Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEPASNYA TIMOR LESTE DARI INDONESIA PADA MASA


PEMERINTAHAN BJ.HABIBIE

Disusun oleh:
Firah Ananda
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah dengan judul “Lepasnya Timor Leste Dari Indonesia Pada Masa Pemerintahan
BJ.HABIBIE” dapat tersusun hingga selesai.

Penyusunan makalah yang berjudul “Lepasnya Timor Leste Dari Indonesia Pada Masa
Pemerintahan BJ.HABIBIE” ini dibuat dalam rangka untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran
sejarah Indonesia. Selain itu dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang hal yang melatarbelakangi dari peristiwa lepasnya Timor Leste dari
Indonesia.

Dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala
kekurangan baik dalam hal penulisan maupun isi dari makalah yang berjudul “Lepasnya Timor
Leste Dari Indonesia Pada Masa Pemerintahan BJ.HABIBIE” ini. Semoga apa yang sudah
tertuang dalam makalah ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………...…………………………


i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….………………
iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………...…………
1
I.I. Latar Belakang …………………………………………………………….…………...……..
1
I.2. Rumusan Masalah …………………………………………………………..……..………… 2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………...………….
3
2.1. Peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur…………………………
3
2.2. Faktor penyebab lepasnya indonesia dari timor-timur…………...………………………….. 6
2.3. Upaya Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur……………………………6
BAB III PENUTUP …………………………………………………………..
…………………...8
3.1. Simpulan …………………………………………………………………………………...…
8
DAFTAR PUSTAKA ……………...………………………………………...……………………
9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai salah satu
presiden terlama di dunia ketika ditetapkan oleh MPR untuk masa jabatan yang ke -7
pada tanggal 11 Maret 1998. Tetapi setelah dua bulan jabatan ke-7 Soeharto rezim orde
baru runtuh.

Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR dan MPR untuk
mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan oleh lembaga yang sama pula ,
lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh ketua DPR Harmoko yang didampingi
Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan utusan daerah di depan wartawan dan
mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “ Demi kemakmuran persatuan dan
kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun wakil-wakilnya mengharapkan agar
presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diri dari jabatannya ”.

Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat menyampaikan pernyataan dihadapan pers


pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mendataris MPR presiden akan mereshuffle
kabinet pembangunan VII dengan membentuk komite reformasi , untuk lebih
meyakinkan rakyat bahwa tugas komite ini segera menyelesaikan : UU pemilu , UU
kepartaian , UU susunan dan kedudukan DPR MPR dan DPRD ,UU anti monopoli , UU
anti korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto
terpojok karena 14 menteri tidak bersedia untuk sepakat dalam komite reformasi tersebut.

Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk
membentuk komite reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan
presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi harinya 21 Mei 1998 pukul 09.05 yang
dihadiri Menhankam , Mensesneg , Menteri Penerangan , Menteri Kehakiman dan
Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan Mahkamah Agung , ketua DPR , Sekjen DPR
dihadapan wartawan dalam dan luar negeri presiden Soeharto menyampaikan
pengunduran dirinya. Setelahnya wakil presiden B.J. Habibie langsung dilantik sebgai
presiden menggantikan Soeharto dan diangkat sumpahnya menjadi presiden RI ke-3
dihadapan pimpinan MA. Peristiwa ini disambut baik oleh masyarakat terutama para
mahasiswa yang berada di gedung MPR maupun DPR dan rezim kekuasaan orde baru
Soeharto resmi diruntuhkan dan era reformasi dimulai di bahwah pemerintahan B.J.
Habibie.

Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh
rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan
momentum reformasi itu persoalan status Timor Timur yang sudah ada pada masa
pemerintahan Soeharto menarik perhatian PBB dan masyarakat Internasional diharapkan
memperoleh kejelasan. Tetapi pada akhirnya masalah status Timor Timur akhirnya lepas
dari wilayah NKRI.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang diatas adalah :

1. Peristiwa-peristiwa apa sajakah yang mendorong


Timor Timur lepas dari wilayah NKRI ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
pelepasan wilayah Timor Timur ?
2. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia
untuk mempertahankan wilayah Timor Timur ?
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut
memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas
daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor
Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di
tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima
wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia
dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur
secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara
dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus
1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil
pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur
atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober,
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia.
2.1 Peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.
1. Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di
Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk
mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos
Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk
mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah ituFRETILIN
menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai RepublikDemokratik
Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama
berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan
September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000
penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah
pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi
kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian
meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN
yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi
terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah
Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada
tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah
pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan
tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena
penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga
pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.
Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di
Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do
Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada
tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier
di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa
lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di
hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis
sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain
yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang
sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang
keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara
Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-
November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari
200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN
menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau
mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara
Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan
menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa
tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh
sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah
cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari
roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan
FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka,
dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak
bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
2 Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang
hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung
ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan
pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angkakematianpendudukKambojadibawahPolPot. Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah
Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang
Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991,
masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit
Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media
yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan,
bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu,
tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes
Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes,
kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada
penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia
sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari
Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur.
Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota
delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan
kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri
dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang
berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik
dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn;
dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk
Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video
tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk
menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru
kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First
Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania
pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor
Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan
pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka
terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah
mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai
pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia
melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden
Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan
pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata,
dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
2.2 Faktor penyebab lepasnya indonesia dari timor-timur
a. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan,
pendidikan, dan kesehatan. Belum lagi minimnya sarana pendidikan, kesehatan, maupun
transportasi di sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara kita di timor timur tertarik
dengan ide kemerdekaan.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing
gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara
kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena
itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi,
tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
2.3. Upaya Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur
1. Otonomi luas yang diberikan pada timor timur
2. Kebebasan berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk memilih tetap
menjadi bagian indonesia ataukah memisahkan diri dan merdeka
3. Kebijakan presiden B.J. Habibiedengan memberikan opsi referendum untuk mencapai
solusi final atas masalah timor timur
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi
di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi
aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk
membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan
Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan
pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih
terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini
semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara
Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur
dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada
dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah
teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak
pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan
sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh
Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali
kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan
internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh
Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan
internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur
merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste
tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia
Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu
Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam
fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai
Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer
tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia
akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini,
maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada
tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di
Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama
mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk
pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh
masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan
bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor
Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim
Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang
menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum.
Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar
Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat
Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang
dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi
luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor
Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu
Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal
Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan
posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung
pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi
Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh
Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak
memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong
semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung Habibie kehilangan legitimasi baik
dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal
mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie
menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis,
terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor
Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan
September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali
menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara
yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu
masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan
(bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat
menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih
memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan
kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang
menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat
dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional
terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan
internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin
angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur
atauInternational Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor
Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan
tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan
penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999,
merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor
Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi
menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan
cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan.
Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan
Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan
Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena
rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di
Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara
lain ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu
berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya
gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi seperti yang
terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi internal tersebut telah
memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman
bagi kepentingan nasional. Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah
air juga menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Gerakan separatis
yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia harus dicermati agar pintu
masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika
dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada
akhirnya mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik
tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk
menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional.
DAFTAR PUSAKA

http://yanthie95.blogspot.com/2013/12/makalah-permasalahan-timor-timur.html
http://www.mabesad.mil.id/artikel/170706timor.htm
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/11/16/brk,20081116-146219,id.html
http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument

Anda mungkin juga menyukai