Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH TIMOR TIMUR

Timor Timur (disingkat Timtim, bahasa Tetun: Timor Lorosa'e) adalah


sebuah provinsi Indonesia yang pernah berdiri dari tanggal 17 Juli 1976 hingga 19 Oktober 1999.
Ibu kotanya adalah Dili. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayahnya meliputi wilayah
bekas koloni Portugal di Pulau Timor yang dianeksasi oleh militer Indonesia melalui
sebuah operasi yang dikenal sebagai Operasi Seroja.
Dari tahun 1702 hingga 1975, Timor Timur adalah bagian dari imperium Portugal yang
bernama Timor Portugis. Pada tahun 1974, Portugal memprakarsai proses dekolonisasi bertahap
dari sisa wilayah koloninya, termasuk Timor Portugis. Selama proses tersebut, konflik
sipil antara berbagai pihak di wilayah ini meletus. Pada tahun 1975, atas berbagai masukan dari
sejumlah tokoh di Timor Portugis, Indonesia mulai menginvasi wilayah ini, menyatakannya
secara resmi sebagai provinsi ke-27 di tahun 1976, dan mengubah namanya menjadi Timor
Timur.
Timor Timur secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002
setelah referendum yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 menghasilkan 78,5%
pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Pulau Timor telah dikenal jauh sebelum zaman kolonial. Bukti sejarah yang menunjukkan seperti
tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca tahun 1365
M yang menyebut Timor sebagai anak sungai.[2] Pada masa itu, wilayah ini menjadi salah satu
dari 98 anak sungai atau wilayah-wilayah yang bernaung di bawah kekuasaan Majapahit, namun
mempunyai raja-raja yang otonom dan mandiri. Wilayah Timor pada masa pra-kolonial juga
menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang terbentang antara India dan Tiongkok, serta Asia
Tenggara Maritim. Barang-barang dari luar yang diperdagangkan antara lain logam; beras; tekstil
halus; dan koin yang dibarter dengan rempah-rempah lokal seperti kayu cendana; tanduk
rusa; lilin lebah; dan lain-lain. Kayu cendana merupakan komoditas utama wilayah ini. Pada
tahun 1515, orang Portugis pertama kali mendarat di dekat Pante Makasar. Para pedagang
Portugis mengeksplor kayu cendana dari Pulau Timor hingga pohon itu hampir punah. Di tahun
1556, sekelompok biarawan Dominikan mendirikan desa di Lifau.
Selain itu, Timor Timur pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Pada masa
pemerintahan Sultan Baabullah (1570–1583), ia memperluas pengaruhnya dari Kepulauan
Maluku; Mindanao; Sulawesi; Nusa Tenggara; Raja Ampat; hingga ke Kepulauan Marshall di
sebelah timur. Ini ditandai dengan penempatan para wali kuasa Kesultanan Ternate (Sangaji) di
wilayah-wilayah itu termasuk Timor Timur.[3][4] Saat itu Timor Timur masih merupakan "wilayah
tak bertuan" (wilde occupantie) yang terdiri dari beberapa kerajaan (kesukuan) kecil dan para
pedagang Portugis yang berdagang di wilayah ini.[5] Di akhir abad ke-16, Kesultanan Ternate
mulai mengabaikan Timor Timur serta wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain, ditambah
dengan pengaruh Belanda yang semakin menguat di Kesultanan Ternate pada awal abad ke-17.[6]
Sejak akhir abad ke-16, Pulau Timor menjadi perebutan antara bangsa Portugis dan Belanda.
Keduanya datang dengan tujuan untuk mengeksplor rempah-rempah. Tahun 1613, Belanda
menguasai bagian barat pulau yang kemudian dikenal sebagai "Timor Belanda" atau Timor
Barat. Selama tiga abad berikutnya, Belanda berhasil mendominasi wilayah Indonesia dengan
pengecualian Pulau Timor bagian timur yang telah lebih dulu diduduki orang-orang Portugis.
Pada tahun 1702, sebuah wilayah koloni baru Portugal berdiri di Timor dan beribukota di Lifau,
yang juga menjadi ibu kota dari semua wilayah kekuasaan Portugal di Kepulauan Nusa
Tenggara.[7] Sejak saat itu, wilayah koloni Portugal di Pulau Timor dikenali sebagai "Timor
Portugis". Kontrol Portugal atas wilayah ini lemah, terutama di pedalaman pegunungan. Ini
ditandai dengan persaingan antara pedagang Portugis dengan biarawan Dominikan dan orang
Timor sendiri, serta serangan dari pasukan Belanda yang menguasai Timor Barat. Kontrol
administrator kolonial sebagian besar terbatas pada daerah Dili, dan mereka harus bergantung
pada kepala suku tradisional untuk memperkuat kontrol dan pengaruhnya. Pada tahun 1769, ibu
kota dipindahkan dari Lifau ke Dili karena serangan dari beberapa penguasa lokal.
Perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda secara resmi diputuskan pada tahun 1859
melalui Perjanjian Lisboa antara Portugal dan Belanda. Kemudian di tahun 1913, Portugal dan
Belanda secara resmi sepakat untuk membagi pulau di antara mereka.[8] Batas definitif ditentukan
oleh Mahkamah Arbitrase Antarabangsa pada tahun 1916.[9] Portugal menguasai wilayah Pulau
Timor bagian timur dengan pulau kecil di sekitarnya dan sebuah wilayah eksklave di Timor
Barat.
Pada tahun 1942, wilayah ini diduduki oleh tentara Jepang yang pada waktu itu menguasai
sebagian besar wilayah Asia Tenggara; Asia Timur; dan Kepulauan Pasifik. Pada masa
pendudukan Jepang ini terjadi pertempuran sengit di Pulau Timor antara pasukan Jepang
melawan pasukan Portugis; Belanda; Australia; Amerika Serikat; Inggris; dan beberapa
penduduk setempat baik dari timur maupun barat untuk mengusir tentara Jepang. Di bawah
pendudukan Jepang, perbatasan antara Timor Portugis dan Hindia Belanda diabaikan dan Pulau
Timor dijadikan satu zona administrasi di bawah komando Tentara Kekaisaran Jepang.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan perang berakhir, Portugal merebut kembali
wilayahnya di Timor Timur, sementara Timor Barat menjadi bagian dari Indonesia setelah
kemerdekaannya di tahun 1945.
Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang
mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah
jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor
Timur: APODETI (Associação Popular Democrática Timorense); FRETILIN (Frente
Revolucionária de Timor-Leste Independente); UDT (União Democrática Timorense); Partido
Trabalhista; KOTA (Klibur Oan Timor Asu’wain); dan ADITLA (Associação Democratica para
a Integração de Timor-Leste na Austrália). UDT menginginkan Timor Timur tetap berada di
bawah kekuasaan Portugal. APODETI menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan
Indonesia. FRETILIN menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat.
Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Partai-partai kecil, seperti KOTA menginginkan
pemerintahan monarki tradisional yang fokus pada kepemimpinan lokal, ADITLA menginginkan
Timor Timur berintegrasi dengan Australia, dan Partai Trabalhista (Partai Buruh) yang didukung
oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali.
Pada awalnya, di antara partai-partai tersebut terbentuk dua pandangan besar di Timor Timur,
yakni koalisi antara Partai UDT dan FRETILIN yang dimaksudkan sebagai jalan untuk
membentuk Timor Timur yang merdeka sebagai sebuah negara, serta Partai APODETI yang
menghendaki integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Namun, di kemudian hari koalisi Partai
UDT dan FRETILIN tidak bertahan lama seiring adanya isu pengkomunisan yang akan
dilakukan FRETILIN. Beberapa tokoh UDT akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan
APODETI dan mengarahkan dukungannya untuk berintegrasi dengan Indonesia. Arah dukungan
Partai APODETI dan UDT itu belakangan juga diikuti oleh beberapa tokoh dari partai-partai lain
seperti KOTA dan Trabalhista, sementara Partai ADITLA yang awalnya menghendaki integrasi
Timor Timur dengan Australia kemudian membatalkan niatnya setelah pemerintah Australia
menyatakan dengan tegas menolak gagasan tersebut.
Keluarnya UDT dari koalisi dengan FRETILIN menimbulkan konflik antara kedua partai
tersebut yang berujung pada perang saudara di Timor Timur yang berlangsung dari tanggal 20
Agustus hingga 27 Agustus 1975. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik
terhadap pasukan UDT, APODETI, maupun penduduk sipil pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia. Di tengah kemelut perang saudara, Gubernur Timor Portugis Mário Lemos Pires
menghubungi pemerintah pusat di Portugal agar mengirimkan bala bantuan ke Timor Timur.
Karena tidak mendapatkan jawaban, Lemos Pires kemudian memerintahkan penarikan tentara
Portugis yang masih bertahan ke Pulau Atauro.
Perang saudara itu akhirnya dimenangkan oleh FRETILIN, yang kemudian secara de
facto memegang kendali atas wilayah Timor Timur yang sedang terjadi kekosongan kekuasaan,
meskipun beberapa pertempuran dan pembantaian masih berlangsung di beberapa daerah.
Walaupun secara de facto memegang kendali pemerintahan, tetapi FRETILIN tetap mengakui
kedaulatan Portugal atas Timor Timur dan menginginkan pemerintahan Portugis kembali dan
melanjutkan proses dekolonisasi. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, FRETILIN membentuk
beberapa komisi dalam menjalankan pemerintahan sementara sambil menunggu hasil
komunikasi dengan pemerintah Portugal.
Pada awal November 1975, menteri luar negeri dari Portugal dan Indonesia bertemu
di Roma, Italia untuk membahas penyelesaian konflik. Meskipun tidak ada pemimpin dari Timor
Timur yang diundang ke pembicaraan, FRETILIN mengirim pesan yang menyatakan keinginan
mereka untuk bekerja sama dengan Portugal. Pertemuan berakhir dengan kedua pihak sepakat
bahwa Portugal akan bertemu dengan para pemimpin politik di Timor Timur, tetapi pertemuan
itu tidak pernah terjadi. Frustrasi oleh kelambanan Portugal, para pemimpin dari FRETILIN
percaya bahwa mereka dapat menangkis kemajuan yang dicapai Indonesia dengan lebih efektif
jika mereka mendeklarasikan Timor Timur yang merdeka. Komisaris Politik Nasional Marí
Alkatiri melakukan perjalanan diplomatik ke Afrika, mengumpulkan dukungan dari pemerintah
di sana dan di tempat lain. Menurut FRETILIN, upaya ini menghasilkan jaminan dari dua puluh
lima negara, termasuk Tiongkok; Uni Soviet; Mozambik; Swedia; dan Kuba untuk mengakui
negara baru yang akan didirikan.
FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur
secara sepihak pada tanggal 28 November 1975, menyebutnya sebagai República Democrática
de Timor-Leste (bahasa Portugis untuk "Republik Demokratik Timor Leste"). Proklamasi yang
belakangan didukung oleh Portugal ini tidak diakui oleh pemerintah Indonesia yang sebelumnya
telah mencapai kesepakatan dengan pihak Portugal dalam pertemuan di Roma.[10] Sejurus selepas
itu, partai pro-integrasi, yakni APODETI; UDT; Trabalhista; dan KOTA segera
mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan
bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani
oleh Arnaldo dos Reis Araújo (APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (UDT).
Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan
gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari
perbatasan Timor Barat, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur
dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Beberapa pihak dari kalangan
pro-kemerdekaan kemudian menuduh deklarasi yang diadakan oleh kalangan pro-integrasi di
Balibo dan pasukan-pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi sengaja dirancang
oleh intelijen Indonesia, dengan maksud untuk memperkuat legitimasi Indonesia menyerbu
wilayah Timor Timur.
Pada 7 Desember 1975, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan invasi
militer ke Timor Timur. Selama masa invasi, massa penolak integrasi dibantai oleh pasukan
ABRI, sedangkan anak-anaknya dibawa ke Indonesia untuk diasuh oleh keluarga militer
Indonesia. Menyusul invasi tersebut, Gubernur Timor Portugis dan stafnya meninggalkan Pulau
Atauro dengan dua kapal perang Portugal, menuju ke Darwin, Australia. Sebagai pernyataan
kedaulatan, Portugal tetap mempertahankan kapal perang yang berpatroli di perairan sekitar
Timor Timur hingga Mei 1976.
Setelah Timor Timur jatuh ke tangan Indonesia, gabungan partai yang pro-integrasi membentuk
PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araújo
sebagai Gubernur serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai Wakil Gubernur. Timor Timur
resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1976 Tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Masyarakat merasa ingin bersatu dengan Indonesia karena persamaan budaya dengan
saudara serumpunnya, Timor Barat. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik, karena
merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal, dimana provinsi
Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda. Pada saat
Presiden Soeharto menghadiri peringatan 2 tahun Integrasi Timtim di Gedung DPRD Tingkat I
Timor Timur, ia menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang ke
pangkuan ibu pertiwi".

Anda mungkin juga menyukai