Anda di halaman 1dari 13

INTEGRASI TIMOR-TIMUR

DAN DAMPAK KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI


MASA ORDE BARU

DISUSUN OLEH:
M AULIA RACHMAN
RAY RASIDIN
RINDI DEVI OKTAVIANI
SYEIBA TIFFANY R
VICTORIA
KELOMPOK 5 XII IPS 2 – SEJARAH INDONESIA

INTEGRASI TIMOR TIMUR

Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik


Indonesia setelah dijajah selama 450 tahun oleh Portugal. Wilayahnya
meliputi wilayah bekas koloni Portugal di Pulau Timor yang dianeksasi
oleh militer Indonesia melalui sebuah operasi yang dikenal sebagai
Operasi Seroja.

Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan


Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor
pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga.
Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian
pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang
menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka
kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan
Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak
mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk
mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang
saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara
Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke
Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro.

 Latar Belakang
•Perubahan kebijakan pemerintah Portugis terhadap Timor Timur, yaitu
dengan menetapkan
Timor Timur sebagai salah satu provinsi Portugis.
•Rakyat Timor Timur menghendaki kemerdekaan Timor Timur atas
penjajahan Portugis.
•Penghapusan status koloni terhadap jajahan Portugis setelah Revolusi
Bunga.

 Proses integrasi
Muncul partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur.
•Union Democratica Timorense (UDT) menghendaki agar Timor Timur
tetap berada di bawah
kekuasaan Portugis dengan menjadi provinsi Portugis di seberang lautan.
•Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin). Fretilin
menghendaki
kemerdekaan penuh bagi rakyat Timor.
•Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti). Apodeti
menghendaki agar Timor Timur
berintegrasi dengan wilayah Indonesia.
•Klibur Oan Timur Aswain (Kota). Kota ingin berintegrasi dengan
wilayah Indonesia.
•Trabalhista. Ingin berintegrasi dengan wilayah Indonesia.
Kronologi integrasi
•Pada 28 November 1975 Fretilin memproklamasikan kemerdekaan
Timor Timur.
•Pada 30 November 1975 kelompok pro-NKRI yang membacakan
Deklarasi Balibo yangb erisi keinginan bergabung dengan Republik
Indonesia.
•Pada 17 Desember 1975 tentara Indonesia masuk ke Timor Timur
sekaligus menandai awalO perasi Seroja.
•Pada 31 Mei 1976 Kepala Pemerintahan Timor Timur mengajukan
petisi yang berisip menggabungan Timor Timur dengan Indonesia.
•Pada 17 Juli 1976 Timor Timur resmi sebagai provinsi Republik
Indonesia
 Pada Masa Orde Baru
Orde Baru (sering kali disingkat Orba) adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat
Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga
1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela dan pengekangan kebebasan berpendapat.

 Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada
dalam kondisi yang relatif tidak stabil.Bahkan setelah Belanda secara
resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan
politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik. Keputusan Soekarno
untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin
memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara
angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu
berniat mempersenjatai diri. Sebelum sempat terlaksana, peristiwa
Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai
Komunis Indonesia dari Indonesia.Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno
perlahan-lahan mulai melemah.

 Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)


Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar
legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh
kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal


11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.Di tengah-
tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.Untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang
kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena
dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh. Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.

Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir
Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri
Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin
menghadap presiden. Segera setelah mendapat izin, pada hari yang sama
tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan
kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa
Angkatan Bersenjaya Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat,
dalam kondisi siap siaga.Namun, mereka juga memohon agar Presiden
Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.

Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat


perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri
Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.Perumusan surat
perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor
Jenderal Basuki Rachmat, [[Brigadir Jenderal] M. Yusuf, Brigadir
Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan
Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa.Surat perintah inilah yang
kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.
 Dampak pemerintahan orde baru
 Kebijakan ekonomi
- Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan
ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.
Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita
penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya
inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi
akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno

Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat


program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966
yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi
sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan
pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai,
kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.

Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3%


menjadi 6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar
AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada
akhir Repelita I pada tahun 1974. Repelita II (1974-1979) dan Repelita
III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas
nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor
pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada
beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an. Fokus Repelita IV (1984-1989)
dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan
di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor
industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri
yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.

- Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya
pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan
pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik. Sektor
ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian,
hingga penyuluhan bisnis. Pemerintah juga memberikan kepastian
pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog
(Badan Urusan Logistik).

Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat


tajam. Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156
ribu ton. Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293
ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa
meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi ini
merupakan sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi
salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.
- Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program
penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan
kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih,
dan pembangunan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita. Berkat usaha ini, penduduk Indonesia
berkurang dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun
1990-an. Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70
dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun
pada tahun 1993.

Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia


harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi
61 tahun di 1992. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi
juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63
untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Jumlah penduduk juga berhasil
dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB). Selama
dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per
tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan
menjadi 2,0% per tahun.

 Penataan Kehidupan Politik


- Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi
masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas
pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah
mengeluarkan kebijakan:
1. Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret
1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
2. Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai partai terlarang di
Indonesia
3. Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang
dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

- Penyederhanaan Partai Politik


Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama
pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan
penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi
tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut
tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan
program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah:[butuh rujukan]

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari


NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI,
Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru
dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah
memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi di masa Orde
Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman
persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di
Indonesia.

- Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan
Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.

Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan


Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di
DPR. Ini merupakan perolehan suara terbanyak Golkar dalam pemilu.
Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.

Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di


tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi
PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi
PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan
Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia
telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas
LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam
kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok
sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan
pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh
Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru
presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap
pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya
dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.

- Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI


Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer
sebagai pemain sentral dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi
ABRI. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang
fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara.
Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran
bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI
dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka
mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.

Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni


Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga
TAP MPR No. IV Tahun 1978. Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui
menjadi UU No. 4 dan 5 tahun 1975. Pengukuhan peran ABRI sebagai
kekuatan sosial politik ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 1982.
Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam
bidang sosial politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Peran
dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang
Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya
dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika
menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September,
yang melahirkankan Orde Baru.

Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak


perwira, khususnya mereka yang berusia muda, menganggap bahwa
sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya pendidikan
sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.

Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia


Tenggara lainnya. Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk
Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI. Angka ini, yang
hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).
Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar
1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura
mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan
perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank
besar dan 160 tank ringan.

- Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Artikel utama: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan
mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila,
yang terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan
Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan
penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan
terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Sehingga sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh
menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai
sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan
suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh
karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama
Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila,
hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya.
Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh
diperdebatkan.

Anda mungkin juga menyukai