Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA

KASUS PELANGGARAN HAM DI TIMOR-TIMUR

Oleh :
I KADEK ALIT BUDA ASTAWA
NIM :

JURUSAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang sudah memberi berkat dan rahmat-Nya sehingga kita semua masih bisa
beraktivitas seperti biasanya termasuk juga dengan penulis, hingga penulis bisa
menyelesaikan tugas pembuatan makalah Hak Asasi Manusia (HAM) dengan
judul Kasus Pelanggaran HAM di Timor-Timur.
Makalah ini berisi mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di daerah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) khususnya saat masih berada
dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disajikan dalam bentuk
makalah. Makalah ini disusun supaya para pembaca bisa menambah wawasan
serta memperluas ilmu pengetahuan yang ada mengenai kasus pelanggaran HAM
yang kami sajikan dalam sebuah susunan makalah yang ringkas, mudah untuk
dibaca serta mudah dipahami.
Penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada rekan-rekan
satu tim yang sudah membantu serta bapak / ibu dosen yang sudah membimbing
penulis supaya penulis mampu membuat makalah ini sesuai dengan ketentuan
yang berlaku hingga jadi sebuah makalah yang baik dan benar.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca serta
memperluas wawasan mengenai kasus-kasus HAM di Timor-Timur. Tidak lupa
pula penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat pada makalah yang ini,
serta dimohonkan untuk kritik dan sarannya agar dapat menyempurnakan laporan
ini dikemudian hari.

Denpasar, Desember 2014


Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................

(i)

DAFTAR ISI...........................................................................................

(ii)

BAB I PENDAHULUAN........................................................................

(1)

1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................

(1)

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................

(2)

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................

(2)

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................

(3)

2.1 Kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur........


2.2 Penerapan Hukum..........................................................................

(3)
(11)

2.3 Alasan Penangkapan Tersangka Eurico Gutteres...........................

(13)

BAB III PENUTUP.................................................................................

(15)

3.1 Simpulan........................................................................................

(15)

3.2 Saran..............................................................................................

(15)

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Semenjak berakhirnya perang dingin, ditandai runtuhnya salah satu Negara
adikuasa yaitu Uni Soviet, maka isu global beralih dari komunisme dan
pertentangan antara blok barat dan blok timur, ke masalah baru yaitu masalah Hak
Asasi Manusia, masalah lingkungan, dan masalah liberalism perdagangan. Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, tidak
terlepas dari gelombang isu Hak Asasi Manusia yang melanda hamper semua
Negara di dunia ini. Sebenarnya masalah Hak Asasi Manusia bukanlah masalah
baru bagi masyarakat dunia, karena isu Hak Asasi Manusia sudah mulai
dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215, sampai
lahirnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, yaitu
Universal Declaration Of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. Patut
pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum lahir Magna Charta di Inggris
tahun 1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam
tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan Piagam Madinnah pada tahun
622, yang memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi penduduk
Madinnah yang terdiri atas berbagai suku dan agama.
Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa
manusia semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu
dipahami bahwa Hak Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan
hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta
beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bias dikurangi (non
derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah
suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Kita tentunya masih ingat dengan peristiwa kerusuhan atau pembantaian di
provinsi Timor-Timur pada tahun 1999. Dimana pada waktu itu banyak korban
berjatuhan karena rakyat Timor-Timur memilih untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran


Uatulari, Timor Timur, 17 Juli 1971 ini lebih dikenal dengan nama beken Eurico
Guterres. Ia seorang milisi pro-Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur.
Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Selain
itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca
referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis akan memberikan beberapa
permasalahan dalam pembahasan makalah ini, yaitu :
1) Bagaimanakah kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur?
2) Bagaimana penerapan hukumnya?
3) Apakah alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yang didasarkan pada rumusan
masalah yang telah disusun yaitu untuk mengetahui kasus pelanggaran HAM di
Timor-Timur.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di TimorTimur.
2) Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap pelanggaran HAM tersebut.
4) Untuk mengetahui alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur

Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada


tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia.
Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975,
Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember
1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal
ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima
wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian
masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979.
Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara
dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal
30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka
(78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan
yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh
PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20
Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan
Timor Timur dengan Indonesia.
2.1.1 Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste
yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk
mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu
FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste
sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan
ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September,

Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000


penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka
adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah,
kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia
pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk
mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap
pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste),
masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika
pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975,
FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk
dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara
Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan
karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan,
terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap
kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN
yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini
dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral,
Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste
pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak
menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di
hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor
Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles
yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok
radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih
terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang
kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang
sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia
tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan
hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam

kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan


Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan
meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan
resmi PBB).
Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di
tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara
Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya),
namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak
saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan
terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini
ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan
ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi
dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari makan batu sebagaimana
dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 Lebih
baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan
senjata. Kenyataan membuktikan bahwa batu tidak bisa dimakan, dan rakyat
perlu makanan yang layak dimakan manusia.

2.1.2 Insiden Santa Cruz 1992


Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002)
mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara
lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk
Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979.
Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian
penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui
ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi
korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili,
12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno
Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari

peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena
pembredelan pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan
penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat
selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada
12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi
protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka,
Sebastio Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan
sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen
dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena
hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan
Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk
penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin
kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan,
pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di
kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu
politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy
Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang
diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para
juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka
memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan
dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh
pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera
itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter

First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan
di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang
keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang
praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh
siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan
kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam
kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan suatu penyimpangan.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah
Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada
1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak
bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.

2.1.3 Jajak Pendapat 1999


Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini
ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,

dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro
kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah
kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat,
yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor
Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras
dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak
pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan
Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas
menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi
jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro
kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih
kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang
selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi
batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor
Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur
adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang
sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagai speech act telah
dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie
menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena
yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan
ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis
banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste
adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor

Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi
militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis
dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999,
diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur.
Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima
pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak
pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap
menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan
Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluasluasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional,
dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa
keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri
Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang
menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi
referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya
berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of
self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan
bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru
dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama
beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas
ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak

konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap


sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur
merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi
kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie
dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara
itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai
Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon
lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try
Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto
tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah
untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional
maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang
dalam

pernyataan-pernyataannya

mendukung

langkah

presiden

Habibie

menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang


berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya
sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie
untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang.
Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat.
Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam
dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan
jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak
pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor
Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab
nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih

10

memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut


diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan
Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah
memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan
peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis
kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan
angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat
INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada
tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut
keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan
masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat.
Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran
dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan
sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan
Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar
Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia
memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.

2.2 Penerapan Hukum


Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok
yang pro integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak,
Pasukan Pejuang Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian
tersebut, adalah kerena ketidak setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang
menginginkan Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga menjadi negara
yang merdeka.

11

Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima


kelompok Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok
Aitarak dimana Terdakwa sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang
efektif.
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan
pencegahan ketika salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah
apel akbar peresmian PAM swakarsa, yang isinya:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan ;


Bunuh para Pemimpin CNRT ;
Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh ;
Bunuh Manuel Viegas Carrascalao ;
Keluarga Carrascalao harus dibunuh ;
Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao ;
Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ;
Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya.

Apa yang mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel
mereka mendatangi dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat
itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah
saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut melakukan penyerangan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel Viegas
Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa.
Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas
Carrascalao, yaitu :
1) Raul Dos Santos Cancela ;
2) Alfonso Ribeiro ;
3) Mario Manuel Carrascalao (Minelito) ;
4) Rafael da Silva ;
5) Alberto Dos Santos ;
6) Joao Dos Santos ;
7) Antonio Do Soares ;
8) Crisanto Dos Santos ;
9) Cesar Dos Santos ;
10) Agustino B.X. Lay ;
11) Eduardo De Jesus ;
12) Januario Pereira ;

12

Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam


pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a
dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.

2.3 Alasan Penangkapan Tersangka Eurico Gutteres


Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu,
Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya
melambung. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan
Mabes Polri, karena dituduh melanggar pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk melawan petugas. Eurico ditangkap
Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan
polisi yang dibuat Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya
berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia
menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah
dalam penguasaan kepolisian. Ini yang menjadi dasar pemeriksaan dan penahanan
Guterres," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf seperti
dikutip Kompas.
Sebenarnya, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, dalam perjalanan
lawatannya ke sejumlah negara, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika
melanggar undang-undang, Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang
seperti Eurico Guterres, kalau memang dia diketahui melanggar undang-undang
harus ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di atas. Sebelumnya, Kepala
Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira de Mello, juga
pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres dan
komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan
merupakan salah satu kendala penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di
Atambua.
Alasan penangkapan karena adanya bukti permulaan yang cukup,
menyusul diterimanya laporan polisi LP.603/IX/2000/Res Belu, 25 September

13

2000 serta SPDP dari Kapolres Belu kepada Kejari Atambua 29 September 2000.
Selain itu adanya keterangan saksi yang menerangkan keterlibatan pemohon
dalam

peristiwa

perampasan

senjata

api

di

Mapolres

Belu.

Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan


berdasarkan adanya kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri ,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Penangkapan terhadap pemohon, kata Suyitno, dilakukan berdasarkan
surat perintah penangkapan nomor Pol SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000
yang terlebih dahulu telah diperlihatkan dan ditunjukkan kepada pemohon saat
penangkapan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok
Pasukan Pejuang Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas
Carascalao di Kota Dili. Dalam kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak
12 (dua belas) orang dan rumah Viegas Carascalao mengalami kerusakan.

14

2. Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b


jis pasal 9 huruf a pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal 37 Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000.
3. Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di
Atambua. Ia menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali
senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian.

3.2 Saran
1. Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka
merupakan suatu hak apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga
pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju
harus diselesaikan secara musyawarah.
2. Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah
tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang
harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.
3. Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena
merupakan tindak pidana baru.

15

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia


Abdullah, R. 2004. Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia.
Bogor : PT. Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai