Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam
penjelasan UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia Adalah
Negara Hukum” (rechtsstaat), tidak berdasar Kekuasaan belaka (machtsstaat).1
Dalam negara hukum, hukum merupakan tiang utama dalam menggerakkan
sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena
itu, salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada
kecenderungannya untuk menilai tindakan – tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat atas dasar Peraturan Perundang – Undangan. Artinya bahwa sebuah
negara dengan konsep negara hukum selalu mengatur setiap tindakan dan tingkah
laku masyarakatnya berdasarkan atas Peraturan Perundang – Undangan yang
berlaku untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup, agar sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pancasila dan
UUD 1945.
Hukum dalam fungsi mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara dapat memberikan kontribusinya secara maksimal kepada pelaksanaan
pembangunan jika aparat hukum dan seluruh lapisan masyarakat tunduk dan taat
terhadap norma hukum, tetapi dalam kenyataannya tidak semua unsur dalam
lapisan masyarakat siap dan bersiap tunduk kepada aturan yang ada. Oleh karena
itu timbul perbuatan yang melanggar hukum seperti penjambretan, penodongan,
penganiayaan, pemerkosaan, tawuran, pembunuhan dan masih banyak lagi
perbuatan melanggar hukum lainnya. Maraknya tindakan tersebut yang kita lihat
dari berbagai sumber menjadi pertanda bahwa hal tersebut tidak lepas dari

1
Indonesia Legal Center Publishing, UUD 1945 & Konstitusi Indonesia, Cetakan Ketiga (Jakarta
Selatan: Karya Gemilang, 2014), hlm. 52

1
2

perilaku masyarakat yang kurang terkontrol baik, dikarenakan rendahnya tingkat


pendidikan dan pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik.
Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk bidang
hukum publik. Artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga dengan
negara dan menitik beratkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik.
Dalam hidup bermasyarakat selalu memerlukan ketertiban dan kedamaian,
karena unsur ketertiban dan kedamaian menjadi pilar untuk mempertahankan
suasana kehidupan tersebut. Salah satu unsur yang sering mengganggu
ketentraman masyarakat adalah unsur kriminal. Kriminal sebagai salah satu
perbuatan yang anti sosial pada saat tertentu memungkinkan adanya
kecenderungan meningkat dan dengan meningkatnya kriminalitas di tengah
masyarakat, maka ketentraman hidup masyarakat pasti terganggu.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat di
dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap
tahunnya, maka semakin banyak pula permasalahan yang harus dibenahi
pemerintah Indonesia terutama dalam hal perkembangan tindak pidana.
Pemerintah Indonesia tidak hanya menghadapi perkembangan tindak pidana,
perkembangan pelaku tindak pidana juga merupakan permasalahan serius yang
harus diselesaikan oleh pemerintah.
Tingkat kriminalitas masyarakat seiring dengan perkembangan masyarakat
itu sendiri, artinya kejahatan di tengah masyarakat biasanya muncul pada saat-
saat negara melakukan pembangunan yang sangat pesat. Akan tetapi tidak berarti
bahwa pembangunan menjadi penyebab meningkatnya kejahatan karena
pembangunan itu sendiri adalah salah satu bentuk untuk menurunkan
kecenderungan kriminal di tengah masyarakat, bahwa melalui pembangunan
tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik. Secara tidak langsung, pesatnya
perkembangan zaman juga memiliki dampak negatif, hal ini dapat dengan
banyaknya penyimpangan – penyimpangan yang timbul dalam kehidupan sehari
– hari berupa kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum
dalam masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak manusia yang
3

lalai/sengaja melanggar hukum sehingga merugikan manusia lainnya. Kitakan


manusia tersebut melakukan “Perbuatan Pidana” karena perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Ini menjadi salah satu kejadian
dan fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat. 2
Suasana pembangunan yang pesat seperti sekarang ini dapat menimbulkan
cara hidup tidak wajar yang tidak berimbang antara kebutuhan dengan
kemampuan, yang pada klimaksnya dapat terjadi penyimpangan norma hidup
serta pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku seperti yang disebutkan di atas
yang mengakibatkan terganggunya rasa aman masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang ada dibawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dalam rangka pembangunan bangsa mewujudkan masyarakat adil dan


makmur, maka masalah kriminalitas perlu mendapat perhatian yang serius dari
semua pihak, karena masalah kriminalitas itu adalah tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat. Karena itu pengadilan masalah kriminal
berkait dengan pengendalian individu di tengah masyarakat. Kriminalitas di
tengah masyarakat tidak dapat dihilangkan akan tetapi dapat ditekan semaksimal
mungkin.
Salah satu bentuk kriminalitas yang menonjol pada saat ini adalah kekerasan
yang dilakukan secara bersama – sama terhadap orang di muka umum
(pengeroyokan) adalah tindak pidana yang paling sering dan paling mudah
terjadi di masyarakat. Mengingat pengeroyokan ini sudah merajalela dan sering
terjadi, di kalangan masyarakat yang mengakibatkan luka – luka bahkan
hilangnya nyawa seseorang, maka dari itu tuntutan agar dijatuhkannya sanksi
kepada pelaku pengeroyokan harus betul – betul mampu memberikan sanksi para
pelaku, diharapkan mampu mengurangi angka kriminalitas yang terjadi di

2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 54
4

Negara kita ini, khususnya tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara
bersama – sama terhadap orang di muka umum (pengeroyokan) dan tindak
pidana lainnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang baik bersama – sama maupun
seorang diri terhadap orang ataupun barang semakin meningkat dan meresahkan
masyarakat serta aparat penegak hukum. Dalam Buku II Bab V mengatur tentang
kejahatan terhadap ketertiban umum yang terdapat dalam Pasal 153 – 181
KUHP. Dalam Pasal 170 KUHP dijelaskan bahwa yang dapat menyebabkan
rusaknya suatu barang, luka berat ataupun menyebabkan hilangnya nyawa orang
lain, jelas harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan
korbannya selaku Subjek Hukum yang patut mendapatkan keadilan. 3
Tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama – sama terhadap
orang di muka umum (pengeroyokan) yang senantiasa dihadapi oleh masyarakat
tidak mungkin dapat dihapuskan sampai tuntas selama kehidupan berjalan, jadi
usaha yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi kejahatan haruslah
bersifat penanggulangan, yang berarti bahwa usaha itu bertujuan untuk
mengurangi terjadinya kejahatan. Apalagi dengan melihat semakin meningkatnya
tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama – sama terhadap orang di
muka umum serta mengakibatkan kematian pada korbannya.
Salah satu kasus yang terjadi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api
(GBLA), Kecamatan Gedebage Kota Bandung yang dilakukan oleh Terdakwa 1
ADITIYA ANGGARA BIN AGUNG SOFIAN, terdakwa 2 DADANG
SUPRIATNA Alias DADANG BIN EMAN SULAEMAN, terdakwa 3 GONI
ABDULRAHMAN BIN DARIYAMAN, terdakwa 4 BUDIMAN BIN ADANG
ALI, terdakwa 5 ALDIANSYAH BIN ZAMAN (ALM) pada hari Minggu
tanggal 23 September 2018 sekitar jam 13.00 Wib atau setidak – tidaknya pada
suatu waktu dalam bulan September tahun 2018 bertempat di Area Parkir
Gerbang Biru Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Kecamatan
Gedebage Kota Bandung atau setidak – tidaknya pada suatu tempat yang masih

3
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 146
5

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, telah


dilakukan “dengan terang – terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan
kekerasan terhadap orang atau barang, jika Ia dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan maut”. Sebagaimana
dalam Surat Dakwaan, melanggar ketentuan Pasal 170 Ayat (2) ke-3 KUHP,
dengan perbedaan penjatuhan pidana. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
korban Alm. Harlingga Sirla sehingga korban meninggal dunia. Untuk kemudian
perkara tersebut diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA
melalui putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 11/Pid.B/2019/PN Bdg.
Terkait dengan pertimbangan hakim yang tertuang dalam suatu putusan,
Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) telah mengatur tata cara yang harus
ditaati oleh Hakim sebelum mengeluarkan keputusannya. Mengutip pendapat
Sudarto yang menyatakan bahwa “Putusan Hakim adalah merupakan puncak
klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim.
Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: keputusan
mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya; keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang
dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa
bersalah dan dapat dipidana serta keputusan mengenai pidananya, apabila
terdakwa memang dapat dipidana”. 4
Tujuan pertama dalam penelitian ini, adalah untuk mengetahui pertimbangan
hakim terhadap tindak pidana kekerasan dengan tenaga bersama – sama dan
tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan sanksi
pidana terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan dengan tenaga bersama.
Untuk memecahkan masalah di atas penulis akan menggunakan teori – teori,
konsep – konsep, dan asas – asas serta peraturan Perundang – Undangan yang
berlaku di Indonesia.

4
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Universitas
Diponegoro, 1990), hlm. 74.
6

Berdasarkan hal – hal diatas penulis merasa tertarik untuk meneliti masalah
tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama – sama sehingga
mengakibatkan matinya seseorang tersebut. Hal ini tentu menjadi masalah serius
yang harus diperhatikan pemerintah dalam upaya memberantas tindak kejahatan
di berbagai kalangan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik
untuk kemudian menuangkan permasalahan tersebut ke dalam sebuah bentuk
karya tulis ilmiah berupa skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS
TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DENGAN TENAGA
BERSAMA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN
DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
BANDUNG NO: 11/PID.B/2019/PN.BDG

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasikan permasalahan
dalam penelitian ini :
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim terhadap tindak pidana kekerasan
dengan tenaga bersama – sama dalam putusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor 11/PID.B.2019/PN.BDG ?
2. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak
pidana kekerasan dengan tenaga bersama dalam putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 11/PID.B/2019/PN.BDG ?

C. Tujuan Penelitian
Setelah pokok permasalahan dikemukakan di atas, maka tujuan diadakannya
penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap tindak pidana kekerasan
dengan tenaga bersama – sama dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung
Nomor 11/PID.B.2019/PN.BDG
7

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak


pidana kekerasan dengan tenaga bersama dalam putusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor 11/PID.B/2019/PN.BDG

D. Kegunaan Penelitian
Penulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik dari segi teoritis
maupun segi praktis sebagai berikut :
1. Secara Teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum pidana serta pengambilan kebijakan dalam
memformulasikan pembangunan hukum pidana berkelanjutan terutama
dalam hal penerapan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana Kekerasan
dengan Tenaga Bersama yang menyebabkan kematian ditinjau dari Peraturan
Perundang – Undangan yang ada di Indonesia saat ini.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran baik bagi para praktisi hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim, Aparat
Eksekusi dan Advokat maupun bagi masyarakat.

E. Kerangka Pemikiran
Penegakan hukum dalam suatu negara menjadi salah satu indikator
tercapainya tujuan utama berdirinya negara tersebut. Hukum menjadi tonggak
utama harus dijunjung tinggi serta menjadi pedoman dasar disetiap sendi – sendi
aktivitas kehidupan bernegara. Indonesia sebagai salah satu Negara yang
menjunjung tinggi supremasi hukum. Ketentuan mengenai pengakuan tersebut
tersemat dengan rapi dalam konstitusi Indonesia yakni Pasal 3 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (rechtsstaat).5
Penting kiranya untuk diapresiasi meskipun masih terdapat berbagai kendala
dalam penegakan hukum di Indonesia, dinamika penegakan hukum tidak semata
– mata menunjukkan hasil yang nihil. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya

5
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika: Kajian Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 50.
8

perwujudan penegakan hukum di Indonesia, salah satunya dapat dilihat melalui


keberadaan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang merupakan pedoman (guadience) yuridis dalam praktek
(procedural) beracara di pengadilan atas suatu tindak pidana demi terciptanya
penegakan hukum yang mencerminkan unsur keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan.
Dalam perkembangannya masih sering kita mendengar dan melihat adanya
tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tertentu.
Dengan tujuan tertentu yang ingin dicapai dari pelaku, yang dituangkan dalam
berbagai macam cara atau motif tertentu yang digunakan oleh para pelaku tindak
kekerasan terhadap korban, yang sering mengakibatkan korban menderita secara
fisik maupun kejiwaanya, dan kadang sampai mengakibatkan korban meninggal
dunia. Adapun bentuk kekerasan ada yang bersifat kolektif maupun bersifat
individual, seperti serangan dengan memukul (assaulttand battery), pembunuhan
(homicide), dan pemerkosaan (rape), dan akhirnya tindak kekerasan individu,
seperti bunuh diri (suicide). 6
Sedangkan ketentuan mengenai peraturan terhadap tindak pidana kekerasan
yang mengakibatkan kematian sebenarnya sudah diatur dalam beberapa Pasal
yang sering digunakan oleh penuntut umum untuk mendakwa para terdakwa
diantaranya: Pasal 170 KUHP, Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP,
serta Pasal 351 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Pembentuk Undang – Undang dalam berbagai Perundang – Undangan
menggunakan perkataan tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan
perkataan tindak pidana tersebut. Secara harfiah perkataan tindak pidana dapat
diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Akan

6
Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan (Surabaya: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 9.
9

tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. 7
Menurut E. Utrecht pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen
atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalennegatif), maupun akibatnya
(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Tindak pidana
merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana, tindak pidana adalah
pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan atau kejahatan yang
diartikan secara yuridis atau secara kriminologis. 8
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat
atau hal yang kerasa, kekuatan, paksaan atau tekanan, desakan yang keras,
sehingga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan atau tekanan. Secara
teoritis kerusuhan yang dilakukan secara massa merupakan bentuk tindak
kekerasan la violencia di Columbia yang dapat menjurus pada tindakan kriminal
atau kejahatan. “Kekerasan” yang dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga
mengakibatkan terjadinya kerusuhan fisik manapun psikis adalah kekerasan yang
bertentangan dengan hukum, oleh karena itu merupakan kejahatan . 9
Adapun ketentuan yang sering diterapkan dalam kasus tindak pidana
kekerasan yang mengakibatkan kematian adalah Pasal 170 Ayat 2 ke-3 KUHP
sebagai berikut :
1. Perbuatan kekerasan yang dilakukan terdakwa terhadap korban,
dilakukan dihadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka;
2. Perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap
korban, dilakukan dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu
yang berdekatan, dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman dari
para terdakwa untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang
atau barang;
3. Adapun ancaman hukuman terhadap terdakwa atas tindak kekerasan
yang dilakukan terhadap korban adalah sebagai berikut :

7
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),
hlm.18.
8
Bambang Poernomo, Asasa-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Galia Indonesia, 1983), hlm. 20.
9
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi (Bandung: Eresco. 1992). hlm. 55.
10

a. Jika korban mengalami luka berat, maka terdakwa diancam dengan


hukuman penjara selama – lamanya sembilan tahun;
b. Sedangkan jika korban meninggal dunia, maka terdakwa diancam
dengan hukuman penjara selama – lamanya dua belas tahun.
Dalam ketentuan Pasal 170 KUHP mengatur tentang sanksi hukum bagi para
pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum. Perlu kecermatan
dan ketelitian dalam penerapan pasal terhadap tindak pidana kekerasan yang
mengakibatkan kematian, karena bisa menggunakan ketentuan Pasal 170 KUHP.
Maka dari pada itu sering sekali para penyidik membuat Pasal subsider yaitu
Pasal 351 KUHP dan di tingkat penuntutan penuntut umum sering memakai jenis
dakwaan alternatif, di mana nantinya hakim dapat langsung memilih untuk
menentukan dakwaan mana yang sekiranya cocok serta sesuai dengan hasil
pembuktian di persidangan. 10
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan
penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya
dapat diprotes dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut
hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang Terdakwa
haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan untuk
membuktikan benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
diperlukan adanya suatu pembuktian. 11
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya
Tindak Pidana Kekerasan dengan Tenaga Bersama yang Menyebabkan Kematian
dengan melakukan putusan pidana yang cukup berat bagi terdakwa oleh hakim
yang memutus perkara tersebut. Dalan hal ini peranan hakim yang menangani
perkara pidana sangatlah penting. Hakim mempunyai wewenang untuk
melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor – faktor
yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana.

10
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 87.
11
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding dan Peninjauan Kembali (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 273-274.
11

Menurut KUHAP hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi


wewenang oleh Undang – Undang untuk mengadili. Hakim dalam proses
persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak
untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi
ketidak tertiban di dalam sidang. Guna keperluan hakim berhak dan harus
menghimpun keterangan – keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan
terdakwa termasuk penasehat hujumnya.
Apabila diuraikan lebih jauh, penulis akan menggunakan Teori/Asas
Keadilan dan Asas Kepastian Hukum. Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut
sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan besar. John Rawls,
filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-
20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi
sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada system pemikiran”. 12 Variasi teori
keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari
keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri
tidak jelas.
Secara konstitusional, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 Pasal
28D, menyatakan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Dasar konstitusional ini sangat jelas, setiap warga negara
memiliki hak dan perlakuan yang sama di muka hukum.
Hak yang sama di depan hukum juga ditegaskan dalam UU No 39 Tahun
1999 Pasal 3 ayat (2): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum
dan perlakuan yang sama di depan hukum.” Pendek kata, keadilan hukum adalah
hak setiap warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.

12
John Rawls dalam Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat (Malang: Setara Press,
2011), hlm. 41
12

Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit,


persoalan yang dapat dijumpai hampir di setiap masyarakat. Hukum memiliki
dua tugas utama yakni mencapai suatu kepastian hukum dan mencapai keadilan
bagi semua masyarakat.13 Hukum dan keadilan tidak dapat dipisahkan, ibarat
ikan dengan airnya, hukum bertujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat
yang damai dan adil. Ketertiban umum menjadi ketertiban hukum karena
mengandung keadilan, sehingga didukung oleh masyarakat sebagai subyek
hukum. Jika ketertiban umum merupakan ketertiban umum, maka ketertiban
umum haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Jadi keadilan adalah
substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan
jika ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk
mewujudkan keadilan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang – barang lain yang sama – sama bisa didapatkan dalam
masyarakat.14 Dengan mengenyampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang
adil adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat.
Keadilan korektif berfokus pada pembentulan sesuatu yang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika
suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan
terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan
korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini

13
Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan masyarakat (Malang: Setara Press, 2011), hlm. 41-43
14
Aristoteles dalam Widiada Gunakaya, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: Pustaka Harapan Baru,
2014), hlm. 114.
13

Nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan


keadilan distributive merupakan bidangnya pemerintah. 15
Asas Kepastian Hukum, sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi
bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis.
Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena
tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.
Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila
dilihat secaran historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai
hukum semenjak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan
kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Dalam Hukum Pidana terdapat berbagai unsur, Untuk mengetahui adanya
tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan Peundang –
Undangan pidana tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang dan disertai
dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP itu pada umumnya dapat
dijabarkan kedalam unsur – unsur yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu:
a. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur – unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu dalam keadaan – keadaan di mana tindakan – tindakan
si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :
1) Sifat melanggar hukum
2) Kualitas dari si pelaku
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan
menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
3) Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat.

15
Ibid.
14

b. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan
dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang
terkadung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
3) Macam – macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan – kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,
yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 10 KUHP, mengenai
aturan tentang pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok yaitu Pidana Mati, Pidana
Penjara, Kurungan, Denda; b. Pidana Tambahan, Pencabutan hak – hak tertentu,
Perampasan barang – barang tertentu, melalui Pengumuman putusan hakim. 16
Unsur – unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah
mampu bertanggungjawab. Tujuan dipidananya seorang terdakwa bukanlah suatu
pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan
agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Syarat – syarat seorang
mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal
yaitu dapat membeda – bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak. 17
Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan,
dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai
kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut. Perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

16
Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik terhadap Pelanggaran Peradilan (Conterm of
Court) (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hlm. 5
17
Sudarto, Hukum Pidana (Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum UNDIP, 1997), hlm. 52.
15

larangan tersebut. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat


tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut :
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan bathin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan
perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan bagi pembuat.
Implementasi konsep penyertaan dan pembantuan dalam kasus tindak pidana
kekerasan dengan tenaga bersama yang pelakunya lebih dari satu orang. Wujud
atau bentuk dari penyertaan deelneming yaitu turut melakukan medeplegen dan
pembantuan (medeplichtigheid) yang dikandungan dalam Pasal 55 dan Pasal 56
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Tujuan dirumuskannya tindak
pidana yang dalam Undang – Undang baik sebagai kejahatan ataupun
pelanggaran ditujukan pada orang (subyek hukum pidana) dan hanya sebagian
terdapat tindak pidana yang ditujukan pada suatu badan hukum yang terdapat
diluar KUHP.
Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak
pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering terjadi
subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal ini
dinamakan sebagai suatu penyertaan atau Deelneming. Penyertaan atau
deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya
orang atau orang – orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan
masing – masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. 18
Pasal 55 dan 56 mengatur kategori dari perbuatan yang dilakukan termasuk
dalam turut serta atau pembantuan apakah termasuk atau tidak. Secara umum
penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (criminal) yang dilakukan
lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya
seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.

18
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
73.
16

Menurut Van Hamel, memberikan definisi penyertaan sebagai ajaran


pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu
tindak pidana yang menurut pengertian Undang – Undang dapat dilaksanakan
oleh seorang pelaku dengan tindakan sendiri. 19

F. Metode Penelitian
Untuk dapat mengetahui dan membahas suatu permasalahan, maka
diperlukan adanya pendekatan dengan menggunakan metode tertentu yang
bersifat ilmiah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (descriptive research), yaitu
penelitian yang bersifat memaparkan dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran (deskriptif) lengkap mengenai keadaan hukum yang berlaku
disuatu tempat tertentu atau mengenai perisiwa yang terjadi dimasyarakat. 20
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.21
Meneliti dan mengumpulkan bahan hukum sebagai alat untuk mengkaji
masalah hukum, yang meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan Perundang – Undangan
misalnya Undang – Undang Dasar 1945, Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana dan kepustakaan - kepustakaan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM serta Putusan Pengadilan Negeri
Bandung No. 11/PID.B/2019/PN.BDG.

19
AK Moch Anwar, Beberapa KetentuanUmum Dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Alumni, 2001), hlm.3.
20
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
hlm. 134
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Cet.
XVII (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm 12-13
17

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa makalah dan buku-buku yang


ditulis oleh para ahli dan hasil – hasil penelitian yang berhubungan
dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan – bahan yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.
3. Metode Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Perundang – Undangan (statute Approach), penelitian ini
menggunakan pendekatan Perundang – Undangan, yaitu mengkaji
seluruh ketentuan – ketentuan umum atau kaidah hukum atau peraturan
Perundang – Undangan tentang alat buktu dan tindak pidana pencemaran
nama baik melalui elektronik.
2. Pendekatan kasus (case approach), pendekatan ini dilakukan dengan
melakukan telaah pada kasus – kasus yang berkaitan dengan isu hukum
yang dihadapi. Kasus – kasus yang di telaah merupakan kasus yang telah
memperoleh putusan dari Pengadilan Negeri Bandung.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dikumpulkan dengan cara
studi dokumen (study of document) dan studi literature (study of literature).
Yaitu merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan
kepada subjek penelitian dalam rangka memperoleh informasi terkait objek
penelitian dan mencari referensi teori yang relefan dengan kasus atau
permasalahan yang ditemukan.
5. Metode Analisis Data
Seluruh data sekunder yang diperoleh, kemudian dianilisis dengan
menggunakan metode normatif kualitatif. Metode normatif karena penelitian
ini didasarkan pada peraturan Perundang – Undangan atau hukum positif
18

yang berlaku. Sedangkan metode kualitatif karena analisis data yang


dilakukan dalam penelitian ini tidak membutuhkan populasi dan sampel. 22

22
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 105

Anda mungkin juga menyukai