Anda di halaman 1dari 6

A.

Konsep Arbitrase Dalam Hukum Islam


Satu pandangan menampilkan konsep arbitrase sebagai bentuk dari konsiliasi untuk
mewujudkan perdamaian yang tidak mengikat, kecuali jika diterima para
pihak. Pandangan lain melihat arbitrase dalam hukum Islam memiliki makna yang sama
sebagaimana dipahami dewasa ini, yaitu putusan bersifat mengikat bagi para pihak yang
bersengketa. Selain itu, arbitrase tidak memiliki sifat yudisial, sehingga bila putusannya
mengikat, tentu akan menimbulkan tantangan bagi pengadilan yang bersifat
yudisial. Sebagai bentuk konsiliasi, proses arbitrase dilakukan secara menyenangkan lagi
ramah dalam konsep yang disebut arbitration in equity.

« Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. » Ayat ini


secara terang memberi perintah agar memberi putusan hukum secara adil untuk
menyelesaikan perkara yang terjadi di antara umat manusia. Perintah ini disampaikan
kepada penerima amanat, termasuk arbiter dalam melakukan proses arbitrase, agar
memberi putusan secara adil untuk menyelesaikan sengketa yang diamanatkan
kepadanya. Empat pemikiran yang dikenal dalam fiqih Islam Sunni masing- masing
memiliki sudut pandang yang berbeda, namun setiap pendapat tetap terkait dengan kedua
konsep yang disebut di atas.

Perbedaan pandangan tadi terjadi karena kerancuan dalam memahami makna hakam yang
diberi makna berbeda. Kata hakam digunakan dalam arti yang luas lagi umum dengan
mencakup orang yang berwenang untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan antara
pihak-pihak yang berselisih dengan menyarankan atau membantu untuk mencapai
penyelesaian konflik, atau dengan mengeluarkan keputusan yang mengikat untuk
menyelesaikan perselisihan mereka. Akibat pemaknaan yang luas ini menimbulkan
perbedaan atas konsep arbitrase, yakni arbitrase yang mengarah pada keputusan yang
mengikat, dan arbitrase yang mengarah pada keputusan tidak mengikat yang disebut
konsiliasi. Dalam pengertian yang luas dan umum, terminologi hakam tidak saja diberi
makna sebagai arbiter, dan konsiliator, tetapi dapat juga berarti mediator dalam
penyelesaian konflik melalui mediasi.
Tahkim berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata
hakkama, yuhakkimu, tahkiman, berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu
sengketa. Tahkim yang dikenal dalam hukum Islam tidak memiliki pengertian yang
berbeda dari arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu sebagai cara penyelesaian sengketa
di luar peradilan dengan mengangkat hakam sebagai penengah atas perselisihan yang
terjadi di antara para pihak yang bersengketa . Penunjukan tahkim didasarkan pada
kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa untuk mengangkat langsung dan
menyerahkan kepada hakam yang diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai. Arbitrase bukan pengadilan resmi yang di bentuk
negara, melainkan yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa secara suka sama suka.

Samir Aliyah mengatakan, tahkim bukanlah bentuk peradilan, karena ia terbatas kepada


orang yang ridha dan khusus dalam masalah perdata, sedang peradilan berimplikasi
kepada orang lain meskipun tanpa ridhanya, dan mencakup pula dalam masalah- masalah
pidana. Pemeriksaan peradilan lebih formal dengan memakai dan terikat pada ketentuan
hukum acara yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa. Prosedur pemeriksaan
arbitrase dapat ditentukan berdasar kerjasama pihak-pihak yang bersengketa berdasar
itikad baik, sehingga tidak terikat secara formal dengan ketentuan hukum acara. Arbitrase
dalam hukum Islam merupakan perjanjian yang disepakati para pihak untuk
menyelesaikan perselisihan dalam sengketa yang terjadi di luar badan peradilan.

Dalam konteks arbitrase, perjanjian dibuat guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya


sengketa atau beda pendapat maupun yang sedang terjadi melalui arbiter sebagai pihak
ketiga netral yang diberi kewenangan memberi keputusan. Arbitrase dengan demikian
merupakan penyelesaian sengketa secara privat yang diinginkan para pihak, dengan
menyisihkan peradilan.

B. Validitas dan Yurisdiksi Arbitrase Dalam Hukum Islam

Para ahli hukum telah lama memberi perhatian terhadap masalah yang berhubungan
dengan validitas yang dikaitkan dengan pemaknaan hukum. John Austin misalnya
mengatakan hukum tanpa elemen perintah dan sanksi, tidak dapat didalihkan sebagai
hukum yang nyata. Hart mengkaitkan validitas hukum dengan keberadaan rule of
recognition. Tanpa elemen rule of recognition yang memungkinkan untuk membedakan
hukum dengan standar tingkah laku sosial lain, hukum tidak menemukan
validitasnya. Fuller mengemukakan, rule of recognition belum cukup, masih harus
dilengkapi dengan aturan prosedur dan pengumumannya sesuai dengan standarts of
clarity, consistency, and even morality.
Radbruch menyampaikan tiga doktrin mengenai validitas keberlakuan hukum, yaitu:
Pertama, doktrin filosofis, yaitu nilai-nilai filsafat yang mengidentifikasi hukum yang
benar. Agama Islam juga memberi sumbangan penting bagi praktik arbitrase dengan
karakter yang diterangi prinsip syariah. Nabi Muhammad mengakui keberadaan arbitrase
dan beliau mempercayai arbiter lain sebagai penggantinya dalam menyelesaikan satu
kasus dan menerima putusannya. Kabilah atau suku-suku juga dianjurkan beliau agar bila
terjadi sengketa antara mereka untuk diselesaikan dengan arbitrase. Sebelum kedatangan
Islam, bentuk kesatuan masyarakat Arab adalah kabilah atau suku. Setiap kabilah diikat
dengan peraturan tak tertulis yang selalu berevolusi bersama perjalanan waktu. Kabilah
secara keseluruhan yang bisa memberikan jaminan dan perlindungan atas kepentingan
individu. Karena lembaga pelaksanaan hukum belum ada, maka pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya secara pribadi kepada pihak yang dirugikan atau korban.
Peletakan hajar al-aswad ketempat semula tidak diberikan kepada satu kabilah
saja, melainkan mengakomodir seluruh kabilah, sehingga diterima semua pihak secara
lega dan tidak terjadi pertumpahan darah. Keputusan Muhammad AlAmin sangat
bijaksana dan membuat seluruh kabilah merasa lega, dan beliau berbuat netral karena
tidak memiliki keberpihakan kepada satu kebilah tertentu. Keputusan yang diberikan
Muhammad mencerminkan karakter tahkim , yaitu hakam sebagai penengah yang
bersifat netral dan diterima semua pihak sebagai putusan final. Selain itu, putusan
diberikan secara win-win solution yang rela diterima semua pihak dengan berlapang
dada, sehingga tidak menimbulkan dendam dan pertumpahan darah diantara pihak yang
berselisih.
Kadi atau hakim yang biasa dikaitkan dengan peradilan dalam Islam merupakan
pengembangan dari hakam. Muhammad Khalid Mas’ud mengatakan, institusi kadi
dikembangkan dari institusi hakam pra Islam.

C. Keberadaan Arbitrase Syariah Dalam Hukum Positif Indonesia


Relevan dan layak dikemukakan uraian mengenai keberlakuan hukum Islam sesuai
politik hukum Indonesia. Pembahasan ini menjadi pintu masuk untuk melihat
keberadaan dan pengakuan arbitrase syariah dan tempatnya dalam sistem hukum
nasional. Ketiga tradisi hukum tersebut berlaku dan hidup bersamaan secara nyata
dalam masyarakat meskipun dengan sejarah dan karakter yang bereda.
Kedatangan Islam telah membawa nilai baru berwawasan syariah yang memengaruhi
sistem nilai yang berlaku berupa adat yang berlaku bagi masyarakat setempat. Hukum
Islam sekaligus menjadi bagian dari kesadaran atau hukum yang hidup dalam
masyarakat mendahului hukum Barat yang diperkenalkan kolonial Belanda kemudian.
Memperhatikan isu-isu hukum yang berkembang dalam hukum Islam dewasa
ini, termasuk bidang ekonomi syariah, setidaknya terdapat dua kecenderungan yang
menonjol. Pertama, hukum Islam telah bergeser dari orientasi yang menekankan pada
persoalan ibadah di masa lalu menjadi persoalan muamalah saat ini.

D. BASYARNAS sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan


UUAAPS 1999 menjadi payung hukum bagi berbagai badan arbitrase yang ada di
Indonesia, termasuk arbitrase syariah.
BASYARNAS. Pendirian BASYARNAS diprakarsai MUI dalam menyahuti
perkembangan dan kemajuan kehidupan perekonomian dan perbankan syariah di
Indonesia. Disampingnya terdapat institusi arbitrase non syariah, seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata yang timbul dalam
bidang perdagangan, industri, keuangan, dan lain-lain, baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Kebutuhan terhadap BASYARNAS di masa depan semakin perlu untuk
mengantisipasi perkembangan ekonomi syariah yang begitu pesat. Perkembangan ini
ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga keuangan syariah di bidang pasar modal
syariah, pegadaian syariah, modal ventura syariah, serta perwakafan.
Dari perpektif historis, BASYARNAS sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia . Eksistensi arbitrase syariah tidak dapat dilepaskan dengan fakta empirik yang
memperlihatkan semakin semaraknya berbagai aktivitas ekonomi dan bisnis yang
bernuansa syariah di Indonesia. Prodjokusumo. Sesuai dengan akta pendirian yang dibuat
dihadapan Nyonya Lely Roostiati Yudo Paripurno, SH sebagai notaris pengganti
sementara dari Yudo Paripurno, SH, dapat diketahui, bahwa maksud dan tujuan
didirikannya Yayasan BAMUI, adalah, pertama, memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa muamalah yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa, dan lainlain. Kedua, menerima permintaan yang
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut, Selain UUAAPS 1999 sebagai payung hukum, validitas arbitrase
syariah diperkokoh melalui berbagai Fatwa DSN-MUI yang senantiasa memuat
ketentuan, penyelesaian sengketa para pihak dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah, setelah kesepakatan melalui musyawarah tidak tercapai.

E. Doktrin dan Karakteristik Arbitrase Serta Relevansinya Bagi Arbitrase Syariah


Priyatna Abdurrasyid mengemukakan lima doktrin yang melekat pada mekanisme
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yakni
internasionalisasi, universalitas, globalitas, trans nasionalitas, dan doktrin
kewenangan. Pertama, doktrin internasionalitas memperlihatkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase telah diakui dan merupakan ciri yang melekat pada kegiatan
pedagangan internasional. Selain itu, doktrin internasionalitas memperlihatkan ketentuan
arbitrase dimanapun juga memiliki falsafah untuk mendamaikan . Kedua, doktrin
universalitas yakni arbitrase dapat menyelesaikan berbagai sengketa secara universal, baik
yang bersifat perdata maupun public.

Lima doktrin arbitrase yang dikemukakan terdahulu, dapat dilengkapi dengan doktrin


keenam yakni doktrin harmonisasi. keinginan menciptakan persamaan prosedur atau tata
cara pelaksanaan hukum arbitrase di bidang komersial internasional, seperti rekomendasi
UNCITRAL Model Law juga mengilhami semangat doktrin harmonisasi dalam arbitrase
internasional. Upaya harmonisasi yang diinginkan UNCITRAL ini merupakan
keberhasilan penting untuk melahirkan keseragaman aturan di bidang arbitrase.di samping
Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing. Perkembangan informasi teknologi turut melahirkan doktrin arbitrase
ketujuh, yakni doktrin internetisasi.

Doktrin internetisasi mengajarkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase bisa dilakukan


secara online lewat jaringan internet . Selain itu, arbitrase lahir dari prinsip hukum yang
dikenal dalam berbagai sistem hukum di dunia, yaitu prinsip pacta sunt
servanda. Arbitrase dan Hukum, bahwa arbitrase adalah lembaga hukum yang juga diakui
sebagai bagian dari hukum perdagangan internasional, yaitu bagian dari hukum para
pedagang . Sebagai lembaga hukum, arbitrase memiliki seperangkat peraturan arbitrase.

Arbitrase dan Para Pihak, bahwa para pihak memegang peranan menentukan dalam
arbitrase. Kehendak para pihak adalah dasar hukum bagi arbitrase, tanpa kesepakatan
ini, arbitrase tidak ada. Otoritas bukan Kekuasaan, bahwa otoritas arbitrase bukan dari
kekuasaan negara. Otoritas ini adalah kewenangan arbitrase yang lahir karena adanya
penerimaan, kepercayaan, dan apresiasi para pihak terhadap arbitrase.

Otoritas ini tampak dalam kesepakatan para pihak memilih lembaga arbitrase untuk
menyelesaikan sengketanya. Arbitrase dan Pihak Ketiga, bahwa pemeriksaan arbitrase
memiliki sifat kerahasiaan yang dihormati oleh semua sistem hukum di dunia. Arbitrase
Komersial Universitas Sumatera Utara Internasional sebagai Suatu Sistem, bahwa terdapat
sistem kerjasama di antara lembaga-lembaga arbiterase di dunia, baik lembaga arbitrase
yang sifatnya nasional, regional atau internasional. Arbitrase dan Hukum Perdagangan
Internasional, bahwa ada hubungan yang erat antara arbitrase dengan hukum perdagangan
internasional.

Anda mungkin juga menyukai