomor
: SE-003/A/JA/09/2007 tanggal 27 september 2007 tentang Perkara Penting Tindak Pidana
Umum Lainnya, dipandang perlu untuk untuk menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung RI
tentang pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak pidana umum.

Berkenaan dengan hal tersebut, bersama ini kami sampakan petunjuk pendelegasian
kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting sebagai berikut:

1. Perkara Narkotika

a. Perkara narkotika dengan barang bukti dengan jumlah di bawah 100 gram,
pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri.

b. Perkara narkotika dengan barang bukti antara 100 s/d 1000 gram, pengendalian rencana
tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi,

c. Perkara narkotika dengan barang bukti di atas 1000 gram (1kg), pengendalian rencana
tuntutan pidana dilakukan oleh Kejaksaan Agung oq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum.

2. Perkara psikotropika

a. Pengendalian rencana tuntutan pidana perkara psikotropika Golongan I dan II untuk


barang bukti dalam bentuk tablet/pil:

- Perkara psikotropika dengan barang bukti tablet/pil dengan jumlah di bawah 50 (lima
puluh) butir, pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri

- Perkara psikotropika dengan barang bukti tablet/pil dengan jumlah antara 50 (lima
puluh) butir s/d 100 (seratus) butir, pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh
Kepala Kejaksaan Tinggi.
- Perkara psikotropika dengan barang bukti tablet/pil dengan jumlah di atas 100
(seratus) butir atau produsen psikotropika, pengendalian penuntutan dilakukan oleh Jaksa
Agung RI oq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

b. Pengendalian rencana tuntutan pidana perkara psikotropika Golongan I dan II untuk


barang bukti dalam bentuk serbuk/Kristal:

- Perkara psikotropika dengan barang bukti dalam bentuk serbuk/ Kristal dengan jumlah
di bawah 10 (sepuluh) gram, pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan Negeri

- Perkara psikotropika dengan barang bukti dalam bentuk serbuk/Kristal dengan jumlah
antara 10 (sepuluh) gram s/d 50 (lima puluh) gram, pengendalian rencana tuntutan pidana
dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi

- Perkara psikotropika dengan barang bukti dalam bentuk serbuk dengan jumlah di atas
50 (lima puluh) gram, pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Jaksa Agung oq.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

c. Pengendalian rencana tuntutan pidana perkara psikotropika Golongan III dan IV


dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri.

3. Perkara minyak dan gas bumi

a. Tindak Pidana MIGAS/ Penyimpangan Distribusi BBM jenis Minyak Tanah, Solar,
Premium atau BBM jenis lainnya, dengan barang bukti di bawah 1000 (seribu) liter,
pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri

b. Tindak Pidana MIGAS/ Penyimpangan Distribusi BBM jenis Minyak Tanah, Solar,
Premium atau BBM jenis lainnya, dengan barang bukti antara 1000 s/d 5000 (lima ribu) liter,
pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi

c. Tindak Pidana MIGAS. Penyimpangan Distribusi BBM jenis Minyak Tanah, Solar,
Premimum atau BBM jenis lainnya, dengan barang bukti lebih dari 5000 (lima ribu) liter,
penegndalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Jaksa Agung oq. Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum

4. Perkara Kehutanan

a. Perkara tindak pidana kehutanan dengan barang bukti kayu sampai dengan 25 M3 (dua
puluh lima meter kubik), pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan Negeri.

b. Perkara tindak pidana kehutanan dengan barang bukti kayu antara 25 M3 (dua puluh
lima meter kubik) s/d 50M3 (lima puluh meter kubik), pengendalian rencana tuntutan pidana
dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi.
c. Perkara tindak pidana kehutanan dengan barang bukti kayu lebih dari 50 M3 (lima
puluh meter kubik), pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Jaksa Agung oq.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

5. Perkara Hak Kekayaan Intelektual

a. Tindak pidana hak kekayaan intelektual berupa pembajakan CD/VCD/DVD/MIDI,


dengan barang bukti di bawah 5000 (lima ribu) keeping, pengendalian rencana tuntutan
pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri

b. Tindak pidana hak kekayaan intelektual berupa pembajakan CD/VCD/DVD/MIDI,


dengan barang bukti antara 5000 (lima ribu) s/d 10.000 (sepuluh ribu) keeping, pengendalian
rencana tuntutan pidana dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi

c. Tindak pidana hak kekayaan intelektual berupa pembajakan CD/VCD/DVD/MIDI,


dengan barang bukti lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) keeping atau tindak pidana pembajakan
yang dilakukan oleh Produsen Pabrikan, pengendalian rencana tuntutan pidana dilakukan
oleh Jaksa Agung oq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum

Pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak pidana umum lainnya yang
tidak diatur dalam Surat Edaran ini dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, namun bila
dipandang perlu, terhadap perkara penting tertentu yang menarik perhatian, pengendalian
rencana tuntutan pidananya dapat diambil alih oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
secara tertulis.

Penanganan perkara penting tindak pidana umum, baik yang pengendalian penuntutannya
merupakan kewenangan Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi mupun Kejaksaan Negeri, agar
dilaporkan secara berjenjang kepada Jaksa Agung oq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum, dengan berpedoman kepada:

1. Instruksi Jaksa Agung RI Nomor: IS-004/JA/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 tentang


Pengendalian perkara penting tindak pidana umum

2. Surat JAM PIDUM Nomor: R-05/E/ES/2/1995 tanggal 6 Februari 1995 perihal:


pelaporan pengendalian perkara penting tindak pidana umum dan

3. Surat JAM PIDUM Nomor: B-16/E/Ejp/03/2002 tanggal 11 Maret 2002, perihal:


pengendalian perkara penting tindak pidana umum.

Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

JAKSA AGUNG

REPUBLIK INDONESIA
HENDARMAN SUPANDJI

IV. Penutup

A. Kesimpulan

1. Bahwa terdapat kelemahan dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP yang hanya mengatur
mengenai jangka waktu pengembalian berkas perkara yang dinyatakan belum lengkap oleh
penuntut umum melalui P-18 disertai petunjuk melalui P-19 yakni dalam jangka waktu 14
hariakan tetapi tidak diatur lebih lanjut mengenai batas waktu jika berkas perkara yang telah
dilengkapi oleh penyidik dinyatakan kembali belum lengak oleh penuntut umum maka tidak
ada ketentuan mengenai batas waktu kapan penyidik harus mengembalikan beras perkara
tersebut kepada penuntut umum.

2. Bahwa asas dalam hukum acara yakni peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan terciderai oleh tidak adanya batas waktu pengembalian berkas oleh penyidik
kepada penuntut umum jika berkas tersebut diperintahkan dilengkapi untuk keduakalinya dan
seterusnya.

3. Bahwa dalam hal rencana tuntutan telah diatur melalui SURAT EDARAN NOMOR:
SE- 003/A/JA/02/2009 TENTANG PENGENDALIAN RENCANA TUNTUTAN PIDANA
PERKARA PENTING TINDAK PIDANA UMUM.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2010. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung PT. Citra Aditya Bakti.

Rifai, Ahmad,2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.

Jakarta. Sinar Grafika

Arief, Barda Nawawi, 2010. Kebijakan Hukum Pidana. Semarang. Kencana Prenada Media
Group.

Sunggono, Bambang, 2010. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta .PT Raja Grafindo

Persada.

Soedirdjo .1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta . Akademika Pressindo.

Marpaung, Leden, 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan &


Penyidikan).Jakarta . Sinar Grafika.

Marpaung, Leden, 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.

Effendy, Marwan, 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta.

PT Gramedia Pustaka Utama.

Ashshofa, Burhan, 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.

Harahap, Zairin, 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.

Pettanase, Syarifuddin, 1997. Hukum Acara Pidana. Indralaya. Universitas Sriwijaya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) .

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

[1] Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 99.

[2] H. Riduan Syahrini, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Adhitya Bakti, Bandung,
1999, hal. 169.

[3] L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York, Russel Sage
Foundation, 1975, hal. 11

[4] RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara dan Kedudukan, Sinar
Grafika, Semarang, hal. 35.

[5] M. Yahya Harahap, Pembahan Permasalahan dan Penerapan KUHP , Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 335.

[6] M. Yahya Harahap, Pembahan Permasalahan dan Penerapan KUHP Jilid I , Pustaka
Kartini, Jakarta, hal. 375

[7] Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta, 1999, hal. 23

[8] M. Yahya Harahap, Loc.Cit

[9] Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, Edisi III,
Cetakan VII, 1996, hal. 4. Menurut Noeng Muhadjir, Metodelogi Penelitian membahas
konsep teoritik berbagai metode, kelebihan dan kelemahanya, yang dalam karya ilmiah
dilanjutkan dengan pemilihan metode yang dilakukan, sedangkan metode penelitian
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitanya.

[10] Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 9.

[11] Ronny Hantijo Soemitro, Perbandingan antara Penelitian Hukum Normatif dan
Penemuan Hukum Empires, Masalah-masalah hukum, UNDIP No. 9, Semarang, 1991, hal. 4.

[12] Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1979.

[13]Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta,
1985, hal. 5.
[14] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986,
hal. 12.

[15] Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Op. Cit., hal. 11.

[16] Marwan Effendy, Ibid, hal. 151.

[17] Mohctar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan


Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hlm. 2-3.

[18] Menurut teori etis, hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini
pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica
Nicomachea” dan “Rhetorica”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci yaitu
memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Sedangkan Menurut teori
utilities, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum
bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya, teori ini diajarkan oleh
Jeremy Bentham (tahun 1748-1832).

[19] Lihat UU No. 5 Tahun 1991 dan UU No. 16 Tahun 2004. Kemudian, Kedudukan dan
fungsi kejaksaan hanya tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, dalam Pasal 24 ayat
(3) dan dalam Pasal II aturan Peralihan UUD 1945.

[20] Lihat Undang-undang No. 5 Tahun 1991, Pasal 27 dan Pasal 29 dan UU No. 16 Tahun
2004, Pasal 30-34.

[21] Masyarakat hukum merupakan himpunan kesatuan hukum, baik individu ataupun
kelompok yang strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing. Lili Rasyidi dan I.B.
Wyasa Putra, Hukum sebagai Sistem, Bandung, 2003, hlm. 181.

[22] B. Arief Sidharta, Citra Hukum Pancasila, Lembaran Diktat Kuliah, Pascasarjana
UNPAD, Bandung, 2003, hlm. 1-2.

[23] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Penyelidikan dan Penyidikan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 191-192.

[24] Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Huruf a dijelaskan bahwa dalam melakukan
penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa
untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang diterima dari penyidik serta meemberikan petunjuk guna dlengkapi oleh
penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau
tidak ketahap penuntutan.

[25] Penjelasan Pasal 30 ayat 1 Huruf b menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan
pengadilan dan penetapan Hakim, Kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat dan peri kemanusaiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan
ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga
melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan
pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual
lelang.

[26] Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Huruf c bahwa yang dimaksud dengan “Keputusan
Lepas Bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Mneteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang permasyarakatan.

[27] Hubungan kerja sama ini dlakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara
berkala dan berkesinambungan secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap
menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama antara Kejaksaan dan
instansi penegak hukum lainya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum
sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak
dalam penyelesain perkara.

[28] Penjelasan Pasal 33 menyatakan : adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara
terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina
kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam
suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan yang terpadu.

[29] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ketiga
2008, hal. 56-57.

[30] Mahawisnu Tridaya Alam, Prapenuntutan, Artikel Hukum, Tanya Hukum.online, di


akses pada tanggal 11 Agustus 2001.

[31] Hasi wawancara langsung dengan Kasubsi Prapenuntutan Kejaksaan Negeri Palembang,
Arif Syafrianto, Tanggal 10 Agustus 2001 jam 09.00 WIB di ruang kerjanya.

Anda mungkin juga menyukai