Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Lepasnya Timor Timur Dari Republik Indonesia

Tepat pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur
tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI diumumkan. Dan
akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari
NKRI. Sejak itulah, isu disintegrasi bangsa menjadi suatu persoalan yang tidak bisa dinomor duakan
sebab bukan tidak mungkin muncul “kecemburuan” dari daerah lain yang merasa dirinya kaya dan
mampu mengurus daerahnya sendiri memilih memisahkan diri juga dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Untunglah, kekhawatiran itu tidak terjadi pasca Timor Timur menyatakan sikap untuk membuat
negara sendiri yang kini bernama Timor Leste. Meskipun demikian, ancaman-ancaman untuk
merobohkan bangunan NKRI selalu saja terbit ketika bangsa ini lemah dan lengah. Namun, siapakah
pelaku yang mencoba merobohkan kebhinekaan Indonesia? Kalau boleh jujur, ini adalah lagu lama.
Permusuhan dan permainan negara-negara yang merasa dirinya digdaya antara AS yang berkiblat
pada ideologi liberalis dan negara-negara yang beraliran komunis.

Ada benarnya, apa yang ditulis oleh wartawan Batam Pos, Bung Abdul Latif dalam tulisannya di
kolom opini, “DCA, Ancam Integritas Bangsa” bahwasanya ada intervensi atau campur tangan AS
(Amerika Serikat) dalam perjanjian DCA antara Indonesia dan Singapura. Kekhawatiran ini, menurut
hemat penulis bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada, tetapi perlu dicermati bersama format
seperti apa yang kita butuhkan untuk menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, ada
baiknya kita belajar banyak dari sikap Timor Timur mengapa masyarakat di sana lebih memilih
berpisah daripada bergabung dan menerima otonomi khusus dari pemerintah RI.

Bergabungnya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 di masa pemerintahan Presiden Soeharto
merupakan suatu cerita panjang bagi kehidupan kesejarahan dunia global umumnya dan khususnya
bagi Indonesia. Bagaimana tidak, provinsi yang pernah dirasuki dan dikuasai Portugis itu, sekarang
telah mengingkari ‘janji’-nya sendiri. Sebuah kesepakatan untuk setia kepada wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, dibalik bergabungnya Timor Timur itu masih menyimpan teka-teki yang mungkin tak terlalu
sulit untuk dijawab. Mengapa negara lain khususnya Amerika Serikat mendukung pada saat disahkan
RUU tentang integrasi Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia. Ada apa, toh Amerika sebagai
negara yang mengaku dirinya adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh
keuntungan materi dari disahkannya RUU itu menjadi UU. Aneh tapi nyata, segala kesulitan-
kesulitan yang dihadapi Indonesia selalu dibantu oleh negara penganut paham liberal tersebut.
Khususnya tentang loby pihak Amerika kepada negara-negara lain untuk mengakui bahwa Timor
Timur telah resmi bergabung dengan Indonesia.

Negara-negara lain biasanya mengamini saja kalau Amerika yang mempunyai kemauan. Akan tetapi,
itu semua belum dapat menjawab teka-teki yang penulis katakan tak sulit untuk dijawab tadi. Inti
dari “belas kasih” negeri yang sekarang dipimpin George W. Bush ini merupakan umpan empuk yang
dipergunakan untuk memberangus paham atau ideologi komunis.

Kalau Timor Leste saat itu tidak bergabung, maka Amerika tentu akan merasa sulit untuk
menyuntikkan paham-paham liberalnya, karena saat itu paham komunis terlebih dahulu masuk
daripada paham yang mereka anut. Sementara, komunis bagi mereka adalah faktor penghambat
sekaligus penghalang bagi mereka untuk menguasai dunia, sehingga membuat mereka menyusun
kekuatan dengan pemerintah Indonesia pada saat itu untuk memberangus komunis di Timor Timur.

Bantuan setengah hati dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika paham komunis telah
berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan. Sehingga, pemerintah Indonesia
terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan propinsi-propinsi yang berpotensi besar
menyumbangkan “upetinya” ke pemerintahan pusat. Selanjutnya, Timor Timur menjadi ‘anak
adopsi’ yang tak terurus. Mereka hanya diberikan ‘uang jajan’ selebihnya dibiarkan.

Memang secara fisik Amerika tidak sedikit pun mempengaruhi apalagi menjajah Timor Timur untuk
digali hasil kekayaannya secara materi, tetapi intervensi yang mereka lakukan hanyalah semata-mata
untuk menolong dan mendukung Timor Timur, sehingga mereka mencari teman terdekat untuk
diajak kerjasama yaitu Indonesia. Perbuatan yang kelihatannya terpuji menyimpan maksud
terselubung yaitu terciumnya bau komunis di wilayah itu. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur
dengan Indonesia, Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna mempermudah dan
memuluskan paham modernisasi.

Sebagaimana yang ditulis Andi Yusran (1999: 128) bahwasanya masalah Timor Timur sebenarnya
tidak melulu masalah politik, melainkan juga adalah persoalan hukum, persoalan yang selalu
mengedepan saat ini dan sebelumnya adalah tidak adanya kepastian hukum bagi status Timor Timur,
sejarah mencatat bahwa sejak awal integrasi (1975), integrasi tersebut tidak mendapat pengakuan
dari PBB, namun demikian negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Australia, justru lebih
awal memberikan dukungan, bahkan sejarah juga menunjukkan kalau AS “terlibat” dalam proses
tersebut.

Masih menurutnya, dukungan negara-negara barat atas integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI
itu bernuansa politik strategis, yakni usaha membendung pelebaran sayap komunisme, karena
Fretelin yang sebelumnya telah memproklamirkan kemerdekaan atas Timor Timur secara sepihak
(Nov 1974), dianggap beraliran Marxis. Dalam konteks ini, maka wajar jika Indonesia merasa telah di
atas angin, karena telah mendapat dukungan AS dan negara Barat lainnya, konsekuensi dari semua
itu Indonesia menjadi lengah (setengah hati?) tidak memperjuangkan status hukum atas Timor
Timur, padahal sekiranya Indonesia mengangkat isu keabsahan Timor Timur di forum PBB minimal
sebelum perang dingin berakhir (1989), besar kemungkinan AS beserta sekutu baratnya akan
menjadi negara pertama yang mengakui integrasi tersebut.

Bermula dari perang saudara di Timor Timur, Fretelin golongam yang beraliran Marxis mendapat
bantuan persenjataan. Bantuan persenjataan yang berasal dari Portugis menjadikan mereka
kelompok yang berkuasa khususnya di daerah Dili. Pada 28 November 1975 secara sepihak Fretelin
memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur dengan Xavier do Amaral sebagai
presidennya, Ramos Horta sebagai menteri luar negeri dan Nicola Lobato sebagai perdana menteri.

Namun, proklamasi ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat Timor Timur sendiri. Demi
mewujudkan impiannya, Fretelin kemudian melakukan tindakan pembersihan terhadap lawan-lawan
politiknya untuk menguasai wilayah Timor Timur sehingga terjadilah perang saudara. Fretelin
sebagai partai beraliran komunis terpaksa menghadapi empat partai lain yang juga menguasai
wilayah Timor Timur. Empat partai (UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista) yang menggabungkan
kekuatan itu, melakukan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai Proklamasi Balibo pada 30
November 1975 yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia pada 7 Desember 1975.
Selanjutnya, pasukan Indonesia membantu keempat partai tersebut untuk melumpuhkan kekuatan
Fretelin. Pernyataan integrasi masyarakat Timor Timur ke Indonesia di Balibo diulang kembali oleh
para pendukungnya di Kupang (NTT) pada 12 Desember 1975. Melalui pengulangan proklamasi
terebut, maka para pendukungnya sepakat membentuk Pemerintahan Sementara Timor Timur
(PSTT) pada 17 Desember 1975 yang beribukota di Dili dan dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo
sebagai ketua dan wakilnya Francisco Xavier Lopez da Cruz serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang diketuai oleh Guilherme Maria Gonsalvez dengan wakilnya Gaspocorria Silva Nones.

Pada 31 Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur dikeluarkan petisi
yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan integrasi Timor Timur
ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan
secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur
ke wilayah RI kepada DPR RI.

DPR melalui sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17
Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI / MPR/ 1978.
Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan propinsi yang baru lahir tersebut
memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili,
Baucau, Monatuto, Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa,
Ermera dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat oleh
Presiden Soeharto menjadi gubernur dan wakil gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir
Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.

Persoalan Belum Selesai

Bergabungnya Timor Timur ke wilayah Indonesia bukan berarti persoalan Timor Timur selesai begitu
saja. Sementara, bagi pemerintah RI Timor Timur telah sah bergabung wilayah Indonesia dan
menganggap ancaman disintegrasi kecil kemungkinan untuk terjadi. Kelompok-kelompok penekan
yang menentang integrasi memang tak dapat tumbuh dan berkembang di masa itu, tetapi mereka
terus bergerilya menyusun rencana dan mencari moment yang tepat untuk bergerak meneruskan
perjuangan mereka untuk lepas dari wilayah Republik Indonesia.

Memang tokoh-tokoh sentral yang mengingkari pengintegrasian tersebut seperti Alexander Kay Rala
alias Xanana Gusmao telah ditahan oleh pihak-pihak yang berwenang di lingkungan pengamanan
pada Era Orde Baru. Dan itu tak lepas dari peran Presiden Soeharto yang jeli melihat aksi-aksi kritis
yang mencoba memecah belah persatuan.

Di dunia internasional, Portugal yang memasuki wilayah Timor Timur pertama kali mempersoalkan
propinsi yang berlambang dasar perisai berbentuk persegi lima tersebut. Indonesia menganggap ini
bukan sesuatu yang membahayakan dan menganggap hal ini biasa-biasa saja karena memandang
masalah Timor Timur sudah selesai dan Timor Timur telah mereka anggap sebagai anak kandung
yang paling bungsu. Selalu dimanja dan dipuja-puja. Pemerintah telah memberikan bantuan dana
bagi daerah ini sebesar 92 persen untuk tahun 1998.

Meskipun demikian, Dewan Keamanan PBB, terus mengobok-obok bergabungnya Timor Timur ke
wilayah Indonesia dan mereka belum mengakui integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Seperti
yang ditulis Nico Thamien R (2003: 46) dalam bukunya yang berjudul. “Sejarah untuk Kelas Tiga
SMU”,
“Posisi Indonesia semakin sulit ketika terjadi peristiwa Santa Cruz pada bulan November 1991 yang
menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini memperkeras kritik dunia internasional dan lembaga-
lembaga non pemerintah terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, bukan berarti
pemerintahan Indonesia lepas tangan begitu saja. Sejak tahun 1980 sebenarnya mereka telah
mencium bau yang tak sedap ini dan sering melakukan pembicaraan rutin dengan Portugal, tetapi
pembicaraan itu tak mencapai titik temu.”

Hingga pemerintahan Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Angin disintegrasi yang
semula sepoi-sepoi berhembus, sekarang hembusannya semakin kencang. Apalagi bos CNRRT
(Conselho Nacional de Resistencia Timorese) yang merupakan tempat oposisi Fretelin bergabung
setelah disudutkan, Xanana Goemao telah dilepaskan. Rencana apik yang telah dia susun di dalam
kerangkeng semakin mudah dia lakukan bersama konco-konconya.

B. J Habibie yang menggantikan mantan presiden Soeharto mau tidak mau turut tertimpa masalah
dan beragam krisis termasuk krisis disintegrasi di Timor Timur yang merupakan warisan orang yang
mengajarkan sekaligus mendiktenya untuk berpolitik itu. Habibie yang terkesan tidak tegas, plin-plan
dalam mengambil keputusan merupakan faktor keberuntungan yang dimiliki oleh Xanana Goesmao
untuk mengacaubalaukan rasa nasionalisme rakyat Timor Timur.

Xanana Goesmao yang didukung oleh negara luar seperti Australia dan Portugal semakin menggebu-
gebu untuk menyuarakan kemerdekaan. Akan tetapi, Presiden B.J Habibie berupaya keras untuk
menampal luka lama Partai Fretelin itu. Sayangnya, manusia brilian asal Indonesia itu tidak mampu
menutup luka secara utuh, hanya ditutup sebagian saja, sebagian lagi dibiar terbuka.

Dua opsi (pilihan alternatif) yang dia tawarkan untuk memecahkan masalah Timor Timur yaitu
pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia.
Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya, perundingan Tripartit di New York pada
5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan
jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor
(UNAMET).

Jajak pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh 451.792 orang
pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNAMET, baik
yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri. Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4
September 1999 di Dili dan di PBB. Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen
menerima otonomi khusus yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam
Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur
seperti pada 1975.

Memperkuat NKRI

Di mulai dari kisah visi-misi Amerika Serikat untuk memberangus komunis hingga drama
bergabungnya Timor Timur, penulis mencoba memetik hikmah dari lepasnya Timor Timur. Dan ada
dua item penting yang dapat kita petik yaitu penyelesaian masalah Timor Timur memberikan citra
positif Indonesia di forum internasional, terlepas dari citra negatif yang datangnya dari kelompok-
kelompok penekan untuk menjatuhkan mantan Presiden Habibie dan Indonesia secara ekonomis
diuntungkan, sebagaimana kata Andi Yusran (1999: 127) dalam buku karangannya,.”Reformasi
Ekonomi Politik”. Dengan lepasnya Timor Timur setidaknnya membawa keuntungan atau
kepentingan strategis bagi Indonesia.
Pertama, secara politik, penyelesaian sesegera mungkin secara bijaksana dan bertanggung jawab
atas masalah Timor Timur akan memberikan citra positif bagi Indonesia di forum internasional.
Kedua, secara ekonomis Timor Timur bukanlah daerah ‘basah’ penghasil devisa negara, sebaliknya
Timor Timur justru telah menjadi beban ekonomi bagi pemerintahan Indonesia, PAD sebesar 8
persen dari APBD setidaknya mengindikasikan posisi geo-ekonomi, Timor Timur tersebut minimal
membawa konsekuensi ekonomis atas masalah Timor Timur sendiri.

Satu hal perlu menjadi catatan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertangguh keintegrasian
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagian besar suatu anggota masyarakat tersebut
sepakat mengenai batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana
mereka menjadi warganya dan apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat
mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi
seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut. Hal ini seperti yang dikutip Nasikun (1983) dari
Liddle.

Menurut Soleman B. Taneko, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem
Sosial”, untuk mendukung hal yang penulis maksud di atas diperlukan lima cara antara lain. Pertama,
penciptaan musuh dari luar. Kedua, gaya politik para pemimpin. Ketiga, ciri dari lembaga-lembaga
politik seperti birokrasi tentara, parpol dan badan legislatif. Keempat, ideologi nasional dan terakhir
kesempatan perluasan ekonomi. Di saat usia Indonesia yang ke-62, semoga bangsa ini tetap utuh
dan selalu jaya.

Ishwari Kyandra

Anda mungkin juga menyukai