Anda di halaman 1dari 13

Isi Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem Royen dan Konferensi Meja Bundar

PERJANJIAN LINGGARJATI (15 November 1946 - 25 Maret 1947) :

1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa,


Sumatera dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth
/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala
uni.
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia,
contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan
Partai Rakyat Jelata.

Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya


pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.
6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar
pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

PERJANJIAN RENVILLE (8 Desember 1947 - 17 Januari 1948) :

1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.

PERJANJIAN ROEM-ROIJEN (14 April 1949 - 7 Mei 1949) :

1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya.


2. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar.
3. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.
4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang.

KONFERENSI MEJA BUNDAR (23 Agustus 1949 - 2 November 1949) :

1. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik


Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi
ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa
Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan
diselesaikan dalam waktu satu tahun.
2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda
sebagai kepala negara.
3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu
sebagai berikut.

a. Pelita I
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 hingga 31 maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru. Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran
dalam bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani.

b. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah
menyediakan pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat dan
memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil menumbuhkan ekonomi
rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mancapai 60%
dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keemmpat Pelita
II, inflasi turun menjadi 9,5%.

c. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih
berdasarkan pada trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan
yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu sebagai berikut.

Kondisi Ekonomi Pada Masa Orde Baru


Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Awal Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru. Pembangunan ekonomi di Indonesia maju pesat. Mulai dari
pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur,dll. Saat permulaan Orde Baru
program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada
usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan
pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun
1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab
kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan


ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu
pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.

1)Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan, seperti :
rendahnya penerimaan negaraa
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negarab
terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bankc
terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagid impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2)Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3)Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:


Mengadakan operasi pajaka
b.Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan
secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun). Pelita berlangsung
dari Pelita I-Pelita VI.

1. Pelita I(1 April 1969 31 Maret 1974)

Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana,
perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih
menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
c. Perbaikan jalan raya.
d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
e. Semakin majunya sektor pendidikan.
2. Pelita II(1 April 1974 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal
irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang
di rehabilitasi dan di bangun.

3.Pelita III(1 April 1979 31 Maret 1984)


Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan
dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn
kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll

4. Pelita IV(1 April 1984 31 Maret 1989)


Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai
pada Pelita IV antara lain.

a. Swasembada Pangan.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia
berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk
keluarga.

5. Pelita V(1 April 1989 31 Maret 1994)


Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang
ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan
pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan
mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan
sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru

Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)

Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan
ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi,
malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.

Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari
krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan
terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang
dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena
pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia
meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta
pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar
golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah
kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis
dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang
menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah
yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia
menjelang akhir tahun 1997.membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya.
Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan
ekonomi selanjutnya.

Isi Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Inter-Indonesia, dan


Konferensi Meja Bundar.

Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946


antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini dilakukan di
Linggarjati, sebuah kota kecil 21 km sebelah selatan Cirebon. Pada
perundingan Linggarjati tersebut pihak Belanda diwakili oleh tim
Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Wim Schermerhon dengan anggota
H.J. van Mook dan Lord Killearn dari pihak Inggris bertindak sebagai
moderator. Sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir.
Perundingan Linggarjati menghasilkan 17 pasal. Hasil perundingan
Linggarjati menimbulkan reaksi di berbagai daerah, ada yg pro dan
ada yang kontra.

Rakyat Bali termasuk dalam kalangan yang kontra terhadap hasil


perundingan Linggarjati karena Bali tidak dimasukkan ke dalam
wilayah RI. Hal ini berarti Bali akan dikuasai kembali oleh Belanda.
Oleh karena itu, rakyat Bali mengangkat senjata di bawah pimpinan
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Peperangan itu disebut
Pertempuran Margarana dan mereka mengobarkan Perang Puputan
yang artinya perang habis-habisan. Dalam perang tersebut, I Gusti
Ngurah Rai gugur sebagai pahlawan bangsa pada tanggal 20
November 1946.

Di Sulawesi Selatan, Westerling anggota KNIL melakukan pembunuhan


keji terhadap sekitar 40.000 rakyat yang tak berdosa. Dalam peristiwa
itu Robert Wolter Monginsidi dan Nona Emmy Saelan juga gugur.

Di Manado juga terjadi pertempuran antara TKR pimpinan Letnan


Kolonel Taulu yang dibantu oleh Residen Lapian dan tentara KNIL.
Kedua tokoh itu ditipu oleh Belanda dalam suatu perundingan yang
selanjutnya ditangkap dan dipenjarakan. Akibatnya, Manado dan
Maluku mutlak dikuasai Belanda.

Belanda terus berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan


cara mendirikan negara-negara boneka sebagai negara bagian dari
RIS. Usaha ini ditempuh melalui berbagai konferensi antara lain
konferensi Malino (15 Juli 1946), konferensi di Pangkalpinang (10
Oktober 1946) dan konferensi di Denpasar (18-24 Desember 1946).
Dari berbagai konferensi tersebut, van Mook dapat mendirikan
berbagai negara boneka guna mempersembit wilayah RI. Negara-
negara tersebut yaitu, Negara Indonesia timur (NIT), Negara
Pasundan, Negara Madura Timur Negara Jawa Barat, Negara Sumatra
Timur dan Negara Jawa Timur.

Isi perjanjian Linggarjati:


1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas
Jawa, Madura, dan Sumatra
2. Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang
salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia
3. Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai
kepala uni
4. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-
Belanda sebelum tanggal 1 Januari 1949
Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946
mendapat tentangan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia.
Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6
tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan
wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk
menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan itu masih tetap
ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan
mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh
persetujuan itu ditolak.

Pengesahan Perjanjian Linggarjati


Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25
Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas
wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit,
namun bila dipandang dari segi politik intemasional kedudukan
Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena
pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara
Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.

Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda


menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda
untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947.
Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda,
Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan
agar posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat.
Utusan itu terdiri dari Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan
Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh


karena itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan
gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill
commission) dengan beranggotakan tiga Negara. Indonesia
mengusulkan Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua
Negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota
ketiga. Richard C. Kirby dari Australia, Paul van Zeeland dari Belgia,
dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota
itu terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini
menjadi perantara dalam perundingan berikutnya.

Perundingan Renville

Perundingan Renville berlangsung dari tanggal 8 Desember 1947-17


Januari 1948. Delegrasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir
Syarifuddin, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik len, Mr. Moh. Roem,
Haji Agus Salim, Mr. Nasrun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri
atas Abdul Kadir Wijoyoatmojo, Pangeran Kartanagara, Jhr. van
Vredenburgh, Dr. Soumokil dan Zulkarnain.

Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semuanya berasal dari bangsa


Indonesia sendiri yang pro-Belanda. Dengan demikian, Belanda tetap
ingin melakukan politik adu domba agar mudah menguasai Indonesia.

Adapun isi Perjanjian Renville sebagai berikut:

1. Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya Republik Indonesia


Serikat (RIS).
2. Republik Indonesia sejajar kedudukannya dalam Uni Indonesia
Belanda.
3. Sebelum Republik Indonesia Serikat terbentuk, Belanda dapat
menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
4. Republik Indonesia menjadi negara bagian dari Republik Indonesia
Serikat.
5. Antara enam bulan sampai satu tahun akan diselenggarakan pemilihan
umum untuk membentuk Konstituante RIS.
6. Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda (daerah kantong)
harus dipindahkan ke daerah Republik Indonesia.

Perjanjian Renville sangat merugikan pihak Indonesia, tetapi atas


desakan KTN, Indonesia harus menyetujuinya. Perjanjian tersebut
ditandatangani kedua belah pihak tanggal 17 Januari 1948.

Penandatanganan perjanjian Renville menimbulkan kerugian dan


akibat yang buruk bagi pemerinta Indonesia. Kerugian yang diderita
Indonesia adalah sebagai berikut:
Wilayah Republik Indonesia menjadi semakin sempit dan terkurung
oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda.
Daerah-daerah gerilya TNI yang berada di daerah kantong harus
ditinggalkan sehingga terjadilah hijrah besar-besaran TNI dari Jawa
Timur-Barat ke pusat pemerintahan RI di Yogyakarta.
Timbulnya reaksi keras dari kalangan para pemimpin Republik
Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin
yang dianggap telah menjual negara kepada Belanda.
Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda.

Perundingan Roem-Royen

Setelah adanya resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret


1949, PBB memerintahkan UNCI agar membantu pelaksanaan resolusi
tersebut. UNCI kemudian menemui para pemimpin RI dan Belanda
yang akhirnya mereka berhasil dibawa meja perundingan. Delegasi
Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan pihak Belanda
diketuai oleh Dr. J.H van Royen. Pada tanggal 17 April 1949,
dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta yang dipimpin oleh
Marle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam perundingan
selanjutnya delegasi Indonesia adalah Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Akhirnya, pada tanggal 7 Mei 1949 dicapailah
persetujuan yang disebut Roem-Royen Statement. Pernyataan
pemerintah RI dibacakan oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem
yang berisi, antara lain bahwa pemerintah RI akan:
Mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan
mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap dari tidak
bersyarat kepada negara
RIS.

Selanjutnya, delegasi Belanda membacakan pernyataannya yang


dilakukan oleh Dr. J.H van Royen yang berisi, antara lain bahwa
Belanda akan:

Menyetujui Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.


Membebaskan para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik
yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
Menyetujui Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS.
Mengadakan KMB secepatnya di Den Haag setelah pemerintah Republik
Indonesia kembali ke Yogyakarta.

Adapun isi Perjanjian Roem-Royen sebagai berikut:


1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera
sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah
Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah
pendudukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur

Dengan dicapainya perjanjian Roem-Royen, mulailah diadakan


tindakan pelaksanaannya yang meliputi kegiatan sebagai berikut:

Seluruh tentara Belanda harus segera ditarik dari Yogyakarta.


Setelah kota Yogyakarta dikosongkan dari tentara Belanda, pada
tanggal 29 Juni, selanjutnya TNI mulai menggantikannya memasuki
kota. Keluarnya tentaraBelanda dan masuknya TNI tersebut diawasi
oleh UNCI. Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan ditandu beserta
para pejuang lainnya tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Konferensi Inter-Indonesia

Dalam perundingan Roem-Royen, bangsa Indonesia menyatakan


kesediannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Sebagai persiapan menghadapi KMB, diadakan Konferensi Antar-
Indonesia yang bertujuan mengadakan pembicaraan antara Badan
Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/BFO)
dan Republik Indonesia guna mendapatkan kesepakatan yang
mendasar untuk menghadapi KMB. BFO ialah negara-negara boneka
buatan Belanda di Republik Indonesia. Namun, mereka menetang
Agresi Militer Belanda II atas kota Yogyakarta.

Konferensi Antar-Indonesia dilangsungkan dalam dua tahap. Tahap


pertama berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang
dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Tujuan konferensi ini
merupakan untuk membahas berbagai hal yang ada kaitannya dengan
pembentukan negara federal sementara. Keputusan penting yang
diambil, antara lain sebagai berikut:
Nama negara federal ialah Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS akan dikepalai oleh presiden yang dipilih negara-negara bagian (RI
dan BFO).
Dalam konstitusi sementara harus ada ketentuan tentang negara-
negara bagian yang dihimpun dalam RIS.
RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun
dari Kerajaan Belanda.
Angkatan Perang RIS ialan angkatan perang nasional.
Pertahanan negara ialah semata-mata hak pemerintah RIS.

Sidang kedua Konferensi Antar-Indonesia diselenggarakan di Jakarta


pada tanggal 30 Juli 1949. Adapun isinya sebagai berikut:

Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa


hal berikut ini:

1. Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia


bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
2. Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.
3. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
4. Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.

Pengisian keanggotaannya MPRS, diserahkan kepada kebijaksanaan


negara-negara bagian yang jumlahnya 16 negara. Kedua delegasi juga
setuju untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang bertugas
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaannya KMB.
Konferensi Meja Bundar dan Pengakuan Kedaulatan

Dengan berhasilnya Konferensi Antar-Indonesia, bangsa Indonesia


berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri. Bangsa Indonesia kini
bersiap menghadapi KMB. Pada tanggal 4 Agustus 1949 telah diangkat
delegasi Republik Indonesia untuk menghadiri KMB yang terdiri atas
Drs. Moh Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr Supomo, Dr. J. Leimena,
Mr. Ali Sastroamijoyo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto,
Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel
T.B Simatupang dam Mr. Sumardi. Sedangkan delegasi BFO dipimpin
oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.

KMB diselenggarakan di Den Haag, Belanda, dari tanggal 23 Agustus-


02 November 1949. KMB ialah konferensi segitiga antara delegasi dari
negeri Belanda, RI dan BFO di bawah pengawasan komisi PBB.

Oleh karena antara RI dan BFO telah terdapat kesamaan pendirian,


dalam setiap persidangan KMB pihak RI hanya menghadapi delegasi
Belanda. Hal ini memperlancar jalannya perudingan sehingga pada
tanggal 29 Oktober 1949 telah ditanda-tangani Piagam Persetujuan
Konsitusi RIS. Pada tanggal 2 November 1949 perundingan ditutup
dengan keputusan antara lain sebagai berikut:

Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara


yang merdeka dan berdaulat.
Penyelesaian soal Irian Barat ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
RIS sebagai negara yang berdaulat penuh bekerja sama dengan
Belanda dalam suatu perserikatan yang dipimpin oleh ratu Belanda
atas dasar sukarela dengan kedudukan dan hak yang sama.
RIS mengembalikan semua hak milih Belanda, memberikan hak
konsesi dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan.
Semua utang bekas Hindia Belanda harus dibayar oleh RIS.
Dalam bidang militer akan dibentuk Angkatan Perang Republik
Indonesia seringan dengan TNI sebagai intinya.

Pada tanggal 6-14 Desember 1949, Komisi Nasional Indonesia Pusat


(KNIP) mengadakan sidang untuk membahas hasil-hasil KMB.
Selanjutnya, sidang berhasil menyepakati Undang-Undang Dasar RIS
sebagai Konstitusi RIS.
Pada tanggal 16 Desember 1949 , Ir. Soekarna dipilih sebagai
presiden RIS dan Drs. Moh Hatta sebagai wakil presiden RIS. dan pada
tanggal 17 Desember 1949 di Keraton Yogyakarta, kedua tokoh
tersebut dilantik sebagai presiden pertama RIS.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 pemerintah Belanda secara resmi


telah mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, berakhir pula
masa penjajahan Belanda di Indonesia dan mulailah berdiri tegak
negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat penuh dengan
menggunakan UUD RIS. Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat
pemerintah RIS yang berada di Yogyakarta dipindahkan ke Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai