Oleh :
I KADEK ALIT BUDA ASTAWA
NIM :
JURUSAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang sudah memberi berkat dan rahmat-Nya sehingga kita semua masih bisa
beraktivitas seperti biasanya termasuk juga dengan penulis, hingga penulis bisa
menyelesaikan tugas pembuatan makalah Hak Asasi Manusia (HAM) dengan
judul Kasus Pelanggaran HAM di Timor-Timur.
Makalah ini berisi mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi
di daerah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) khususnya saat masih berada
dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disajikan dalam bentuk
makalah. Makalah ini disusun supaya para pembaca bisa menambah wawasan
serta memperluas ilmu pengetahuan yang ada mengenai kasus pelanggaran HAM
yang kami sajikan dalam sebuah susunan makalah yang ringkas, mudah untuk
dibaca serta mudah dipahami.
Penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada rekan-rekan
satu tim yang sudah membantu serta bapak / ibu dosen yang sudah membimbing
penulis supaya penulis mampu membuat makalah ini sesuai dengan ketentuan
yang berlaku hingga jadi sebuah makalah yang baik dan benar.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca serta
memperluas wawasan mengenai kasus-kasus HAM di Timor-Timur. Tidak lupa
pula penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat pada makalah yang ini,
serta dimohonkan untuk kritik dan sarannya agar dapat menyempurnakan laporan
ini dikemudian hari.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................
(i)
DAFTAR ISI...........................................................................................
(ii)
BAB I PENDAHULUAN........................................................................
(1)
(1)
(2)
(2)
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................
(3)
(3)
(11)
(13)
(15)
3.1 Simpulan........................................................................................
(15)
3.2 Saran..............................................................................................
(15)
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena
pembredelan pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan
penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat
selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada
12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi
protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka,
Sebastio Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan
sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen
dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena
hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan
Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk
penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin
kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan,
pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di
kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu
politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy
Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang
diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para
juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka
memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan
dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh
pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera
itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter
First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan
di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang
keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang
praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh
siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan
kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam
kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan suatu penyimpangan.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah
Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada
1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak
bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro
kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah
kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat,
yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor
Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras
dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak
pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan
Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas
menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi
jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro
kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih
kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang
selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi
batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor
Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur
adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang
sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagai speech act telah
dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie
menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena
yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan
ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis
banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste
adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor
Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi
militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis
dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999,
diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur.
Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima
pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak
pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap
menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan
Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluasluasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional,
dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa
keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri
Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang
menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi
referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya
berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of
self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan
bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru
dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama
beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas
ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak
pernyataan-pernyataannya
mendukung
langkah
presiden
Habibie
10
11
Apa yang mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel
mereka mendatangi dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat
itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah
saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut melakukan penyerangan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel Viegas
Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa.
Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas
Carrascalao, yaitu :
1) Raul Dos Santos Cancela ;
2) Alfonso Ribeiro ;
3) Mario Manuel Carrascalao (Minelito) ;
4) Rafael da Silva ;
5) Alberto Dos Santos ;
6) Joao Dos Santos ;
7) Antonio Do Soares ;
8) Crisanto Dos Santos ;
9) Cesar Dos Santos ;
10) Agustino B.X. Lay ;
11) Eduardo De Jesus ;
12) Januario Pereira ;
12
13
2000 serta SPDP dari Kapolres Belu kepada Kejari Atambua 29 September 2000.
Selain itu adanya keterangan saksi yang menerangkan keterlibatan pemohon
dalam
peristiwa
perampasan
senjata
api
di
Mapolres
Belu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok
Pasukan Pejuang Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas
Carascalao di Kota Dili. Dalam kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak
12 (dua belas) orang dan rumah Viegas Carascalao mengalami kerusakan.
14
3.2 Saran
1. Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka
merupakan suatu hak apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga
pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju
harus diselesaikan secara musyawarah.
2. Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah
tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang
harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.
3. Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena
merupakan tindak pidana baru.
15
DAFTAR PUSTAKA