Anda di halaman 1dari 9

Nama : Lucky Alamsyah

NIM : 11000121140766

Kelas :C

Mata Kuliah : Hukum dan HAM

Dosen Pengampu : Dr. Elfia Farida, S.H., M.Hum.

TUGAS 3

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN, TEORI, DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK


ASASI MANUSIA

A. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM

Dalam pemahaman substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi
manusia, Karel Vasak, seorang ahli hukum Perancis meggunakaan istilah “generasi” untuk
menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diproritaskan pada satu kurun waktu
tertentu.

Karel Vasak membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang
terkenal itu, yaitu:

- Kebebasan
- Persamaan
- Persaudaraan

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai generasi-generasi hak yang dimaksud oleh
Karel Vasak.

a) Generasi Pertama Hak Asasi Manusia


“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili
hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme
negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya -sebagaimana yang muncul dalam
revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-
18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-
hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau
menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk
dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan
bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan
berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan
pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari
penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses
peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”.
Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya
campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin
suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya
sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi
oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap
kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam
generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara
terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya,
karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.
Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru
menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke
dalam konstitusi mereka.

b) Generasai Kedua Hak Asasi Manusia


“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan
sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut-bertindak lebih aktif, agar
hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini
dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa
negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak
generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan
upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak
atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan
hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Hak-hak
generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial.
Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud
dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan
peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif),
tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang
dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan
menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk
memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan
ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini
diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif”
--yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah negara
(seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.

c) Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia


“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan
atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu
tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak
berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya
alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya
sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini
sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan
dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-
negara berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara barat agak
kontroversial.26 Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”.
Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau
negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau
negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaan-
pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para
ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa
pelaksanaan hak-hak semacam itu --jika memang bisa disebut sebagai “hak”-- akan
bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu
negara.

B. TEORI HAM
1. Teori Hukum Kodrat
- Tokoh: Thomas Aquinas, Grotius, John Locke, JJ Rousseau
- Ide dasar: posisi manusia dlm kehidupan ditentukan oleh Tuhan, semua manusia
apa pun statusnya tunduk pada otoritas Tuhan.
- Kekuasaan raja dibatasi oleh aturan Illahi.
- Semua manusia diberi identitas individual yang unik, terpisah dari negara.
- Hukum kodrati merup cikal bakal ide hak kodrati, bhw setiap manusia adalah
individu yang otonom.

Hugo de Groot (Grotius):

Eksistensi hukum kodrat dapat menjadi landasan bagi semua hukum positif yang dapat
dirasionalkan di atas landasan yang non empiris dng menelaah aksioma ilmu ukur.

John Locke:

- Teori hak kodrati (abad 17)


- Semua individu dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan
dan harta yang merupakan milik mrk sendiri & tidak dapat dipindahkan / dicabut
negara.
- Du Contract Social: utk menghindari ketidakpuasan hidup di alam ini, umat
manusia tlh melakukan kontrak sosial dng menyerahkan penggunaan hak mereka
yang tidak dapat dicabut tsb kpada penguasa negara.
- Bila penguasa negara memutuskan kontrak sosial tsb dengan melanggar hak kodrati
individu, maka para kawula negara itu bebas utk menyingkirkan penguasa tsb dan
menggantikannya dng Pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tsb.
- Terdapat 2 hal, yaitu:
1. Individu adalah makhluk otonom yang mampu melakukan pilihan
2. Keabsahan Pemerintah tidak hanya bergantung pada kehendak rakyat tapi juga
kemauan & kemampuan Pemerintah utk melindungi hak kodrati tsb.
- Tanggung jawab negara untuk menghormati & melindungi HAM warga negaranya.

JJ Rousseau:

Hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrati individu, tapi memberikan


kedaulatan yang tidak bisa dicabut pada warga negara sebagai satu kesatuan

2. Teori Positivisme
- Tidak semua orang sepakat dng teori hak kodrati, diantaranya adalah teori
positivisme.
- Timbul sebagai implikasi dari jaman enlightment di Eropa abad 18.
- Diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan gejala / fenomena yang dikaji
sebagai obyek yang dapat dikontrol & digeneralisasi shg ke depan dapat
diramalkan.
- Teori positivisme sangat matematis & sangat dipengaruhi oleh ilmu alam yang pada
wkt itu merup satu2nya ilmu yang validitasnya tidak diragukan lagi.
- Secara tegas menolak pandangan teori hak kodrati.
- Hak diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak  hak hrs berasal dari sumber
yang jelas.
- Tokohnya a.l: Jeremy Bentham
- Dalam konteks HAM:
o Teori positivisme lbh menekankan pada aturan2 tertulis mengenai HAM
o Tindakan yang tidak sesuai aturan dianggap melanggar HAM
o Tidak mempersoalkan bhw aturan hk positif itu sejak pembuatannya sdh
penuh dng unsur kepentingan pihak yang dominan, shg peraturan tsb tidak
netral & cenderung tidak adil bagi Sebagian masyarakat yang lain
- Tidak menempatkan kendala moral pada aturan2 yang disahkan negara
- Individu hanya menikmati hak2 yang diberikan negara
- Keunggulan: berdasar perat yang ada individu dapat menuntut haknya

3. Teori Universalisme
- Asal muasal perkembangan HAM tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
universalisme nilai moral
- Individu sebagai pemikul hak ‘alamiah’ tertentu & pandangan umum mengenai
nilai moral yang melekat & adil bagi setiap individu secara rasional
- HAM bersifat universal, shg HAM dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai atau
budaya yang dimiliki suatu masyarakat ataupun yang ada pada suatu negara
- HAM tidak memerlukan pengakuan dari otoritas mana pun, seperti negara atau
penguasa tertentu.

Terbagi menjadi 2 (dua) aliran:

1) Universalisme absolut
o memandang HAM sebagai nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam
The International Bill of Rights.
o Mereka ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat
pada masing-masing bangsa.
2) Universalisme relative:
Melihat persoalan HAM sebagai masalah universal dan melihat dokumen-dokumen
internasional tentang HAM sebagai acuan yang penting, namun demikian
perkecualian (exception) yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional yang
diakui.

4. Teori Relativisme Budaya


- Muncul menjelang akhir Perang Dingin
- Keberatan dng teori hak kodrati dan universalisme yang dianggap mengabaikan
dasar sosial dari identitas yang dimiliki individu sebagai manusia.
- Manusia adalah produk dari lingkungan sosial, budaya, tradisi & peradaban ttt.
- Kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral, shg
HAM perlu dipahami dari konteks budaya masing2 negara krn semua budaya
mempunyai hak hidup serta martabat yang harus dihormati.
- HAM hrs diletakkan dlm konteks budaya tertentu & menolak pandangan adanya
hak yang bersifat universal.
- Kontekstualisasi HAM.

Terbagi menjadi 2 (dua) aliran:


1) Partikularistik absolut
o melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan
alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap
berlakunya dokumen-dokumen internasional.
o Pandangan ini bersifat defensif dan pasif terhadap HAM.
2) Partikularistik relative
Melihat persoalan HAM di samping sebagai persoalan universal juga merupakan
masalah internasional yang harus diselaraskan memperoleh dukungan dan tertanam
(embedded) serta melembaga dalam masyarakat bangsa tersebut.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM


Hak Asasi Manusia (HAM) bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia tidak boleh
diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memiliki hak alamiah yang
melekat pada dirinya karena kemanusiannya, Kendati prinsip dasar perlindungan HAM ini
adalah kebebasan individu, namun pengutamaan individu disini tidak bersifat egoistik,
karena penyelenggaraan HAM terjadi dalam prasyarat-prasyarat sosial bahwa kebebasan
individu selalu dipahami dalam konteks penghormatan hak individu lain.
Menurut Michel Villey, gagasan HAM (jus bominum) untuk pertama kali muncul pada
tahun 1537 namun keprihatinan terhadap HAM sudah ada sejak tahun 1215 dengan
dirumuskannya Magna Charta. Di Inggris, selain Magna Charta (1215), juga dikenal adanya
petition of right (1628), Habeas Corpus Act (1679), dan English Bill of Rights (1689), yang
mana ketiga instrumen ini sangat mengembangkan kebebasan polotik, pribadi dan terutama
hormat terhadap kemanan pribadi.
Berbeda dengan Inggris, di Amerika konsep HAM dirancang lebih rinci. Hal ini dapat
dilihat dalam Declaration of Independence (1776) yang dirumuskan oleh Jefferson dengan
kata pembukaan yang sangat penting dilihar dari aspek HAM. Sebelumnya pencantuman
kebebasan juga dirumuskan lebih dulu dalam Deklarasi Hak Asasi Virginia (The Virginia
Declaration of Rights) yang disusun oleh George Mason, meliputi kebebasan pers,
kebabasan beriibadat dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya kebebasan
seseorang kecuali berdasarkan hukum setempat atau berdasarkan pertimbangan sesamanya.
Di Prancis lahir prinsip “the rule of law, prinsip ‘presumption of innocence’, prinsip
‘freedom of expression’, prinsip ‘the right of property’ dan hak-hak dasar lainnya. Dengan
kata lain dapat dikemukakan bahwa dari berbagai konsep HAM yang muncul, baik di
Amerika maupun Perancis, maka yang penting adalah bahwa:
1) Hak-hak tersebut secara kodrati inheren, universal dan tidak dapat dicabut, karena
hak-hak itu dimiliki individu semata-mata karena mereka adalah manusia dan bukan karena
mereka kawula hukum suatu negara.
2) Perlindungan terhadap hak-hak tersebut terdapat dalam kerangka yang demokratis.
3) Batas-batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh perundang
undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Firdaus. 2019. Hak Asasi Manusia: Teori Perkembangan dan Pengaturan.
Yogyakarta: Thafa Media.

Magnis-Suseno, Philip Alston & Franz. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
PUSHAM UII.

Marzuki, Suparman. 2017. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Smith, Rhona. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia.

Sunarso. 2020. Pendidikan Hak Asasi Manusia. Surakarta: INDOTAMA SOLO.

Anda mungkin juga menyukai