Anda di halaman 1dari 22

TATA CARA DAN PENCATATAN PERKAWINAN

PADA PENGANUT ALIRAN KEPERCAYAAN


SAMIN

Nama : Muhammad Fitrah Noor


NPM : 1606847595
Mata Kuliah : Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK, 2016

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bagi masyarakat minoritas, bertahan di tengah-tengah gebyarnya modernitas
merupakan usaha yang tidak mudah. Apalagi harus mempertahankan adat istiadat atau
peraturan hukum yang mereka pegang sejak dulu. Salah satu kelompok masyarakat
minoritas yang masih kuat bertahan melawan perkembangan jaman adalah
masyarakat Samin atau Sedulur Sikep. Masyarakat Samin muncul dan berkembang
di Pulau Jawa yaitu di daerah Pati, Blora, dan Kudus. Masyarakat Samin dikenal
sebagai masyarakat yang tidak mempunyai agama. Akan tetapi, masyarakat Samin
mempunyai suatu kepercayaan yaitu dengan mengamalkan nilai-nilai dan peraturan
hukum yang merupakan warisan para leluhur.
Dalam sejarahnya yang panjang, keberadaan pengikut kepercayaan lokal seperti
Samin seringkali tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri. Karena itu, eksistensi
mereka

sering

didefinisikan

orang

lain

dengan

menggunakan

perspektif

keagamaannya sendiri. Dalam kaitan ini agama sering didefinisikan dengan memberi
unsur-unsur: adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki sistem
hukum yang jelas bagi para penganutnya, memiliki kitab suci, dan seorang nabi. Dari
sinilah komunitas pengikut kepercayaan lokal menjadi gagap dengan dirinya sendiri.
Hal demikian mempersulit posisi komunitas pengikut kepercayaan lokal. Mereka
tidak memperoleh pelayanan dari negara. Sebab, yang kemudian dilayani sebagai
agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Indonesia hanyalah Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konfusius (Konghucu). Meskipun eksistensi
agama yang terakhir ini telah menjadipersoalan yang berkepanjangan disebabkan
masih diragukan bobot sifat agama samawinya.
Dalam pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih
agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata
kepercayaan dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multiinterpretasi yang
dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti: Sapto
Dharma, Sumarah, Subud, pangestu dan juga termasuk Samin yang merupakan aliran
kepercayaan utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan,
pasal 29 yang memuat kata kepercayaan dianggap merupakan pengakuan negara

terhadap aliran kebatinan itu setaraf dengan agama-agama yang dipeluk oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Sebaliknya, bagi kelompok Islam ortodok, aliran-aliran
kebatinan semacam itu harus dibina dan dikembalikan pada agama induknya.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang tersebut dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hukum perkawinan pada aliran kepercayaan Samin Kudus?
2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan bagi masyarakat penganut aliran
kepercayaan Samin Kudus?
3. Bagaimanakah ketentuan mengenai kawin siri pada hukum perkawinan di
aliran kepercayaan Samin Kudus?
1.3. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini ditujukan agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman
secara lebih mendalam mengenai perkembangan hukum perkawinan aliran
kepercayaan Samin Kudus dan perkembangannya terhadap hukum positif
yang berlaku di Indonesia saat ini.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimanakah hukum perkawinan pada
aliran kepercayaan Samin Kudus.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pencatatan perkawinan bagi
masyarakat penganut aliran kepercayaan Samin Kudus.
3. Untuk mengetahui mengenai ketentuan tentang kawin siri
pada hukum perkawinan aliran kepercayaan Samin Kudus

1.4. Metodologi Penelitian


1.4.1 Bentuk Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode yuridis
normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang berusaha meneliti
bahan pustaka berupa bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.1
1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52.

1.4.2 Tipologi Penelitian


Jika dilihat dari sudut sifatnya, tipologi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bertujuan menggambarkan secara sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi suatu gejala, secara singkatnya
merupakan penilitan yang mendeskripsikan mengenai sebuah fenomena yang
terjadi.2
1.4.3 Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterangan berbagai
bahan hukum.
1.4.4 Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang didapat
dari berbagai sumber seperti buku-buku mengenai jaminan perdata, artikelartikel, dan jurnal-jurnal online yang tersedia di internet.
1.4.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi
kualitatif terhadap dokumen tentang hukum perkawinan aliran kepercayaan
Samin Kudus.
1.5. Kegunaan Teoritis dan Praktis
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini secara umum diharapkan dapat berguna untuk memperkaya
informasi dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum
perkawinan aliran kepercayaan.
1.5.2 Kegunaan Praktis
Diharapkan penelitian dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam
rangka mengetahui perkembangan hukum perkawinan aliran kepercayaan
Samin Kudus perkembangannya terhadap hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini.
1.6. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu:
BAB 1PENDAHULUAN

2 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm 4.

Pada

pendahuluan

ini

berisi

latar

belakang

masalah,

pokok

permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, kegunaan teoritis


dan praktis, serta sistematika penelitian dalam skripsi ini.
BAB 2

PEMBAHASAN
Dalam Bab II ini penulis membahas mengenai hukum perkawinan aliran
kepercayaan Samin, serta menganalisa ketetuan hukum perkawinan
Samin berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

BAB 3

PENUTUP
Bab III ini berisi kesimpulan dan saran yang diberikan penulis dan
diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya.

BAB II
PEMBAHASAN

Sekilas mengenai Ajaran Samin


Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu
suku yang ada di Indonesia. Kelompok Samin ini kini tersebar sampai Jawa Tengah,
namun

konsentrasi

terbesarnya

berada

di

kawasan Blora,

Jawa

Tengah

dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua


wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di
perbatasan dua provinsi. Samin atau Saminisme dan masyarakat Samin adalah
fenomena yang unik. Nilai uniknya terletak pada beberapa hal, antara lain adalah
saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Samin
Surosentiko melawan penjajahan Belanda tapi pada tahap perkembangan berikutnya
aksi moral Samin Surosentiko menjadi gerakan moral. Dari gerakan moral kemudian
berkembang menjadi gerakan kultural dan bahkan tak dapat dipungkiri Samin telah
berhasil menggulirkan idiologi baru yang khas Samin yakni Saminisme. Keunikan
yang lain adalah Samin selalu diidentikkan dengan keluguan yang bodoh, tapi dengan
kebodohan nya itu juga sangat cerdik. Disebut lugu yang bodoh karena mereka dapat
berkomunikasi secara lugas, mereka seolah-olah tidak mengenal bahasa politik. Tapi
juga kebodohan yang cerdik dan dengan bahasa yang lugas itu mereka mampu
memperdaya pemerintah penjajahan Belanda.3
Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang
mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan
terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah
menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang
karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok
di luarnya. Masyarakat Samin sendiri awalnya mengisolasi diri hingga baru pada
tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka.4
3 Abdul Wahib, M. Ag , Transformasi Sosial Keagamaan Pada Masyarakat Samin, (Semarang: IAIN Walisongo,
2001), hlm. 1.
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin

Namun seiring dengan perubahan zaman masyarakat Samin juga menyesuaikan


diri. Kelompok suku Samin ini kini sudah lebih terbuka terhadap aturan negara di luar
kebiasaan adat dan budayanya yang masih menjunjung tinggi adat gotong-royong,
sopan santun, rendah diri, dan rasa tanggung jawab. Mereka saat ini sudah
menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian,

serta

menggunakan

peralatan rumah tangga dari plastik, aluminium, dan lain-lain. Mereka juga kini
memiliki E-KTP5, SIM, dan memiliki kendaraan bermotor. Orang luar Samin sering
menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak
membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat
Bojonegoro.

Ajaran dan Tradisi yang diikuti kepercayaan Samin


Paham Saminisme dinamakan juga Agama Nabi Adam, ajaran Saminisme yang
terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan,
kebersamaan, keadilan, dan kerja keras. Pertama, ojo drengki srei, tukar padu,
dahwen kemiren, kutil jumput, lan mbedog colong. Artinya, jangan berhati jahat,
bertengkar, iri hati, dan mencuri. Kedua, pangucap budhelane ono pitu, lan pangucap
saka sanga bundhelane ana pitu. Maksudnya, perkataan dari angka lima ikatannya
ada tujuh, dan perkataan dari angka sembilan ikatannya ada tujuh. Maksud dari
simbol itu agar manusia memelihara mulut dari tutur kata tak berguna dan
menyakitkan hati. Ketiga, lakonana sabar atau jalani hidup dengan sabar. Orang
Samin juga punya acuan figur bernama Puntadewa. Raja Amarta di dunia pewayangan
merupakan tipikal orang sabar, jujur, pantang berbohong, selalu berkata apa adanya.
Tak heran bila hingga saat ini wayang kulit masih menjadi tontonan favorit dalam
komunitas ini.6
Ajaran Samin yang diterapkan pada zaman Belanda meliputi : a) tidak
bersekolah; b) tidak memakai peci, tapi memakai iket kepala, yaitu mirip orang
Jawa dahulu; c) tidak berpoligami; d) tidak memakai celana panjang dan hanya pakai
celana selutut; e) menanamkan budi pekerti seperti menanamkan sifat kejujuran,
5 http://m.tempo.co/read/news/2012/09/07/058427957/Ketika-Penganut-Samin-Dapat-EKTP
6 http://www.kompasiana.com/abyarsyyadwahaby.blogspot.com/wong-samin-penganut-agama-nabi-adamyang-an
ti-poligami_550097d98133110c51fa6fca

jangan memukul orang kalau kita tidak ingin dipukul orang, jangan lihat kesalahan
orang lain lihatlah kesalahan diri sendiri, jangan nilai orang lain nilailah diri sendiri
dan f) penolakan terhadap kapitalisme. Kesemuanya itu masih diamalkan sampai
sekarang kecuali tentang pendidikan, dimana anak-anak mereka sekarang ini sudah
pada bersekolah.7
Dalam kehidupan sehari-harinya, pengikut Samin melakukan sembahyang
dengan cara Samedi selama 2 atau 3 menit dan cara sembahyang yang dilakukan
orang Samin adalah menghadap ke timur, dengan cara Samedi, sehari 4 kali yaitu pagi
jam 06.00, berarti matahari terbit, jam 12.00 siang berarti matahari pas di atas, jam
18.00 berarti matahari terbenam dan jam 24.00 berati pergantian hari. Dengan niatnya
ingsun wang wung durung dumadi konone namung gusti.8

Hukum Perkawinan Adat Kepercayaan Samin


Menurut ajaran Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya
perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan Atmaja (U)Tama (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin, sejak awal
kemunculannya pada jaman penjajahan Belanda sudah diyakini bahwa anggota
masyarakat Samin tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu, dengan kata lain Samin
menganut asas monogami mutlak, sama seperti ketentuan KUHPerdata. Hal ini
dilakukan dalam ajaran Samin agar konflik dalam berkeluarga tidak akan terjadi,
karena ajaran Samin memang sangat menghindari terjadinya konflik dan kekerasan.
Selain itu dalam masyarakat Samin melakukan pernikahan dengan sesama pengikut
Samin. Hal ini merupakan langkah yang strategis agar generasi baru tersebut dapat
melanjutkan ajaran nenek moyang Samin. Antisipasi ini dilakukan dengan cara agar
mereka berada dalam satu lingkungan yang sama sehingga akan menjauhkan dari
pengaruh budaya luar (akulturasi) dan asimilasi.

7 Ibid.
8 Kementrian Agama RI, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 192.

No
1

Materi
Wali

Adat Samin
UU Perkawinan
KHI
Orang
Tua, Diatur
dengan Wali Nasab dan Wali

Pencatatan

Pakde, Paklek

ketentuan

Tidak Ada

masing-masing.
(1-2)
Dicatatkan (Pasal 2 Wajib dicatat (pasal

Perkawinan
3

Batas

(2))

Usia Tidak ada batasan Memakai

Kawin

agama Hakim. Pasal 20 ayat

usia minimal

5 ayat (1,2)
batasan Memakai

batasan

usia minimal. Pasal usia minimal. Pasal


6 ayat (2), pasal 7 15.

Perjanjian

Perkawinan
Perceraian

Tidak ada

ayat (1)
Diatur Pasal 29 ayat Diatur pasal 45-52.

Diserahkan

(1-4)
Diputuskan

oleh Diputuskan

oleh

kepada orang tua Hakim. PP 9 th 1975 Hakim. Pasal 1136

Mahar

yang menikahkan
Tidak disebutkan

pasal 14-36
Diatur

148.
sesuai Dipersyaratkan

ketentuan

agama sesuai

masing-masing
7

Saksi nikah

kemampuan.

Pasal

30-38.
Ditentukan

Tidak ditentukan Ditentukan


jumlahnya

dengan

jumlahnya. PP 9 th jumlahnya. Pasal 241975 Pasal 10 ayat 26.

Berpoligami Mutlak

(3).
tidak Persyaratan

diperbolehkan

Poligami

Poligami
sangat diperbolekan dengan

ketat. Pasal 3-5.


9

persyaratan tertentu.

Pasal 55-59.
Harta
Tidak diatur
Diatur secara
Diatur secara
tegas. Pasal
tegas. Pasal
bersama
35-37.
85-97.
Mengenai hal-hal materiil dalam perkawinan ajaran Samin, mencakup hal-hal
seperti adanya wali (orang tua), saksi (tamu undangan dan keluarga), adanya kedua
mempelai, adanya ijab dan kabul, dan mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di
hadapan forum), secara umum ada kemiripan antara adat Samin, UU Perkawinan dan
Hukum Islam. Namun secara teknis ada perbedaan antara adat Samin, UU
Perkawinan dan Hukum Islam. Perbedaan ketentuan antara ketiga sistem hukum pada
hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat pada umumnya, antara lain:

Tahapan Upacara Perkawinan Adat Samin


Perkawinan Kaum Samin merupakan kekayaan adat lokal (Local Wisdom) yang
perlu dilindungi oleh negara. Pengalaman penelitian yang dilakukan Moch. Rosydi
sejak tahun 2004 menunjukkan perkawinan Kaum Samin memiliki keunikan
tersendiri. Keyakinan masyarakat Samin dilakukan secara adat dengan proses yang
dibangun dari warisan para leluhur mereka baik ucapan maupun sikap dengan tahapan
perkawinannya. Prosesi perkawinan hampir memiliki kesamaan dengan mayoritas
masyarakat. Perkawinan dimulai dari Nyumuk, Ngendek, Nyuwito, dan Paseksen.9
Dalam

adat

perkawinan

umumnya, Nyumuksama

dengan

pinangan,

sementara Ngendek adalah untuk menyebut tukar cincin. Secara rinci tahapan
pernikahan adat Samin berupa:10
1.

Nyumuk, adalah kedatangan keluarga calon kemanten putra ke keluarga


kemantren putri untuk menanyakan apakah sudah mempunyai calon suami
ataukah masih gadis (legan). Kemudian pihak keluarga calon kemanten putra
menentukan hari untuk ngandek. Proses nyumuk ini tidak disertai dengan calon
kemanten putra.

2.

Ngandek, adalah pernyataan calon besan dari keluarga kemanten putra kepada
Bapak-Ibu calon kemanten putri untuk menindaklanjuti forum nyumuk.
Pelaksanaan ngandek diawali dengan pernyataan calon kemanten putra kepada
Bapak-Ibu dari calon kemanten putri bahwa dirinya berkeinginan mempersunting
seorang putri. Dalam proses ngandek, calon kemanten putra juga tidak ikut
menghadiri, hanya diwakilkan oleh kedua orangtuanya, tokoh Samin, Keluarga
Samin, dan beberapa tetangga baik Samin maupun non-Samin. Pada prosesi ini,
sang ibu dari calon kemanten putra biasanya memberi cincin emas kepada calon
kemanten putri (calon menantu) sebagai tanda telah diendek/diwatesi.

3.

Nyuwito-ngawulo, adalah hari dimana dilangsungkannya perkawinan yang


didasari niat dari kemanten putra untuk meneruskan keturunan (wiji sejati, titine

9 http://www.umk.ac.id/index.php/seputar-kudus/563-perkawinan-kaum-samin-terancam/551-perkawinan-ka
um-samin-terancam
10 http://arinafaila.blogspot.co.id/2014/09/samin-kudus-studi-kasus-perkawinan-samin.html

anak

Adam).

Dalam

mengucapkan ijab

perkawinan

yang

seorang pengantin laki-laki diharuskan

berbunyi

kurang

lebih

demikian:

Sejak

Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah
kami jalani berdua.11
Setelah pasuwitan (nyuwito), biasanya kemanten putra hidup bersama keluarga
kemanten putri dalam satu rumah, atau kemanten putri hidup bersama keluarga
kemanten putra berdasarkan kesepakatan antar besan. Kesepakatan tersebut
biasanya berdasarkan pada kenyataan. Maksudnya, apabila besan hanya memiliki
satu anak putra, maka kemanten putri ngawulo di rumah kemanten putra, begitu
sebaliknya.

Selama

proses ngawulo,

kemanten

membantu

melaksanakan

pekerjaan yang dilaksanakan mertuanya. Tidak ada batasan waktu dalam


ngawulo. Hanya menunggu kecocokan antar kedua kemanten. Kecocokan
biasanya ditandai dengan keduanya telah melakukan hubungan intim. Apabila
sudah demikian, makan selanjutnya akan dilakukan tahap paseksen.
4.

Paseksen, Setelah kemanten putra dan putrid melangsungkan hubungan intim


suami istri (kumpul), maka keluarga dari masing-masing kemanten harus segera
melaksanakan paseksen. Dalam prosesi paseksen terdapat beberapa runtutan
acara, yaitu:

a.

Pernyataan tuan rumah yang dijadikan sebagai tempat ngawulo

b.

Pernyataan kemanten putra

c.

Doa oleh tokoh Samin (nyintreni)

d.

Brokohan, merupakan acara terakhir, yaitu para tamu mendapatkan hidangan dari
tuan rumah.

Pengakuan Negara Terhadap Penganut Aliran Kepercayaan Samin


Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan di Indonesia
ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945):
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih

pendidikan

dan

pengajaran,

memilih

pekerjaan,

memilih

11 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/637540-begini-ucapan-pengantin-laki-laki-suku-samin

kewarganegaraan, memilih

tempat

tinggal

di

wilayah

negara

dan

meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas


kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduknya untuk memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya
tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang
wajib menghormati hak asasi orang lain.
Dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan Khong Hu Cu (Confusius). Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama dan
keyakinan lain dilarang di Indonesia. Penganut agama dan keyakinan di luar enam
agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Sehingga

jelas

bahwa

keberadaan

aliran

kepercayaan

Samin

diakui

keberadaannya oleh negara dan dijamin kebebasan berkeyakinannya secara


konstitusional sebagai hak dasar. Serta munculnya pengakuan resmi Pemerintah
terhadap keberadaan aliran kepercayaan ajaran Samin secara legal pada tahun 2014
menunjukan bahwa masyarakat Samin memang memiliki hak dasar untuk memeluk
keyakinan yang dijamin oleh pemerintah, yang akhirnya diakui secara resmi
walaupun bisa dikatakan pengakuan resmi tersebut terlalu lama diberikan dan telah
lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat Samin. Pengakuan kepercayaan warga suku
Samin ini dilakukan untuk memenuhi syarat normatif agar mereka mendapatkan hakhak administratif sebagai warga negara.12
12 https://m.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613335/kepercayaan-suku-samin-resmidiakui

Pencatatan Perkawinan Ajaran Samin di Kabupaten Kudus


Sebelum tahun 2007 belum ada aturan yang jelas tentang pencatatan perkawinan
bagi penghayat aliran kepercayaan Samin. Namun sejak berlakunya Undang-Undang
Adminduk No.23 tahun 2006 dan Peraturan Pelaksananya No.37 tahun 2007
perkawinan adat masyarakat Samin sudah memiliki payung hukum dan dapat
dicatatkan. Namun anehnya, walaupun telah memiliki dasar hukum pencatatan
perkawinan aliran kepercayaan sejak tahun 2007, pada tahun 2012 Kementrian
Agama melakukan sebuah penelitian di salah satu desa dengan masyarakat Samin
terbanyak, yaitu desa Sambungrejo, Kabupaten Kudus, dan penelitian tersebut
menunjukan bahwa perkawinan masyarakat Samin hingga penelitian tersebut
dilakukan belum pernah dicatatkan di desa tersebut. 13 Perkawinan-perkawinan
masyarakat Samin di desa Sambungrejo yang dilakukan secara adat, hinga pada tahun
2012 belum melakukan pencatatan di KUA, karena menurut Pramuji (tokoh Sedulur
Sikep di desa Sambongrejo), mereka masih menunggu payung hukum, supaya
perkawinan yang sudah dilakukan secara adat itu dilegalkan. Sedangkan dari sisi
pemerintah, dikatakan bahwa perkawinan masyarakat Samin belum diberikan payung
hukum karena masih dalam taraf dipelajari.14 Namun pada tahun 2014 Pemerintah
akhirnya mengakui agama suku Samin sebagai aliran kepercayaan secara legal yang
dianut oleh masyarakat setempat. Pengakuan kepercayaan warga suku Samin ini
dilakukan untuk memenuhi syarat normatif agar mereka mendapatkan hak-hak
administratif sebagai warga negara. Termasuk pula proses pernikahan warga suku
Samin kini diakui oleh wali adat yang kemudian bisa didaftarkan ke catatan sipil.
Sehingga akhirnya sejak tahun 2014 perkawinan masyarakat Samin sudah sah
dicatatkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.15
Akibat Hukum Penolakan Pencatatan Perkawinan Adat Samin dan Pencatatan
Perkawinan Adat Samin Setelah Berlakunya Undang-Undang No.23 tahun 2006
dan PP No.37 tahun 2007
13 Kementrian Agama RI, Op. Cit, hlm. 199.
14 Ibid.

15 https://m.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613335/kepercayaan-suku-samin-resmi-diakui

Sebelum berlakunya Undang-Undang No.23 tahun 2006 dan PP No.37 tahun


2007 perkawinan adat Samin tidak memiliki payung hukum untuk dicatatkan.
Meskipun dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam
nomor 024/G.TUN/1997, menyatakan bahwa KCS (Kantor Catatan Sipil) tidak
berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat itu ternyata KCS
tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada
keputusan Menteri Dalam Negeri yang initinya melarang KCS mencatat perkawinan
penganut kepercayaan. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan amanat konstistusi
kita UUD 1945 serta ketentuan-ketentuan pasal 16 ayat 2 Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Warga Negara - UU No. 7 tahun
1984.
Dengan tidak dapat dicatatnya suatu perkawinan dalam hal ini perkawinan
penghayat kepercayaan Samin, maka perkawinan tersebut tidak dapat dikatakan sah
menurut hukum. Tidak dapat dicatatnya perkawinan dalam Catatan Sipil akan
membawa konsekuensi konsekuensi hukum yang akan merugikan bagi para pihak
yang terikat perkawinan itu. Akibat-akibat tersebut yaitu :
1.

Perkawinan Dianggap tidak Sah, Meski perkawinan dilakukan menurut agama


dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika
belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

2.

Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu, Anakanak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat,
selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang
hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. (Catatan : Untuk saat ini
berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,
hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak
yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak
tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya).

3.

Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan, Akibat lebih jauh dari
perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun


warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara
Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan
gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
Setelah Undang-Undang No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
dan peraturan pelaksananya PP No.37 tahun 2007 dikeluarkan oleh pemerintah yang
mengatur antara lain pencatatan perkawinan para penghayat aliran kepercayaan
membuat syarat dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan
sudah jelas. Para penghayat kepercayaan sudah bisa mengatur tata cara pencatatan
perkawinan dan pemerintah telah mengakui perkawinan mereka.
PP 37 tahun 2007 adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pasal 105 undang undang itu
diatur bahwa dalam waktu enam bulan sejak disahkannya undang-undang itu,
pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan persyaratan
dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Dalam PP 37 Tahun 2007
dijelaskan bahwa bagi penghayat Kepercayaan persyaratan dan tata cara pencatatan
perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam BAB X pasal 81 sampai dengan
pasal 83. Adapun proses pencatatannya yaitu :
1.

Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat


Kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat
kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan. Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana tersebut didaftar
pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Es

2.

Peristiwa perkawinan kemudian wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau


UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan
menyerahkan:
a.

surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;

b.

fotokopi KTP;

c.

pas foto suami dan istri;

d.

akta kelahiran; dan

e.

paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

3.

Kemudian Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat


perkawinan tersebut dengan tata cara:
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami
istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam
formulir pencatatan perkawinan; dan
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta
perkawinan Penghayat Kepercayaan.

4.

Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan
kepada masing-masing suami dan istri.
Pemerintah

melalui

Mendagri

juga

telah

menerbitkan

Peraturan

Menteri(Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat


aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar
negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan
perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka
penghayat kepercayaan. Maka dengan ketentuan-ketentuan ini perkawinan penghayat
kepercayaan Samin telah diakui sah dan dapat dicatatkan sepanjang memenuhi aturanaturan tersebut.
Akte Kelahiran
Akibat dari tidak dicatatkannya perkawinan adalah anak-anak pasangan
penghayat kepercayaan tidak bisa mendapatkan akta kelahiran dengan alasan
pernikahan mereka dianggap tidak sah, padahal mereka melangsungkan pernikahan
sesuai adat dan kepercayaan masing-masing. Sehingga, banyak warga penghayat yang
terpaksa mengaku salah satu agama dalam kartu identitasnya jika ingin menikah,
Pencatatan pernikahan para penghayat kepercayaan ini dilakukan di kantor KUA jika
mereka mengaku islam dan KCS jika mengaku agama lainnya.
Pada tahun 2012, penelitian dari Kementrian Agama mendapati bahwa pada
masyarakat Samin, dalam masalah akte kelahiran dari pihak kantor catatan sipil sudah
memberikan pelayanan yang sama tanpa diskriminasi, walaupun warga yang
melahirkan tidak memiliki surat nikah, tetapi tetap anaknya dibuatkan surat akte
kelahiran, namun dalam surat tersebut tidak disebutkan nama ayahnya kecuali nama

ibunya.16 Namun sejak tahun 2014, Pemerintah telah mengakui agama suku Samin
sebagai aliran kepercayaan secara legal yang dianut oleh masyarakat setempat.
Pengakuan kepercayaan warga suku Samin ini dilakukan untuk memenuhi syarat
normatif agar mereka mendapatkan hak-hak administratif sebagai warga negara.
Termasuk pula proses pernikahan warga suku Samin kini diakui oleh wali adat yang
kemudian bisa didaftarkan ke catatan sipil. Dengan pengakuan itu, anak hasil
pernikahan warga suku Samin bisa diakui untuk mendapatkan akta kelahiran dan
menerangkan ayah hasil perkawinan adat itu sebagai wali anak. Dengan begitu, di
kartu keluarga menunjukkan kepala keluarga juga sang ayah, tidak seperti dulu yang
menyebutkan kepala keluarga ibu karena hasil pernikahan suku Samin sebelumnya
tak diakui.17
Perkawinan Siri dalam Hukum Perkawinan Adat Ajaran Samin
Pada tahun 2011, seorang peneliti masyarakat Samin Moch Rosyid mengatakan,
adat perkawinan yang dilakukan Kaum Samin juga terancam RUU peradilan agama
yang mengatur mengenai pernikahan siri, kawin kontrak dan poligami. RUU tersebut
mengancam adat perkawinan penganut aliran kepercayaan lokal termasuk Kaum
Samin, dikarenakan perkawinan adat masyarakat Samin saat itu belum bisa dicatatkan
di kantor catatan sipil sehingga tidak terdaftarnya perkawinan adat Samin dianggap
sebagai sebuah perkawinan siri oleh RUU tersebut. Padahal latar belakang munculnya
RUU tersebut, menurut Rosyid, dilatarbelakangi oleh praktik kawin kontrak
(nikah Mutah) di Bogor. Di mana praktik seperti ini merugikan pihak perempuan,
dan ini sangat berbeda dengan Kuam Samin, yang mana dalam pernikahan adat
masyarakat Samin mereka sudah saling percaya secara lisan, bahkan tidak mengenal
poligami.18
Perkawinan orang Samin menganut asas monogami mutlak. Perkawinan adat Samin
menuntut pasangan yang menikah untuk setia sehidup semati, mempererat
persaudaraan antarkeluarga, dan mendidik anak menjadi mulia. Secara tidak langsung,
perkawinan adat Samin yang ketat menjunjung kesetiaan mengkritik potret
16 Kementrian Agama RI, Op. Cit, hlm. 199.
17 https://m.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613335/kepercayaan-suku-samin-resmi-diakui
18 http://www.umk.ac.id/index.php/seputar-kudus/563-perkawinan-kaum-samin-terancam/551-perkawinan-kau
m-samin-terancam

perkawinan dan kehidupan suami istri pada era sekarang ini yang mana pasangan
hidup begitu mudahnya bercerai, menelantarkan anak, dan berselingkuh.19
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan; Pertama; pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak
wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali;
atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi
ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai
pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang NonIslam). Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan
rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.20
Dengan ketiga pengertian nikah siri tersebut, dapat dilihat bahwa ketiganya tidak
sesuai dengan nilai-nilai dan adat kebiasaan yang terkandung dalam perkawinan adat
Samin. Karena dalam perkawinan adat Samin mengandung asas monogami mutlak,
sangat tabu bagi masyarakat Samin untuk menikah lagi ketika masih memiliki
seorang pasangan, sehingga pernikahan siri yang dilakukan demi memiliki pasangan
lagi sangat bertentangan dengan nilai dasar perkawinan adat Samin. Kemudian
mengenai nikah siri yang dilakukan untuk sekedar memuaskan nafsu syahwat belaka,
ini juga sangat bertentangan dengan tuntutan perkawinan adat Samin yang menuntut
pasangan yang menikah untuk setia sehidup semati, mempererat persaudaraan
antarkeluarga, dan mendidik anak menjadi mulia. Serta yang ketiga adalah mengenai
pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan, seperti yang telah
diuraikan sebelumnya, masyarakat Samin telah bertahun-tahun memperjuangkan
pencatatan perkawinan adat Samin yang menganut aliran kepercayaan. Pencatatan
perkawinan adalah impian masyarakat Samin, sehingga pernikahan siri yang
dilakukan karena tidak dicatatkan adalah bertentangan pula dengan keadaan
masyarakat Samin. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan bahwa nikah siri tidak

19 http://nasional.kompas.com/read/2011/04/06/03304670/lindungi.perkawinan.adat.samin
20 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbda54730a68/persoalan-kawin-siri-dan-perzinahan

dikenal oleh hukum pernikahan adat masyarakat Samin, karena bertentangan dengan
nilai-nilai perkawinan adat yang dianut masyarakat Samin.21

21 Moh. Rosyid, Nihillisasi Peran Negara: Potret perkawinan Samin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
74.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

Keberadaan aliran kepercayaan Samin dijamin secara konstitusional dan telah


menerima pengakuan secara resmi dari pemerintah. Termasuk pencatatan
perkawinan adat masyarakat Samin yang telah diterima oleh kantor catatan sipil
sepanjang memenuhi ketentuan perkawinan aliran kepercayaan yang berlaku.
Dengan pengakuan itu, anak hasil pernikahan warga suku Samin bisa diakui
untuk mendapatkan akta kelahiran dan menerangkan ayah hasil perkawinan adat
itu sebagai wali anak. Dengan begitu, di kartu keluarga menunjukkan kepala
keluarga juga sang ayah, tidak seperti dulu yang menyebutkan kepala keluarga
ibu karena hasil pernikahan suku Samin sebelumnya tak diakui.

2.

Hukum perkawinan adat masyarakat Samin mengandung nilai-nilai dasar yang


bertentangan dengan praktik nikah siri. Sehingga di dalam masyarakat Samin
nikah siri tidak dikenal, karena masyarakat Samin menganut asas monogami
mutlak. Perkawinan adat Samin menuntut pasangan yang menikah untuk setia
sehidup semati, mempererat persaudaraan antarkeluarga, dan mendidik anak
menjadi mulia. Serta pengakuan pemerintah terhadap perkawinan masyarakat
Samin melalui pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil telah dinanti lama
oleh masyarakat Samin, sehingga nikah siri yang dilakukan diam-diam dan tidak
dicatatkan malah merupakan hal yang dihindari oleh masyarakat Samin sejak
lama.
B. Saran
Kini hak-hal sipil masyarakat Samin telah dipenuhi, perkawinan telah dicatatkan,
akta nikah sudah mencantumkan ayah, serta kolom agama di KTP telah
dikosongkan, tidak harus berpura-pura menganut salah satu dari 6 agama yang
diakui. Penulis menyarankan agar pemerintah melanjutkan kinerja baik ini kepada
masyarakat penganut aliran kepercayaan lainnya di Indonesia. Sehingga pada
akhirnya setiap warga negara Indonesia dipenuhi hak-hak konstitusonal dan
administratifnya, sehingga cita-cita Undang-Undang Dasar dan Sila ke 5
Pancasila terpenuhi, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Kementrian Agama RI. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Rosyid, Moh. Nihillisasi Peran Negara: Potret perkawinan Samin. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Depok: UI Press, 2010.
Wahib, M. Ag, Abdul. Transformasi Sosial Keagamaan Pada Masyarakat Samin.
Semarang: IAIN Walisongo, 2001.
ARTIKEL INTERNET
Ajaran Samin. Wikipedia. (https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin, diakses pada
tanggal 29 Oktober 2016)
Begini Ucapan Pengantin Laki-Laki Suku Samin. Viva News. 13 Juni 2015.
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/637540-begini-ucapan-pengantinlaki-laki-suku-samin, diakses tanggal 29 Oktober 2016)
Kepercayaan

Suku

Samin

Resmi

Di

Akui.

Tempo.

10

Oktober

2014.

(https://m.tempo.co/read/news/2014/10/10/058613335/kepercayaan-sukusamin-resmi-diakui, diakses tanggal 29 Oktober 2016)


Ketika

Penganut

Samin

Dapat

E-KTP.

Tempo.

September

2012.

(http://m.tempo.co/read/news/2012/09/07/058427957/Ketika-Penganut-SaminDapat-EKTP, diakses pada tanggal 29 Oktober 2016)


Lindungi

Perkawinan

Adat

Samin.

Kompas.

April

2011.

(http://nasional.kompas.com/read/2011/04/06/03304670/lindungi.perkawinan.a
dat.samin, diakses tanggal 29 Oktober 2016)
Perkawinan Kaum Samin Terancam. Universitas Muria Kudus. 9 April 2011.
(http://www.umk.ac.id/index.php/seputar-kudus/563-perkawinan-kaum-saminterancam/551-perkawinan-kaum-samin-terancam, diakses tanggal 29 Oktober
2016)
Persoalan

Kawin

Siri

dan

Perzinahan.

Hukum

Online.

30

Juni

2012.

(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbda54730a68/persoalan-kawinsiri-dan-perzinahan, diakses tanggal 29 Oktober 2016)

Studi Kasus Perkawinan Samin Kudus. Arina Faila Saufa. 6 September 2014.
(http://arinafaila.blogspot.co.id/2014/09/samin-kudus-studi-kasus-perkawinansamin.html, diakses tanggal 29 Oktober 2016)
Wong Samin Penganut Agama Nabi Adam yang Anti Poligami. Abyar Syyad. 17
Januari 2013. (http://www.kompasiana.com/abyarsyyadwahaby.blogspot.com/
wong-samin-penganut-agama-nabi-adam-yang-antipoligami_550097d98133110c51fa6fca, diakses 29 Oktober 2016)

Anda mungkin juga menyukai