Anda di halaman 1dari 14

KASUS PENYIMPANGAN PANCASILA

“ Korupsi Bantuan Sosial (BanSos) di Masa Pandemi Covid 19”

Mata Kuliah : Filsafat Pancasila


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Aloysius Hardoko, M.Pd.

Kelas : PPKn A
Kelompok 1 : Nur Aqidahtul Izzah 1905056003
Dwi Novita Sari 1905056004
Tri Kumala Defhvi 1905056016
Ida Resti Husaini 1905056024
Ariyanti 1905056028
Umi Kalsum 1905056038

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
ABSTRAK

Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dilakukan
oleh seorang pejabat demi mendapatkan keuntungan pribadi. Ada banyak sekali bentuk dan
contoh tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, mulai dari pegawai rendah hingga
pejabat negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memberikan landasan bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Alinea keempat Pembukaan UUD NKRI 1945 secara eksplisit telah menyatakan
secara jelas bahwa salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah memajukan kesejahteraan umum.
Namun dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara kita masih saja di hadapkan dengan
permasalahan penyimpangan pancasila, seperti kasus korupsi.
Mempelajari Pancasila sebagai cara hidup indonesia lewat filsafat ilmu sangat penting bila
dikaitkan dengan masalah nasional saat ini. Filsafat ilmu yang dimilikinya tiga aspek (ontologi,
epistemologi dan aksiologi) dapat digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah nasional,
khususnya dalam hal korupsi. Solusinya memberikan pemahaman tentang Pancasila nilai-nilai.
Pancasila sebegai filsafat bangsa dan Negara Republik Indonesia mengandung makna
bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan harus didasarkan
pada nila-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kenyataan, dan yang terakhir keadilan.

Kata Kunci: Pancasila, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Korupsi


A. KORUPSI BANSOS DI MASA PANDEMI COVID 19
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201206064557-4-207110/cerita-lengkap-mensos-
jadi-tersangka-kpk-korupsi-bansos-covid

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara menjadi
tersangka pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19. Ini terkuak dari konferensi pers yang
dilakukan KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari.

Juliari pun dikabarkan sudah menyerahkan diri ke KPK. Bersamanya ada empat
tersangka lain, yakni dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos)
Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono dan pihak swasta Ardian I M dan Harry Sidabuke.
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, kasus diawali adanya pengadaan barang berupa bansos
penanganan Covid-19. Ada paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan
nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua
periode.
Pada tahapan ini, Mensos Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono
sebagai pejabat pembuat komitmen dengan cara penunjukan langsung rekanan. KPK
menduga ada kesepakatan sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.
"Saudara JPB selaku Menteri Sosial menunjuk MJS dan AW sebagai PPK dalam
pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga
disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para
rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," ujar Firli dalam konferensi pers di
gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari mengutip detik.
Firli mengatakan, untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso
dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket
bantuan sosial. Keduanya melakukan kontrak pekerjaan dengan suplier yang salah satunya
PT RPI yang diduga milik Matheus.
"Selanjutnya, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatkan
kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan
juga PT RPI yang diduga milik MJS," kata Firli. KPK menyebut, Mensos Juliari Batubara
mengetahui langsung penunjukan perusahaan milik anak buahnya. ada paket bansos Covid-
19 periode pertama, diduga diterima fee miliaran rupiah dan turut diterima Mensos Juliari.
"Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang
lebih sebesar Rp 12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB
melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ujar Firli. Firli menerangkan, pemberian
uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos
Juliari Batubara untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi Mensos. Ada uang
sekitar Rp 8,8 miliar yang diduga dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari
bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp 8,8 miliar yang juga diduga
akan dipergunakan untuk keperluan saudara JPB," ucap Firli. Mensos Juliari disangkakan
melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke
1 KUHP.
Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau
Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Adapun
Ardian dan Harry disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf
b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 4 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
B. TEORI PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
Pancasila adalah filsafat Negara yang lahir sebagai ideology kolektif (cita-cita bersama)
seluruh bangsa Indonesia. Pancasila dikatankan sebagai filsafat karena merupakan hasil
perenungan jiwa yang mendalam yang dilaukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian
dituangkan dalma suatu system yang tepat. Notonagoro berpendapat bahwa filsafat pancasila
ini memberikan pengetahan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila. Jika
pancasila mau dipertanggung jawab kan secara sahih, logis, koheren, dan sistematis, di
dalamnya harus memuat kaidah-kaidah filosofis. Pancasila harus memuat juga dimensi
metafisis (ontologis), epitemologis, dan aksiologi.
Jika ditilik dari soal tempat, filsafat pancasila merupakan bagian dari Filsafat Timur
(karena Indonesia kerap digolongkan sebagai Negara yang ada di belahan bagian Timur).
Sebenarnya, ada banyak nilai ketimuran yang termuat dalam Pancasila, misalnya soal
pengakuan akan adanya Tuhan, kerakyatan, keadilan yang diidentikan dengan paham
mengenai ‘ratu adil’ dan seterusnya. Pancasila juga memuat paham-paham Barat, seperti :
Kemanusiaan, demokrasi, dan seterusnya. Sebagai sistem filsafat,
Pertama, secara onotologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut Notonarogo, hakikat
dasar ontologies Pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek
hukum pokok sila-sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia
memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai
sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai
makhluk individu sekaligus juga sebagai makhul social, serta kedudukannya sebagai
makhlik tuhan. Konsekuensinya, pancasila dijadikan dasar Negara diliputi oleh nilai-nilai
Pancasila yang merupakan kodrat manusia monodualis tersebut.
Kedua, kajian epistemology, Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagi upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya
karena epsitemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan
(ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan degan dasar
onotologisnya. Oleh karena itu, dasar epitemologi Pancasila sangat berkaitan dengan konsep
dasarnya hakikat tentang manusia. Sebagai suatu paham epistemology, Pancasila
medasarkan pandanganya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena
harus diletakan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religious dalam
upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia, oleh
karena itu, Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam
membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
Ketiga, kajian aksiologi, Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki sutu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai
dasar yang terkandung di dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang
utuh. Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas filsafat nilai Pancasila.
Secara aksiologi, bangasa Indonesia pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung
nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai
sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan, dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa
Indonesia.
Pancasila sebegai filsafat bangsa dan Negara Republik Indonesia mengandung makna
bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan harus
didasarkan pada nila-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kenyataan, dan yang terakhir
keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan ini betolak dari pandangan bahwa Negara
merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, dimana
merupakan masyarakat hukum.
Dalam Pancasila sebagai filsafat hidup (Weltanschauung): Perikemanusiaan diambil
dalam arti yang seluas-luasnya, sedang sebagai dasar Negara Perikemanusiaan terutama
berarti internasionalisme. Dalam Pancasila sebagai filsafat hidup (Weltanschauung):
Keadilan Sosial diambil dalam arti yang seluas-luasnya, harus dilakukan dalam semua kerja
sama manusia, sedang sebagi dasar Negara mempunyai arti yang khusus, yaitu Keadilan
Sosial seperti yang harus dijelmakan oleh Negara.
Demikian juga demokrasi dalam filsafat hidup (Weltanschauung) berarti tiap-tiap
kesatuan-karya harus melaksanakan Demokrasi, sedangkan sebagai dasar Negara Demokrasi
mempunyai arti yang tertentu pula, yaitu cara menegara. Juga Kebangsaan, dalam rumusan
filsafat dan dalam undang-undang Negara artinya tidak tepat sama. Dalam filsafat hidup
kebangsaan dinyatakan bahwa manusia itu dilahirkan dan dicap oleh tanha airnya
(bangsanya), dan bahwa dalam membentuk kesatuankarya. Dalam undang-undang Negara,
bangsaan mempunyai arti yang khusus, yaitu kesatuan yang sudah ada, yang kita sebut
bangsa, itu harus menjadi landasan menegara. Demikian juga halnya dengan sila Ketuhanan”
(Driyarkara 2006:859-860).
Gotong royong menggarambarkan secara filsuf manusia dan bangsa Indonesia. Gotong
royong mengandaikan pengakuan akan yang lain (manusia dan Tuhan), kebersamaan, kerja
sama demi keadilan, dan musyawarah. Driyarkara kemudianmenguraikan manusia dan
bangsa Indonesia yang bergotong royong ini menjadi lengkap secara ontologies,
epistemologis, dan aksiologis. “Sebagai dalil filsafat, Pancasila dapat dijelaskan sebagi
berikut:
1) Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada bersama-dengan-cintakasih,
yang disebut perikemanusiaan.
2) Perikemanusiaan itu harus kujalani bersama-sama menciptakan, dan mengguankan
barang dunia demi keadilan sosial.
3) Perikemanusiaan harus kulaksanakan juga dalam masyarakat. Aku manusia niscaya
memasyarakat …, dan berdemokrasi.
4) Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam hubunganku dengan kesatuan ….
Kesatuan yang besar itu, tempat aku pertama harus melaksanakan perikemanusaan,
disebut dengan Kebangsaan.
5) Aku mengakui bahwa adaku itu bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba
terganung. Jadi adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri. Jadi adaku
bukanlah sumber dari adaku … melainkan kepada Yang Mutlak, sang Maha-ada ….
Itulah Tuhan Yang Maha Esa” (Driyarkara 2006:856-857).

C. PEMBAHASAN PRAKTIK KORUPSI BANTUAN SOSIAL DI MASA PANDEMI


COVID-19
Dalam pengelolaan dan penyaluran bansos acap kali berpotensi terjadinya tindak pidana
korupsi. Hal ini senada dengan pendapat Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas
Gajah Mada (Pukat UGM) yang mengungkapkan pemberian dana bansos di situasi bencana
rentan membuka celah korupsi (Lumbanrau, 2020). Maraknya kasus tindak pidana korupsi
dana bansos tersebut selalu berkaitan dengan besarnya jumlah dana yang digelontorkan oleh
Pemerintah (Sembiring, 2014).
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah
menggelontorkan anggaran dalam rangka penyelenggaraan bantuan sosial sebagai bagian
dari Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemerintah Pusat telah menggelontorkan anggaran
sebesar Rp. 405 Triliun yang didalamnya meliputi dana bansos sebesar Rp. 110 Triliun.
Sedangkan Pemerintah Daerah menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 67,32 Triliun yang
didalamnya meliputi Rp. 25 Triliun dalam bentuk bansos yang akan diberikan kepada
masyarakat (Rais, 2020). Menurut laporan singkat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan agenda “Langkah-langkah antisipasi KPK
dalam melakukan pengawasan terhadap anggaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh
Pemerintah” dijelaskan bahwa titik rawan korupsi penanganan Covid-19 meliputi pengadaan
barang/jasa, filantropi/sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi anggaran Covid-19,
serta penyelenggaraan bantuan sosial (social safety net). Selanjutnya dijelaskan juga secara
spesifik titik rawan bantuan sosial penanganan Covid-19 ialah fiktif, exclusion error,
inclusion error, kualitas dan kuantitas (DPR, 2020).
Rawannya penyalahgunaan bantuan sosial penanganan Covid-19 dapat dibuktikan
dengan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada 3 Juli 2020, terdapat
total 621 keluhan masyarakat terkait penyaluran bantuan sosial. Keluhan tersebut meliputi
268 laporan tidak menerima bantuan padahal sudah terdaftar, 66 laporan bantuan tidak
dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, 47 laporan bantuan sosial yang diterima
jumlahnya kurang dari yang seharusnya, 31 laporan penerima fifktif (nama di daftar bantuan
tidak tertera), 6 laporan bantuan yang diterima kualitasnya buruk, 5 laporan seharusnya tidak
menerima bantuan tapi kenyataannya telah menerima dan 191 beragam laporan lainnya
(Hariyanto, 2020).
Sementara itu, menurut laporan dari Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas
Polri, pada saat ini terdapat beberapa kasus dugaan korupsi bansos di beberapa daerah di
Indonesia yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian yang meliputi 38 kasus di Polda
Sumatera Utara, 12 Kasus di Polda Jawa Barat, 8 Kasus di Polda Nusa Tenggara Barat, 7
Kasus di Polda Riau, 4 Kasus di Polda Sulawesi Selatan, serta masing-masing 3 kasus di
Polda Banten, Polda Jawa Timur, Polda Sulawesi Tengah, dan Polda Nusa Tenggara Timur
(Halim, 2020). Dalam tataran praktis terlihat beberapa kasus konkret terkait dugaan korupsi
bantuan sosial sebagai berikut:
1. Kasus Mark-up dana bansos Covid-19 yang dilakukan oleh Kepala Biro Kesejahteraan
Sosial (Kessos) Pemerintah Provinsi Lampung yang menyalahgunakan dana bansos
berupa sembako untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 di wilayah
Lampung. Modus yang dilakukan ialah dengan cara melakukan mark up anggaran
setiap item barang yang akan didistribusikan dan mengondisikan pihak ketiga selaku
penyedia barang (Anonim, 2020).
2. Kasus korupsi bansos di Jawa Barat yang melibatkan aparatur kewilayahan mulai
camat, kepala desa, perangkat desa hingga ketua RT dengan modus memotong dana
yang seharusnya menjadi hak masyarakat yang membutuhkan serta dengan mengganti
isi dus bansos berupa kebutuhan pokok dengan produk yang lebih rendah kualitas dan
nilai harganya (Redaksi, 2020).
3. Kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Kepala Dusun dan Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Banpares, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten
Musirawas, Sumatera Selatan dengan modus memotong dana bantuan langsung tunai
(BLT) miliki warga yang terdampak pandemi Covid-19 (Putra, 2020).
Beberapa kasus korupsi bansos tersebut menunjukkan bahwa dana bansos yang
seharusnya dialokasikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 sangat
rentan untuk disalahgunakan oleh para pihak yang tidak bertanggungjawab. Menurut
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa
penyebab terjadinya penyalahgunaan dana bantuan sosial disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, Database yang kacau dimana hal ini terjadi dikarenakan data penerima bantuan
sosial yang simpang siur, selalu terjadi penerima ganda dan data yang fiktif. Kedua,
lemahnya pengawasan dan audit untuk meminimalisasi penyelewengan dana bantuan sosial.
Hal tersebut disebabkan karena Pemerintah tidak membuat skema yang serius untuk
mengawasi dana bansos mulai penyaluran hingga pelaporannya (Dzulfaroh, 2020).
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, rentannya penyalahgunaan dana bansos di
masa pandemi Covid-19 yang membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab melakukan korupsi ialah karena belum adanya sistem pelayanan publik
yang transparan dan akuntabel dalam proses distribusi dana bansos ke masyarakat dari
tingkat pusat hingga daerah.
Menurut Ombusdman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, pintu masuknya
korupsi adalah maladministrasi, sehingga memberikan pelayanan publik dengan mencegah
mal administrasi akan secara otomatis mencegah korupsi (Harahap, 2020). Oleh karena itu
guna mencegah korupsi dana bantuan sosial Covid-19 agar peruntukannya lebih tepat
sasaran, dibutuhkan suatu sistem pelayanan publik yang transparan dan akuntabel sekaligus
memberikan pengawasan yang ketat dalam proses distribusi bansos hingga sampai ke tangan
masyarakat. Selain itu dibutuhkan juga skema sistem yang terintegrasi dan koordinatif antar
lembaga guna menciptakan sistem pelayanan publik dalam penyaluranan dana bansos Covid-
19 yang optimal sebagai langkah untuk mencegah terjadinya korupsi.

D. KAITAN LANDASAN PANCASILA DENGAN KASUS YANG TERJADI


1. Landasan Epistemologi Pancasila
Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa
meraih ilmu tersebut. Kaitan dengan kasus tersebut Kasus diawali dengan adanya paket
sembako di Kemensos RI tahun 2020 dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun.
Pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan Mensos
yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono rekanan, KPK menduga ada kesepakatan
sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.Menurut Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW) penyebab terjadinya penyalahgunaan dana bantuan
sosial disebabkan oleh beberapa hal: Database yang kacau, dan lemahnya pengawasan
dan audit untuk meminimalisasi penyelewengan dana bantuan sosial.
Rawannya penyalahgunaan bantuan sosial penanganan Covid-19 dapat dibuktikan
dengan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada 3 Juli 2020, terdapat
total 621 keluhan masyarakat terkait penyaluran bantuan sosial. Keluhan tersebut
meliputi 268 laporan tidak menerima bantuan padahal sudah terdaftar, 66 laporan
bantuan tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, 47 laporan bantuan sosial
yang diterima jumlahnya kurang dari yang seharusnya, 31 laporan penerima fifktif (nama
di daftar bantuan tidak tertera), 6 laporan bantuan yang diterima kualitasnya buruk, 5
laporan seharusnya tidak menerima bantuan tapi kenyataannya telah menerima dan 191
beragam laporan lainnya (Hariyanto, 2020).
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, rentannya penyalahgunaan dana bansos
di masa pandemi Covid-19 yang membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab melakukan korupsi ialah karena belum adanya sistem pelayanan
publik yang transparan dan akuntabel dalam proses distribusi dana bansos ke masyarakat
dari tingkat pusat hingga daerah.
2. Landasan Ontologi Pancasila
Ontologi dikenal dengan ilmu tentang keberadaan sesuatu secara nyata, faktual,
dan konkret. Bagaimana kasus tersebut menjadi fakta. Kaitannya dengan kasus yaitu
Juliari P Batubara baru saja ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap
terkait bantuan sosial (Bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020. Tepatnya
pukul 01.15 WIB, Minggu 6 Desember 2020. KPK juga telah menetapkan empat
tersangka lain, yakni dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos)
Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono dan pihak swasta Ardian I M dan Harry
Sidabuke. Korupsi disebabkan karena Pemerintah tidak membuat skema yang serius
untuk mengawasi dana bansos mulai penyaluran hingga pelaporannya (Dzulfaroh, 2020).
3. Landasan Aksiologi Pancasila
Aspek aksiologis dari filsafat mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan
nilai dan moral dalam kehidupan manusia. Kaitan dengan kasus yakni Korupsi tersebut
telah melanggar semua sila dalam Pancasila :
a) Dalam Sila pertama yang berbunyi “Ke-Tuhanan Yang Masa Esa” jika kita
melakukan tindakan korupsi berarti sama saja kita telah membohongi Tuhan.
b) Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” sila ini
memiliki makna untuk memperlakukan sesama manusia sebagai mana mestinya
dan melakukan tindakan yang benar, bermartabat, adil terhadap sesama manusia
sebagaimana mestinya. Dengan melakukan korupsi, berarti sama saja telah
melakukan tindakan yang memperlakukan kekuasaan dan kedudukan sebagai
tempat untuk mendapatkan hal yang diinginkan demi kebahagiaan diri sendiri dan
juga membuat orang lain menjadi rugi karena tindakan korupsi tersebut .
c) Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” yang memiliki makna bahwa
kedudukan masyarakat/rakyat itu sama di depan mata hukum tanpa membeda-
bedakan serta mendapat perlakuan yang sama di depan hukum sehingga, dengan
melakukan korupsi maka sama saja melakaukan tindakan yang dapat
menghilangkan kepercayaan masyarakat sehingga hal tersebut akan membuat
rakyat merasa menjadi terintimidasi dan tidak peduli lagi terhadap tindakan yang
telah dilakukan oleh pemerintah.
d) Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyahwarataan Dan Perwakilan” dengan melakukan
tindakan korupsi berarti kita telah melakukan tindakan dengan keputusan sendiri
dan hal itu tidak baik karena dalam menentukan dan melakukan segala sesuatu
haruslah berdasarkan keputusan bersama karena Indonesia sangat menjunjung
tinggi musyawarah.
Sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
dengan adanya korupsi berarti menunjukan ketidakadilan antar pemerintah dan
masyarakat. Bukan hanya itu juga ketidakadilan terhadap negara sendiri karena
telah menggunakan sesuatu yang bukan haknya untuk dijadikan kenikmataan
bagi diri sendiri tanpa memikirkan tujuan awalnya hal tersebut dilakukan.
Seperti contoh lainnya Mensos Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a
atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.
Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a
atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal
55 ayat 1 ke 1 KUHP. Adapun Ardian dan Harry disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1)
huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
E. KESIMPULAN
Korupsi adalah suatu tindakan dimana seseorang menyalahgunakan uang negara secara
diam-diam untuk kepentingan pribadi atau pun kepentingan lain yang bukan menjadi urusan
negara.
Pancasila merupakan ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia bukan hanya
sebuah ideologi tetapi, Pancasila merupakan prinsip yang harus di miliki oleh setiap warga
negara Indonesia. Dengan pengertian tersebut kita dapat memaknai bahwa dalam setiap
melakukan segala sesuatu kita harus berpegangan pada Pancasila yang merupakan prinsip
dasar negara kita. Jika kita melakukan suatu kegiatan dengan berdasarkan pada Pancasila
maka kehidupan antar masyarakat akan terjalin dengan sangat baik, begitu juga dengan
pemerintahan.
Dalam Pancasila terdapat lima sila yang dimana setiap sila-sila itu memiliki arti yang
berbeda tetapi memiliki tujuan yang satu yaitu menciptakan dan mewujudkan cita-cita
negara Indonesia. Seperti tindakan korupsi merupakan tindakan bukan hanya melanggar
aturan negara tetapi hal itu juga telah melanggar ideologi dan prinsip terhadap Pancasila.
Dengan menyelewengnya tindakan terhadap Pancasila hal tersebut akan membuat cita-cita
yang didambakan oleh negara dan bangsa lama kelamaan akan menjadi hancur.
a) Dalam Sila pertama yang berbunyi “Ke-Tuhanan Yang Masa Esa” jika kita
melakukan tindakan korupsi berarti sama saja kita telah membohongi Tuhan.
b) Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” sila ini memiliki
makna untuk memperlakukan sesama manusia sebagai mana mestinya dan melakukan
tindakan yang benar, bermartabat, adil terhadap sesama manusia sebagaimana
mestinya. Dengan melakukan korupsi, berarti sama saja telah melakukan tindakan
yang memperlakukan kekuasaan dan kedudukan sebagai tempat untuk mendapatkan
hal yang diinginkan demi kebahagiaan diri sendiri dan juga membuat orang lain
menjadi rugi karena tindakan korupsi tersebut .
c) Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” yang memiliki makna bahwa
kedudukan masyarakat/rakyat itu sama di depan mata hukum tanpa membeda-
bedakan serta mendapat perlakuan yang sama di depan hukum sehingga, dengan
melakukan korupsi maka sama saja melakaukan tindakan yang dapat menghilangkan
kepercayaan masyarakat sehingga hal tersebut akan membuat rakyat merasa menjadi
terintimidasi dan tidak peduli lagi terhadap tindakan yang telah dilakukan oleh
pemerintah.
d) Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyahwarataan Dan Perwakilan” dengan melakukan tindakan korupsi
berarti kita telah melakukan tindakan dengan keputusan sendiri dan hal itu tidak baik
karena dalam menentukan dan melakukan segala sesuatu haruslah berdasarkan
keputusan bersama karena Indonesia sangat menjunjung tinggi musyawarah.
e) Sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dengan
adanya korupsi berarti menunjukan ketidakadilan antar pemerintah dan masyarakat.
Bukan hanya itu juga ketidakadilan terhadap negara sendiri karena telah
menggunakan sesuatu yang bukan haknya untuk dijadikan kenikmataan bagi diri
sendiri tanpa memikirkan tujuan awalnya hal tersebut dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai