Anda di halaman 1dari 12

Nama : Salvia Amirah Rahardini

Kelas : Hukum dan Hak Asasi Manusia – N


NIM : 11000120140829
Tugas : 3

A. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM


Ahli hukum dari Perancis yaitu Karel Vasak membuat kategori generasi berdasarkan slogan
Revolusi Perancis, yaitu "kebebasan, persamaan dan persaudaraan" (liberte, egalite, fraternite)
yang mencerminkan perkembangan dari kategori dan generasi hak yang berbeda. Secara garis
besar Vasak membagi perkembangan substansi HAM dalam 3 tipe generasi berikut ini :
1. Generasi Pertama HAM :
Hak-hak generasi pertama sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik yaitu
hak yang muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan
absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak ini pada hakikatnya
hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang
atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam kategori hak-hak generasi
pertama ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 -21 UDHR (Universal
Declaration of Human Rights), diantaranya adalah : hak hidup, keutuhan jasmani, hak
kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik,
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dll. Dipengaruhi filsafat politik
individualisme liberal dan doktrin sosial-ekonomi laissez-faire, hak generasi pertama
(hak sipil dan politik) ini meletakkan posisi HAM lebih pada terminologi yang negatif
(bebas dari) atau sering pula disebut sebagai ‘hak negatif’, yaitu hak yang merujuk pada
tiadanya campur tangan terhadap hak dan kebebasan individual.

2. Generasi Kedua HAM :


Hak-hak generasi kedua yang merupakan manifestasi hak-hak di bidang ekonomi,
sosial dan budaya ini berakar pada tradisi sosialis awal abad 19 yang muncul dari
tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang.
Tuntutan atas hak ini muncul sebagai respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan
penyelewengan-penyelewengan dari kapitalis yang mentoleransi dan bahkan
melegitimasi eksplitasi manusia. Hak-hak generasi kedua ini pada dasarnya adalah
tuntutan akan persamaan sosial, dan sering disebut sebagai hak-hak positif, yaitu hak
yang pemenuhannya sangat membutuhkan peran aktif negara. Termasuk dalam
kategori hak generasi kedua ini adalah hak-hak sebagaimana terdapat dalam Pasal 22-
27 UDHR (Universal Declaration of Human Rights), yaitu hak atas pekerjaan dan upah
yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas
pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, serta hak
atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan dan kesenian.

3. Generasi Ketiga HAM :


Generasi ketiga HAM ini diwakili oleh tuntutan atas 'hak solidaritas' (solidarity rights)
atau 'hak bersama' yang merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM
sebelumnya. Hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia
Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UDHR (Universal Declaration of Human
Rights) ini negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan
ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
1) The right to political, economic, social and cultural self deermination (hak atas
penentuan nasib sendiri di bidang politik, ekonomi, sosial dan kultural).
2) The right to economic and social development (hak atas pembangunan ekonomi dan
sosial).
3) The right to participate in and benefit from the 'common heritage of mankind' (hak
untuk berpartispasi dalam dan memperoleh manfaat dari warisan bersama umat
manusia).
4) The rigbt to peace (hak atas perdamaian)
5) The right to a healthy and balanced environment (hak atas lingkungan yang sehat).
6) The right to humanitarian disaster relief (hak atas bantuan kemanusiaan).

Menurut Jimly Asshiddiqie, ketiga generasi konsepsi HAM tersebut pada pokoknya
mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Akan tetapi, dalam
perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, dimensi-dimensi HAM akan
berubah semakin kompleks sifatnya sehingga muncul konsep baru. Konsep baru inilah yang
oleh Jimly disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Kedua. Sifat hubungan
kekuasaan dalam konsep Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan ifat hubungan
kekuasaan dalam konsep Generasi Kedua bersifat horizontal.
B. TEORI HAK ASASI MANUSIA
Secara garis besar terdapat 4 kelompok teori besar yang biasa digunakan sebagai dasar
pemahaman HAM, yaitu :
1. Teori Hukum Alam / Teori Hukum Kodrat (natural rights theory).
Teori ini berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada
segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Teori hukum alam ini
dikembangkan oleh para pemikir Abad Pencerahan di Eropa, seperti Thomas Aquinas, John
Locke, Thomas Paine dan Jean Jacques Rousseau; dan masih terus berkembang hingga saat ini
oleh tokoh - tokoh hukum alam yang kontemporer seperti : Francois Geny, Johanes Messner,
Luijpen hingga John Finnis. Ide dasar teori hukum kodrat (teori hukum alam) adalah bahwa
posisi masing-masing manusia dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, semua manusia apa
pun statusnya tunduk pada otoritas Tuhan.

Hak alamiah semua individu tersebut tidak lahir dari pengakuan politis yang diberikan negara
kepada mereka, namun melekat pada harkat dan martabatnya sebagai manusia. HAM yang
bersumber dari hak alamiah ini tidak memerlukan pengakuan, baik dari pemerintah maupun
suatu sistem hukum. Hak-hak inilah yang kemudian dikenal sebagai hak yang 'non-derogable’,
yaitu hak yang tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun dan dalam keadaan apa pun.
Sementara itu Thomas Aquinas (1224-1274) mengembangkan teori hukum kodratinya dengan
berpijak pada pandangan thomistik, yaitu bahwa hukum kodrati tersebut merupakan bagian
dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui nalar akal manusia. Ia
membedakan 4 (empat) macam hukum, yaitu lex eterna, lex naturalis, lex divina dan lex
bumane.

Hugo Grotius (1583-1645) mengembangkan teori hukum alam Aquinas diatas dengan
memutus asal usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang
rasional. Adapun berdasar pemikiran hukum kodrati, seorang pakar ahli yaitu John Locke
(1632 -1704) mengajukan pemikiran mengenai teori hak - hak kodrati (natural rights theory).
Locke mengemukakan pendapat bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan setara, artinya
bahwa setiap manusia memiliki hak- hak yang tak dapat dilepaskan dari dirinya. Ada pun hak
tersebut adalah hak atas hidup, kebebasan dan milik. Menurut Locke, saat memasuki kondisi
masyarakat sipil, berdasarkan teori kontrak sosial maka yang dilepaskan manusia kepada
negara hanyalah hak untuk menegakkan hak yang tidak bisa dilepaskan tadi.
Tokoh lain hukum alam adalah Francois Geny (1861 - 1959) penganut neo-thomisme, yang
mengartikan hukum alam sebagai prinsip-prinsip material hukum yang berasal dari alam dan
dengan demikian melandasi hukum positif. Sedangkan Luijpen (1922 - 1980), mengartikan
hukum alam sebagai keseluruhan hak dan kewajiban - kewajiban yang bersangkutan, yang
dimanapun juga dan kapan pun juga selalu berlaku karena relasinya dengan aturan alam dan
oleh karenanya tidak dapat hilang dan diubah.

2. Teori Hukum Positif.

Menurut penganut teori positivisme, suatu hak harus berasal dari sumber yang jelas seperti dari
peraturan perundangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. HAM berdasar pandangan dari
teori positivisme ini lebih menekankan pada aturan – aturan tertulis mengenai HAM, sehingga
tindakan yang tidak sesuai dengan aturan adalah pelanggaran terhadap HAM. Dalam hal ini
tidak dipersoalkan bahwa aturan hukum positif itu sejak pembuatannya berpotensi penuh
dengan unsur kepentingan dan pengaruh dari para pibak yang paling dominan, sehingga tidak
netral dan cenderung tidak adil bagi masyarakat. Teori positivisme ini tidak menempatkan
kendala moral pada aturan-aturan yang disahkan negara, dan individu hanya menikmati hak-
hak yang diberikan negara.

3. Teori Universal (universal theory).

Teori ini berpandangan bahwa HAM bersifat universal, sehingga HAM dimiliki oleh individu
terlepas dari nilai-nilai atau budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada
oada suatu negara. Oleh karena itu HAM tidak ada pada suatu negara memerdulikan pengakuan
dari otoritas manapun, seperti negara atau penguasa tertentu. Teori ini menjadi kekuatan
pendorong bagi pemahaman baru tentang universalitas HAM. Secara teoritis teori
universalisme ini melahirkan 2 (dua) pandangan berbeda, yaitu teori universal absolut dan teori
universal relatif. Teori universal absolut adalah aliran yang memandang HAM sebagai nilai
universal sebagaimana dirumuskan dalam The International Bill of Rights. Sedangkan teori
universal relatif yaitu aliran yang melihat persoalan HAM sebagai masalah universal dan
melihat dokumen-dokumen internasional tentang HAM bagai acuan yang penting, namun
demikian perkecualian (exception) yang atas asas-asas hukum internasional yang diakui.

4. Teori Relativisme Budaya (cultural relativist theory).


Pada prinsipnya teori relativisme budaya berpandangan bahwa HAM harus diletakkan dalam
konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal. Menurut
penganut teori ini, tidak ada suatu hak yang bersifat universal, karena HAM harus dipahami
dan dilihat dalam perspektif budaya suatu masyarakat atau negara. Secara teoritis terdapat dua
kelompok utama penganut relitivisme budaya, yaitu :

a. Partikularistik absolut, yaitu kelompok yang melihat HAM sebagai persoalan masing-
masing bangsa tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan
terhadap berlakunya dokumen-dokumen dan instrumen-instrumen hukum internasional
tentang HAM.

b. Partikularistik relatif, yaitu kelompok yang melihat persoalan HAM di samping sebagai
persoalan universal juga merupakan masalah internasional yang harus diselaraskan
memperoleh dukungan dukungan dan tertanam (embedded) serta melembaga dalam
masyarakat bangsa tersebut.

C. SEJARAH PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA

Menurut Michel Villey sebagaimana dikutip oleh Simon Goyard-Fabre, gagasan HAM (jus
hominum) untuk pertama kalinya muncul pada tahun 1537. Kendati keprihatinan terhadap
HAM sudah ada sejak tahun 1215 dengan dirumuskannya Magna Charta, namun gagasan ini
baru dinyatakan sebagai kategori yang tidak bisa dipisahkan dari hukum politik modern setelah
Revolusi Perancis (1789), yaitu sejak Deklarasi Hak Hak Asasi Manusia dan Warganegara
(Declaration of the Rights of Man and Citizen). Sebelum Deklarasi Perancis tahun 1789 ini
sebenarnya telah ada lebih dulu beberapa dokumen yang memiliki pengaruh kuat terhadap
perkembangan HAM, khususnya hak sipil dan politik, Di Inggris, selain Magna Charta (1215),
juga dikenal adanya Petition of Rights (1628), Habeas Corpus Art (1679), dan English Bill of
Rights (1689), yang mana ketiga instrumen ini sangat mengembangkan kebebasan politik,
kebebasan pribadi dan terutama hormat terhadap keamanan pribadi.

Bill of Rights (1689) yang merupakan hasil perjuangan Parlemen melawan pemerintahan raja-
raja Wangs Stuart yang sewenang-wenang pada abad ke-17 dan ditetapkan setelah Raja James
II dipaksa turn takhta dan William III serta Mary II naik ke singgasana in menundukkan
monarkhi di bawah kekuasaan Parlemen. Kendati UU ini merupakan pengaturan konstitusional
yang melindungi kepentingan kelompok tertentu (borjuis), namun UU ini juga mengatur hal
tertentu yang berciri “hak asasi manusia”. Pada masa inilah mulai muncul adagium bahwa
“..manusia sama di muka hukum..." (equality before the law) yang memperkuat dorongan
timbulnya negara hukum dan demokrasi serta melahirkan asas/ prinsip persamaan.

Berbeda dengan situasi di Inggris, maka di Amerika Serikat konsep mengenai HAM sudah
dicanangkan secara lebih rinci. Hal ini dapat dilihat dalam Declaration of Independence (1776)
yang dirumuskan oleh Jefferson dengan kata pembukaan yang sangat penting dilihat dari aspek
HAM. Sebetulnya sebelum Deklarasi tersebut, pencantuman beberapa kebebasan spesifik yang
harus dilindungi dari campur tangan negara telah dirumuskan lebih dulu dalam Deklarasi Hak
Asasi Virginia (The Virginia Declaration of Rights) yang disusun olen George Mason.
Deklarasi Virginia tersebut mempengaruhi penyusun naskah UUD Amerika Serikat. Hal ini
terlihat dengan dilakukannya sejumlah amandemen terhadap konstitusi negara tersebut,
diantaranya yang terpenting adalah:

1. Amandemen Pertama yang mengakui perlindungan terhadap kebebasan beragama,


kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat dan hak untuk berserikat.
2. Amandemen Keempat yang melindungi individu terhadap penggeledahan dan
penangkapan yang tidak beralasan.
3. Amandemen Kelima yang menetapkan larangan memberatkan diri sendiri dan hak atas
proses hukum yang benar.

Penyelesaian konstitusional Amerika Serikat terhadap ide-ide HAM pada abad ke-18 pasca
kemerdekaan ini menjadi model bagi perjuangan negara-negara lain berikutnya. Sejarah
pemenuhan HAM juga sangat dipengaruhi oleh revolusi yang terjadi di Perancis. Meskipun
Revolusi Perancis dan perjuangan kemerdekaan Amerika mempunyai banyak ciri yang sama,
namun ada satu perbedaan penting. Bila pemberontakan di Amerika semata-mata karena
keinginan untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, maka kaum revolusioner
Perancis bertujuan menghancurkan suatu sistem pemerintahan yang absolut untuk mendirikan
suatu orde baru yang demokratis. Pada masa ini pula lahir prinsip the rule of law, prinsip
presumption of innocence, prinsip freedom of expression, prinsip freedom of religion, prinsip
the right of property, dan hak-hak dasar lainnya.

Dapat dikemukakan bahwa dari berbagai konsep HAM yang muncul, baik di Amerika maupun
Perancis, maka yang penting adalah bahwa:
1. Hak-hak tersebut secara kodrati inheren, universal dan tidak dapat dicabut, karena hak-
hak it dimiliki individu semata-mata karena mereka adalah manusia dan bukan karena
mereka kawula hukum suatu negara.
2. Perlindungan terhadap hak-hak tersebut terdapat dalam kerangka yang demokratis,
3. Batas-batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang.

D. PERKEMBANGAN HAM DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Individu sebagai warga negara tunduk sepenuhnya kepada kewenangan negaranya. Dalam hal
ini negara dapat membuat ketentuan-ketentuan demi kepentingan warga negaranya, meskipun
ketentuan semacam ini tidak memberikan hak substantif kepada individu yang dapat
dipaksakan melalui prosedur pengadilan. Negara-lah yang membela hak atau kepentingan
warga negaranya apabila mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan
semena-mena dari negara lainnya. Namun, prinsip ini dikecualikan dengan adanya doktrin
'intervensi kemanusiaan' (humanitarian intervention) yang memberikan hak yang sah untuk
melakukan intervensi (secara militer) untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya
yang berada di negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikan
rupa sehingga melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia.

Perkembangan HAM internasional sepanjang abad 19 itu terus berlanjut pada abad ke-20,
diantaranya adalah dengan gerakan penghapusan perbudakan yang dilandasi oleh motif
kepedulian kemanusiaan yang besar. Puncaknya adalah ketika Liga Bangsa Bangsa
mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak tahun 1926
(Slavery Convention). Kemajuan besar dalam hukum kemanusiaan internasional dicapai ketika
pada paruh kedua abad ke-19 dibentuk Komite Palang Merah Internasional (The International
Committee of the Red Cross) tahun 1863 serta upaya komite tersebut memprakarsai dua
konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan
perang dalam Konvensi Jenewa (disebut sebagai Hukum Jenewa). Prakarsa Palang Merah
Internasional berlanjut untuk berbagai konvensi internasional yang tidak sekedar menangani
status dan perlakuan terhadap prajurit yang berperang, tapi juga perlakuan terhadap penduduk
sipil pada waktu perang serta pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war) yang
biasa disebut sebagai Hukum Den Haag. Organisasi ini telah berjasa melahirkan apa yang
sekarang dikenal sebagai hukum humaniter internasional (international humanitarian law).
Perkembangan hukum internasional tentang HAM juga mendapatkan momentumnya pasca
Perang Dunia 1, yaitu ketika masyarakat internasional menyepakati Perjanjian Versailles yang
membentuk Liga Bangsa Bangsa (League of Nations) dan Organisasi Perburuhan Internasional
(International Labour Organization). Kendati Liga Bangsa Bangsa tidak secara tegas memuat
ketentuan mengenai perlindungan hak asasi manusia, namun Covenant of the League of
Nations sebagai piagam pendiriannya mewajibkan negara negara anggotanya untuk berupaya
ke arah sasaran kemanusiaan, seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi setiap
orang, larangan perdagangan perempuan dan anak, dsb.

Perkembangan hukum dan kelembagaan yang terjadi kemudian mendasari perkembangan


konseptual hukum hak asasi manusia internasional modern. Perbedaan penting dibandingkan
dengan hukum HAM internasional yang tradisional, maka hukum HAM internasional modern
menempatkan manusia sebagai individu yang menjadi subyek hukum atau pemegang hak
(right-bolders) yang diakui secara internasional. Sebaliknya, dalam sistem hukum HAM
internasional yang modern ini negara justru ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-
bolders).

Hukum HAM internasional modern ini berkembang melalui berbagai perjanjian internasional
yang terus meningkat sejak tahun 1945, diikuti dengan semakin banyaknya negara yang
menyatakan diri terikat terhadap perjanjian-perjanjian tersebut melalui ratifikasi. Diawali
dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang mengikat secara hukum negara-
negara anggotanya, memuat secara eksplisit ketentuan mengenai pelindungan HAM.
Perkembangan selanjutnya dari hukum HAM internasional ini ditandai dengan dikeluarkannya
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tahun 1948. Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa UDHR memiliki beberapa cluster
hak, yaitu: Personal Rights, Legal rights, Civil liberties, Subsistence right dan Economic
rights.

Instrumen internasional HAM berikutnya adalah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (International on Civil and Political Rights - ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights - ICESCR) yang disahkan Majelis Umum PBB tahun 1966. Ketiga instrumen pokok
HAM internasional beserta protokolnya di atas, yaitu Deklarasi Universal Hak Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (International on Civil and Political Rights-ICCPR) dan Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Social and Cultural
Rights - ICESCR) yang disusun oleh PBB ini merupakan 3 (tiga) instrumen pokok hak asasi
manusia internasional, yang kemudian diikuti oleh instrumen-instrumen internasional lain di
bidang HAM.

C. PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA


Di dalam BPUPKI terjadi benturan pemikiran tentang negara dan posisi negara terhadap HAM.
Secara garis besar terdapat 2 (dua) kubu yang berbeda, yaitu Soekarno dan Supomo yang
menolak pencantuman hak tersebut dalam UUD, serta Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin yang bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara tersebut dalam pasal pasal
Konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo didasarkan pada pandangan mereka mengenai
dasar negara yang tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme. Menurutnya,
HAM adalah kelanjutan jalan pikiran individualisme yang berdampak negatif bagi kepentingan
bersama. Dengan demikian Soekarno menginginkan negara yang akan didirikan adalah negara
yang didasarkan atas asas kekeluargaan atau gotong royong, sehingga hak warga negara tidak
perlu lagi dijamin di dalam Konstitusi.

Sedangkan Soepomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal UUD
didasarkan pada pandangan mengenai ide negara integralistik yang menurutnya cocok dengan
sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut paham integralistik yang tidak memisahkan
negara dengan masyarakatnya, maka negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya dan
mengatasi seluruh golongan. Gagasan negara integralistik ini didukung oleh nilai gotong
royong yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian tidak akan ada pertentangan
antara susunan hukum negara dan susunan hukum individu karena individu adalah bagian
organik dari negara, sehingga hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara
integralistik. Menurut Soepomo, dalam konteks demikian ini maka yang relevan adalah
kewajiban asasi kepada negara.

Gagasan mengenai HAM akhirnya diselamatkan oleh Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin. Keduanya menerima nilai gotong royong yang mengilhami UUD. Meskipun
Mohammad Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, namun
demikian ia khawatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya
kepada negara yang dapat mengakibatkan otoritarianisme sehingga membawa Indonesia
menjadi negara kekuasaan. Begitu pula dengan Mohammad Yamin yang menghendaki agar
UUD mencantumkan kemerdekaan yang seluas-luasnya dan warga negara. Menurutnya, aturan
dasar demikian ini tidak berhubungan dengan liberalisme, melainkan suatu keharusan untuk
melindungi kemerdekaan yang harus diakui oleh UUD.

Percikan perdebatan tersebut berakhir dengan suatu kompromi, karena hak-hak yang diajukan
oleh Hatta dan Yamin akhirnya diterima dan secara terbatas hak-hak tersebut dicantumkan
dalam UUD 1945. Mengenai penjaminan HAM dalam UUD 1945 ini terdapat 2 (dua)
pendapat, yang pertama bahwa UUD 45 menjamin HAM secara luas, sedang pendapat yang
kedua menyatakan bahwa UUD 45 hanya memberikan perlindungan terbatas. Menurut
pandangan pertama, dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan UUD 45, secara
implisit maupun eksplisit mengatur 15 (lima belas) jenis HAM, yaitu: Hak untuk menentukan
nasib sendiri, Hak akan warga negara, Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum,
Hak untuk bekerja, Hak akan hidup layak, dll. Di lain pihak, terdapat pandangan yang
mengatakan bahwa UUD 1945 hanya memberikan jaminan terbatas terhadap 4 (empat) jenis
HAM, yaitu: Hak berserikat dan berkumpul, Hak mengeluarkan pendapat, Hak untuk bekerja,
dan Hak beragama.

Sementara itu Soetandyo Wignyosoebroto berpendapat bahwa UUD 1945 sebenarnya tidak
berbicara apapun tentang HAM, kecuali dalam dua hal, yaitu sila kedua Pancasila yang
meletakkan prinsip 'kemanusiaan yang adil dan beradab' dan Pasal 29 UUD 1945 yang
menderivasikan prinsip kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah.
Sedangkan Machfud MD berpendapat bahwa sesungguhnya pewadahan gagasan tentang
perlindungan hak-hak rakyat di dalam UUD 1945 lebih merupakan pewadahan atas gagasan
Hak Asasi Warga Negara (HAW) yang sebenarnya merupakan penerimaan yang sifatnya
partikularistik atas HAM. Reduksi gagasan dari HAM menjadi HAW itu pun cakupannya
ternyata tidak memadai, karena hanya ada 2 (dua) pasal yang secara eksplisit berbicara tentang
HAW, yakni Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 31. Sedangkan pasal-pasal lain, seperti hak untuk
berserikat dan menyatakan pendapat (Pasal 28), menurut Machfud tidak secara eksplisit disebut
sebagai hak warga negara melainkan dinyatakan akan diatur dengan UU.

Kemudian terjadi perubahan yaitu, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dengan Konstitusi RIS 1949. Mengingat pengesahan
Konstitusi tersebut dilakukan setahun setelah agresi militer Belanda dan disahkannya
DUHAM, maka dapat diartikan bahwa perubahan tersebut dilakukan dalam situasi politik yang
relatif tenang dengan merujuk pada dokumen internasional HAM itu. Hal ini dapat dilihat
bahwa Konstitusi RIS 1949 mengatur dengan detail HAM sekaligus kewajiban negara dalam
menjamin penegakannya. Namun, Konstitusi RIS 1949 ini selanjutnya direvisi dengan UUDS
1950 yang secara prinsipil memiliki perbedaan mendasar, yaitu:
1. Kebebasan bertukar agama dan keyakinan yang dijamin Pasal 18 Konstitusi RIS 1949
tidak lagi diakui dalam UUDS 1950.
2. Diakuinya hak berdemonstrasi dan hak mogok dalam pasal 21 UUDS 1950 yang
sebelumnya tidak terdapat dalam Konstitusi RIS 1949,
3. Dasar perekonomian sebagaimana terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 diadopsi dalam
Pasal 38 UUDS 1950.
4. Pasal 37 ayat 3 UUDS 1950 dengan tegas melarang organisasi-organisasi yang bersifat
monopoli swasta yang merugikan ekonomi nasional.
5. Diakuinya hak milik pribadi yang harus berfungsi sosial pada Pasal 26 ayat (3) UUDS
1950.

Diskursus tentang penjaminan HAM secara konstitusional terus berlangsung, termasuk dalam
Konstituante yaitu Parlemen yang dibentuk sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955 dengan
tugas merumuskan konstitusi baru. Dalam diskusi Konstituante ini sebetulnya telah berhasil
menyepakati 24 hak asasi manusia, 18 hak warga negara, 13 hak tambahan yang masih
diperdebatkan serta 14 desideratum (hak yang diperlukan namun belum ada). Namun
sebagaimana diketahui bahwa Konstituante tersebut akhirnya dibubarkan oleh Presiden
Soekarno sebelum menyelesaikan tugasnya dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 yang juga menginstruksikan kembali pada UUD 1945. Dengan kembali ke UUD
1945 maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS
1949 dan UUDS 1950 menjadi mundur kembali.

Perdebatan HAM sebagai hak konstitusi muncul kembali saat lahirnya Orde Baru yang
menggulingkan rezim demokrasi terpimpin Soekarno. Pada sidang-sidang awal MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) tahun 1968, telah dibentuk Panitia Ad Hoc
Penyusunan Hak Hak Asasi Manusia yang menghasilkan "Rancangan Keputusan MPRS
tentang Piagam Hak Hak Asasi Manusia dan Hak Hak serta Kewajiban Warga Negara". Namun
rancangan tersebut tidak berhasil disahkan sebagai ketetapan MPR(S) dengan alasan bahwa
lembaga tersebut masih bersifat sementara sehingga tidak tepat bila harus mengesahkan
Piagam yang penting itu. Kesadaran akan HAM muncul kembali dan berkembang dengan pesat
pada saat pergantian rezim dari Jendral (Purn) Soeharto ke rezim Habibie dan seterusnya..

Pada era reformasi muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan


HAM. Kuatnya tuntutan masyarakat agar pemerintah menjamin penghormatan terhadap HAM
terwujud dengan disepakatinya Ketetapan (Tap) MPR Nomor: XVII/MPR/1998 tentang HAM
yang ditetapkan pada tahun 1998 yang melampirkan sebuah Piagam HAM. Ketetapan MPR
tentang HAM ini kemudian ditindaklanjuti dengan diundangkannya UU Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM pada tahun 1999. UU No. 39/1999 juga mengamanatkan pembentukan
Pengadilan HAM (Bab IX, Pasal 104 paragraf 1) yang kemudian ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menggantikan Perpu
Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Selain diatur dalam Tap MPR dan kedua
undang-undang berkaitan dengan HAM sebagaimana dikemukakan di atas, yang perubahan
besar juga dilakukan terhadap Konstitusi Indonesia - UUD 1945 - melalui proses amandemen
pada tahun 2000. Dengan amandemen ini UUD 1945 telah mencantumkan prinsip prinsip
HAM sebagai norma konstitusi dalam Bab X A Pasal 28 A sampai 28 J (10 pasal).

Sumber :
Prof. Dr. Rahayu. (2015). Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang : Badan Penerbit UNDIP

Anda mungkin juga menyukai