Anda di halaman 1dari 10

Timor Timur dilepaskan dari NKRI pada masa pemerintahan B.

J
Habibie pada tanggal 30 Agustus 1999. Sebelumnya Timtim adalah
salah satu provinsi yang masuk wilayah Republik Indonesia. Daerah
ini merupakan satu kesatuan dari pulau Timor, lebih kurang 350
tahun lamanya dijajah oleh Portugis, sehingga memisahkan
saudara-saudara yang mendiami bagian barat dari pulau tersebut.
Pada waktu bangsa Indonesia memproklamasikan Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Timor Timut tetap berada
pada cengkeraman penjajah Portugis. Pada tahun 1974 pemerintah
Portugis akan melaksanakan Dekolonisasi daerah-daerah
jajahannya, termasuk Timor (Timor Timur).
Dalam rangka pelaksanaan pemerintah Portugal mengenai
dekolonisasi jajahannya di Timor Timur, Menteri seberang lautan
Portugal Dr. Antonio de Almeida Santos pada tanggal 16 sampai 19
Oktober 1974 datang ke Indonesia untuk mengadakan pembicaraan
dengan pemerintah RI, tentang kebijaksanaan Portugal yang
menyangkut Timor-Timur.
Presiden Soeharto menerima dan mengadakan pembicaraan dengan
Menteri Dr. Antonio de Almeida Santos dan menegaskan beberapa
hal, yaitu :
Indonesia tidak mempunyai ambisi teritorial.
Sebagai negara yang memperoleh kemerdekaan dari perjuangannya
menentang penjajahan, maka mendukung gagasan Portugis untuk
melaksanakan dekolonisasi atas Timor Timur.
Di sarankan agar proses dekolonisasi berlangsung dengan aman,
tertib dan tidak akan menimbulkan keguncangan-keguncangan di
wilayah Asia Tenggara.
Dekolonisasi tersebut harus berdasakan prinsip penentuan nasib
sendiri.
Apabila seluruh rakyat Timor Timur menyatakan keinginnanya
menggabung kepada Indonesia, maka akan ditanggapi secara positif
dengan pengertian bahwa penggabungan tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Mayor Rebello Gonzales utusan Pemerintah Portugis terbang dari
Lisabon ke Timor Timur dan menyampaikan bahwa akan ada
referendum daerah itu pada bulan Maret 1975, katanya boleh pilih
satu antara 3. Pilihan tersebut yaitu :
Tetap satu atap dengan Portugis
Bebas merdeka
Menggabung dengan Republik Indonesia
Situasi kehidupan rakyat di Timor Timur pada waktu itu ada 3 partai
politik, yaitu:
Partai UDT (Unio Democracio de Timorrenco). Diketuai oleh
Franciscus Xavier Daerus bercita-cita Timor Timur merdeka dan
tetap berada dalam ikatan dengan Portugis.

Partai FRETELIN (Frente Timorenco Lente Independeco). Diketuai


oleh Xavier do Amarai, bercita-cita ingin Timor Timur lepas dari
Portugis maupun pemerintahan Indonesia, dan berhaluan Komunis.
Partai APODETI (Acocion Populer de Timorenco). Diketuai Arnaldo
das Reis Aurojo, bercita-cita Timor Timur merdeka dan berintegrasi
dengan pemerintah Republik Indonesia.
Dalam pada itu Portugis mengalami perubahan pemerintahan, kaum
komunis mengalami kemenangan dalam pemilihan umum,
sehingga pemerintahan jatuh ketangan komunis. Kolonel Lemos
Peres yang berhaluan komunis diangkat menjadi Gubernur di Timor
Timur.
Kolonel Lemos Peres berpihak kepada partai Fretilin. Parati ini diberi
kesempatan memperoleh dan menggunakan senjata dari tentara
Portugis. Karena Fretilin merasa kuat, maka memusuhi dan
memerangi pihak lawan-lawannya yang dianggap menghalanghalangi cita-citanya.
Sementara kaum Fretilin mengganas memerangi kaum UDT dan
lainnya, maka partai APODETI yang tanggap situasi melakukan siaga
penuh dan bersiap siaga diperbatasan Timor Timur - Indonesia.
Karena pihak UDT merasa terdesak, maka minta bantuan dan
bersatu dengan pihak APODETI melawan Fretilin.
Sementara kaum Fretilin mengganas, maka pemimpin-pemimpin
UDT dan APODETI mengumumkan proklamasi di Balibo pada tanggal
7 Desember 1975, yang berisi pernyataan bahwa Timor Timur
m]berintegrasi dengan Pemerintah RI.
Atas dasar proklamasi Balibo dan permintaan pemimpin-pemimpin
UDT dan APODATI maka sukarelawan Indonesia membantu dan
berintegrasi dengan putra-putra Timor Timur untuk melawan kaum
Fretilin yang mengganas dibantu oleh tentara serta pemerintah
Portugis.
Akhirnya putra-putra TimTim yang telah berintegrasi dan bersatu
dengan saudara-saudara sukarelawan yang sedia berkorban
membantu mengusir penjajah dengan kaki tangannya, maka
berhasillah menghancurkan kekuatan Fretilin dengan sisa penjajah
Portugis di Timor Timur.
Dengan hancurnya Fretilin maka kemudian rakyat sepakat
membentuk pemerintah sementara yang dipimpin oleh Arnaldo dan
Rais Aurojo. Dalam usaha untuk memahami dan menyalurkan
keinginan rakyat Timtim yang sebenarnya, maka pemerintah
sementara mengadakan rapat besar di Dili.
Rapat itu dihadiri oleh wakil dari 13 kabupaten. Rapat tersebut
menghasilkan petisi kepada Pemerintah RI, tentang keinginan rakyat

TimorTimur untuk berintegrasi dengan Republik Indonesia. Pada


tanggal 16 Juli 1976 petisi tersebut disampaikan oleh pemimpinpemimpin Timor Timur kepada Pemerintah Republiuk Indonesia.
Untuk menanggapi petisi tersebut, maka dengan Surat Keputusan
Presiden Nomor 113/LN/1976 dibentuklah delegasi untuk
mengetahui secara langsung keinginan rakyat Timor Timur.
Atas dasar laporan delegasi yang telah mengetahui secara langsung
keinginan rakyat Timtim, maka pemerintah RI mengadakan langkahlangkah konstitusional, yaitu dengan mengajukan rencana Undangundang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Republik Indonesia,
tentang integrasi Timor Timur kedalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Rencana undang-undang tersebut disyahkan oleh DPR pada tanggal
17 Juli 1976, menjadi Undang-undang dan kemudian oleh MPR
dengan ketetapan MPR nomor VI/MPR/1978 Timor Timur ditetapkan
menjadi Propinsi yang ke-27 dari wilayah negara kesatuan RI.

Abstrak
Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor
Lorosae), yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah
sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur
pulau Timor. Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau
Kambing atau Atauro, Jaco, dan enklave Oecussi-Ambeno di Timor
Barat. Sebagai sebuah negara sempalan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20 Mei
2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi
anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis
Timor-Leste sebagai nama resmi negara mereka.
Pada tahun 1975, perkembangan politik di Timtim mengalami
keadaan yang paling kritis dengan adanya tindakan sepihak dari
Fretilin, dengan melakukan proklamasi kemerdekaan 25 November
1975. Namun partai lain seperti menandingi proklamasi integrasi
yang isinya ingin bergabung dengan Indonesia, dan ahkirnya
Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia
disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang
Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN.
1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor
Timur serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976
yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi
pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan RI.
Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang
ditandatangani pada tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo
dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi
pemerintah Indonesia. Namun pada ahkirnya persaudaran itu hanya
berlangsung 23 tahun, yang disebabkan timbulnya perbedaan
keinginan antara pemerintah Indonesia dengan Fretilin yang
mengklaim sebagai pemerintahan.

A. Pendahuluan

Masalah pelepasan Timor Timur (Timtim) dari wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara baru Republica
Democratia de Timor Leste (RDTL) membawa permasalahan baru
dalam bidang kewarganegaraan. Negara Timor Leste dulunya
merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia, sebagai propinsi
termuda. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik
Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang
Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN.
1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor
Timur serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976
yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi
pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan
RI.Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang
ditandatangani pada tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo
dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi
pemerintah Indonesia.
Namun dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan
terlaksana dengan baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan,
sehingga Sekjend PBB selalu memprakarsai untuk mengadakan
pembicaraan bertiga (tripartie talks) yang dihadiri oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Portugal dalam mencari
suatu penyelesaian masalah di Timor Timur secara adil, menyeluruh
dan diterima secara internasional. Namun dalam forum tersebut,
tidak banyak diperoleh kemajuan karena masing-masing pihak
bersikeras mempertahankan sikapnya masing-masing.
Indonesia di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu
dengan mengaitkan resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada.
Di lain pihak, Portugal selalu menekankan perlunya segera
dilaksanakan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi
warga negara Timor Timur.Namun keadaan ini hanya berlangsung
sampai dengan tahun 1998. Negara Indonesia mengalami gejolak
sosial politik yang menyebabkan Presiden Soeharto turun dari kursi
kepresidenannya setelah selama 32 tahun menguasai negeri ini.
Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden
diangkat secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan jabatan
presiden RI dimasa transisi dan penuh kritis itu.
Salah satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan
fenomenal pada waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan
kepada rakyat Timor Timur yakni referendum atau otonomi
khusus.Rakyat Timor Timur memilih jalan referendum untuk
menentukan nasib masa depan mereka. Maka pada tanggal 30
Agustus 1999, Misi PBB UNAMET (United Nation Mission for East
Timor) mengadakan jajak pendapat (referendum), dengan opsi tetap
bergabung dengan Indonesia atau memilih lepas dari Indonesia.

B. FRETILIN Sebagai Pemerintahan

Pada saat portugis mundur, Fretilin langsung meduduki


pemerintahan yang ditinggalakan oleh Portugis dan mengalahkan
UDT. Kemenangan Feretilin yang relative cepat atas UDT setelah
adanya keputusan dari sebagian besar anggota angkatan bersenjata
untuk memihak Fretilin itu berpengaruh besar pada struktur internal
front ini pada bagaimana merorgainsaikan diri sebagai
pemerintahan. Masuknya orang militer dalam Fretilin menyebabkan
pergeseran politik dan ideology. Para pemimpin militer berkeinginan
mempertahankan orgainsasi yang bersetruktu hirarkis dan mungkin
tidak menyukai gagasan demokratis yang mendasari yang
mendasari restrukturisasi tentara oleh Fretilin, penghapusan
pangkat dan pemberlakuan pemilihan pemimpin.
Tetapi dari segi niat mereka untuk bertempur demi kemerdekaan
dan tidak berkompromi dengan musuh, baik itu UDT maupun
Indonesia yang melakukan invlasi, menurut para pengamat yang
menyaksikan mereka sedang bertempur, orang-orang militer tidak
lebih konservatif dibandingkan dengan pimpinan politik Fretilin.
Politisasi tentara dan penyiapan masyarakat oleh militer
berlangsung sebgai persiapan menghadapi kemungkinan invasi oleh
Indonesia dan dengan pengetahuan bahwa orang-orang Timor
Lorosae pro-integrasi telah dipersenjatai dan dilatih. Fretilin punya
keinginan untuk menjadikan pemerintahan tetap stabil hingga
colonial Portugis kembali untuk dekolonialisasi.
Didalam reorganisasi Fretilin, setelah menjalankan kekuasaan
sebagai pemerintah de facto dan masuknya anggota-anggota baru
dari angkatan bersenjata, Fretilin melakukan reorganisasi kecil,
untuk organisasi pemerintah, bukan organisasi mobilisasi kekuatan.
Meskipun para pemimpin masih menyadari perlunya mobilisasi
Rakyat, tugas ini diserahkan kepada organisasi-organisasi masa,
sementara anggota-anggota Komite Sentral memberi perhatian
pada pembuatan keputusan sehari-hari yang meliputi pengolahan
pemerintahan. Sepanjang periode ini pemerintah de facto Fretilin
menghadapi dilemma dalam pembuatan kebijakan. Sementara
mereka ingin secepat mungkin menjalankan kebijakan Fretilin yang
telah mereka kembangkan pada masa sebelumnya, mereka
menyadari mendesaknya kebutuhan untuk menciptakan
kepercayaan kepada pemerintahan mereka, dan kalau mungkin
mendorong Portugis untuk kembali, terutama karena hal ini bisa
mencegah invasi oleh angkatan bersenjata Indonesia.
Selama dua bulan Fretilin berkuasa di Timor Lorosae, para
pemimpinnya bersepakat untuk menunggu perundingan dengan
Portugis atas jadwal waktu kemerdekaan. Maka pada awal
November kemungkinan pernyataan kemerdekaan menjadi
persoalan politik yang penting dalam Fretilin. Di dalam Fretilin ada
berbagai pandangan mengenai persoalan ini.

C. Masalah Pembangunan Daerah

Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1976, Timtim pun kemudian


ditetapkan statusnya sebgai Propinsi Daerah Tingkat I, yang
dipimpin oleh seorang gubernur kepala daerah. Adapun sebagai
pelaksanaan UU tersebut telah dikeluarkan PP No. 19 tahun 1976
yang antara lain mengatur secara rinci tentang kedudukan dan
susunan Pemerintah Daerah Tingkat I TIMtim. Propinsi muda ini
terdiri dari 13 kabupaten Daerah Timgkat II, dan 16 wilayah
kecamatan .
Kebijakan awal dari proses pembangunan Timtim dilakukan secara
bertahap. Tahap pertama yaitu tahap rehabilitas (1976-19770,
dengan sasaran utama merehabilitasi seluruh prasaraan dan sarana
umum, mulai dari rumah sakit, balai pengobatan, sekolah, samapi
berbagai sarana telekomunikasi serta perhubungan. Di samping itu
diadakan pula program peningkatan ketermapilan bagai para
pegawai, agara mereka dapat memahami system pemerintahan
administrasi pemerintahan yang berlaku. Kemudian tahap kedua
adalah tahap Konsolidasi (1977-1978) tahap ini ditujukan untuk
melanjutkan serta meningkatkan langkah-langkah pembangunan
sebelumnya, sehingga menjangkau peningkatan program-program
pembangunan ekonomi rakyat, peningkatan prasarana serta sarana
pendidikan, dan sebagainya. Kemudia pada tahap ketiga yaitu tahap
Stabilisasi (1978-1982) dengan sasaran utama pada pemantapan
serta peningkatan kemampuan dan keterampilan aparat pemerintah
daerah secara menyeluruh dan terpadu. Dengan usaha-usaha
tersebut diharapkan bahwa Pemda Titim siap menyongsong
pembangunan pada masa itu dengan Repelita IV.
Semakin lama masalah yang dirasakan oleh masyarakat Timtim
bukanlah kelompok yang anti Integrasi, tapi cenderung pada
perlakuan pemerintah selam integrasi.Antara presepsi masyarakat
dan pendekatan yang dilakukan pemerintah masih belum
sepenuhnya sesuai. Pelaksanaan pembangunan di Timtim waktu itu
memang belum tepat, dan terkesan bahwa pembangunan fisik
memang maju, sementara pembangunan manusianya tertinggal.

D. Masalah Pembangunan Politik


Berdasarkan Deklarasi Rakyat Timtim yang diwakili empat partai
(Apodeti, UDT, Kota dan Trabalhsita). Dibidang politik, disebutkan
bahwa semua kegiatan rakyat dalam ideology, ekonomi, social,
budaya dan diarahkan guna meletakan dasar-dasar sinkronisasi
masyarakat demi mempercepat tercapainya integrasi rakyat Timtim
ke dalam negeri RI. Timtim harus bekerja keras untuk mengejar
ketinggalannya dari daerah-daerah yang lain. Untuk itu, berbagai
fasilitas kesejahteraan social masyarakat harus ditingkatkan.
Demikian pula harus diusahakan berbagai langkah guna
menyiapkan Timitm, salah satunya bidang pertanian agar

membantu perekonomian mak fasilitas pertanian ditingkatkan.untuk


mempercepat proses pembangunan di timtim, maka pendidikan,
kesehatan, penerangan dan aneka fasilitas social lainnya perlu
mendapatkan prioritas, terutama pada Repelita IV.
Rakyat timtim memiliki karakteristik yang berbeda dengan rakyat
Indonesia pada umumnya. Secara fisik mereka tidak pernah ikut
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian pada waktu
kemerdekaan RI tidak mengantakan bahwa Timtim bukan bagian
wilayahnya karena dibawah kekuasaan Portugis. Permasalahan
Timtim sebenarnya tidak ubahnya seperti permasalahan yang
dimasa lalu juga pernah dialami oleh provinsi di Indonesia yang lain.
Dalam proses integrasi, muncul aneka permasalahan yaitu
salahsatunya bersumber dari factor perbedaaan sejarah dan proses
integrasi yang penuh dengan kekerasan (pada masa penjajahan
yang disebut Indonesia adalah wilayah yang dulunya adalah
kekuasaan Hindia-Belanda, sedangkan Timor diduduki oleh
Portugis). Kemudian terjadinya peristiwa Dili pada 12 November
1991, yang diawali oleh bentrokan antara pemuda yang pro dan
kontra terhadap integrasi. Kejadian ini juga yang menjadikan
hubungan Indonesia dan Timtim renggang. Dan peristiwa ini
menjadi sorotan berita dalam dan luar negeri dan dengan dicampuri
oleh Australia maka kejadian ini pun semakin menjadikan keadaan
tidak kondusif.

E. Masalah Indonesia dengan Timor Leste


Menteri Luar Negeri Timor Leste Jose Ramos Horta menegaskan,
dengan dibebaskannya seluruh perwira militer Indonesia yang
dianggap bertanggung jawab dalam kerusuhan pasca jajak
pendapat di Timor Timur, 1999 silam, itu akan menurunkan
kredibilitas Indonesia di mata masyarakat internasional. Ini akan
menciptakan kesulitan bagi Indonesia, tegas Horta saat dihubungi
Tempo News Room melalui telepon genggamnya, Sabtu (7/8). Dia
sendiri merasa terkejut dengan dibebaskannya mantan Panglima
Komando Daerah Militer XI Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri
dari hukuman.
Damiri sebelumnya divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan
Tingkat Pertama HAM ad hoc. Tiga perwira militer lainnya juga telah
dibebaskan dari hukuman, yaitu mantan Komandan Resor Militer
154 Wiradharma Letnan Kolonel M. Noer Muis (divonis lima tahun),
mantan Kepala Kepolisian Resor Dili Komisaris Besar Hulman
Goeltom (tiga tahun), dan mantan Komandan Distrik Militer 1627 Dili
Letnan Kolonel Sujarwo (lima tahun). Horta juga menyesalkan
proses pengadilan HAM yang hanya menghukum dua warga sipil
Timor-Timur, yaitu mantan Gubernur Timor-Timur Jose Abilio Soares
dan mantan Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. Kami sangat
terkejut bahwa hanya dua warga sipil Timor Timur yang dihukum,
kata dia.

Namun demikian, lanjut dia, Pemerintah Timor Leste tidak


menyetujui adanya desakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk membentuk suatu pengadilan internasional guna menghukum
sejumlah pejabat militer Indonesia. Itu akan menimbulkan kesulitan
dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste, tegas Horta.
Dia merasa khawatir pembentukan pengadilan internasional
nantinya akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab untuk merusak hubungan bilateral kedua negara. Dia
menegaskan, pemerintahnya masih berharap Indonesia dapat
memberikan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
Rencana pembentukan pengadilan internasional untuk kasus
pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, dinilai dapat
mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste.
Tidak ada dampak positif terhadap hubungan Indonesia dan Timor
Leste, tegas juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa
dalam acara jumpa pers di kantornya, Jumat (13/8). Dia
menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timor Timur
harus berdasarkan posisi kedua negara dan bukan berdasarkan
pendapat masyarakat internasional. Desakan untuk membentuk
pengadilan internasional muncul setelah pengadilan HAM ad hoc di
Indonesia membebaskan seluruh perwira militer dan kepolisian.
Pengadilan hanya menghukum dua warga sipil Timor Timur, yakni
mantan Gubernur Jose Abilio Osorio Soares dan mantan Wakil
Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. Sejumlah protes terhadap
keputusan pengadilan ini, antara lain datang dari Pemerintah
Amerika Serikat dan Selandia Baru.
Lebih lanjut Natalegawa mengungkapkan, gagasan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tersebut akan
menimbulkan kesan buruk. Dia mempertanyakan apakah lazim
Sekretaris PBB memiliki wewenang untuk menilai proses hukum di
suatu negara berdaulat. Dia juga mempertanyakan apakah Annan
juga akan melakukan hal yang sama terhadap negara lain. Ada
potensi diskriminatif dan sangat mengganggu kemandirian proses
hukum, tegas dia. Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah
melakukan lobi terhadap negara-negara anggota Dewan Keamanan
agar gagasan pembentukan pengadilan internasional itu tidak
diterima. Dia merasa yakin pengadilan internasional tersebut tidak
akan terbentuk karena hal itu memerlukan persyaratan yang ketat.
Meski demikian, lanjut Natalegawa, pemerintah akan berusaha
keras untuk meyakinkan negara-negara sahabat agar hal itu tidak
terwujud. Untuk bisa meyakinkan masyarakat internasional dan
masyarakat kita sendiri bahwa rasa keadilan itu sudah terpenuhi,
lanjut dia.
Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta juga memiliki pandangan
yang sama mengenai hal ini. Itu akan menimbulkan kesulitan
dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste, tegas dia.
Saat semua biaya yang dikucurkan untuk Timtim oleh Indonesia
untuk pembangunan, tidak sedikit pengorbanan yang diberikan
demi tidak terlepasnya Timor Lorosae. Namun pandangan dunia

Internasional kepada Indonesia tentang pergolakan yang terjadi dan


ditambah campur tangan Australia, hingga ahkirnya Timtim sudah
terlepas kini. Semoga kejadian terlepasnya Timtim tidak akan
terulang, walau kini di beberapa wilayah sudah banyak gerakan
yang menginginkan lepas dari Indonesia seperti misalnya Aceh
dengan GAM-nya dan Papua dengan OPM-nya, bahkan sekarang
Maluku pun ikut-ikutan ingin merdeka dengan gerakan RMS-nya.
Sekiranya pemerintah mampu dan kita semua juga harus sadar
akan pentingnya bersatu dan persatuan, dalam perbedaaan dan
jadikan itu adalah kebanggaan.

Anda mungkin juga menyukai