Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................................1
B. Rumusan masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Integrasi Timor Timur (1976)..........................................................................................................3
B. Referendum dan lepasnya Timor-Timur dari Indonesia (1999).......................................................4
BAB III.......................................................................................................................................................8
PENUTUP..................................................................................................................................................8
A. Kesimpulan......................................................................................................................................8
B. Saran................................................................................................................................................8

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Timor Timur terletak di timur pulau Timor dengan luas wilayah 18.899 km 2.
Pulau Timor kaya akan kayu cendana dan menjadi daerah tujuan persinggahan orang-
orang Barat setelah berdagang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah, oleh karena
itu Portugis (sekarang Portugal) dan Belanda menjadikan wilayah ini sebagai daerah
jajahannya. Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1976- 1999
sebagai propinsi ke-27.
Pada saat Timor Leste termasuk dalam wilayah Indonesia, Timor Leste disebut
dengan Timor Timur. Sebelum Timor Timur masuk ke dalam wilayah Indonesia,
Timor Timur disebut dengan Timor Portugis karena daerah ini merupakan wilayah
jajahan Portugis (sekarang Portugal). Timor Timur berada di bawah kekuasaan Portugal
selama empat abad. Kekuasaan ini runtuh akibat adanya Revolusi Bunga yang terjadi di
Portugal. Revolusi Bunga mencapai puncaknya pada tanggal 25 April 1974. Revolusi
Bunga dipelopori oleh perwira muda yang tergabung dalam Movimento das Forcas
Armadas (MFA) atau Gerakan Angkatan Bersenjata. Revolusi Bunga menentang rezim
Caetano-Salazar yang disebut dengan Estado Novo, atau negara baru, yang
membanggakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, namun sarat dengan penindasan.
Meletusnya Revolusi Bunga menjadikan situasi di Portugal mengalami perubahan yang
cukup drastis. Hal ini ditandai dengan berubahnya rezim Portugal dari kediktatoran
otoriter menjadi demokrasi yang praktis mengubah seluruh sendi ekonomi, sosial, dan
politik. Pada masa ini, pemerintahan Portugal mengalam imasa ketidakstabilan yang
juga berdampak terhadap negara-negara koloninya.Pemerintahan Salazar kemudian
digantikan oleh Jenderal Spinola. Jenderal Spinola yang diangkat menjadi presiden
Portugal ini mengusulkan mengadakan program dekolonisasi untuk wilayah-wilayah
jajahannya. Dekolonisasi pada dasarnya adalah usaha pembentukan negara federal yang
masing-masing memiliki otonomi intern secara penuh, sedangkan pemerintah federal di
Lisabon akan menguasai pertahanan dan hubungan luar negeri. Sementara itu, yang

1
menjabat sebagai gubernur di Timor Timur adalah Kolonel Alves Aldeia. Satu-satunya
organisasi politik yang diperbolehkan pada masa itu adalah Accao Nacional Popular
(ANP) atau Persatuan Nasional Rakyat yang merupakan partai milik pemerintah.
Karena gelombang revolusi ini juga merembes ke Timor Timur, Gubernur Alves Aldeia
pada 8 Mei 1975 terpaksa mengumumkan diperbolehkannya masyarakat Timor Timur
mendirikan partai politik.

B. Rumusan masalah
 Apakah yang melatar belakangi integrasi dan lepasnya Timor Timur?
 Apakah dampak insiden Santa Cruz bagi Indonesia?
 Apakah ada campur tangan pihak ketiga dalam peristiwa lepasnya Timor Timur
dari Indonesia?
 Apa dampak dari lepasnya Timor Timur?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah :
 Tujuan Umum
 Melatih daya pikir kritis sehingga menghasilkan karya tulis sejarah yang
berkualitas
 Menambah wawasan mengenai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di
Indonesia
 Tujuan Khusus
 Memberikan gambaran mengenai kondisi Timor Timur saat merdeka dari
jajahan Portugis
 Menjelaskan latar belakang Integrasi Timor Timur
 Menjelaskan latar belakang lepasnya Timor Timur dari Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Integrasi Timor Timur (1976)


Timor Timur sudah menjadi Negara jajahan portugis sejak 1769, hingga pada
masa colonial di tahun 1914 pulau Timor dibagi menjadi dua bagian yaitu Timor Barat
dan Timor Timur. Bagian barat dikuasai oleh Belanda dan bagian timur dikuasai oleh
Portugis. Timor Timur yg saat itu dikuasai oleh portugis dijadikan sebagai provinsi
portugis dan disebut Timor Portugis. Hingga pada 1974 terjadilah Revolusi Bunga di
portugis, revolusi bunga merupakan kudeta yang menumbangkan presiden Americo
Tomas dan perdana mentri Marcelo Caetano dan digantikan oleh pemerintahan militer
yang demokratis. Pemerintah baru portugis akhirnya memerdekakan semua Negara
jajahan portugis yang masi tersisa seperti Angola, Mozambik, dan salah satunya Timor
Timur.
Gejolak politik yang terjadi di Portugal dimanfaatkan oleh sebagian tokoh politik
Timor Timur untuk segera memerdekakan bangsa mereka dengan membentuk
pemerintahan yang berdaulat, namun terjadi perbedaan pendapat dimana partai Apodeti
dan partai UDT menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia karena alasan
politik, social, budaya dan ras. Namun sebaliknya partai Fretelin menginginkan
kemerdekaan Timor Timur berdaulat diatas kaki sendiri. Bahkan Fretelin memaksakan
keinginannya dan berusaha menekan lawan lawan politiknya dengan kekuatan bersenjata
hingga terjadi perang saudara di Timor Timur.
Tekanan Fretilin tersebut menyebabkan terjadinya pengungsian 50.000 warga
Timor Timur ke Indonesia pada pertengahan 1975. Hingga pada November 1975,
keadaan Timor Timur Semakin memburuk dimana Fretilin mengumumkan proklamasi
berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur di kota Dili dengan Xavier Do Amaral
sebagai presidennya. Tidak lama kemudian Proklamasi oleh Fretilin ini ditandingi oleh
Apodeti dan UDT dengan pernyataan Integrasi Timor Timur ke Indonesia. Pada 31 Mei
1976 Apodeti dan UDT menggelar sidang dengan pemerintahan sementara dan
membahas Integrasi Timor-Timur.
3
Hasil keputusan sidang tersebut antara lain:
1. Menyampaikan petisi Integrasi kepada pemerintah Indonesia,
2. Pembentukan komisi rumusan petisi integrasi, dan
3. Mempercayakan ketua sidang untuk menentukan delegasi.
Pada saat itu pemerintah Indonesia bertindak cepat dengan menyambut baik
petisi integrasi Timor Timur dan langsung mengirim 36 delegasi dan 11 perwakilan
Negara asing ke Timor Timur. Proses integrasi berjalan dengan dibuatnya RUU Integrasi
Timor Timur. UU tersebut disahkan oleh DPR dalam UU no. 7 tahun 1976 tentang
pengesahan Timor timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia.
Keputusan Integrasi Timor Timur diperkuat dengan Tap. No 6 Tahun 1978, dalam
sidang umum MPR tahun 1978. Sesuai dengan undang undang tersebut, Timor Timur
resmi ditetapkan sebagai bagian dari Indonesia.

B. Referendum dan lepasnya Timor-Timur dari Indonesia (1999)


Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun
1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah
Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan
bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini
menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan
di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun
1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya
Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979.
Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir
Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat
di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang
saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang
bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan
Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan
Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.

4
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi
kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan
November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil
(sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi
integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian
mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian
meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan
FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12
November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka
terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang
ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah
mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB
secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah
Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah
seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib
sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana
Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai
menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka,
dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru,
Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan
Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman
untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan
pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda
untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang
telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap
para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam
dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor,

5
ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas
Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang
menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni
mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang
berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia
yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang
menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa
Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri
Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus
disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian
Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah
demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan
kutukan internasional.
Referendum adalah jajak pendapat atau suatu proses pemungutan suara untuk
mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang mempengaruhi suatu
Negara secara keseluruhan. Misalnya seperti amandemen konstitusi, undang undang baru,
dan perubahan wilayah suatu Negara. Timor Timur yang sudah menjadi bagian dari
Indonesia selama kurang lebih 22 tahun merasa tidak puas dan ingin melakukan
Referendum. Faktor utama yang menjadi alas an bagi rakyat Timor Timur pada masa itu
adalah berjuang demi kemerdekaannya dan faktor lainnya seperti kemiskinan, keragaman
etnis, sistem politik yang represif, degradasi sumber daya, kesenjangan social dan
pelanggaran HAM.
Pada 27 januari 1999, Habibie meminta sekjen PBB yaitu Kofi Anan untuk
menjembatani perundingan antara Indonesia dengan Portugal mengenai Timor Timur.
Hingga pada 5 Mei 1999 dibuatlah New York Agreement antara Indonesia dengan
Portugal untuk melaksanakan Referendum di Timor Timur. Pemerintah menawarkan dua

6
opsi untuk penyelesaian masalah Timor Timur, yaitu menerima otonomi khusus untuk
Timor Timur di dalam NKRI atau menolak otonomi khusus tersebut lalu memisahkan diri
dari Indonesia.
Akhirnya Pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum yang diikuti sekitar
451.000 pemilih. Lalu, pada 3 September 1999, Sekjen PBB menyampaikan hasil
Referendum kepada dewan keamanan PBB. Hasilnya, 78,5% suara menolak otonomi,
Hasil Referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dilli pada 4 September
1999. Akhirnya MPR dalam sidang umum pada 1999 mencabut TAP MPR no.VI
Tahun1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti 1975.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika
kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan politik
luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, di mana
krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan
sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang
berujung pada proses disintegrasi seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya
perubahan dinamika kondisi internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk
menyesuaikan politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan
nasional.
Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari
Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan
Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat
upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya mengokohkan intervensi
Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari induknya,
Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga
kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional

B. Saran
Menurut saya, peristiwa lepasnya Timor Timur dapat menjadi pelajaran bagi kita
untuk tidak menyelesaikan suatu masalah dengan jalan kekerasan. Hal ini dapat dilihat
dari insiden Santa Cruz, dimana pihak Indonesia membantai para peserta demo dengan
sangat sadis. Peristiwa tersebutlah yang membuat Negara lain lebih mendukung Timor
Timur lepas dari Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai