SEMESTER : V (LIMA)
TAHUN 2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan mahasiswa hukum, dirasa perlu
untuk melengkapi kurikulumnya dengan berbagai keterampilan keahlian praktis guna
menunjang kemampuan teoritis yang dimiliki. Salah satu bentuk kegiatan praktek
yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Serasan (STIH) Muara Enim dalam
format kurikulumnya terakomodasi dalam kegiatan KKL (Kuliah Kerja Lapangan).
Kegiatan KKL tahun ini dilaksanakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
(STIH) Serasan Muara Enim pada tanggal 3-8 Februari 2020, salah satunya ke
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Pemilihan tempat tersebut didasarkan pada
keinginan untuk menyelaraskan pengetahuan mahasiswa yang diterima di lingkungan
kampus terhadap kedudukan sentralnya sehubungan dengan penegakan hukum di
Indonesia mengarahkan kita pada suatu pemahaman mengenai pentingya keberadaan
kejaksaan sebagai salah satu subsistem dari suatu sistem hukum. Oleh karena itu,
sebelum lebih jauh membahas kedudukan sentral kejaksaan dalam penegakan
hukum, berikut ini akan dibahas dahulu pengertian sistem hukum.
2
Terlepas dari itu semua, hal tepenting bagi suatu proses sistem adalah
kesinambungan potensi dan fungsi masing-masing komponenya. Kerusakan salah
satu komponen dapat merusak kesinambungan global, dan juga karenanya akan
berpengaruh terhadap perwujudan tujuan sisitem itu. Hakikat dari suatu
pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap komponen-komponenya.
Apabila jaksa telah menerima dan meneliti berkas dari penyidik dan apabila
jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan ini belum lengkap dan sempurna,
sekiranya masih ada yang perlu diperbaiki berita acaranya, maka jaksa akan
mengirimkan kembalik kepada penyidik berkas yang bersangkutan dengan sebuah
nota dan petunjuk-petunjuk perbaikan. Misalnya, tidak dilampirkan visum et
repertum, alat bukti untuk melakukan tindak pidana tidak disertakan, atau salah satu
unsur tindak pidana kurang jelas dan mendalam dalam penyidikan atau juga surat
perintah penahan, penangkapan, dan pengeledahan tidak dilampirkan sedangkan
dalam berkas hal itu dilakukan oleh penyidik. Itu sebabnya, seandainya penuntut
umum berpendapat pemeriksaan belum sempurna dan belum dapat diajukan ke muka
persidangan, berkas dikembalikan kepada penyidik untuk menambah dan
menyempurnakan penyidikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut
umum.
3
Hal ini membawa konsekuaensi logis, yaitu merupakan kewajiban mutlak bagi
penuntut umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setiap pemeriksaan yang
dilakukan penyidik dalam hal seseorang disangka melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk menghasilkan hasil yang maksimal dalam penuntutan. Oleh karena itu,
apabila penyidik berpendapat bahwa pemeriksaan penyidikan telah selesai dan
sempurna, secepatnya harus segera mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan
kepada penuntut umum. Akan tetapi di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik
haruslah menyesuaikan pemberkasan perkara dengan ketentuan pasal undang-undang
yang mengariskan pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang
ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP.
Akan tetapi banyak juga terdapat berkas perkara yang dalam praktinya
mengalami pemeriksaan yang bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum yang
akan memperlambat proses peradilan. Kekurangsempurnaan pemeriksaan dan
pengembalian berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan akan membawa
akibat yang kurang baik bagi nama instansi penyidik sendiri, karena dalam konteks
hubungan penyidik dan penuntut umum beda penafsiran yang sering terjadi diantara
mereka yang berakibat seringkali terjadinya bolak-balik berkas perkara sehingga
asumsi yang timbul dalam masyarakat bahwa terjadi miss komunikasi antara dua
instansi tersebut.
Oleh karena itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas perkara oleh pihak
penuntut umum kepada penyidik akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat
4
kepada instansi penyidik. Hal inilah yang sebenarnya bertentangan dengan
kepentingan tersangka serta berlawanan dengan prinsip peradilan yang cepat, tepat,
dan biaya ringan.
Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka team
penulis tertarik untuk mengkaji secara normatif mengenai permasalahan yang terjadi
disekitar proses prapenuntutan terkhusus masalah bolak balik berkas perkara dari
penuntut umum dengan pihak penyidik.
B. Identifikasi Masalah
1. apakah kami bisa langsung menyampaikan kepada ibu atau kejamwas serta
komisi kejaksaan, bila menemukan Adanya pelanggaran kode etik oleh jaksa
didaerah sebagaimana yang diatur dalam peraturan jaksa agung (Perja)
Nomor 14 Tahun 2012 tentang kode etik jaksa atau kode etik perilaku jaksa
dalam lingkungan kejaksaan negeri ?
2. bagaimana jika kerugian negara telah dikembalikan seorang koruptor apakah
kasus tersebut masih berlanjut atau dihentikan ?
3. Bagaimana mekanisme membuat rencana tuntutan yang di buat oleh penuntut
umum dalam berbagai jenis perkara ?
C. Metode Penelitian
5
Dalam Penelitian ini, team penulis ingin melakukan tinjaun terhadap
permasalahan diskitar KUHAP yang mengatur masalah mengenai
pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik.
2. Metode Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga
dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum sosiologis/empires
terutama meneliti data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
masyarakat.[10]
Mengingat permasalahan dalam penelitian difokuskan pada tahap
prapenuntutan yakni mengenai bolak-balik arus perkara, maka pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif yang bertumpu pada data
sekunder. Pendekatan terhadap hukum dengan menggunakan metode
normatif dilakukan dengan cara mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan
hukum sebagai norma kaidah, peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada suatu negara tertentu yang berdaulat. Penelitian terhadap hukum dengan
pendekatan demikian merupakan penelitian hukum yang normatif atau
penelitian hukum yang doktrinal.[11]
Pendekatan yuridis komparatif diperlukan dalam melihat norma-norma yang
menyangkut mengenai pengaturan pra penuntutan serta pengaturan
pengtembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik. Hal ini
berkaitan dengan pula dengan usaha-usaha pembaharuan hukum pidana,
Khususnya KUHAP. Dalam hal ini, perbandingan hukum penting untuk lebih
mempertajam dan mengarahkan proses penelitian.[12]
D. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI
6
Komperasi pengaturan menggenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara
normatif dapat dilihat dalam berberap ketentuan undang-undang menggenai
7
kejaksaan, sebagaimana yang hendak diketengahkan di bawah ini. Ditegaskan dalam
Undang-undang No. 16 tahun 2004, Pasal 30 :
a. Melakukan penuntutan;
(2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
8
Selanjutnya, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat
meminta keapda hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau
tempat perawatan jiwa, atau berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
D. Penuntut Umum
KUHAP memberi urain pengertian Jaksa dan Penuntut umum pada Pasal 1 butir 6a
dan b serta Pasal 13. Ditegaskan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a).
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan mealksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal
13). Rumusan pengertian ini ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir 1 dan 2
Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
Dalam melakukan tugas penuntutan. Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara,
dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan
Ketuahnan Yang Maha Esa. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangya, Jaksa
senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan hukum dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1991 telah diatur berkaitan dengan Jaksa.
Misalnya syarat-syarat dapat diangkat menjadi jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi yang
9
melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah
yang sah itu disebut Penutut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan,
maka yang bersangkutan jabatanya adalah jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum
maka yang bersangkutan harus berstatus jaksa disebut Kejaksaan.
E. Prapenuntutan
Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri yakni Pengembalian berkas perkara dari
penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya.
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari
penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara. Sedangkan pengertian dari
tingkat prapenuntutan, yakni antara dimulainya Penuntutan dalam arti sempit
(perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Prapenuntutan merupakan tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan
setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik, mempelajari
atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari
penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi penyidik untuk dapat
menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap
penuntutan.
10
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk paling lama
14 (empat belas) hari terhitung berkas perkara diterirna oleh penuntut umum.
Penyidik yang tidak melaksanakan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara maka
proses kelengkapan berkas perkara tersebut menjadi bolak-balik.
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP,
penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Berkas
perkara diterima oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti
kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut. Bila terdapat kekurangan baik
secara formil maupun materiil maka Jaksa atau Penuntut Umum segera
11
memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi. Jika Jaksa atau Penuntut Umum
menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera dilimpahkan ke
pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses
Penuntutan. Definisi dari Penuntutan itu sendiri yakni tindakan Penuntut Umum (PU)
untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan.
Didalam Pasal 30 ayat (1) butir e UU kejaksaan dapat diadakn sedikit perubahan
dimanadisebutkan“melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanannya dikoordinasi denganpenyidik” Terdapat dua batasan didalam hal ini
yaitu:Berkas perkara tertentuDalam pelaksanannya dikoordinasikan dengan
penyidik.Maksud didalam hal ini adalah untuk melengkapi berkas perkara
dibutuhkanpemerikasaan tambahan sebagai berikut:Tidak dilakukan terhadap
tersangkaHanya terdapat perkara perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat
meresahkanmasyarakat dan atau yang dapat membahayakan keselmatan negaraHarus
dapat diselesaikan dalam waktu 14 bhari setelah dilaksanakan ketentuan pasal110
dan pasal 138(2) KUHAP.
Bertolak dari hal tersebut, jika kita perhatika ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP
yang menyatakan “ Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak
tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara itu kepada penuntut umum”.
Ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ternyata terdapat kelemahan yang cukup fatal
yakni berkaitan dengan pengembalian berkas perkara untuk kedua kalinya dari
penuntut umum karena hanya di atur mengenai pengembalian berkas perkara yang
pertama yaitu penyidik dalam jangka waktu 14 hari harus mengembalikan berkas
perkara kepada penuntut umum yang sebelumnya dinyatakan belum lengkap melalui
P-18 diserta petunjuk dalam P-19 yang jika dilihat pada Kejaksaan Negeri
Pelembang pengembalian berkas perkara untuk keduakalinya sering terjadi karena
ketidakmampuan penydidik dalam mengartikulasi petunjuk penuntut umum, akan
12
tetapi jika dalam hal pengembalian berkas perkara dalam jangka waktu 14 hari
tersebut juga belum lengkap maka Pasal 138 ayat (2) KUHAP tidak mengaturnya
lebih lanjut, hal inilah yang akan menciderai daripada asas peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana adalah hukum acara yang
mudah dipahami dan tidak berbela-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami
peradilan akan berjalan dengan waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya
perkara juga menjadi ringan.
Asas tersebut akan menjadi termarginalkan jika terjadi arus bolak-balik perkara
untuk kedua kali dan seterunya karena tidak ada ketentuan batas waktu tertentu
dalam KUHAP bagi penyidik untuk mengembalikan berkas tersebut kepada penuntut
umum, Penuntut Umum dapat membuat Surat Biasa yang ditujukan Kepada instansi
penyidik terkait untuk sesegera mungkin mengembalikan berkas perkara yang di
perintahkan untuk dilengkapi bedasarkan Anjuran dari Jaksa Agung Muda Bagian
Pengawasan dan satu catatan penting bahwa penuntut umum dalam memberikan
petunjuk haruslah bersifat tetap dalam arti antara petunjuk dalam pengembalian
berkas pertama harus sama dengan pengembalian berkas perkara untuk kedua
kalinya dan seterusnya agar tidak terjadi kerancuan bagi penyidik.
13
F. Kegunaan Laporan
Dalam penyusunan laporan KKL ini ada dua kegunaan yang di dapatkan, yaitu:
1. Kegunaan teoritis, yaitu sebagai tambahan wacana dan referensi keilmuan yang
ilmiah, objektif dan komprehensif bagi mahasiswa hukum. Hasil pelaporan ini
diharapkan dapat memajukan perkembangan pengetahuan ilmu hukum
khsusunya di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Serasan Muara Enim dalam
memahami implementasi atas kedudukan pemohon dalam Pembubaran Partai
Politik di Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 68 UU NO. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Kegunaan praktis
Penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan bagi Mahasiswa
khususnya khsusunya di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Serasan Muara Enim,
kemudian unutk mengetahui ada tidaknya pelanggaran terhadap hak konstitusional
warga negara dalam pembubaran partai politik dimahkamah konstitusi.
G. Kerangka Pemikiran
1. Negara Hukum
Negara hukum adalah Negara yang penyelenggaraan pemerintahannya didasar atas
hukum. Didalamnya pemerintah dan lembaga – lembaga lain dalam melaksanakan
tindakan apapun juga harus dilandasi oleh hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan juga harus berdasrkan kedaulatan hukum. Negara yang berdasar atas
hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi sehingga ada istilah
supremasi hukum, supremasi hukum tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum
yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga belas prinsip pokok yang merupakan pilar
utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern dapat disebut dengan
negara hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu :
a. Supremasi Hukum
b. Asas persamaan hukum
c. Asas legalitas
d. Pembatasan kekuasaan
14
e. Organ campuran yang bersifat independen
f. Peradilan bebas dan tidak memihak
g. Peradilan tata usaha negara
h. Peradilan tata negara
i. Perlindungan Hak asasi Manusia.
j. Bersifat Demokrasi
k. Berfungsi sebagai cara mewujudkan tujuan bernegara
l. Transparasi dan control social
m. Berketuhanan yang maha esa.
1. Negara Demokrasi
Negara demokrasi adalah negara yang dalam pelaksanaan pemerintahannya
didasrkan atas kedaulatan rakyat. Ciri – ciri negara demokrasi, yaitu :
a. Adanya jaminan kemerdekaan bagi warga negara untuk berkumpul dan
beroposisi
b. Adanya jaminan kemerdekan bagi warga negara untuk berkumpul dan
beroposisi
c. Perlakuan dan kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dalam hykum,
terdap[at dalam pasa 27 ayat 1 UUD 1945
d. Kekuasaan yang dikontrol oleh rakyat melalui perwakilan yang dipilih rakyat
e. Jaminan kekuasaan yang telah disepakati bersama.
2. Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat menunjuk pada gagasan, bahwa yang terbaik dalam
masyarakat adalah yang dianggap baik oleh semua orang yang merupakan
rakyat dalam suatu negara. Pengertian kedaulatan itu sendiri adalah kekuasaan
yang tertinggi dalam suatu Negara. Maka, kekuasaan tertinggi disuatu negara
adalah rakyat.
3. Partai Politik
Dalam definisinya, partai politi merupakan sarana bagi warga negara untuk
turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dimana partai
poltik adalah suatu kelompok terorganisisr yang sama. Caerl J. Fiedrich
mendefinisikan partai politik sekelompok manusia yang terorganisme secara
15
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasrkan penguasaan ini
kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil kepada anggotanya.
Partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi
rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi
pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan
secara damai. Partai politi merupakan suatu keharusan dalam kehidupan politik
yang modern dan demokratis.
I. Objek KKL
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Serasan Muara Enim
melakukan perjalanan ke Bandung dan Jakarta untuk melakukan Kuliah Kerja
Lapang (KKL) yang dimulai pada tanggal 25 Maret 2019. Pada tanggal 26 Maret
keseluruhan kelompok mahasiswa KKL dari STIH Serasan Muara Enim melakukan
kunjungan ke objek wisata Tangkupan perahu, dan selanjutnya kemudian
mengunjungi Floating Market Lembang Bandung. Pada tanggal 27 Maret kunjungan
KKL kemudian dilanjutkan ke Pusdikav di Padalarang, Badung. Di sana mahasiswa
diajak untuk mengenal alustista dan mengenal pusat pelatihan kavaleri. Selanjutnya
pada tanggal 28 Maret 2018, Kelompok 1 sampai 4 melakukan kunjungan ke
Mahkamah Konstitusi. beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya melakukan
16
kegiatan diskusi dan tanya jawab dengan perwakilan dari Mahkamah Konstitusi yang
pada saat itu diterima oleh Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi, bapak Eri
Satria Pamungkas, serta melakukan kegiatan mengunjungi museum Mahkamah
Konstitusi dan mengikuti pemutaran film sejarah terbentuknya konstitusi bangsa
Indonesia.
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini, tidak hanya juga dengan melakukan
kunjungan saja, namun juga dibarengi dengan kegiatan peduli kampus yang
dilaksanakan setiap sabtu selama selama 1 (satu) bulan, terhitung sejak tanggal 6
hingga 27 April 2019. Adapun kegiatan peduli kampus ini diikuti oleh seluruh
mahasiswa dalam lingkup Yayasan Perguruan Serasan Muara Enim dengan
melakukan aktivitas senam pagi dan bersih-bersih di lingkungan Perguruan Serasan
Muara Enim.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
19
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dapat dilihat kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah:
a. merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman;
b. merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan
c. sebagai penegak hukum dan keadilan.
2
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-fungsi-dan-wewenang-mahkamah-
konstitusi.html# diakses pada tanggal 14 april 2019
3
Lihat pasal 24C Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20
Secara khusus, wewenang mahkamah konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
rincian sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara RI 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum;
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebaagaimana dimaksud dalam UUD Negara
RI 1945.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. Penghianatan terhadap negara adalah tindakan pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam UU;
b. Korupsi dan Penyuapan adalah tindakan pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam UU;
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindakan pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 tahun atau lebih;
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 6 UUD Negara RI
1945.
21
juga dengan lembaga peradilan lainnya, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsinya
sendiri, dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:4
a. Penafsir Terakhir Konstitusi;
b. Pengawal Konstitusi;
c. Pengawal Demokrasi;
d. Pelindung Hak Kunstitusional Warga Negara;
e. Pengawal Hak Asazi Manusia;
Dalam wujudnya fungsi itu pada dasarnya terimplementasi dalam proses
peradilan yang menjadi wewenang Mahkamah Kosntitusi diatur dalam suatu hukum
acara dan yang menjadi sumber hukum dari hukum acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. UUD Negara RI 1945;
b. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
c. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
d. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib
Persidangan pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
e. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman beracara
dalam perselisihan hasil Pemilu;
f. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan
Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
g. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
h. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
beracara dalam sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara;
i. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14PMK/2008 tentang Pedoman
beracara dalam Perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD;
j. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15PMK/2008 tentang Pedoman
beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah;
k. Yurisprudensi;
4
https://www.boyyendratamin.com diakses pada tanggal 15 april 2019
22
l. Doktrin atau Pendapat Para Ahli Hukum;
23
sikap dan orientasi terhadap fenomena politik dan untuk menciptakan citra bahwa
dia memperjuangkan kepentingan umum. Ketiga, partai politik sebagai sarana
rekrutmen politik, fungsi ini berhubungan dengan perkaderan dan rekrutmen anggota
legislatif maupun eksekutif, partai politik harus benar – benar mencari sosok yang
profesional dan orang – orang yang punya integritas. Keempat, sebagai sarana
pengatur konflik karena masyarakat politik adalah masyarakat yang hitrogen, yang
tentunya selalu berbeda yang kemungkinan berpotensi konflik.
Fungsi partai poltik menurut Undang – Undang No 2 Tahun 2008 tentang
partai politik pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa partai politik adalah sebagai sarana
:
a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga
negara indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan
bangsa untuk mensejahterakan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d. Partisipasi politik warga negara indonesia; dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Dengan melekatnya beberapa fungsi dalam partai politik diatas, partai politik
menjadi salah satu aktor penting bagi tegaknya negara demokrasi. Hal ini
dikarenakan partai politik menjadi sarana mobilitas aspirasi masyarakat dan
pemerintah. Selain itu, partai politik menjadi sarana informasi dalam memberikan
penjelasan mengenai keputusan – keputusan politik yang diambil pemerintah.
Secara ringkas politik dapat dikatakan sebagai penghubung antara warga
negara dengan pemerintahnya, selain itu partai juga melakukan fungsi – fungsi
seperti komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, pengatur konflik
politik dan pendidikan politik.
Pemerastu kebangsaan untuk mesejahterakan masyarakat, dan partisipasi
politik. Pelaksana fungsi – fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur
keberhasilan atau kegagalan partai politik dalam menjalankan tugasnya.
24
3. Partisipasi Politik.
Partisipasi Politik dapat diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan
dalam partai, kegiatan dalam perkumpulan suka rela, gerakan protes dan sebagainya.
Partisipasi mulai dihubungkan dengan proses administratif dengan menambahkan
peran serta dalam proses implementasi sehingga individu dan kelompok dapat
mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing.
Kesadaran politik warga negara menjadi faktor dalam partisipasi politik masyarakat,
artinya berbagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran akan hak
dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik
menjadi ukuran dan kadar seseorang untuk terlibat dalam proses partisipasi politik.
Berdasarkan fanomena ini maka Ware. P memberikan model partisipasi menjadi
empat tipe :
1. Apabila sesorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah tinggi maka partisipasi politik cenderung aktif.
2. Sebaliknya kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka partisipasi politik
menjadi pasif dan apatis.
3. Kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan terhadap pemerintah lemah maka
perilaku politik yang muncul ialah militant radikal ( cenderung kekerasan).
4. Kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah tinggi maka
partisipasi politik menjadi sangat positif, artinya hanya berorientasi terhadap
output politik.
4. Pemilihan Umum
Menurut Humtingthon pemilu dalam pelaksanaanya memiliki lima tujuan, yait:
1. Pemilu sebagai implementasi perwujudan kedaulatan rakyat. Asumsi demokrasi
adalah kedaulatan terletak ditangan rakyat.
2. Pemilu sebagai sarana untuk membentuk perwakilan politik
3. Pemilu sebagai sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara
konstitusional
4. Pemilu sebagai sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi
25
5. Pemilu sebagai sarana partisipasi politik masyarakat untuk turut serta
menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan yang
memiliki program – program yang dinilai aspriratif dengan kepentingan rakyat.
5. Pemilihan Legislatif
Dalam suatu negara demokrasi rakyat memegang kekuasaan tertinggi, artinya
kedaulatan dalam negara berada ditangan rakyat. Demokrasi yang dipraktekan
disemua negara yang mengaku negara demokratis sudah dapat dipastikan berupa
demokrasi perwakilan, bukan lagi demokrasi langsung yang pernah dipraktekan
pada negara Yunani Kuno Dahulu. Konsekwensi dari sistem demokrasi perwakilan
adalah harus diadakannya pemilu yang ditunjuk untuk memilih wakil rakyat.
26
BAB III
PEMBAHASAN
b. Misi:
Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang modern dan terpercaya. Membangun konstitusionalitas
Indonesia dan budaya sadar berkonsititusi.
27
3. Periode Ketua Mahkamah Konstitusi
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini, telah beberapa
kali terjadi pergantian atau periodisasi ketua Mahkamah Konsitusi. Ada pun periode
tersebut sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003 –
2009;
2. Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode
2009 – 2013
3. Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H, M.H., Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 5
April 2013 – 5 Oktober 2013;
4. Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 –
2015;
5. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2015 –
Sekarang.
B. Amanat Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata dari
perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Pembentukan
Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan
perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi.
Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana
penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang
sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan
kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 (2) dan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR 9 November
2001. Permasalahan yang diatur adalah soal kedudukan dan wewenang Mahkamah
Konstitusi serta beberapa hal mengenai hakim konstitusi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai Mahkamah Konstitusi dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pemerintah, dan telah disetujui dalam bentuk Undang-Undang Nomor 24
28
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
yaitu menyangkut masalah pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan oleh UUD, kewenangan
Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan
Mahkamah Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Berdasarkan ketentuan
Pasal 24 (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi
diletakkan sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah
Agung. Sedangkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) mengatur bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antarlembagaa negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pembubaran politik. Selain itu,
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menengakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya
konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) dan
menafsirkan konstitusi atau UUD (interpreter of constitution). Dengan fungsi dan
wewenang tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan
peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala
ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal
konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, setiap penyelenggaraan pemerintahan selalu terbangun oleh
dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan konstitusi. Dengan konsekuensi
itu juga Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir final konstitusi (the final
29
interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi
konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Oleh
karenanya Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the
protector of the citizen’s constitutional rights) dan pelindung HAM (the protector of
human rights).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia dilatarbelakangi adanya
kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and
balances di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan
keadilan, serta menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia. Upaya
pembentukan Mahkamah Konstitusi bukan sesuatu yang mudah terimplementasi
dalam realitas kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pada tingkat internasional, perkembangan politik di negara yang tengah
mengalami proses transisi politik pada periode 1990-an seperti Afrika Selatan, Korea
Selatan, dan Ceko, telah mengakomodasi pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam
konstitusinya dan pada sistem kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu
membentuk Mahkamah Konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan adanya
mekanisme yang memungkinkan terjadinya kontrol terhadap kekuasaan agar tidak
mengingkari nilai dasar yang diatur dalam konstitusi. Dalam perkembangan nasional,
setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah
Konstitusi, yaitu:5
a. ada lack of authority, karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada
mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undang-undang
terhadap konstitusi). Oleh karena itu, berbagai undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi tidak pernah dipersoalkan;
b. ada fakta politik terjadinya kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR,
yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan Ketua
Mahkamah Agung;
c. adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu
menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga
5
Iriyanto A. Baso Ence, “Negara Hukum & Hak Uji KonstitusionalitasMahkamah Konstitusi”,
Bandung, hal. 113
30
diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan
lainnya di luar Mahkamah Agung.
Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi secara teoritis
atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Terbatasnya hak uji materiil
Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya belum dilandasi oleh pertimbangan
filosofis dan sosiologis, tetapi lebih mengedepankan aspek yuridis dan politisnya.
Dilihat dari segi yuridis, terbatasnya kewenangan hak uji materiil oleh Mahkamah
Agung karena adanya komitmen membagi kekuasaan semata. Namun faktor
ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil undang-undang terhadap
konstitusi dan faktor keberadaan Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya
menjalankan kewenangannya menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
31
Eropa dan Inlander yang menduduki posisi paling bawah. Perbedaan ras itulah
yang menjadi dasar atas perbedaan hak dan kewajiban serta perlakuan hukum.
32
pengalaman mengolah partai politik pada masa sebelum merdeka, tetapi tokoh
berpengalaman juga turut mendirikan partai dan terdapat sekitar 40 partai
politik. Berdiri dan masing - masing turut berpartisipasi dalam percaturan
politik nasional. Pada masa pemerintahan Orde Lama terdapat dua partai yang
dibubarkan, yaitu Masjumi dan PSI. Pada saat itu Masjumi merupakan partai
politik yang besar karena memiliki pendukung yang kuat dari berbagai daerah di
Indonesia sedangkan PSI merupakan partai politik yang kurang pendukungnya
namun PSI memiliki pengaruh kuat karena tokoh-tokohnya terkenal dengan
kelompok cendekiawan. Partai Masjumi dibubarkan berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960 yang menyatakan,
Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian - bagian/ tjabang
tjabang / ranting - rantingnja di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Sedangkan PSI dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 201 Tahun 1960 yang menyatakan “Membubarkan Partai Sosiali
Indonesia, termasuk bagian – bagian / tjabang tjabang / ranting-rantingnja di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia’.
Kedua partai tersebut dibubarkan karena keterlibatan dalam melakukan
pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terhadap
pemerintah.
Pada masa pemerintahan Orde Lama terdapat dua partai yang dibubarkan, yaitu
Masjumi dan PSI. Pada saat itu Masjumi merupakan partai politik yang besar
karena memiliki pendukung yang kuat dari berbagai daerah di Indonesia
sedangkan PSI merupakan partai politik yang kurang pendukungnya namun PSI
memiliki pengaruh kuat karena tokoh-tokohnya terkenal dengan kelompok
cendekiawan. Partai Masjumi dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960 yang menyatakan, Membubarkan
Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabang tjabang/ranting-
rantingnja di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Sedangkan PSI dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 201 Tahun 1960 yang menyatakan,
33
“Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian - bagian /
tjabang tjabang/ranting-rantingnja di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia”.
Kedua partai tersebut dibubarkan karena keterlibatan dalam melakukan
pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terhadap
pemerintah.
34
Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau
mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-leninisme.
Pengaturan mengenai partai politik selanjutnya digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Pengaturan Pembubaran
Partai Politik Sebelum Reformasi
Terdapat beberapa pengaturan tentang pembubaran partai politik pada masa
sebelum Reformasi, diantaranya adalah:
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang
berbunyi sebagai berikut;
Pasal 9 ayat (1)
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau
membubarkan partai yang:
Bertentangan dengan asas dan tujuan negara;
Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan negara;
sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta
dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan,
sedangkan partai itu tidak resmi menjalankan perbuatan anggota-anggota itu; dan
tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden
ini.
Pasal 9 ayat (2)
Partai yang dibubarkan berdasarkan ayat (1) pasal ini, harus dibubarkan dalam
waktu selama-lamanya tiga puluh kali dua puluh empat jam, terhitung mulai
tanggal berlakunya Keputusan Presiden yang menyakatan pembubaran itu.
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960
tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik adapun pasal-
pasal tersebut memuat sebagai berikut:
Pasal 6
Kalau ada persangkaan, bahwa suatu partai berada dalam keadaan yang
dimaksudkan pada pasal 9 ayat (1) Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1959, maka Presiden menyatakan hal itu kepada Mahkamah
Agung dengan menyerahkan surat-surat dan lain- lain yang dapat dipergunakan
sebagai alat pembuktian untuk meneguhkan persangkaan tersebut.
35
Pasal 7
Mahkamah Agung mengadakan pemeriksaan dengan aturan bebas tentang
persangkaan tersebut pada pasal 6.
Untuk pemeriksaan tersebut pada ayat (1) pasal ini Mahkamah Agung dapat
mendengar saksi-saksi dan ahli-ahli di bawah sumpah.
Setelah pemeriksaan tersebut pada ayat (1) pasal ini selesai, Mahkamah Agung
memberitahukan pendapatnya kepada Presiden.
Pasal
Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran suatu partai diberitahukan
selekas mungkin kepada pimpinan partai.
Dalam waktu tiga puluh hari terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan
Presiden yang menyatakan pembubaran tersebut pada ayat (1) pasal ini,
pimpinan partai harus menyatakan partainya bubar dengan memberitahukannya
kepada Presiden seketika itu juga. Apabila tenggang waktu yang tersebut dalam
ayat (2) pasal ini lampau tanpa pernyataan partai termaksud, maka partai yang
bersangkutan ialah perkumpulan terlarang.
Pasal 9
Sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, seorang anggota dari
partai itu juga duduk sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dianggap berhenti
sebagai anggota badan-badan tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya;dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya.
e. Masa Demokrasi Tradisional (Era Reformasi)
Berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 telah melahirkan era Reformasi
yang pada saat itu di bawah pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999).
Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru, banyak gerakan oposisi berbasis masa
bermunculan. Beberapa diantaranya mengorganisir diri menjadi partai politik
seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan Partai Uni Demokrasi Indonesia
(PUDI). Ketika masa Reformasi tiba partai politik bermunculan bagaikan jamur di
musim hujan. Munculnya partai-partai baru itu selain menandai akhir dari suatu
36
Orde yang mengekang kebebasan berserikat juga terkait dengan maraknya
tuntutan agar pemerintah segera menyelenggarakan pemilu.
Pada masa Reformasi pembubaran partai politik tidak lagi terjadi karena fusi
terhadap partai politik dan pembubaran partai politik. Di era Reformasi ini
merupakan suatu momentum pembukaan gerbang kebebasan dan penutupan hak
kebebasan berserikat. Yang terjadi di masa Reformasi ini bubarnya partai politik
bukan karena pembubaran secara paksa atau fusi terhadap partai politik namun
dalam masa ini bubarnya partai akibat pembubaran diri atas keinginan sendiri
atau penggabungan diri dengan partai lain untuk memenuhi electoral threshold
untuk dapat mengikuti pemilu
Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang berlangsung sebanyak 4 (empat)
kali, yaitu Perubahan pertama (1999), Perubahan kedua (2000), Perubahan ketiga
(2001), Perubahan keempat (2002), telah membawa perubahan besar dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia baik dalam bidang pelembagaan dan kekuasaan
legislatif, pelembagaan dan kekuasaan eksekutif, maupun pelembagaan dan
kekuasaan yudisial. Di bidang kepartaian khususnya masalah pembubaran partai
politik, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga membawa pengaruh, yaitu
kehadiran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang salah satu
kewenangan konstitusionalnya adalah memutus pembubaran partai politik.
Pengaturan Pembubaran Partai Politik Setelah Reformasi
Pembubaran partai politik setelah Reformasi terdapat di dalam beberapa
peraturan, diantaranya adalah:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik;dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik.
37
Memasuki masa Reformasi peraturan pembubaran partai politik yang sebelumnya
dilakukan Presiden bergerak ke arah proses pengadilan. Adapun perihal
pembubaran partai politik dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik diatur di dalam Pasal 20 dan memiliki
ketentuan yang sama dengan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yaitu:
Membubarkan diri atas keputusan sendiri;
Menggabungkan diri dengan partai politik lain; atau
Dibubarkan oleh Mahmakah Konstitusi
Perbandingan Pembubaran Partai Politik Sebelum dan Setelah Reformasi
Terkait dengan pengaturan pembubaran partai politik, Venice Commission
membuat pedoman bahwa pada prinsipnya negara harus mengakui hak setiap
orang untuk berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Pelarangan dan
pembubaran paksa partai politik hanya dimungkinkan dalam kasus partai politik
itu melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk
menghancurkan tatanan demokrasi yang menjamin hak dan kebebasan. 50 Pada
umumnya pengadilan yang berwenang memutus pembubaran partai politik adalah
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Hal ini terkait dengan putusan
pembubaran yang bersifat final dan mengikat.
Berdasarkan ketentuan di beberapa negara pembubaran partai politik lebih banyak
merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi, namun tidak semua ketentuan yang
mengatur Mahkamah Konstitusi di negara-negara yang memilikiMahkamah
Konstitusi menyebutkan wewenang memutus pembubaran partai politik. Dalam
perkembangan praktik politik di Indonesia juga telah terjadi pembubaran partai
politik. Di dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di
Indonesia, terdapat perbedaan prosedur pembubaran partai politik pada masa
sebelum dan setelah Reformasi.
Pembubaran Partai Politik Sebelum Reformasi
Lembaga yang memiliki kewenangan
Pada awal masa Reformasi wewenang pembubaran partai politik ada pada
Mahkamah Agung. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik yang menyatakan bahwa wewenang pengawasan partai politik ada pada
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu
38
partai politik.57 Suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung
berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap setelah
mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Selain
itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan terlebih dahulu yang terkait dengan
pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik. Sebelum pembubaran tersebut
dilakukan, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali
berturut-turut dalam waktu 3 bulan.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 24C ayat
(1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai
39
hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebelum hal itu
diusulkan untuk diberhentikan oleh MPR (Majelis Permuyawaratan Rakyat).
Pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan apabila partai politik
melanggar larangan partai politik sebagaimana disebutkan dalam undang-undang
yaitu:
Partai politik melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perundang-undangan;
Kegiatan partai politik dapat mengancam keutuhan dan keselamatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;danPartai politik berlandaskan pada
ajarankomunisme/Marxisme- Leninisme.
Pelanggaran partai politik terhadap larangan angka 1 (satu) dan 2 (dua) tidak
langsung berakibat pada sanksi pembubaran partai politik bersangkutan oleh
Mahkamah Konstitusi, melainkan apabila terbukti terlebih dahulu akan dikenakan
sanksi administratif pembekuan partai politik maksimal selama 1 (satu) tahun.
Apabila selama partai politik tersebut dibekukan dan partai politik bersangkutan
melakukan lagi pelanggaran yang sama, maka partai politik tersebut akan dibubarkan
melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan partai politik memiliki landasan
hukum yang sangat kuat, sehingga secara yuridis tidak dapat dibubarkan tanpa alasan
yang sah dan melalui proses peradilan. Namun dalam praktiknya, pada masa setelah
Reformasi ini memang belum pernah terjadi pembubaran partai politik.
Mekanisme Pembubaran Partai Politik Setelah Reformasi Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, selain menegaskan kembali kewenangan MKRI (Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia) untuk memutus pembubaran partai politik juga mengatur
tentang mekanisme (hukum acara) pembubaran partai
politik sebagaimana tersebut Pasal 68 s.d Pasal 73 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
Pemohon pembubaran partai politik adalah pemerintah pusat:
Termohon tidak ditentukan secara eksplisit tetapi secara implisit, Termohonnya
adalah partai politik yang diminta pemerintah untuk dibubarkan:
40
Alasan pembubaran partai politik adalah bahwa ideologi, asas, tujuan, program,
dan kegiatan partai politik yang dimohonkan dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945;
MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia) memberitahukan permohonan
yang sudah diregistrasi kepada Termohon (partai politik terkait) dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi (BRPK);
MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia) harus sudah memutus
permohonan pembubaran partai politik dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
kerja sejak permohonan diregistrasi di BRPK;
Putusan MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia) tentang pembubaran
partai politik ada 3 (tiga) kemungkinan;
Permohonan tidak dapat diterima jika permohonan tak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dimaksud Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
Permohonan tidak dikabulkan jika permohonan dinilai tidak beralasan; dan
Permohonan ditolak jika permohonan dinilai tidak beralasan.
Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik dilakukan dengan
membatalkan pendaftaran pada pemerintah, yang berarti sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Partai Politik Tahun 2002 adalah pembubaran status badan
hukumnya dan tidak diakui keberadaannya sebagai partai politik; dan Putusan
Putusan MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia) tentang pembubaran
partai politik diberitahukan kepada partai politik yang bersangkutan dan diumumkan
oleh pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja sejak putusan diterima.
Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik
Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat hukum yang
dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan
merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Partai politik sebagai badan hukum tentu sudah melakukan berbagai hubungan
hukum atau tindakan hukum dengan berbagai pihak. Dengan adanya hubungan
hukum atau tindakan hukum dengan berbagai pihak maka timbul akibat hukum yaitu
lahirnya hak dan kewajiban antara subyek-subyek hukum yang bersangkutan.
41
Apabila suatu partai politik dibubarkan, maka akan berpengaruh pada hak dan
kewajiban serta kekayaan yang telah didapat dan jabatan-jabatan yang telah
dihasilkan selama hubungan hukum atau tindakan hukum itu berlangsung.
Pengaturan mengenai akibat hukum yang ditimbulkan karena pembubaran suatu
partai politik pada masa Orde Lama atau sebelum Reformasi diatur dalam Pasal 9
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut: “Sebagai
akibat pembubaran/pelanggaran sesuatu partai politik, seorang anggota dari partai
itu yang duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dianggap berhenti
sebagai anggota badan-badan tersebut”
Sedangkan pada masa setelah Reformasi, ketentuan akibat hukum pembubaran partai
politik di Indonesia diatur dalam Peraturan Mahkamah
Nomor 12 Tahun 2008 Pasal 10 ayat (2). Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) itu
menyatakan bahwa putusan pembubaran partai politik menimbulkan akibat hukum
sebagai berikut:
Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia;
Pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan; Pelanggaran
terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan
politik; dan
Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
Persamaan dan Perbedaan Syarat-Syarat dan Mekanisme Pembubaran Partai Politik
pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Syarat-syarat dan mekanisme pembubaran partai politik pada masa Orde Lama, Orde
Baru dan Reformasi memiliki perbedaan dan persamaan. Terlepas dari persamaan
dan perbedaan, tujuan dari adanya pengaturan mengenai syarat- syarat dan
mekanisme pembubaran partai politik yaitu untuk membatasi perilaku yang
dilakukan oleh suatu partai politik agar tujuan dari didirikannya suatu partai politik
dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal syarat-syarat pembubaran partaipolitik pada
masa Orde Lama dan Orde Baru memiliki pengaturan yang sama. Syarat-syarat
pembubaran partai politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru diatur dalam Pasal 9
ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959. Sedangkan syarat-syarat
pembubaran partai politik pada masa Reformasi berbeda dengan masa Orde Lama
42
dan Orde baru. Pembubaran partai politik dilakukan apabila partai politik melanggar
larangan partai politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Dalam hal mekanisme pembubaran partai politik pada masa Orde Lama dan
Orde Baru memiliki pengaturan yang sama. Pengaturan itu terdapat di dalam
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960. Lembaga yang berwenang melakukan
pembubaran partai politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru adalah Presiden.
Apabila terdapat dugaan suatu partai politik melakukan pelanggaran, maka Presiden
akan menyampaikan hal itu kepada Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan.
Setelah mendengar pendapat dari Mahkamah Agung dan terbukti suatu partai politik
melakukan pelanggaran, maka Presiden dapat memutuskan pembubaran partai politik
melalui Keppres.
Sedangkan mekanisme pembubaran partai politik pada masa Reformasi
memiliki pengaturan yang berbeda dengan masa Orde Baru dan Orde Lama.
Pengaturan mekanisme pembubaran partai politik pada masa Reformasi diatur dalam
Pasal 68 s.d Pasal 73 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada masa Reformasi lembaga yangmemilki
wewenang melakukan pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi.
Pemohon pembubaran partai politik adalah pemerintah pusat. Setelah melakukan
pemeriksaan dan terbukti bahwa suatu partai politik melakukan pelanggaran maka
Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik yang bersangkutan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat dan mekanisme
pembubaran partai politik pada masa sebelum dan setelah Reformasi memiliki
pengaturan yang berbeda.
43
pemerintah dalam sistem demokrasi adalah pemerintah partai atau koalisi beberapa
partai politik. Jika pemerintah memiliki kekuasaan membubarkan partai politik,
maka kekuasaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh partai politik yang sedang
menguasai pemerintahan untuk membubarkan partai politik saingannya. Hal itu
menimbulkan persaingan tidak sehat dalam demokrasi dan mengarah kepada
otoritarianisme. Dengan permasalahan seperti di atas maka sebaiknya pembubaran
partai politik tidak dilakukan oleh pemerintah pusat, melaikan oleh Mahkamah
Konstitusi. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara
yang mempunyai putusan yang bersifat final dan mengikat.
Problem Pengaturan Pembubaran Partai Politik pada Masa Setelah Reformasi Pada
masa setelah Reformasi lembaga yang berwenang membubarkan suatu partai politik
adalah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) menyebutkan bahwa
lembaga yang berhak mengusulkan permohonan pembubaran partai politik adalah
pemerintah pusat. Dengan asumsi bahwa pemerintah (eksekutif) adalah lembaga
yang benar-benar independen dan steril dari kepentingan partai politik, maka
permohonan pembubaran partai politik akan menemukan bentuk ideal. Namun,
manakala pemerintah (eksekutif) didominasi oleh kekuatan partai politik, hal seperti
ini sulit dihindari karena secara tradisi Presiden adalah pemimpin partai politik
pemenang pemilu, maka pembubaran partai politik akan dimanfaatkan sebagai
sarana.
44
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembubaran partai politik pada setiap periode diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali pada masa Orde Baru yang tidak
mengenal pembubaran partai politik. Pada masa Orde Baru hanya dikenal
pembekuan pengurus pusat partai politik.
Alasan pembubaran partai politik pada masa Orde Lama adalah terkait
ideologi, dasar dan tujuan negara, serta ancaman terhadap keamanan dan
keutuhan wilayah negara. Ideologi pada masa Orde Lama adalah konsepsi
nasakom Nasakom. Pada masa Reformasi, alasan pembubaran partai politik
adalah jika menganut dan atau menyebarkan paham Komunisme/Marxisme-
Leninisme. Selain itu, pembubaran partai politik juga dapat dilakukan
berdasarkan alasan (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; (d) program; serta (c)
kegiatan partai yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pada masa Orde Lama, pembubaran partai politik menjadi wewenang
Presiden. Pengadilan, yaitu MA, hanya memberikan pertimbangan yang
sifatnya tidak mengikat. Hal itu hampir sama dengan prosedur pembekuan
pengurus pusat partai politik pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Lama
juga terdapat proses pengakuan partai politik yang mengakibatkan
pembubaran partai politik. Partai politik diwajibkan menyampaikan laporan
kepada Presiden disertai persyaratan yang diperlukan. Presiden
mengeluarkan keputusan menerima atau menolak pengakuan partai politik.
Sedangkan pada masa reformasi, pembubaran partai politik menjadi
wewenang lembaga peradilan, yaitu MA dan selanjutnya berdasarkan
Perubahan UUD 1945 menjadi wewenang MK.
Dengan demikian terdapat perbedaan dalam hal peran pemerintah dan
pengadilan dalam proses pembubaran partai politik. Pada masa Orde Lama,
pembubaran partai politik menjadi wewenang pemerintah, yaitu Presiden.
Pengadilan, dalam hal ini MA, hanya memberikan pertimbangan atas
permintaan Presiden. Hal itu hampir sama dengan mekanisme pembekuan
pengurus pusat partai politik pada masa Orde Baru yang menjadi wewenang
Presiden dengan pertimbangan MA. Pada masa Reformasi terjadi
pergeseran. Wewenang memutus pembubaran partai politik dimiliki oleh
45
pengadilan, yaitu MA dan selanjutnya MK. Pemerintah hanya berperan
sebagai pemohon.
3. Pengaturan partai politik di masa yang akan datang bertujuan untuk menjamin
dan melindungi kebebasan berserikat, sekaligus melindungi kostitusi,
kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Pengaturan partai politik
sebaiknya dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur dari paradigma
libertarian, political market, managerial, progressive, dan pluralist.
Pengaturan tersebut diharapkan dapat mewujudkan sistem kepartaian yang
sesuai dengan model demokrasi di Indonesia, yaitu sistem multi partai
sederhana dengan beberapa partai dominan.
B. SARAN
1. Ketentuan terbaru yang mengatur partai politik, yaitu Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008, tidak banyak mengalami perubahan dari ketentuan
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001. Di masa yang
akan datang perlu diatur lebih detail mengenai alasan-alasan pembubaran dan
prosedur pembubaran yang meliputi penambahan pemohon anggota DPR
dan/atau DPD serta partai politik selain pemerintah, serta akibat hukum
pembubaran partai politik.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai akibat hukum partai politik
terutama terkait dengan pertanggungjawaban anggota atau pengurus terhadap
pelanggaran partai politik. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian
mengenai akibat hukum pembubaran terhadap status anggota lembaga
perwakilan dan pejabat publik dari partai yang dibubarkan, terkait dengan
cara pemilihan dan hubungan hukum antara partai politik, anggota yang
sedang menjabat, serta lembaga-lembaga negara di mana anggota tersebut
menjabat.
46
DAFTAR PUSTAKA
2. Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Cristine S.T Kansil, SH, MH, “Hukum Tata
Negara Republik Indonesia”, Jakarta, 2008, hal. 78
1
Jimli Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 272
3. Lihat Naskah Komprehensif perubahan UUD 1945, Bab IV Kekuasaa
Kehakiman
4. http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-fungsi-dan-wewenang-
mahkamah-konstitusi.html# diakses pada tanggal 14 april 2019
Lihat pasal 24C Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5. https://www.boyyendratamin.com diakses pada tanggal 15 april 2019
6. Iriyanto A. Baso Ence, “Negara Hukum & Hak Uji
KonstitusionalitasMahkamah Konstitusi”, Bandung, hal. 113
7. Iriyanto A. Baso Ence, “Negara Hukum & Hak Uji
KonstitusionalitasMahkamah Konstitusi”, Bandung, hal. 113
47
48