Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH SISTEM PERADILAN PIDANA

NAMA : FITRAH AZIZAH A.P

NIM : 201821181

KELAS : R5C

FAKULTAS HUKUM

2018-2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara yang
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Prinsip negara hukum ini secara umum telah
diterima hampir di seluruh negara modern. Indonesia sendiri menegaskannya dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD NRI 1945. Konsekuensi dari ketentuan tersebut menjadikan peran hukum dalam
pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa sebagai bagian penting yang tidak boleh
dikesampingkan. Hukum dipercaya sebagai sarana utama untuk mewujudkan tatanan sosial yang
dicita-citakan

Salah satu bagian penting dari upaya implementasi prinsip negara hukum adalah proses
penegakan hukumnya. Idealnya, penegakan hukum harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari
hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan Baik dalam tataran teoritis
maupun praktis, ketiga nilai dasar ini tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan
nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan.
Demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain dapat
mengorbankan nilai kepastian hukum.

Dalam praktek, penegakan hukum biasanya identik dengan kasus-kasus di lingkungan hukum
pidana. Masyarakat terbiasa untuk membangun persepsi bahwa jika berbicara penegakan hukum,
maka yang dimaksud adalah penegakan hukum pidana.

Terkait dengan proses penegakan hukum, bangsa Indonesia sendiri telah memiliki sejarah
yang dapat dijadikan sebagai pelajaran betapa pentingnya penegakan hukum. Semua krisis yang
pernah dialami oleh bangsa Indonesia, baik politik maupun ekonomi, dapat dilacak salah satu
faktor penyebabnya pada masalah penegakan hukum. Sebagai contoh, sepanjang Orde Baru,
hukum terhegemoni oleh kepentingan ekonomi dan menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan
penguasa. Aparatur penegak hukum pada masa itu, terutama hakim, tidak memiliki independensi
sehingga peradilan yang tidak memihak (impartial) sulit terwujud. Kondisi itu memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap sistem hukum secara keseluruhan, tidak hanya saat itu,
tetapi masih tersisa hingga saat ini karena telah menjadi bagian dari sistem dan kultur hukum
nasional

Menurut survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2011
Indonesia mendapatkan skor 9,27 dan menempatkannya di peringkat pertama negara terkorup
dari 16 negara di Asia Pasifik.. Salah satu faktor yang menentukan adalah yang terkait dengan
sistem peradilan pidana terpadu (SPPT) atau integrated criminal justice system (ICJS).
PEMBAHASAN

B. Teori Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjaga
keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat,
maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Menurutnya, makna integrated criminal justice system ini adalah sinkronisasi atau keserampakan
dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization);


2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).

Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan


antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan
yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan
sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana. Makna dari sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada keseimbangan
antara tindak pidana (daad) dan pelaku (dader) tindak pidana tersebut. Muladi mendasarkan
pandangannya pada tujuan atau fungsi ganda Hukum Pidana, yaitu: (a) Secara primer berfungsi
sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional; dan (b) Secara sekunder, sebagai sarana
pengaturan tentang kontrol sosial, baik yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara
dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi sekunder inilah Hukum Pidana modern bertujuan
untuk policing the police, yaitu melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang
mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Dalam sistem peradilan pidana
terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya
berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya
masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat
pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung adanya sinkronisasi dari segi
substansi yang mencakup produk hukum di bidang sistem peradilan pidana yang memungkinkan
segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif.

Disamping itu juga di dukung oleh adanya sinkronisasi secara struktural di masing-masing
subsistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, lembaga
pemasyarakatan juga dalam hubungan fungsional secara terpadu diantara unsur-unsur peradilan
pidana tersebut termasuk dalam hal ini adalah dengan unsur penasihat hukum/advokat dan last
but not least adalah sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-
pandangan dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana
tersebut dalam rangka mencapai tujuan akhir sistem peradilan pidana yaitu kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Tiadanya cara pandang, sikap dan nilai-nilai tertentu yang
mendukung keterpaduan sistem peradilan pidana akan menyebabkan terjadinya fragmentasi
dalam penegakan hukum dan mengarah pada “instansi sentris” yang sangat tidak memungkinkan
bagi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu.

Dari berbagai hal di atas, maka dipahami bahwa proses yang benar dari sistem peradilan
pidana terpadu, ditentukan pertama-tama oleh peraturan yang menjadi landasan berjalannya
proses tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing subsistem atau penegak hukum yang terlibat
dalam proses tersebut harus berpijak dan bekerja berdasarkan peraturan tersebut. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah ketentuan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Untuk
Indonesia, yang dimaksud adalah KUHAP.
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan kesimpulan dan
beberapa saran untuk mendukung perbaikan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
berikut ini;

Kesimpulan

1. Sistem Peradilan Pidana menurut KUHAP Tahun 1981 merupakan Sistem Peradilan
Pidana Terpadu berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional antar aparat/lembaga penegak
hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan;
2. Komponen sistem peradilan pidana di Indonesia menurut KUHAP terdiri atas unsur-
unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat
penegak hukum;
3. Komponen lainnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mencakup pula penasihat
hukum yang meskipun bukan aparat penegak hukum tetapi mereka bersama-sama dengan
polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan sebagi penegak hukum;
4. KUHAP Tahun 1981 sebagai dasar hukum terselenggaranya sistem peradilan pidana di
Indonesia tidak dapat terlepas dengan peraturan perundang-undangan lainnya;
5. Beragamnya pengaturan sistem peradilan pidana dalam KUHAP Tahun 1981 dan
peraturan perundang-undangan lainnya menciptakan ketidakterpaduan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia;
6. Kenyataan adanya instansi penyidik di luar kepolisian menunjukkan bahwa tidak adanya
sinkronisasi dengan desain yang ditata dalam KUHAP Tahun 1981 sebagai induk hukum
acara pidana.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Shinta. 2010. Menuju Proses Hukum yang adil dalam Sistem Peradialan Pidana
Terpadu di Indonesia (Kajian Terhadap RUU-KUHAP dari Berpersfektif HAM).

Ansorie Sabuan dkk. 1990. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa.

Argama, Rizky. 2007. Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan RI:
Analisis Kedudukan KPK sebagai Lembaga Negara Bantu. Depok.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan


Abolisionisme). Bandung.

Mochtar, Akil. Integrated Criminal Justice System.

MP Pangaribuan, Luhut. 1996. Advokat dan Contempt of Court (Satu Prose di Dewan
Kehormatan Profesi). Jakarta: Djambatan.

Muladi. 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP.

Reksodiputro, Marjono. 1984. HAM dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan.

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni.

Sulistiyono, Adi. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta: UNS Pres.

Supriyanta. 2009. KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

————. 2010. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sebagai Sarana
Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

Perundang – Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI

Anda mungkin juga menyukai