Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Tujuan Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana.......................................................3
B. Konsep Restorative justice...............................................................................................................7
C. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.............................9
D. Konsep Restorative Justice Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia............................12
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................16

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai kejahatan, maka seringnya yang pertama muncul dalam


benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita biasa menyebut mereka penjahat, kriminal, atau
lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Masyarakat sudah terbiasa,
atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satu-satunya faktor dalam kejahatan. Tidak
mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan
penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap
sebagai “obat manjur” untuk “menyembuhkan” baik luka atau derita korban maupun
kelainan perilaku yang “diidap” pelaku kejahatan.

Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang


menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan
pada level empirisnya, sesungguhnya tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada
tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah “sekolah kejahatan”. Sebab orang
justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan.
Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seorang bekas narapidana melakukan
kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.
Secara ekstrim dikatakan oleh Hulsman bahwa “the criminal justice system as a
social problem”. Kritiknya antara lain ditujukan pada penerapan sanksi yang hanya akan
menyisakan penderitaan, masalah ekonomi, keluarga dan stigma. Pendekan dalam
peradilan selama ini sulit terkontrol bahkan cacat (criminal justice approach is
fundamentally flawed), dibilang “does not work in terms of its own declared aims” atau
tidak bekerja untuk tujuan yang dia nyatakan sendiri

kondisi masyarakat dari mana ia berasal, sedangkan David Rothman mengatakan


bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini
muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan
1
penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup di jalan yang
benar setelah ia dibebaskan dari penjara.

Ironisnya, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan
Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana
"kerusakan" yang ditimbulkan kepada korban dan masyarakat masih bisa di restorasi
sehingga kondisi yang telah "rusak" dapat dikembalikan ke keadaan semula, sekaligus
penghilangan dampak buruk penjara. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap
dapat di restorasi kembali, dikenal suatu konsep penghukuman yang disebut sebagai
restorative justice , di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah
ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyatakat. Untuk itu program
utamanya adalah “a meeting place for people” guna menemukan solusi perbaikan
hubungan dan kerusakan akibat kejahatan (peace).

Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) antara pelaku, korban dan


masyarakat itu-lah yang menjadi moral etik restorative justice , oleh karena itu
keadilannya dikatakan sebagai "Just Peace Principle". Prinsip ini mengingatkan kita
bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa
keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru
penganiayaan/ tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principle atau Just Peace Ethics
karena pendekatan terhadap kejahatan dalam Restorative justice bertujuan untuk
pemulihan kerusakan akibat kejahatan (it is an attempt to recovery justice), upaya ini
dilakukan dengan mempertemukan korban, pelaku dan masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pidana Dan Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Sebelum membahas mengenai restorative justice , perlu disinggung dalam tulisan


ini mengenai tujuan pidana dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Dikatakan
demikian, karena salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam hukum pidana adalah
pidana itu sendiri. Bukan merupakan hukum pidana suatu peraturan yang hanya mengatur
norma tanpa diikuti oleh suatu ancaman pidana. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka
yang dianggap salah, merupakan sikap derita yang harus dijalani, walaupun demikian,
sanksi pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk memberikan rasa derita. Pidana
pada hakekatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan dan bagaimana merumuskan
tujuan tersebut dalam konsep atau materi suatu undang-undang yang oleh pembentuknya
ingin ditegakkan dengan mencantumkan pidana. Selain ditegakkan di dalamnya juga
terdapat tujuan pemidanaan dan syarat pemidanaan. Tujuan pemidanaan terdapat
perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan pelakunya. Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa pidana pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai
tujuan yang bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan
masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.

Garland mendefinisikan pidana adalah :

“the legal process whereby violators of criminal law are condemned and sanctioned in
accordance with specified legal categories and procedures” {suatu proses pidana dimana

3
merupakan suatu celaan dan sanksi terhadap pelanggar hukum pidana sesuai kategorisasi
atau aturan hukum yang telah ditetapkan}.

Dengan demikian pidana merupakan nestapa yang dikenakan kepada seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang. Pidana dijatuhkan secara
sengaja oleh negara terhadap terpidana agar dirasakan sebagai nestapa. Penderitaan
pidana merupakan penebusan dosa dari si pembuat. Dengan penebusan dosa,
kesalahannya akan dipulihkan keseimbangan nilai pada diri si pembuat. Penebusan diri
adalah kebutuhan fundamental dan sifat moral kita.

Disisi lain pidana juga merupakan suatu reaksi atas delik dan berwujud suatu
nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa yang
ditimpakan kepada pembuat delik bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan
masyarakat, tetapi nestapa hanyalah suatu tujuan yang terdekat. Hukum pidana dalam
usahanya untuk mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan menjatuhkan
pidana, tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan. Menurut Roeslan Saleh
tindakan dapat dipandang sebagai suatu sanksi, tetapi tidak bersifat pembalasan, dan
ditujukan semata-mata pada prevensi khusus, dan tindakan dimaksudkan untuk menjaga
keamanaan masyarakat terhadap ancaman bahaya.

Menurut Simon pidana itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang
pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. Sementar itu Van Hamel
mengartikan pidana sebagai :

“suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari
keterlibatan hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.”

4
Persoalan pemidanaan bukanlah suatu proses sederhana untuk memasukkan
seseorang ke dalam penjara. Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem
moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu
zaman, sehingga permasalahan mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi
tiga perspektif yaitu filosofis, sosiologis dan kriminologis. Pemidanaan merupakan
bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses
mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana.
Dengan demikian hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang
bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian
konsep tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan
pidana dan proses pelaksanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai dapat dicela, maka
di sini pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.

Namun demikian dalam hukum pidana juga harus dipikirkan mengenai tujuan dan
pedoman pemidanaan. Mengingat dimana rumusan mengenai tujuan dan pedoman
pemidanaan dalam sebuah aturan menempati posisi sentral yang bertujuan memberikan
arah dan pegangan yang jelas bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Hal ini sesuai
dengan hakekat dari undang-undang itu sendiri yang sebenarnya merupakan sistem
hukum yang bertujuan. Selain itu adanya tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan
sebagai fungsi pengendali atau kontrol, sekaigus memberikan dasar filosofis, rasionalitas
dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan pemidanaan tersebut G. Peter
Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan
bahwa tujuan pidana adalah untuk :

1. Menyelesaikan konflik {conflict resolution}.

2. Mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain kearah perbuatan yang kurang
lebih sesuai dengan hukum {influencing offenders and possibly other than offenders
toward more or less law-conforming behavior}.
5
Sementara Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada hakekatnya ada dua poros
yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu :

1. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk
dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan
kejahatan.

2. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum merupakan pula penentuan hukum, merupakan
koreksi dari dan reaksi atas suatu yang bersifat tidak hukum.

Dengan demikian pada hakekatnya pidana adalah suatu perlindungan terhadap


masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. Di samping itu Roeslan Saleh
juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu akan membawa
kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat
diterima kembali dalam masyarakat.

Berkenaan dengan pedoman pemidanaan, terdapat beberapa pedoman


pemidanaan, yakni :

1. Pedoman bersifat umum yang memberikan pengarahan kepada hakim mengenai hal-
hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana.

2. Pedoman bersifat khusus yang khusus memberikan pengarahan kepada hakim dalam
memilih dan menjatuhkan jenis-jenis pidana tertentu.

3. Pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang
digunakan dalam perumusan delik.

Namun demikian, dalam prakteknya terdapat fakta yang kesenjangan antara


harapan dan kenyataan. Seperti masih tingginya angka residivis terhadap kejahatan, serta

6
banyak kejahatan yang menyebabkan viktimisasi terhadap narapidana kejahatan dalam
lingkaran sistem peradilan pidana. Pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana di Lembaga
Pemasyarakatan seharusnya akan sadar atas semua kesalahannya dan kembali menjadi
orang baik di masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya sering sekali pelaku malah
tidak bisa kembali menjadi orang baik, sehingga tidaklah mengherankan apabila
dikatakan penjara sebagai sekolah kejahatan.

Muncul model hukuman restoratif dikarenakan sistem peradilan pidana dan


pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem penjara
sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam dan
pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator menghukum tergantung
sejauhmana narapidana tunduk pada peraturan penjara. Jadi pendekatannya lebih ke
keamanan. Selain penjara juga berakibat pada keluarga narapidana, sistem yang berlaku
sekarang dinilai tidak melegakan dan menyembuhkan korban. Apabila proses hukumnya
memakan waktu cukup lama. Sebaliknya pemidanaan restoratif melibatkan korban,
keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu, mejadikan
pelaku tindak pidana bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
oleh perbuatannya. Pada korban penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita
fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa adil.

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunikasi itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling
mengasihi antar sesama. Sehingga peranan pemerintah dapat berkurang dan memonopoli
proses peradilan. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif sebuah
kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan
memperbaiki luka-luka mereka.

7
B. Konsep Restorative justice

Konsep restorative justice sebenarnya telah muncul cukup lama, kurang lebih
dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, khususnya
anak dengan berbagai pertimbangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh John
Braitewaite justice dan welfare model kemudian antara retribution dan rehabilitation. Di
Amerika Utara, Australia dan sebagian Eropa keadilan restoratif sudah diterapkan pada
semua tahap proses peradilan pidana konvensional yaitu tahap penyidikan dan
penuntutan, tahap adjudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan. Dalam perkembangannya,
pertumbuhan dan penyebaran keadilan restoratif diduga mendapat dukungan perserikatan
bangsa-bangsa. Dalam kongres Lima Tahunan yang ke-5 di Jenewa tahun 1975, PBB
mulai menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif
bagi peradilan pidana retributif.

Konsep asli praktek keadilan restoratif berasal dari praktek pemeliharaan


perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori yaitu penduduk asli suku di Selandia
Baru. Apabila timbul konflik, praktek restoratif akan menangani pihak pelaku, korban
dan para steakholders. Pada dasarnya restorative justice mengutamakan makna
pertemuan antar pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode sesudahnya. Seperti
dikemukakan Achmad Ali yang mengutip pendapat Howard Zher seorang perintis
keadilan restoratif di Amerika Serikat, mengartikan restorative justice adalah “suatu
proses yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dari sebuah pelanggaran
khusus dan secara bersama-sama mengidentifikasikan kerugian serta memenuhi
kewajiban dan kebutuhan serta menempatkan perubahan sebagai hak yang harus
diterima. Dari beberapa pendapat tersebut, upaya penyelesaian konflik dan sekaligus
penyembuhan antara pelaku dan korban caranya adalah dengan mempertemukan atau
mengenalkan pelaku dalam satu forum dengan korban ataupun keluarganya untuk
menumbuhkan empati di kedua belah pihak.

8
Dengan demikian dalam penyelesaian konflik yang ditonjolkan bukan
menegaskan kesalahan pelanggar kemudian menjatuhkan sanksi pidana, tetapi peran aktif
pihak berkonflik melalui mediasi atau kompensasi terhadap kerugian materiil dan
immateriil dalam bentuk restitusi atau kompensasi dan pemulihan keharmonisan
hubungan kemanusiaan antara para pihak. Mudzakin mengutip pendapat Van Ness yang
mengatakan restorative justice atau keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa
preposisi, yaitu:

1. Kejahatan adalah konflik individu yang mengakibatkan kerugian pada korban,


masyarakat dan pelaku itu sendiri.

2. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukan rekonsiliasi
di antara pihak-pihak sambil saling memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh
kejahatan.

3. Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif para korban, pelanggar
dan masyarakat, tidak semestinya peradilan pidana didominasi oleh negara dengan
mengesampingkan lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, jelas sudah bahwa keadilan restoratif


adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana
dengan menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian
perkara pidana yang ada. Pelibatan ini terkait dengan tahapan-tahapan penegakan hukum
pidana di tingkat penyidikan, terutama dalam proses penegakkan hukum kasus-kasus
tertentu di Indonesia berdasarkan pada berat ringannya pidana yang dilakukan, besar
kecilnya kerugian yang ditimbulkan, kondisi latar belakang dan motif pelaku serta
kondisi sosiologis masyarakat setempat. Bahwa restorative justive telah diakui secara
internasional sebagai upaya penyelesaian perkara pidana. Konsep ini sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.

9
Di Indonesia sebenarnya konsep restorative justice telah lama dipraktekkan oleh
masyarakat Indonesia, seperti msyarakat di Papua, Bali, Toraja, Minang, Kabau,
Kalimantan, Jawa Tengah dan masyarakat lain yang masih memegang kuat kebudayaan.
Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang. Dalam prakteknya penyelesaian
dilakukan dengan pertemuan atau musyawarah mufakat yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, pelaku, korban dan orang tua pelaku untuk mencapai kesepakatan untuk
memperbaiki kesalahan. Hal ini sebenarnya merupakan nilai dan ciri falsafah bangsa
Indonesia yang tercantum dalam sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah mufakat.
Dengan demikian, restorative justice sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat
Indonesia. Dalam musyawarah mufakat bertujuan untuk mencapai kedamaian, sehingga
antara pelaku dan korban tidak ada dendam dan korban dapat dipulihkan. Musyawarah
mufakat dalam konteks restorative justice bisa dilakukan dengan cara antara lain :
mediasi, pembayaran ganti rugi, ataupun cara lain yang disepakati antara korban atau
keluarga korban dengan pelaku. pihak lain bisa ikut serta dalam masalah ini misalnya
polisi, pengacara atau tokoh masyarakat sebagai penengah. Apabila penyelesaian ini tidak
ada sepakat antara korban dan pelaku maka selanjutnya penyelesaian masalah tersebut
diproses secara mekanisme pengadilan.

C. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan karakteristik


dengan orang dewasa, ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban
bagi seorang anak yang akan mempengaruhi pula kedudukannya di hadapan hukum.
Dalam pertimbangan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak juga disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk
menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus,
terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Menurut Retnowulan Sutianto,
perlindungan anak merupakan bagian dari Pembangunan Nasional. Melindungi anak
adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hal ini tercermin
pada hakekat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan

10
memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan
menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum,
ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.

Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on


the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak,
berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum. Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui
sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini
ditegaskan dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of
Juvenile Justice, bahwa tujuan peradilan anak adalah: sistem peradilan pidana bagi
anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa
reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu
sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun
pelanggaran hukumnya.

Terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan oleh anak, maka restorative justice
system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to restore)
perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak,
korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan
rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang
dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut
Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada “perlindungan masyarakat”
dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana”.

Di Indonesia sendiri selama kurang lebih enam belas tahun menggunakan


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menggunakan
pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif), yang
berparadigma penangkapan, penahanan, dan penghukuman penjara terhadap anak. Hal
11
tersebut tentu akan berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak
dan akan berdampak pada masa depan seperti kepentingan terbaik bagi anak, fakta
menunjukan jumlah narapidana anak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dimana hingga Juni 2013 terdapat 2.214 orang narapidana anak.

Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamental yang ada antara lain
digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi. Dalam peraturan ini
diatur mengenai kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan diversi
(penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum.

Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan


Restoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:

a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

12
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengedepankan pendekatan


restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban
atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap
sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban
(criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik
khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from
them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari
tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation).

Penerapan prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya


penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak walaupun secara yuridis formil
telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012,
namun secara formil pula muncul permasalahan terkait dengan waktu berlakunya
undang-undang tersebut yang pada Pasal 108 disebutkan: “Undang-Undang ini mulai
berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan” yang berarti undang-
undang tersebut baru berlaku pada bulan Juli tahun 2014, hal ini tentu akan memunculkan
permasalahan bagi penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak, di samping itu
kesiapan bagi seluruh aparatur penegak hukum, pemahaman masyarakat, dan sarana serta
pra-sarana menjadi faktor pendukung yang tidak dapat dikesampingkan dalam
menunjang berlakunya undang-undang tersebut. Ketika faktor pendukung tersebut tidak
memadai maka akan menimbulkan permasalahan kembali dan tentunya akan berimbas
bagi anak baik langsung maupun tidak langsung.

Secara nasional tujuan penyelenggaraan sistem peradilan terhadap anak terdapat


dalam UU No. 3 Tahun 1997 yang telah dirubah melalui UU No.11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru akan mulai dinyatakan berlaku setelah 2 (dua)

13
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni tanggal 30 Juli 2012. Substansi
mendasar UU No. 11 Tahun 2012 adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan
Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menajuhkan anak dari
proses peradilan sehingga terhindar dari stigmatisasi anak dan dengan demikian
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Pengertian
diversi ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 11 Tahun 2012 yakni pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana,
dan menurut Pasal 5 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa dalam SPP Anak
wajib diupayakan diversi. Upaya diversi dilakukan dalam setiap tahap SPP Anak mulai
dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan pada tahap pelaksanaan
putusan pengadilan.

Penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan


oleh anak-anak merupakan perintah secara sah, jelas dan tegas berdasarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam
pertimbangan undang-undang ini antara lain dikatakan, anak merupakan amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan
pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.

D. Konsep Restorative Justice Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia

Pembaharuan hukum pidana materiil dalam bentuk Rancangan Undang-Undang


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUUKUHP, merupakan upaya mewujudkan
cita negara hukum. Sehingga RUU KUHP merupakan perwujudan dari kepribadian
bangsa Indonesia yang tidak hanya mengutamakan kepentingan individual ataupun
mengutamakan kepentingan negara. Pembaharuan hukum pidana adalah memperbaiki
hukum yang ada yaitu dengan cara mengganti hukum yang ada dengan hukum yang lebih
baik. Sehingga RUU KUHP bukan sekedar mengadakan perubahan-perubahan
14
seperlunya yang mengganti baju kolonial menjadi kemasan nasional, melainkan wujud
dari kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang sesungguhnya. Bahkan pembaharuan
hukum menentukan arah pembentukkan watak bangsa, dari satu kondisi riil menuju
kondisi ideal, sehingga RUU KUHP merupakan alat transformasi sosial dan budaya
masyarakat secara terencana.

Hukum pidana merupakan salah satu bagian independen dari hukum publik yang
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangan penting eksistensinya sejak jaman
dahulu. Eksistensi hukum pidana sangat penting dalam menjamin keamanan masyarakat
dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan merupakan lembaga moral
yang berperan merehabilitasi para pelaku tindak pidana. Sehingga hukum pidana terus
berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Salah satu perkembangan
tersebut adalah munculnya ide penyelesaian konflik yang tidak hanya terfokus pada
proses hukum di pengadilan, akan tetapi diselesaikan oleh para pihak yang berkonflik
dengan cara memulihkan keadaan yang ada. Prinsip inilah kemudian dikenal dengan
restorative justice yang diperkenalkan dalam RUU KUHP melalui sejumlah ketentuan
dalam Pasal 2, Pasal 12, Pasal 54 dan Pasal 55, adanya mediasi dalam pasal 145 huruf d,
serta diversi terhadap anak dalam peradilan pidana. Munculnya konsep ini terutama untuk
memberikan keseimbangan perhatian antara steakholders hukum pidana yaitu pelaku,
korban, masyarakat dan negara. Keseimbangan tersebut juga terlihat dalam pengaturan
tentang pidana dengan pengaturan tentang tindakan dan dimungkinkan sanksi gabungan
antara pidana dan tindakan mengingat beragamnya masalah kejahatan, serta kesadaran
tentang pentingnya terapi yang tepat terhadap korban kejahatan.

Sebenarnya konsep restorative justice merupakan wujud dari hukum adat yang
sudah ada sejak dahulu berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sehingga diakuinya
hukum adat dalam RUU KUHP bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat dengan memulihkan keadaan yang telah rusak atau proses dimana
pihak-pihak berkepentingan memecahkan secara bersama cara mencapai kesepakatan
setelah terjadi suatu tindak pidana termasuk implikasinya di kemudian hari. Dengan
demikian, restorative justice dalam penanganan tindak pidana tidak hanya dilihat dari

15
kacamata hukum saja, tetapi juga dikaitkan dengan aspek-aspek moral, sosial, ekonomi,
agama dan adat istiadat lokal serta berbagai pertimbangan lainnya.

Dalam acara pidana konvensional apabila telah terjadi perdamaian antara korban
dan pelaku, tetapi hal tersebut tidak bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum
untuk meneruskan perkara tersebut ke pengadilan yang nantinya akan berujung pada
pemidanaan, karena perdamaian tidak menghapuskan sifat pidananya perbuatan. Proses
pidana yang memakan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun
korban tentu tidak serta merta memenuhi ataupun memulihkan hubungan anatar korban
dan pelaku, tetapi konsep restorative justice ini menawarkan proses pemulihan yang
melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses
pidana konvensional ini hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat
persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan.

Selain itu dalam perkembangan hukum pidana saat ini juga dikenal mediasi penal.
Dalam praktek hukum pidana, mediasi penal dianggap sebagai sebuah turunan dari
restorative justice , karena tidak perlu menjalankan hukum pidana melalui pengadilan.
Meskipun penyelesaian perkara diluar pengadilan atau ARD biasanya diterapkan dalam
perkara perdata, tetapi tidak untuk perkara pidana. Sebab pada tataran asas perkara pidana
tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, tetapi dalam prakteknya untuk hal-hal tertentu
mungkin terjadi, bahkan boleh jadi penyelesaian di luar pengadilan menjadi hal yang
ideal.

Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara ada


kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif
penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Banyaknya penyelesaian konflik hukum
pidana yang sering dilakukan masyarakat menyebabkan tuntutan untuk mempositifkan
bentuk-bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan semakin menguat. Restorative
justice menekan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengembalikan dampak
dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana memberikan pelaku
keadilan dari pada keadilan formal korban tidak mendapatkan keadilan apapun.

16
Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestor keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat dan yang lebih penting adalah sence of control.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa restorative justice


ini perlu dijadikan pertimbangan dalam hal melakukan pembaharuan hukum pidana
karena restirative jastice ini lebih mengedepankan keadilan yang bersifat restorative serta
meberikan peran aktif kepada pelaku, korban dan masyarakat untuk menyelesaiakan
konflik hukum pidana diluar pengadilan dengan menggunakan cara musyawarah mufakat
untuk menemukan kesepakatan dalam menyelesaikan permaslahan.

Restorative justice ini sudah dikenal lama di Indonesia yaitu melalui masyarakat
hukum adat karena dapat membawa kemanfaatan bersama dan menghindari dampak
buruk pidana penjara serta terhadap pemulihan bagi korban akan hak-haknya.

Konsep restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak dipandang baik
untuk diterapkan karena restorative justice bertujuan untuk menghindari anak dari
pemidanaan dan diganti dengan pembimbingan

Di Indonesia telah mengatur mengenai konsep restorative justice ini yaitu dalam
undang-undang sistem peradilan anak serta RUU KUHP sehingga diharapkan konsep
restorative justice ini benar-benar dapat diterapkan dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.

B. Saran

17
Diharapkan para penegakkan hukum dalam menghadapi permasalahan pidana
sebaiknya tidak selalu menggunakan penyelesaian melalui pengadilan yang akan
berujung pada pemidanaan pelaku. Diharapkan para penegak hukum khususnya dalam
tahap penyelidikan, penyidikan dapat menerapkan sistem restorative justice sehingga
permasalahan pidana dapat diselesaikan diluar pengadilan dengan cara musyawarah
mufakat untuk menjadi jalan keluar dari permasalahan.

Perlunya dilakukan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat terutama para


aparat penegak hukum mengenai konsep restorative justice ini terutama dalam
menyelesaikan permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum sehingga anak dapat
terhindar dari pemidanaan yang akan menghilangkan hak-hak anak.

DAFTAR PUSTAKA
Literatur dan Jurnal Ilmiah

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2008.

_________________. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana


Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2000.

Candra, Septa. Restorative Justice : Suatu Tinjauan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia, Jurnal Rechtsvinding Vol. 2 No. 2 Agustus 2013, Tangerang, 2013.

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2011.

18
Lenap, Dewi Yolandasari. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kejahatan
Berdasarkan Restorative Justice, Jurnal Ilmiah Universitas Mataram, Mataram,
2014.

Makarao, M. Taufik. Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice Dalam


Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM, Jakarta, 2013.
Mardiah, Ainal. Mediasi Penal Sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan
Anak, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Volume 1, Tahun 1, Nomor
1 Agustus 2012, Banda Aceh, 2012.

Munawara, dkk, Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang
Dilakukan Oleh Anak Di Kota Makasar, Jurnal Hukum Universitas Hasanudin,
Makasar, 2010.

Pratama Putra, Dedek Prasetya. Implementasi Restorative Justice Terhadap Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum Kepolisian Di Kota Surabaya, Skripsi Universitas
Negeri Surabaya, Surabaya, 2013.

Prayitno, Kuat Puji. Restorative Justive Untuk Peradilan Di Indonesia : Perspektif Yuridis
Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto, Jurnal Dinamika Hukum Vo. 12
No. 3 September 2012, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012.

Revana, Dey. Sistem Pemsyarakatan : Pergeseran Paradigma Pembinaan Narapidana dalam


Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Disertasi, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997.

Saleh, Roeslan. Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.

19
____________. Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

____________. Suatu Orientasi Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1978, hlm. 25.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993.

Yunus, Yutirsa. Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding Vo. 2 No. 2 Agustus
2013, Jakarta, 2013.

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif di Indonesia : Studi Tentang Kemungkinan Penerapan
Keadilan Retoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi
Universitas Indonesia, Depok, 2009.

20
21
1

Anda mungkin juga menyukai