0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
28 tayangan4 halaman
Ringkasan singkat dari dokumen tersebut adalah:
1. Timor Timur pernah menjadi provinsi Indonesia dari 1976 hingga 1999 dan berintegrasi setelah sebelumnya menjadi koloni Portugal selama 450 tahun.
2. Setelah proses dekolonisasi Portugal pada 1974, terjadi konflik di Timor Timur antara partai-partai politik dan berujung perang saudara yang dimenangkan FRETILIN.
3. Pada 1999, referendum kemerdekaan Timor Timur menghasilkan su
Ringkasan singkat dari dokumen tersebut adalah:
1. Timor Timur pernah menjadi provinsi Indonesia dari 1976 hingga 1999 dan berintegrasi setelah sebelumnya menjadi koloni Portugal selama 450 tahun.
2. Setelah proses dekolonisasi Portugal pada 1974, terjadi konflik di Timor Timur antara partai-partai politik dan berujung perang saudara yang dimenangkan FRETILIN.
3. Pada 1999, referendum kemerdekaan Timor Timur menghasilkan su
Ringkasan singkat dari dokumen tersebut adalah:
1. Timor Timur pernah menjadi provinsi Indonesia dari 1976 hingga 1999 dan berintegrasi setelah sebelumnya menjadi koloni Portugal selama 450 tahun.
2. Setelah proses dekolonisasi Portugal pada 1974, terjadi konflik di Timor Timur antara partai-partai politik dan berujung perang saudara yang dimenangkan FRETILIN.
3. Pada 1999, referendum kemerdekaan Timor Timur menghasilkan su
Timor Timur (disingkat Timtim, bahasa Tetun: Timor Lorosa'e) adalah
sebuah provinsi Indonesia yang pernah berdiri dari tanggal 17 Juli 1976 hingga 19 Oktober 1999. Ibu kotanya adalah Dili. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayahnya meliputi wilayah bekas koloni Portugal di Pulau Timor yang dianeksasi oleh militer Indonesia melalui sebuah operasi yang dikenal sebagai Operasi Seroja. Dari tahun 1702 hingga 1975, Timor Timur adalah bagian dari imperium Portugal yang bernama Timor Portugis. Pada tahun 1974, Portugal memprakarsai proses dekolonisasi bertahap dari sisa wilayah koloninya, termasuk Timor Portugis. Selama proses tersebut, konflik sipil antara berbagai pihak di wilayah ini meletus. Pada tahun 1975, atas berbagai masukan dari sejumlah tokoh di Timor Portugis, Indonesia mulai menginvasi wilayah ini, menyatakannya secara resmi sebagai provinsi ke-27 di tahun 1976, dan mengubah namanya menjadi Timor Timur. Timor Timur secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002 setelah referendum yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 menghasilkan 78,5% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pulau Timor telah dikenal jauh sebelum zaman kolonial. Bukti sejarah yang menunjukkan seperti tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca tahun 1365 M yang menyebut Timor sebagai anak sungai.[2] Pada masa itu, wilayah ini menjadi salah satu dari 98 anak sungai atau wilayah-wilayah yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit, namun mempunyai raja-raja yang otonom dan mandiri. Wilayah Timor pada masa pra-kolonial juga menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang terbentang antara India dan Tiongkok, serta Asia Tenggara Maritim. Barang-barang dari luar yang diperdagangkan antara lain logam; beras; tekstil halus; dan koin yang dibarter dengan rempah-rempah lokal seperti kayu cendana; tanduk rusa; lilin lebah; dan lain-lain. Kayu cendana merupakan komoditas utama wilayah ini. Pada tahun 1515, orang Portugis pertama kali mendarat di dekat Pante Makasar. Para pedagang Portugis mengeksplor kayu cendana dari Pulau Timor hingga pohon itu hampir punah. Di tahun 1556, sekelompok biarawan Dominikan mendirikan desa di Lifau. Selain itu, Timor Timur pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah (1570–1583), ia memperluas pengaruhnya dari Kepulauan Maluku; Mindanao; Sulawesi; Nusa Tenggara; Raja Ampat; hingga ke Kepulauan Marshall di sebelah timur. Ini ditandai dengan penempatan para wali kuasa Kesultanan Ternate (Sangaji) di wilayah-wilayah itu termasuk Timor Timur.[3][4] Saat itu Timor Timur masih merupakan "wilayah tak bertuan" (wilde occupantie) yang terdiri dari beberapa kerajaan (kesukuan) kecil dan para pedagang Portugis yang berdagang di wilayah ini.[5] Di akhir abad ke-16, Kesultanan Ternate mulai mengabaikan Timor Timur serta wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain, ditambah dengan pengaruh Belanda yang semakin menguat di Kesultanan Ternate pada awal abad ke-17.[6] Sejak akhir abad ke-16, Pulau Timor menjadi perebutan antara bangsa Portugis dan Belanda. Keduanya datang dengan tujuan untuk mengeksplor rempah-rempah. Tahun 1613, Belanda menguasai bagian barat pulau yang kemudian dikenal sebagai "Timor Belanda" atau Timor Barat. Selama tiga abad berikutnya, Belanda berhasil mendominasi wilayah Indonesia dengan pengecualian Pulau Timor bagian timur yang telah lebih dulu diduduki orang-orang Portugis. Pada tahun 1702, sebuah wilayah koloni baru Portugal berdiri di Timor dan beribukota di Lifau, yang juga menjadi ibu kota dari semua wilayah kekuasaan Portugal di Kepulauan Nusa Tenggara.[7] Sejak saat itu, wilayah koloni Portugal di Pulau Timor dikenali sebagai "Timor Portugis". Kontrol Portugal atas wilayah ini lemah, terutama di pedalaman pegunungan. Ini ditandai dengan persaingan antara pedagang Portugis dengan biarawan Dominikan dan orang Timor sendiri, serta serangan dari pasukan Belanda yang menguasai Timor Barat. Kontrol administrator kolonial sebagian besar terbatas pada daerah Dili, dan mereka harus bergantung pada kepala suku tradisional untuk memperkuat kontrol dan pengaruhnya. Pada tahun 1769, ibu kota dipindahkan dari Lifau ke Dili karena serangan dari beberapa penguasa lokal. Perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda secara resmi diputuskan pada tahun 1859 melalui Perjanjian Lisboa antara Portugal dan Belanda. Kemudian di tahun 1913, Portugal dan Belanda secara resmi sepakat untuk membagi pulau di antara mereka.[8] Batas definitif ditentukan oleh Mahkamah Arbitrase Antarabangsa pada tahun 1916.[9] Portugal menguasai wilayah Pulau Timor bagian timur dengan pulau kecil di sekitarnya dan sebuah wilayah eksklave di Timor Barat. Pada tahun 1942, wilayah ini diduduki oleh tentara Jepang yang pada waktu itu menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara; Asia Timur; dan Kepulauan Pasifik. Pada masa pendudukan Jepang ini terjadi pertempuran sengit di Pulau Timor antara pasukan Jepang melawan pasukan Portugis; Belanda; Australia; Amerika Serikat; Inggris; dan beberapa penduduk setempat baik dari timur maupun barat untuk mengusir tentara Jepang. Di bawah pendudukan Jepang, perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda diabaikan dan Pulau Timor dijadikan satu zona administrasi di bawah komando Tentara Kekaisaran Jepang. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan perang berakhir, Portugal merebut kembali wilayahnya di Timor Timur, sementara Timor Barat menjadi bagian dari Indonesia setelah kemerdekaannya di tahun 1945. Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur: APODETI (Associação Popular Democrática Timorense); FRETILIN (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente); UDT (União Democrática Timorense); Partido Trabalhista; KOTA (Klibur Oan Timor Asu’wain); dan ADITLA (Associação Democratica para a Integração de Timor-Leste na Austrália). UDT menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. APODETI menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Partai-partai kecil, seperti KOTA menginginkan pemerintahan monarki tradisional yang fokus pada kepemimpinan lokal, ADITLA menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Australia, dan Partai Trabalhista (Partai Buruh) yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali. Pada awalnya, di antara partai-partai tersebut terbentuk dua pandangan besar di Timor Timur, yakni koalisi antara Partai UDT dan FRETILIN yang dimaksudkan sebagai jalan untuk membentuk Timor Timur yang merdeka sebagai sebuah negara, serta Partai APODETI yang menghendaki integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Namun, di kemudian hari koalisi Partai UDT dan FRETILIN tidak bertahan lama seiring adanya isu pengkomunisan yang akan dilakukan FRETILIN. Beberapa tokoh UDT akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan APODETI dan mengarahkan dukungannya untuk berintegrasi dengan Indonesia. Arah dukungan Partai APODETI dan UDT itu belakangan juga diikuti oleh beberapa tokoh dari partai-partai lain seperti KOTA dan Trabalhista, sementara Partai ADITLA yang awalnya menghendaki integrasi Timor Timur dengan Australia kemudian membatalkan niatnya setelah pemerintah Australia menyatakan dengan tegas menolak gagasan tersebut. Keluarnya UDT dari koalisi dengan FRETILIN menimbulkan konflik antara kedua partai tersebut yang berujung pada perang saudara di Timor Timur yang berlangsung dari tanggal 20 Agustus hingga 27 Agustus 1975. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT, APODETI, maupun penduduk sipil pendukung faksi integrasi dengan Indonesia. Di tengah kemelut perang saudara, Gubernur Timor Portugis Mário Lemos Pires menghubungi pemerintah pusat di Portugal agar mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur. Karena tidak mendapatkan jawaban, Lemos Pires kemudian memerintahkan penarikan tentara Portugis yang masih bertahan ke Pulau Atauro. Perang saudara itu akhirnya dimenangkan oleh FRETILIN, yang kemudian secara de facto memegang kendali atas wilayah Timor Timur yang sedang terjadi kekosongan kekuasaan, meskipun beberapa pertempuran dan pembantaian masih berlangsung di beberapa daerah. Walaupun secara de facto memegang kendali pemerintahan, tetapi FRETILIN tetap mengakui kedaulatan Portugal atas Timor Timur dan menginginkan pemerintahan Portugis kembali dan melanjutkan proses dekolonisasi. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, FRETILIN membentuk beberapa komisi dalam menjalankan pemerintahan sementara sambil menunggu hasil komunikasi dengan pemerintah Portugal. Pada awal November 1975, menteri luar negeri dari Portugal dan Indonesia bertemu di Roma, Italia untuk membahas penyelesaian konflik. Meskipun tidak ada pemimpin dari Timor Timur yang diundang ke pembicaraan, FRETILIN mengirim pesan yang menyatakan keinginan mereka untuk bekerja sama dengan Portugal. Pertemuan berakhir dengan kedua pihak sepakat bahwa Portugal akan bertemu dengan para pemimpin politik di Timor Timur, tetapi pertemuan itu tidak pernah terjadi. Frustrasi oleh kelambanan Portugal, para pemimpin dari FRETILIN percaya bahwa mereka dapat menangkis kemajuan yang dicapai Indonesia dengan lebih efektif jika mereka mendeklarasikan Timor Timur yang merdeka. Komisaris Politik Nasional Marí Alkatiri melakukan perjalanan diplomatik ke Afrika, mengumpulkan dukungan dari pemerintah di sana dan di tempat lain. Menurut FRETILIN, upaya ini menghasilkan jaminan dari dua puluh lima negara, termasuk Tiongkok; Uni Soviet; Mozambik; Swedia; dan Kuba untuk mengakui negara baru yang akan didirikan. FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur secara sepihak pada tanggal 28 November 1975, menyebutnya sebagai República Democrática de Timor-Leste (bahasa Portugis untuk "Republik Demokratik Timor Leste"). Proklamasi yang belakangan didukung oleh Portugal ini tidak diakui oleh pemerintah Indonesia yang sebelumnya telah mencapai kesepakatan dengan pihak Portugal dalam pertemuan di Roma.[10] Sejurus selepas itu, partai pro-integrasi, yakni APODETI; UDT; Trabalhista; dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araújo (APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan Timor Barat, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Beberapa pihak dari kalangan pro-kemerdekaan kemudian menuduh deklarasi yang diadakan oleh kalangan pro-integrasi di Balibo dan pasukan-pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi sengaja dirancang oleh intelijen Indonesia, dengan maksud untuk memperkuat legitimasi Indonesia menyerbu wilayah Timor Timur. Pada 7 Desember 1975, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan invasi militer ke Timor Timur. Selama masa invasi, massa penolak integrasi dibantai oleh pasukan ABRI, sedangkan anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer Indonesia. Menyusul invasi tersebut, Gubernur Timor Portugis dan stafnya meninggalkan Pulau Atauro dengan dua kapal perang Portugal, menuju ke Darwin, Australia. Sebagai pernyataan kedaulatan, Portugal tetap mempertahankan kapal perang yang berpatroli di perairan sekitar Timor Timur hingga Mei 1976. Setelah Timor Timur jatuh ke tangan Indonesia, gabungan partai yang pro-integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araújo sebagai Gubernur serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai Wakil Gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat merasa ingin bersatu dengan Indonesia karena persamaan budaya dengan saudara serumpunnya, Timor Barat. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik, karena merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal, dimana provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda. Pada saat Presiden Soeharto menghadiri peringatan 2 tahun Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I Timor Timur, ia menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang ke pangkuan ibu pertiwi".