Anda di halaman 1dari 33

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Aturan Hukum Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anggota


Polisi Secara Turut Serta

Warga masyarakat bukanlah kawula atau oknum yang karena

kedudukan sosial dan/atau afiliasi kulturnya yang berbeda dari yang

tengah berkuasa lalu boleh diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Warga adalah pengemban hak, sebagian malah diyakini bersifat kodrati

dan asasi, oleh sebab itu tidak lagi boleh diperlakukan secara semena-

mena sebagai hamba-hamba oleh siapapun.

Sementara hamba-hamba menurut Soetandyo Wignjosoebroto,

(2002:487-488)

“Mereka yang menanggung beban kewajiban, kewajiban asasi itu


tak lain dari pada kewajiban untuk menghormati dan untuk ikut
menegakkan hak-hak sesama warga dan tidak sekali-kali terlahir
dari kesewenangan sang penguasa. Bagaimanapun juga setiap
warga negara itu harus dipandang berkedudukan sama di depan
hukum. Oleh karena itu hukum merupakan suatu alat untuk
mengatur keseimbangan berbagai hak dan kewajiban dalam
pergaulan hidup di masyarakat, bersifat mengikat kepada setiap
warganya.”

Pernyataan asas/ prinsip “Equality Before the Law”(Pasal 27

UUD N RI 1945, dan penjelasan umum butir 3 c KUHAP), merupakan

asas atau dasar dari penegakan hukum yang masih hidup dari dulu

sampai sekarang. Asas atau prinsip-prinsip hukum yang memberikan

perlakuan yang sama bagi setiap manusia di muka hukum. Pernyataan

yang tidak memberikan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin,

penguasa
maupun rakyat jelata dalam hal penegakkan hukum guna mendapat

keadilan yang diinginkan.

Pentingnya asas tersebut dikarena hukum mengatur segala

dimensi kehidupan manusia.Memberikan kepastian hukum terhadap

tingkah laku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh

masyakat.Hukum melindungi segala kepentingan umum (publik) maupun

kepentingan perseorangan (perdata) serta melindungi subjek hukum

(orang) baik masih dalam kandungan sampai orang tersebut meninggal

dunia.

Penerapan dari asas Equality Before the Law dapat dilihat dalam

kasus yang terjadi Kabupaten Selayar, dimana beberapa anggota

Kepolisian telah melakukan kekerasan terhadap seseorang yang

mengakibatkan luka-luka yang kasusnya sebagai berikut:

1) Posisi Kasus

Pada hari Senin, tanggal 30 Juni 2008 sekitar jam 11.00 Wita,

terdakwa Abdul Samad bin Baharuddin bersama-sama terdakwa Ruslam

bin Machmud, terdakwa Muhtar bin Martani serta terdakwa Oddang bin

Suardi, bertempat di Kantor Polisi sektor Bontosikuyu jalan pendidikan

Nomor 1 Pariangan kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Selayar dengan

terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan

terhadap orang yang mengakibatkan luka-luka yang dilakukan dengan

cara-cara sebagai berikut:

- Pada saat Dani berada di jembatan Bankeng Baling Tile-Tile Kec.


Bontosikuyu Kabupaten selayar, tiba-tiba datang dari arah belakang
para terdakwa yang menggunakan tiga buah sepeda motor
menghampiri Dani kemudian membawa Dani ke kantor Polsek
Bontosikuyu. Sesampainya disana, para terdakwa memasukkan
Dani ke dalam sel tahanan kemudian secara bergantian para
terdakwa memukuli Dani dengan cara dipukul menggunakan
tangan dan ditendang menggunakan kaki ke bagian kepala dan
perut.
- Kemudian kepala Dani ditutup dengan menggunakan sarung bantal yang
talinya diikatkan ke leher Dani. Selanjutnya para terdakwa secara
bergantian memukuli Dani dengan pukulan dan tendangan ke sekujur
tubuh Dani sampai akhirnya datang Kepala Polsek bontosikuyu bernama
Mustaking sehingga para terdakwa menghentikan perbuatannya.
- Bahwa akibat perbuatan para terdakwa tersebut, Dani mengalami luka
memar membengkak di bagian dahi kiri dan bagian bawah mata sebelah
kiri, luka dibagian mulut, luka memar membengkak dibagian tungkai kiri.
Akibat luka-luka yang dideritanya tersebut Dani tidak dapat menjalankan
aktifitasnya atau pekerjaanya sehari-hari selama kurang lebih 10 hari.

2) Dakwaan Penuntut Umum

Berdasarkan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh

anggota kepolisian terhadap seseorang di atas, Jaksa Penuntut

Umum mendakwa para terdakwa dengan dakwaan alternatif subsidair

yakni:

“Melakukan tindak pidana yang diatur dalam dakwaan kesatu


primair Pasal 170 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
subsidair Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
atau dakwaan kedua Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana jo. 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.”

3) Tuntutan Penuntut Umum

Jaksa penuntut umum dalam surat tuntutannya Nomor Registrasi

Perkara: PDM-072/Slyr/Ep.2/08/2008 yang pada pokoknya menuntut

agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa

sebagai berikut:

1. Menyatakan para terdakwa Abdul Samad bin Baharuddin, Nurhalis


bin Alimuddin, Hasri bin Ahmad, Ruslan M. bin Machmud, Muhtar
bin Martani dan Oddang bin Suardi terbukti secara sah dan
meyakinkan
menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana sebagai yang
melakukan, yang turut melakukan serta melakukan penganiayaan
sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 351 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abdul Samad bin Baharuddin
dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan terdakwa Nurhalis bin
Alimuddin, Hasri bin Ahmad, Ruslan M. bin Machmud, Muhtar bin
Martani serta terdakwa Oddang bin suardi dengan pidana penjara
masing-masing selama 6 (enam) bulan dengan perintah supaya para
terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan Negara (RUTAN).
3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah sarung bantal warna
orange dengan gambar bunga warna ungu dan daun warna hijau,
berbentuk segi empat serta memakai hiasan renda bentuk oval dan
pinggirnya warna kuning keemasan dikembalikan kepada Anwar Said.
4. Menetapkan agar Para terdakwa membayar biaya perkara masing-
masing sebesar Rp 1.000,-(seribu rupiah)

4. Analisis penulis terhadap penerapan hukum pidana dalam


perkara dengan Nomor Putusan: 73/PID.B/2008/PN.SLY

Kasus yang penulis bahas dalam skripsi ini yaitu tindak pidana

kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa

anggota Kepolisian di Polres Bontosikuyu Kabupaten Selayar terhadap

seorang pemuda yang bernama Dani. Akibat dari perbuatan tersebut

Dani menderita luka-luka di bagian tubuhnya.

Dalam kaitannya dengan jenis-jenis penganiayaan Menurut

Adami Chazawi, (2010:7) mengemukakan

“Perbuatan yang mengakibatkan luka-luka terhadap saksi korban


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidanabisa dimasukkan
dalam kategori kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven
tegen het lijf)ini ditujukan bagi perlindungan hukum atas tubuh dari
perbuatan- perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian
dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan
karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan
kematian.”
Tindak pidana terhadap tubuh/kejahatan terhadap tubuh

manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut

“penganiayaan” tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak

memuat arti penganiayan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-

sewenang.Pengertian tersebut sangat luas, yakni termasuk yang

menyangkut perasaan atau batiniah.Penganiayaan yang dimaksud

dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh

manusia(Leden Marpaung,2005: 5).

Kejahatan terhadap tubuh ada 2 (dua) macam yaitu:

1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan


yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan
(mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II Pasal 351-Pasal 358 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 360 Bab
XXI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan kualifikasi
karena lalai menyebabkan orang lain luka.

Selain tindak pidana terhadap tubuh/penganiayaan diatur dalam

Bab XX buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Maka ada juga

tindak pidana kekerasan terhadap seseorang atau barang di muka

umum secara bersama-sama (Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana).

Terhadap tindak pidana yang dilakukan para terdakwa, Jaksa

Penuntut Umum menggunakan dakwaan alternatif subsidair untuk

menjerat para terdakwa yaitu dakwaan kesatu primair melanggar Pasal

170 ayat (2) ke-1Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, subsidair


melanggar Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

atau
dakwaan kedua melanggar Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Jo. Pasal 55 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

Alasan jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan

dakwaan yang berbentuk alternatifsubsidair, diungkapkan dalam

wawancara langsung dengan Yoga Paradilasanjaya, SH. selaku Jaksa

Penuntut Umumdalam kasus ini, mengemukakan

“Bahwa alasan penuntut umum mendakwa terdakwa para terdakwa


dengan dakwaan alternatif subsidair (pengganti) agar terdakwa tidak
dapat terlepas dari jeratan hukum. Kemudian tindakan para
terdakwa adalah tindak pidana kekerasan terhadap seseorang yang
menyebabkan luka-luka pada tubuh saksi korban yang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam beberapa pasal yang
tergolong tindak pidana penganiayaan dan termasuk juga tindak
pidana kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga tindakan tersebut tidak
mungkin kalau digunakan dengan surat dakwaan yang berbentuk
tunggal/biasa”.
Bentuk surat dakwaan alternatif subsidair dibuat apabila jaksa

penuntut umum menjumpai satu tindak pidana yang dapat dikualifisir

juga sebagai tindak pidana yang lain dan apalagi bila corak dari tindak

pidana tersebut hampir sama. Pada hakikatnya perbuatan tersebut

hanya satu tindak pidana tetapi sulit dipastikan tindak pidana apa yang

dilakukan oleh terdakwa.

Bila dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan oleh para

terdakwa terhadap saksi korban.Maka sudah tepat bila Jaksa Penuntut

Umum menggunakan dakwaan alternatif subsidair agar majelis Hakim

juga dapat
memilih yang mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada para

terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang

dilakukannya.Perbuatan para terdakwa dengan melakukan kekerasan

terhadap saksi korban yang mengakibatkan luka-luka secara bersama-

sama.Perbuatan tersebut juga bisa masuk dalam rumusan Pasal 170

ayat

(2) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan bisa juga masuk

dalam rumusan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Perkara dengan


Nomor Putusan : 73/ PID.B/ 2008/ PN.SLY

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam

membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.

Pengambilan keputusan ini hendaknya hakim dapat melihat dengan

cermat kesesuaian fakta-fakta yang ada dengan alat bukti yang

dihadirkan di persidangan (fakta persidangan).

Fakta persidangan adalah realitas (kenyataan) yang timbul

dalam proses pemeriksaan perkara di muka persidangan yang ditarik

dari seluruh alat bukti maupun barang bukti yang ada. Fakta

persidangan ini juga menjadi barometer bagi hakim untuk mengeluarkan

putusan tentang tindak pidana yang terjadi sebagaimana yang

didakwakan oleh penuntut umum dan untuk selanjutnya menentukan

apakah terdakwa bersalah dan menyakinkan melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan.Sehingga dalam menjatuhkan suatu


keputusan tidak
menyimpang dari yang seharusnya dan tidak melanggar hak asasi yang

dimiliki oleh terdakwa.

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selayar yang

memeriksa dan mengadili perkara ini setelah mendengarkan keterangan

saksi-saksi, dan keterangan Ahli, keterangan para terdakwa, barang

bukti dan Visum Et Repertum, diperoleh fakta-fakta hukum sebagai

berikut:

1. Bahwa benarpada hari Senin tanggal 30 Juni 2008, setelah pelantikan


kenaikan pangkat para terdakwa, selanjutnya mereka melakukan foto
bersama di Studio Photo Syafira lalu pergi ke rumah terdakwa
Nurhalis/Muhtar.
2. Bahwa benar kemudian para terdakwa beserta saksi Saenal dan Rakib,
saling berboncengan menggunakan 4 (empat) buah sepeda motor
berangkat menuju Polsek Bontosikuyu untuk acara syukuran atas
kenaikan pangkat mereka.
3. Bahwa benar terdakwa Hasri berboncengan dengan terdakwa Abdul
Samad, terdakwa Ruslan dengan terdakwa Oddang, saksi Saenal dengan
Rakib, dan terdakwa Nurhalis berboncengan dengan terdakwa Muhtar.
4. Bahwa benar para terdakwa di Jembatan Bankeng Baling Tile-Tile, kec.
Bontosikuyu Kab. Selayar bertemu saksi korban Dani yang sedang
mendorong motornya karena kehabisan bensin.
5. Bahwa benar setelah terdakwa Abdul Samad melihat saksi korban, lalu
menghentikan motornya dan bertanya “ kamu yang bernama Dani” dan
dari arah belakang, datang juga terdakwa-terdakwa lainnya termasuk
saksi Saenal dan Rakib.
6. Bahwa benar saksi korban di bawa ke Polsek Bontosikuyu untuk di
interogasi atas pengancaman yang dilakukan terhadap terdakwa Abdul
Samad
7. Bahwa benar saksi korban dibawa menggunakan motor yang dikendarai
oleh Nurhalis berboncengan dengan terdakwa Abdul samad.
8. Bahwa benar di ruang penjagaan Polsek Bontosikuyu sebelum para
terdakwa datang telah ada petugas jaga, Yaitu saksi Muh Tahir, saksi
Yasnur dan saksi Arsang sedang main Domi.
9. Bahwa benar saksi korban tidak pernah diserahterimakan kepada
petugas jaga Polsek Bontosikuyu dan tidak pernah dicatat dalam buku
tahanan.
10. Bahwa terdakwa dibawah oleh terdakwa Abdul Samad ke dalam sel dan
ditempatkan di ruang sel yang tidak ada atapnya.
11. Bahwa benar terdakwa memukul saksi korban.
12. Bahwa benar akibat pemukulan yang dilakukan oleh para Terdakwa,
saksi korban mengalami rasa sakit dan setelah dilakukan pemeriksaan
oleh dr. Malayanti, di temukan luka memar membengkak yang
menandakan telah terjadi kekerasan fisik sebagaimana tertuang dalam
surat keterangan No : KS/02/V.Et.Repertum/PKM-BTS/VII/2008.
13. Bahwa benar luka memar yang dialami oleh saksi korban adalah
sebagaimana terdapat dalam 7 (tujuh) lembar foto ukuran post card.
14. Bahwa benar sebelumnya pernah ada masalah antara Terdakwa Abdul
Samad dengan saksi korban, yaitu masalah pemotretan/perekaman
yang dilakukan saksi korban ketika terdakwa Abdul Samad bersama
pacarnya di Balloya yang mengakibatkan Terdakwa Abdul Samad di
periksa oleh Provost Polres Selayar.

Berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan di atas,

majelis Hakim dalam menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan

terbukti bersalah dan dapat dipidana, maka keseluruhan dari unsur-

unsur yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepadanya

haruslah dapat dibuktikan dan terpenuhi seluruhnya.

Berdasarkan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana menegaskan bahwa Hakim dapat menjatuhkan putusan kepada

seseorang didasarkan sekurangnya dua alat bukti sah, sehingga ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan terdakwa yang bersalah melakukannya atau biasa dikenal dengan

istilah Sistem Pembuktian Undang-Undang Secara Negati (negatieve

wettelijk).

Adapun alat bukti yang sah dimaksud, sebagaimana diatur

dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

yaitu:
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa

Oleh karena hukum acara pidana, menganut asasi pencarian

pada kebenaran materil/ kebenaran sejati, maka Moeljatno (Sofjan

Sastrawidjaja, 1990: 116-117) mengemukakan

“Bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari unsur formil yaitu


perbuatan (manusia), dimana perbuatan itu dilarang oleh aturan
hukum dan larangan itu disertai sanksi, sedangkan unsur materil
adalah perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu betul-betul
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau
tak patut dilakukan.sehingga penegakkan hukum haruslah mampuh
membuktikan semua unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa di muka pengadilan.”

Apabila salah satu unsur tindak pidana tidak dapat dibuktikan di

persidangan, maka pengadilan yang memeriksa dan mengadili harus

memutus terdakwa dengan putusan bebas.

Adapun dakwaan dari jaksa penuntut umum yang menjadi

pertimbangan oleh majelis hakim terhadap terdakwa adalah berupa

dakwaan yang disusun secara alternatif subsidair yaitu dakwaan kesatu

primair Pasal 170 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

subsidair Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau

dakwaan kedua Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Oleh karena dakwaan tersebut bersifat alternatif subsidair, maka

Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan


dengan
ancaman hukuman yang terberat, yaitu dakwaan kesatu primair dan

apabila dakwaan tersebut telah terbukti, maka dakwaan selanjutnya

tidak akan dibuktikan. Akan tetapi sebaliknya apabila dakwaan kesatu

primair tidak terbukti, maka dakwaan selanjutnya akan dibuktikan dan

demikian seterusnya.

Majelis Hakim untuk mempertimbangkan unsur Pasal 170 ayat

(2) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam dakwaan kesatu

primair, maka unsur menggunakan kekerasan terhadap orang atau

barang yang mengakibatkan luka-luka akan dipertimbangkan terlebih

dahuludari unsur dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama,

sehingga tata urutan unsur-unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana dalm putusan ini di susun sebagai berikut ;

1. Barang siapa
2. Menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang
3. Mengakibatkan luka-luka.
4. Dengan terang-terangan.
5. Dengan tenaga bersama.

Ad.1. Barang siapa

Bahwa yang di maksud “barang siapa” dalam rumusan hukum

adalah setiap orang atau badan hukum yang mampu melakukan

perbuatan-perbuatan hukum sebagai pendukung hak dan kewajibnan

serta mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut

dihadapan hukum.
Bahwa penuntut umum telah menghadapkan 6 (enam) terdakwa

yang masing mengaku bernama Abdul Samad, Nurhalis, Hasri, Ruslan,

Muhtar dan Oddang. Dimana setelah identitas para terdakwa tersebut

diperiksa dan dicocokan dengan identitas yang tercantum dalam surat

dakwaan penuntut umum, para terdakwa tersebut membenarkan dan

tidak menyangkal.

Bahwa dalam persidangan para terdakwa bersikap sebagai

orang yang sehat jasmani dan rohani serta akal pikirannya, oleh karena

itu majelis hakim menilai bahwa para terdakwa adalah orang-orang yang

memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan segala

perbutannya di muka umum.

Menimbang bahwa dengan demikian unsur barang siapa telah

terpenuhi.

Ad.2. Menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang.

Para terdakwa yang pada pokoknya menyatakan bahwa saksi

korban dikeroyok oleh para terdakwa di sel beratap terbuka dan di

halaman sel yang ditempati oleh saksi Sali Gau, saksi Anwar Said dan

saksi Andi Rahman. Para terdakwa memukuli dan menamparnya hingga

menyebabkan luka-luka

Bahwa adanya fakta berdasarkan pengakuan para terdakwa

sendiri bahwa mereka telah melakukan pertemuan untuk tidak mengakui

perbuatannya dihadapan Kapolres Selayar dan penyidik, sebagaimana


keterangannya dalam berkas perkara. Tentu saja hal tersebut juga ikut

membuat majelis hakim meragukan keterangan para terdakwa dan

memperkuat keyakinan bahwa benar para terdakwa telah melakukan

kekerasan fisik atau dengan kata lain melakukan pengeroyokan

terhadap diri saksi korban di dalam sel beratap maupun terbuka di sela

yang ditempati oleh saksi Sali Gau, Anwar dan Andi Rahman.

Menimbang bahwa benar dengan demikian,unsur melakukan

kekerasan terhadap orang telah terpenuhi.

Ad.3. Mengakibatkan luka-luka.

Bahwa dari hasil Surat Keterangan No. KS/02/V.Et.

Repertum/PKM-BTS/VII/2008 yang ditandatangani oleh dr. Marlayanti,

dokter yang bertugas di Puskesmas Bontosikuyu Kabupaten selayar,

terhadap pemeriksaan yang dilakukan pada hari selasa tanggal 1 Juni

2008 terhadap saksi korban Dani bin Sarpa serta bukti foto yang berisi

gambar luka memar pada tubuh saksi korban memberikan petunjuk

bahwa luka lebam pada bagian tubuh tersebut disebabkan oleh benda

tumbul.

Menimbang bahwa dari hasil visum dan keterangan ahli tersebut,

makjelis hakim menilai bahwa luka yang dialami oleh saksi korban tidak

termasuk atau kategori sebagai luka berat melainkan hanya luka memar

biasa dan oleh karenanya unsur mengakibatkan luka-luka telah

terpenuhi. Ad. 4. Dengan terang-terangan


Pengeroyokan yang dilakukan para terdakwa dilakukan di dua

tempat, yaitu di dalam sel yang tidak ada atapnya dan dalam sel yang

ditempati oleh saksi Sali Gau, Anwar dan Andi Rahman dan menurut

keterangan saksi Mustaking bahwa ruang sela yang tidak ada atapnya

adalah tempat besuk dan menjemur tahanan.

Menurut Majelis Hakim ruang sel menurut peruntukannya adalah

tempat untuk menahan seseorang serta sering pula dikunjungi oleh

penjaga tahanan maupun orang yang membesuk/mengunjungi tahanan

termasuk pula ruang sel tidak beratap dan sel yang ditempati oleh saksi

Sali Gau, Anwar dan Saksi Andi Rahman adalah tempat yang biasa

dikunjungi oleh orang lain, sehingga dimungkinkan orang lain untuk

melihat perbuatan para terdakwa.

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ini dengan terang-

terangan telah terpenuhi.

Ad. 5. Dengan tenaga bersama

Bahwa unsur dengan tenaga bersama memerlukan adanya dua

pelaku atau lebih yang bersekongkol saling menolong dalam melakukan

kekerasan.Sebagaimana telah dipertimbangkan dalam unsur

menggunakan kekerasan terhadap seseorang atau barang terbukti

bahwa terdakwa Abdul Samad, Nurhalis, Hasri, Ruslan dan terdakwa

Oddang telah terbukti melakukan kekerasan fisik terhadap saksi

korban.Demikian pula terdakwa Muhtar sedikit banyak memiliki andil

terhadap kekerasan tersebut.Dengan demikian majelis hakim

memandang saksi korban di


bawah kekuasaan mereka.Sehingga tidak memiliki daya upaya untuk

melakukan perlawanan.Menimbang bahwa dengan demikian unsur

dengan tenaga bersama telah terpenuhi oleh perbuatan para terdakwa.

Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, bahwa dengan

terpenuhinya seluruh unsur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana, maka Majelis Hakim menyatakan

bahwa para terdakwa telah terbukti bersalah(guilty) melakukan tindak

pidana “ melakukan kekerasan terhadap orang “ secara sah dan

meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan kesatu primair.

Hal ini dikomentari lebih lanjut oleh Hakim Ketua Majelis

Suranto, SH yang memeriksa dan memutus perkara tersebut

(wawancara pada hari selasa,14 Juni 2011), mengemukakan

“Perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa setelah mendengar


keterangan para saksi, keterangan ahli dan keterangan para
terdakwa.Maka majelis hakim berkeyakinan bahwa perbuatan para
terdakwa termasuk dalam tindak pidana kekerasan yang dilakukan
secara bersama-sama di tempat umum sebagaimana diatur dalam
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP.Terpenuhinya dakwaan kesatu primair
maka dakwaan kesatu subsidair tidak perlu lagi untuk dibuktikan”.

Sedangkanmengenai dakwaan kedua sebagaimana diatur dan

diancam pidana menurut ketentuan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, dimana menurut Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 17

November 2008 telah membacakan surat tuntutannya terhadap para

terdakwa. Kemudian berpendapat bahwa para terdakwa tersebut terbukti

melakukan tindak pidana pada dakwaan keduanya. Terhadap tuntutan


jaksa penuntut umum tersebut, para terdakwa melalui tim penasihat

hukumnya sangat tidak sependapat karena tuntutan tersebut tidak

didasari dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan oleh

karena itu para terdakwa melalui tim penasihat hukumnya akan

menanggapi tuntutan jaksa penuntut umum tersebut dalam

pembelaan(pledoi)yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa dalam persidangan keterangan saksi Andi Rahman, Mustakim,


Muh.Tahir, dan Saligau menjelaskan bahwa tidak melihat dan tidak
mendengar para terdakwa melakukan pemukulan/penganiayaan
terhadap saksi korban Dani dan keadaan Dani pada saat itu biasa-biasa
saja, dan tidak Nampak seperti orang yang pernah dipukul/dianiaya.
2. Berdasarkan keterangan Dani menjelaskan bahwa benar terdakwa Briptu
Abdul Samad berteman 5 (lima) orang melakukan
pemukulan/penganiayaan secara bergantian pada saat korban berada di
dalam sel terbuka dengan meninju, menempelen dan menendang yang
mengakibatkan luka memar pada pipi, mulut, kaki dan keterangan
tersebut saksi korban tidak mampu menjelaskan secara mendatail dan
jelas serta pasti bilamana dan bagaimana para terdakwa melakukannya.
3. Bahwa benar korban telah menyurat ke Kapolres Selayar tentang ganti
rugi sebesar Rp 32.000.000,- serta korban pula telah menyerahkan surat
kepada Ketua/Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut yaitu
menyetujui adanya perdamaian dengan syarat para terdakwa membayar
ganti rugi selama tidak melaksanakan kegiatan sehari-hari selama 6
(enam) bulan dengan rincian sebesar Rp 150.000,- per hari yang total
keseluruhan yaitu sebesar Rp 27.000.000,- dan mengakui pula telah
menerima uang Rp 1.000.000,- dari penasihat hukum para terdakwa saat
menanda tangani persetujuan penangguhan penahanan para terdakwa.
4. Bahwa dipersidangan saksi korban Dani telah menyampaikan pula kepada
Majelis Hakim tidak akan memaafkan/tidak adanya perdamaian bilamana
para terdakwa tidak mengabulkan permintaan korban.
5. Bahwa dipersidangan para korban selain terdakwa Briptu muhtar telah
mengakui perbuatan pemukulan terhadap korban Dani.
6. Bahwa dipersidangan dihadirkan saksi ahli dari Rumah Sakit Umum
selayar dr. Muh. Room Limpo, Spd yang menjelaskan bahwa hasil ronsen
yang dihadirkan oleh korban Dani tidak ada kaitannya dengan pemukulan
yang dilakukan oleh para terdakwa melainkan
bahwa saksi korban menderita penyakit pada bagian paru-parunya
sudah menahun (TBC) dan itu pula yang menjadi alasan dokter/ahli
menerbitkan surat yang menganjurkan Dani berobat selama 6
(enam) bulan dan ini pula yang kemudian dijadikan dasar Dani
untuk meminta ganti rugi.
7. Bahwa hasil Visum Et Repertum yang dilampirkan dalam berkas perkara
yang menjelaskan keadaan luka korban yang oleh dokter/ahli
menyatakan bahwa luka tersebut merupakan luka ringan.
8. Bahwa dipersidangan juga dihadirkan saksi yang meringankan yakni saksi
Andi Abdullah dan Briptu Sainal yang pada pokoknya menjelaskan bahwa
mereka tidak melihat para terdakwa melakukan pemukulan terhadap
korban sedangkan khusus terhadap terdakwa Muhtar sama sekali tidak
melakukan pemukulan karena terdakwa tersebut sama-sama terus
dengan saksi berada di Asrama Polsek Bontosikuyu sampai saksi kembali
ke Benteng Selayar.

Analisisyuridisterhadap tidak terpenuhinya dakwaan kedua Pasal

351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, setelah para terdakwa

melalui penasihat hukumnya mengemukakan “fakta hukum yang

terungkap di persidangan berdasarkan alat bukti surat dan keterangan

saksi-saksi, keterangan ahli dan para terdakwa di atas.”

Berdasarkan keterangan ahli yang menjelaskan didepan

persidangan ini pada pokoknya menyatakan bahwa hasil ronseng saksi

korban Dani menderita penyakit infeksi paru-paru yang menahun (TBC)

dan hal ini tidak ada kaitannya dengan tindakan kekerasan atau

penganiayaan yang dialami oleh Dani. Penyakit itu pula yang mendasari

dokter menerbitkan surat keterangan yang menganjurkan Dani berobat

selama 6 (enam) bulan. Atau dengan kata lain tindakan para terdakwa

bukanlah yang menjadi penyebabnya.


Hal tersebut dapat dilihatketerangan dokter ahli yang

menjelaskan di depan persidangan dibawah sumpah bahwa luka yang

diderita oleh saksi korban sebagaimana yang tercantum dalam Visum Et

Repertum yang ada dalam berkas perkara para terdakwa adalah luka

ringan. Dimana luka ringan bukan diatur dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab

Undang- Undang Hukum Pidana, melainkan luka ringan apabila

dikaitkan dengan penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R.

Soesilo, 1986: 246) yang membagi sakit menjadi 2 (dua) yakni

“Jatuh sakit (ziek) dan merasa sakit (pijn) yang menurut uraiannya
bahwa pijn adalah sakit yang tidak mengakibatkan jatuh sakit
merupakan penganiayaan yang masuk kategori yang diatur dalam
Pasal 352 KUHP.Bila dikaitkan dengan luka ringan yang diderita saksi
korban pada saat kejadian hanyalah luka memar dan berdarah akibat
luka pada bibir tergolong pada luka ringan.”

Sedangkan penyertaan (delneeming) yang dalam perkara ini

diancam kepada para terdakwa yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana tidak dapat terpenuhi karena saksi

korban Dani dalam keterangannya di depan persidangan tidak dapat

menunjuk secara pasti dan meyakinkan apa dan bagaimana para

terdakwa melakukan penganiayaan kepadanya.

Terpenuhinya dakwaan kesatu primair Pasal 170 ayat (2) ke-1

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena tindakan yang dilakukan

oleh para terdakwa merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan

secara terang-terangan dan bersama-sama. Kekerasan dalam

penjelasan Pasal 89 mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani

tidak kecil secara yang


tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau segala macam

senjata, menyepak, menendang dan menampar (Soesilo, 1986: 98).

Apabila dilihat penjelasan di atas, maka perbuatan para

terdakwa yang dalam persidangan mengakui telah melakukan

pemukulan terhadap pipi dan perut serta menampar pipi korban Darmin

termasuk dalam penjelasan tersebut.

Unsur secara terang-terangan atau dimuka umum dapat dilihat

dari tindakan para terdakwa yang melakukan pemukulan di dalam sel

yang terbuka dan beratap yang ternyata sel beratap tersebut adalah

tempat menerima pembesuk dan dikategorikan oleh majelis hakim

sebagai tempat umum.Kekerasan ini harus dilakukan dimuka umum

karena kejahatan ini memang dimasukkan kedalam golongan kejahatan

ketertiban umum.

Menurut Simons, pengertian dari kata tindak pidana itu terjadi

secara terbuka (openlijk geweld) bila suatu kekerasan yang dilakukan

secara terbuka, jika kekerasan tersebut telah terjadi dengan dapat dilihat

oleh umum, dan tidaklah perlu bahwa kekerasan itu harus dilakukan di

tempat umum. Selanjutnya juga masih harus disyaratkan bahwa orang

yang bersalah itu mengetahui bahwa tindak kekerasan dimana ia telah

mengambil bagian itu telah dilakukan orang secara terbuka dan secara

bersama-sama (Lamintang dan Theo Lamintang, 2010:357).


Atau dalam terminologi bahasa Belandamet verenigde

krachtenatau secara bersama-sama di dalam rumusan Pasal 170 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, atau juga dapat diartikan sebagai

dengan tenaga-tenaga atau dengan kekuatan-kekuatan yang

dipersatukan.

Menurut Noyon dan Langemeijer (Lamintang dan Theo

Lamintang, 2010:173-174) mengemukakan

“Bahwa dalam hal ini para pelaku itu setidak-tidaknya perlu


mengetahui bahwa dalam suatu tindak kekerasan itu terlibat beberapa
orang di dalamnya. Dikatakannya lebih lanjut bahwa adanya dua
orang yang melakukan sautu tindakan itu sudah cukup untuk
mengatakan bahwa tindakan tersebut telah dilakukan met verenigde
krechten”.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perbuatan para terdakwa

yang melakukan kekerasan terhadap saksi korban Darmin dengan cara

memukul dan menamparnya di dalam sel beratap dan terbuka yang

menyebabkan luka ringan, telah terbukti sebagaimana dakwaan kesatu

primair melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

Majelis hakim sebelum menentukan lamanya pidana yang akan

dijatuhkan kepada terdakwa, maka terlebih dahulu perlu

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal meringankan

hukuman bagi diri terdakwa sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

1. Para terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatannya


2. Para terdakwa adalah anggota polisi yang seharusnya mengayomi dan
melindungi masyarakat.
3. Para terdakwa telah merampas kemerdekaan saksi korban.

Hal-hal yang meringankan:

1. Para terdakwa belum pernah dipidana.


2. Para terdakwa telah memberi bantuan kepada saksi korban melalui
penasihat hukumnya.
3. Para terdakwa telah meminta maaf secara terbuka dalam persidangan
dan juga melalui penasihat hukumnya kepada saksi korban. Walaupun
permohonan maaf tersebut tidak diterima oleh saksi korban dengan
alasan para terdakwa belum bayar ganti rugi, akan tetapi ,menurut
pertimbangan majelis hakim, ganti rugi yang diminta oleh saksi
korban tidak layak dan tidak pantas.
4. Para terdakwa bersikap sopan dalam persidangan.
5. Perbuatan para terdakwa juga disebabkan oleh perbuatan tidak terpuji
dari saksi korban sendiri yang memotret/merekam terdakwa Abdul
Samad dengan tendensi adanya maksud tertentu yang bertujuan
mendapatkan keuntungan pribadi.

Hal-hal yang memberatkan para terdakwa yang dijadikan

sebagai bahan pertimbangan majelis hakim sebelum menjatuhkan

putusan dalam perkara dengan Nomor Putusan:73/PID.B/2008/PN.SLY,

senada dengan apa yang dikemukakan oleh Jonkers, bahwa dasar

umum strafverhogingsgronden atau dasar pemberatan atau

penambahan pidana umum adalah:

1. Kedudukan sebagai pegawai negeri;


2. Recidive (pengulangan delik);
3. Samenloop (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik) atau
concursus(Andi Zainal Abidin Farid, 2010: 427).

Majelis hakim setelah memperhatikan hal-hal tersebut di atas

kemudian menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa Abdul Samad

bin Baharuddin dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan 15


(lima
belas) hari, terdakwa Nurhalis bin Alimuddin, terdakwa Hasri bin Ahmad,

terdakwa Ruslan M. bin Machmud, dan terdakwa Oddang bin Suardi

dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima) bulan serta

terdakwa Muhtar M. bin Martani dengan pidana penjara selama 4

(empat) bulan.

Namun dalam penjatuhan sanksi pidana yang termuat dalam

amar putusan.Walaupun KUHP dalam sanksi pidananya pada intinya

menganut asas pidana maksimum.Artinya hakim dapat saja

menjatuhkan sanksi pidana dibawah dari yang ditetapkan dalam

KUHAP.Seperti pada kasus ini, pejabat polisi yang melakukan

kekerasan dengan diancam pidana berdasarkan pasal 170 ayat 2 ke-1.

Dakwaan yang diutamakan adalah diawali dari sanksi pidana

yang terberat. Pasal 170 ayat 2 ke 1 kekerasan yang diancam pidana

tujuh tahun sedangkan pada pasal 351 ayat 1, adalah pasal tentang

penganiayaan yang diancam dua tahun delapan bulan. Dalam

pertimangan yang termuat pada amar putusan.

Semua unsur pasal yang ancaman pidana yang paling terberat

yakni pasal 170 ayat 2 ke- 1 memang sudah terpenuhi. Namun jika

dilihat dari pertimbangan sosiologis dan psikologis dalam memenuhi nilai

serta rasa keadilan.Apalagi kekerasan ini dilakukan oleh kepolisian yang

mestinya menjadi pengayom masyarakat, pejabat yang lebih

mengetahui perihal undang-undang yang bersifat imperatief.


Tidak pantas jika hakim menjatuhkan putusan hanya sampai

lima bulan, atau empat bulan. Sebagai sanksi untuk memberikan efek

jerah, dan mengembalikan dalam keadaan semula, Polisi tidak boleh

sembarang menggunakan sarana jabatan untuk melakukan kekerasan.

Maka ada baiknya jika sanksi yang dijatuhkan adalah satu tahun ke atas

atau minimal dua tahun. Oleh karena jika mencermati sanksi antara

Pasal

170 dan Pasal 351 KUHP, maka dengan Pasal 351 pun sebenarnya

terdakwa dapat dijatuhi dengan sanksi pidana dengan standar empat

sampai lima bulan.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian di atas, maka penulis dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Aturan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi

secara turut serta, dalam perkara (73/PID.B/2008/PN.SLY), Jaksa Penuntut

Umum menggunakan dakwaan alternatif subsidair yakni dakwaan kesatu

primair melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-1Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana,dakwaan kedua melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana (Perkara No: 73/ PID.B/

2008/ PN.SLY), dengan memerhatikan fakta-fakta hukum dalam persidangan

berupa mendengarkan keterangan para saksi, keterangan dokter/ ahli,

keterangan terdakwa. Kemudian pembuktian unsur-unsur pasal yang

didakwakan kepada terdakwadan mempertimbangkan pembelaan/pledoi

terdakwa. Majelis hakim kemudian berpendapat bahwa perbuatan para

terdakwa dengan secara bersama-sama melakukan pemukulan atau

kekerasan berdasarkanPasal 170 ayat (2) ke-1Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.
B. Saran

Berdasarkan uraian kesimpulan di atas maka yang dapat

menjadi saran atau rekomendasi sebagai berikut:

1. Perlu ada sosialisasi bersama antara kepolisian/ masyarakat mengenai hak

asasi (human right)dan perlakuan yang sama antara penegak hukum sebagai

pengayom masyarakat yang sederajat/ sama-sama memiliki kedudukan hak

yang sama di depan hukum (equal before the law). Selain itu, juga dapat

diadakan pertemuan, seminar dan kegiatan lainnya antara polisi dan

masyarakat dalam rangka membangun relasi yang baik, agar tidak gampang

terjadi kekerasan oleh kepolisian kepada masyarakat.

2. Seyogiayanya hakim dalam pemuatan pertimbangan hukum pada putusan

juga memuat pertimbangan dengan memerhatikan kode etik profesi

kepolisian sebagai hal-hal yang memberatkan bagi polisi yang menggunakan

sarana jabatan dalam melakukan perlakukan yang sewenang-wenang

terhadap warga (baca: orang) yang belum terbukti bersalah (guilty).


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence). Jakarta. Kencana Prenada Media Grup.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.

--------------------------. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada.

--------------------------. 2002. Pelajaran Hukum Pidana3. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada

-------------------------- 2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.


Jakarta: Rajawali Pers.

Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana.Makassar : LEPPEN- UMI.

Friedman, Lawrence M. 2001. Hukum Amerika Sebuah Pengantar (American


Law An Introduction).Diterjemahkan oleh Wisnu Basuki. Jakarta: PT
Tatanusa.

Hamzah, Andi.2007.Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional


dan Internasional. Jakarta : Rajawali Press.

---------------------. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. (2002). Pembahasan Permasalahan dan


Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group

Ilyas, Amir dan Yuyun Widaningsih. 2010. Hukum Korporasi Rumah


Sakit.Yogyakarta : Rangkang Education.

Lamintang.P.A.F. 1997.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. 2010. Kejahatan Terhadap Nyawa,
Tubuh, dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika.

Marpaung, Leden, 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh.


Jakarta, Penerbit Sinar Grafika

Marlang, Abdullah, dkk. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Makassar: AS


Center.

Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta Prodjodikoro,

Wirjono.2003. Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia.


Bandung: Refika Aditama.

Poernomo, Bambang. (1983). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara

Soesilo, R. 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea.

Sudarto. (1989). Hukum Pidana.Yogyakarta: Liberty

Situs Internet:

www.buku kekerasan polisi.com, diakses 20 Juni 2011 www.budaya

kekerasan di Indonesia.com, diakses 20 Juni 2011 www.Warta Titian

Damai.com, diakses 19 Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai