Perbedaan pandangan tadi terjadi karena kerancuan dalam memahami makna hakam yang
diberi makna berbeda. Kata hakam digunakan dalam arti yang luas lagi umum dengan
mencakup orang yang berwenang untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan antara
pihak-pihak yang berselisih dengan menyarankan atau membantu untuk mencapai
penyelesaian konflik, atau dengan mengeluarkan keputusan yang mengikat untuk
menyelesaikan perselisihan mereka. Akibat pemaknaan yang luas ini menimbulkan
perbedaan atas konsep arbitrase, yakni arbitrase yang mengarah pada keputusan yang
mengikat, dan arbitrase yang mengarah pada keputusan tidak mengikat yang disebut
konsiliasi. Dalam pengertian yang luas dan umum, terminologi hakam tidak saja diberi
makna sebagai arbiter, dan konsiliator, tetapi dapat juga berarti mediator dalam
penyelesaian konflik melalui mediasi.
Tahkim berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata
hakkama, yuhakkimu, tahkiman, berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu
sengketa. Tahkim yang dikenal dalam hukum Islam tidak memiliki pengertian yang
berbeda dari arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu sebagai cara penyelesaian sengketa
di luar peradilan dengan mengangkat hakam sebagai penengah atas perselisihan yang
terjadi di antara para pihak yang bersengketa . Penunjukan tahkim didasarkan pada
kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa untuk mengangkat langsung dan
menyerahkan kepada hakam yang diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai. Arbitrase bukan pengadilan resmi yang di bentuk
negara, melainkan yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa secara suka sama suka.
Para ahli hukum telah lama memberi perhatian terhadap masalah yang berhubungan
dengan validitas yang dikaitkan dengan pemaknaan hukum. John Austin misalnya
mengatakan hukum tanpa elemen perintah dan sanksi, tidak dapat didalihkan sebagai
hukum yang nyata. Hart mengkaitkan validitas hukum dengan keberadaan rule of
recognition. Tanpa elemen rule of recognition yang memungkinkan untuk membedakan
hukum dengan standar tingkah laku sosial lain, hukum tidak menemukan
validitasnya. Fuller mengemukakan, rule of recognition belum cukup, masih harus
dilengkapi dengan aturan prosedur dan pengumumannya sesuai dengan standarts of
clarity, consistency, and even morality.
Radbruch menyampaikan tiga doktrin mengenai validitas keberlakuan hukum, yaitu:
Pertama, doktrin filosofis, yaitu nilai-nilai filsafat yang mengidentifikasi hukum yang
benar. Agama Islam juga memberi sumbangan penting bagi praktik arbitrase dengan
karakter yang diterangi prinsip syariah. Nabi Muhammad mengakui keberadaan arbitrase
dan beliau mempercayai arbiter lain sebagai penggantinya dalam menyelesaikan satu
kasus dan menerima putusannya. Kabilah atau suku-suku juga dianjurkan beliau agar bila
terjadi sengketa antara mereka untuk diselesaikan dengan arbitrase. Sebelum kedatangan
Islam, bentuk kesatuan masyarakat Arab adalah kabilah atau suku. Setiap kabilah diikat
dengan peraturan tak tertulis yang selalu berevolusi bersama perjalanan waktu. Kabilah
secara keseluruhan yang bisa memberikan jaminan dan perlindungan atas kepentingan
individu. Karena lembaga pelaksanaan hukum belum ada, maka pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya secara pribadi kepada pihak yang dirugikan atau korban.
Peletakan hajar al-aswad ketempat semula tidak diberikan kepada satu kabilah
saja, melainkan mengakomodir seluruh kabilah, sehingga diterima semua pihak secara
lega dan tidak terjadi pertumpahan darah. Keputusan Muhammad AlAmin sangat
bijaksana dan membuat seluruh kabilah merasa lega, dan beliau berbuat netral karena
tidak memiliki keberpihakan kepada satu kebilah tertentu. Keputusan yang diberikan
Muhammad mencerminkan karakter tahkim , yaitu hakam sebagai penengah yang
bersifat netral dan diterima semua pihak sebagai putusan final. Selain itu, putusan
diberikan secara win-win solution yang rela diterima semua pihak dengan berlapang
dada, sehingga tidak menimbulkan dendam dan pertumpahan darah diantara pihak yang
berselisih.
Kadi atau hakim yang biasa dikaitkan dengan peradilan dalam Islam merupakan
pengembangan dari hakam. Muhammad Khalid Mas’ud mengatakan, institusi kadi
dikembangkan dari institusi hakam pra Islam.
Arbitrase dan Para Pihak, bahwa para pihak memegang peranan menentukan dalam
arbitrase. Kehendak para pihak adalah dasar hukum bagi arbitrase, tanpa kesepakatan
ini, arbitrase tidak ada. Otoritas bukan Kekuasaan, bahwa otoritas arbitrase bukan dari
kekuasaan negara. Otoritas ini adalah kewenangan arbitrase yang lahir karena adanya
penerimaan, kepercayaan, dan apresiasi para pihak terhadap arbitrase.
Otoritas ini tampak dalam kesepakatan para pihak memilih lembaga arbitrase untuk
menyelesaikan sengketanya. Arbitrase dan Pihak Ketiga, bahwa pemeriksaan arbitrase
memiliki sifat kerahasiaan yang dihormati oleh semua sistem hukum di dunia. Arbitrase
Komersial Universitas Sumatera Utara Internasional sebagai Suatu Sistem, bahwa terdapat
sistem kerjasama di antara lembaga-lembaga arbiterase di dunia, baik lembaga arbitrase
yang sifatnya nasional, regional atau internasional. Arbitrase dan Hukum Perdagangan
Internasional, bahwa ada hubungan yang erat antara arbitrase dengan hukum perdagangan
internasional.