Anda di halaman 1dari 32

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENILAI SAKSI A DE CHARGE

UNTUK MENJATUHKAN PUTUSAN PERKARA PENGANIAYAAN

Proposal Skripsi

Diajukan sebagai syarat melakukan penelitian untuk penyusunan skripsi pada

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh:

DIMAS RICO LUTFIYADI

20190610326

FAKULTAS HUKUM PROGAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2023
HALAMAN PERSETUJUAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENILAI SAKSI A DE CHARGE

UNTUK MENJATUHKAN PUTUSAN PERKARA PENGANIAYAAN

Disusun Oleh :

Dimas Rico Lutfiyadi

NIM.20190610326

Telah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal…….

Dosen Pembimbing

Heri Purwanto, S.H., M.H.

NIK.19790430201504153061
HALAMAN PERSETUJUAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENILAI SAKSI A DE CHARGE

UNTUK MENJATUHKAN PUTUSAN PERKARA PENGANIAYAAN

Telah diseminarkan di hadapan tim penguji dalam Seminar Proposal

Pada hari…………

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. Ketua :

2. Anggota :

3. Anggota :

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D

NIK. 19700706199904 153 039


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana penganiayaan adalah tindak pidana yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351-358. Pasal-pasal tersebut

mengatur tentang tindakan yang dianggap sebagai penganiayaan, yang dapat

mengakibatkan seseorang mengalami luka atau sakit fisik atau mental. Tindak

pidana penganiayaan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

terhadap orang lain. Penganiayaan dapat berupa tindakan yang dilakukan dengan

menggunakan kekerasan, ancaman, atau paksaan yang merugikan keselamatan

atau kesehatan orang lain. Tindakan penganiayaan dapat dilakukan secara fisik

maupun verbal.

Tindakan penganiayaan termasuk ke dalam kategori tindak pidana

kekerasan, dan dapat diancam dengan hukuman penjara dan/atau denda. Hukuman

yang diberikan tergantung pada tingkat kekerasan dan dampak yang diakibatkan

oleh tindakan penganiayaan tersebut. Tindakan penganiayaan ini dapat berupa

pemukulan, penyerangan, pemaksaan, atau tindakan lainnya yang menyebabkan

korban merasa sakit atau menderita, bahkan sampai menimbulkan kematian.1

Dalam hukum pidana Indonesia, seseorang yang melakukan tindakan

penganiayaan dapat dikenakan hukuman penjara hingga 5 tahun atau bahkan

hukuman penjara seumur hidup jika korban meninggal dunia akibat tindakan
1
Hiro R R Tompodung, Meiske T Sondakh, and Nontje Rimbing, ‘Kajian Yuridis Tindak
Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian’, Lex Crimen, 10.4 (2021)
<https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/33400>.

1
2

penganiayaan tersebut. Selain itu, jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan

menggunakan senjata tajam atau senjata api, maka pelakunya dapat dikenakan

sanksi pidana yang lebih berat, yaitu hukuman penjara seumur hidup atau bahkan

hukuman mati.2

Tindak pidana penganiayaan merupakan tindakan yang sangat serius dan

dapat berdampak negatif yang signifikan terhadap korban dan masyarakat. Oleh

karena itu, sangat penting bagi setiap individu untuk menghormati hak asasi orang

lain dan menjaga agar tindakan-tindakan yang dilakukan tidak melanggar hukum

dan aturan yang berlaku.3

dalam menilai sebuah perkara penganiayaan, hakim perlu melakukan

pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum memutuskan apakah terdakwa

bersalah atau tidak. Penjatuhan putusan dalam sebuah perkara penganiayaan harus

didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan berdasarkan

hukum yang berlaku.

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh hakim dalam

menentukan putusan dalam sebuah perkara penganiayaan antara lain sebagai

berikut: 4

1. Membuktikan unsur-unsur tindak pidana penganiayaan yang dituduhkan

terhadap terdakwa. Hakim harus memastikan bahwa unsur-unsur yang


2
I Kadek, Betit Pranata Suma, and others, ‘Sanksi Pidana Terhadap Pidana Penganiayaan
Yang Mengakibatkan Luka Berat’, Jurnal Analogi Hukum, 3.2 (2021), 225–29
<https://doi.org/10.22225/AH.3.2.2021.225-229>.
3
Rahmi Zilvia and Haryadi Haryadi, ‘Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Kasus Tindak
Pidana Penganiayaan’, PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1.1 (2020), 96–109
<https://doi.org/10.22437/PAMPAS.V1I1.8271>.
4
Okty Risa Makartia, ‘Perspektif Teoritis Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Pidana Di
Bawah Tuntutan Penuntut Umum Dalam Perkara Penganiayaan Berat’, Verstek, 4.2 (2019)
<https://doi.org/10.20961/JV.V4I2.38389>.

2
3

dibutuhkan untuk membuktikan adanya tindakan penganiayaan telah

terpenuhi, seperti adanya kekerasan atau ancaman yang dialami oleh

korban.

2. Menilai keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti yang ada dalam

persidangan. Hakim harus mempertimbangkan kredibilitas saksi-saksi dan

kekuatan bukti-bukti yang diperoleh dalam persidangan, sehingga dapat

membentuk kesimpulan yang jelas dan akurat terkait kasus yang sedang

diproses. Hakim perlu memeriksa bukti-bukti yang telah disajikan oleh

pihak penuntut umum, seperti keterangan saksi, rekaman video, atau

dokumen-dokumen terkait kasus. Selain itu, hakim juga harus memeriksa

keterangan terdakwa dan saksi-saksi dari pihak terdakwa untuk

memastikan adanya konsistensi dan kecocokan antara keterangan yang

diberikan. Hakim juga perlu memeriksa keabsahan bukti-bukti yang

diperoleh dalam persidangan, seperti apakah bukti tersebut diperoleh

secara sah atau tidak, serta apakah bukti tersebut dapat dipercaya atau

tidak.

3. Mengidentifikasi niat dan motif pelaku dalam melakukan penganiayaan.

Hakim harus dapat mengidentifikasi niat dan motif pelaku dalam

melakukan tindakan penganiayaan, sehingga dapat menentukan tingkat

kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.

4. Memeriksa latar belakang dan riwayat hidup terdakwa. Hakim harus

memeriksa latar belakang dan riwayat hidup terdakwa, seperti apakah

terdakwa memiliki riwayat pidana atau apakah terdakwa sedang

3
4

mengalami masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi perilakunya,

serta melakukan penilaian terhadap karakter dan perilaku terdakwa selama

persidangan, sehingga dapat menentukan besarnya hukuman yang pantas

diberikan kepada terdakwa.

5. Tingkat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim perlu

menentukan tingkat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, seperti

apakah tindakan penganiayaan tersebut merupakan tindakan kejahatan

ringan atau berat.

6. Dampak yang ditimbulkan oleh tindakan penganiayaan terhadap korban.

Hakim perlu mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan

penganiayaan terhadap korban, seperti apakah korban mengalami luka-

luka yang parah atau bahkan mengalami kematian.

Setelah melakukan pertimbangan dan analisis yang matang terhadap kasus

yang sedang diproses, hakim akan memberikan putusan berupa vonis dan

hukuman yang dianggap paling adil dan sesuai dengan fakta yang ada dalam

persidangan. Putusan hakim tersebut akan menjadi acuan dan ditetapkan sebagai

keputusan final yang harus dijalankan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam

perkara penganiayaan tersebut.5

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan saksi dalam

perkara tindak pidana sangat penting dalam memastikan keadilan dan kebenaran

tercapai dalam proses peradilan. Saksi merupakan orang yang memberikan

5
I Kadek, Agus Irawan, and others, ‘Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan
Matinya Seseorang (Studi Kasus Putusan Nomor: 24/Pid.B/2013/PN.Sp)’, Jurnal Analogi Hukum,
1.3 (2019), 341–46 <https://doi.org/10.22225/AH.1.3.2019.341-346>.

4
5

keterangan atau bukti yang dapat membantu mengungkap kejadian atau fakta

yang terjadi dalam suatu tindak pidana.6

dalam proses peradilan, saksi memiliki peran penting untuk memberikan

keterangan secara jujur dan obyektif mengenai apa yang mereka lihat atau alami

dalam kasus yang sedang diproses. Keterangan saksi ini dapat digunakan oleh

hakim dalam menentukan keputusan yang adil dan objektif. Selain itu, keberadaan

saksi juga dapat membantu dalam memperkuat bukti-bukti yang sudah ada dalam

perkara. Dalam beberapa kasus, saksi dapat memberikan keterangan yang

menambah atau mengklarifikasi bukti-bukti yang sudah ada sehingga dapat

membantu hakim dalam menentukan keputusan yang tepat.7

Namun, perlu diingat bahwa keberadaan saksi juga dapat mempengaruhi

jalannya proses peradilan. Saksi yang memberikan keterangan palsu atau saksi

yang tidak jujur dapat mempengaruhi keputusan hakim dan merugikan salah satu

pihak yang terlibat dalam perkara. Oleh karena itu, sangat penting bagi saksi

untuk memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta mematuhi aturan

dan prosedur yang berlaku dalam proses peradilan. Hakim juga memiliki

tanggung jawab untuk menilai dan mempertimbangkan keterangan saksi dengan

hati-hati serta memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan bukti-bukti

yang valid dan adil.8

6
Ibid.
7
Peter Jeremiah Setiawan and others, ‘Pengaturan Kedudukan Keterangan Saksi Dalam
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Regulation on Witness Statements Standing in
Criminal Acts of Domestic Violence)’, Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan, 13.2 (2022), 167–83 <https://doi.org/10.22212/JNH.V13I2.3247>.
8
Toni Parlindungan, ‘Pemeriksaan Saksi dalam Perkara Pidana Berdasarkan Ius
Contitum Indonesia’, Jurnal Gagasan Hukum, 3.01 (2021), 45–58
<https://doi.org/10.31849/JGH.V3I01.7503>.

5
6

Dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, salah satu istilah yang

dikenal adalah istilah saksi a de charge. Saksi a de charge adalah saksi yang

dihadirkan oleh pihak penuntut umum dalam persidangan untuk memberikan

keterangan atau bukti yang dapat menunjukkan bahwa terdakwa bersalah atas

tindakan yang dituduhkan. Biasanya, saksi a de charge adalah saksi yang

memiliki keterlibatan atau hubungan dengan kasus yang sedang diproses, baik

sebagai korban, saksi mata, atau sebagai pihak yang memiliki informasi terkait

kasus.

Dasar hukum tentang saksi a de charge dapat ditemukan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan juga

dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman Hakim dalam Pemeriksaan Perkara Pidana

tahun 2012. Pasal 183 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa saksi adalah orang

yang memberikan keterangan tentang fakta yang ia ketahui dan pernah

dialaminya, atau tentang informasi yang diperolehnya dari orang lain, dan yang

dapat membantu dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana.

Sedangkan Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa saksi dihadirkan ke sidang

oleh penyidik atau jaksa penuntut umum, dan wajib memberikan keterangan yang

diminta oleh hakim.9

Saksi a de charge merupakan saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut

umum dan memberikan keterangan yang mendukung dakwaan atau tuntutan jaksa

penuntut umum dalam suatu perkara tindak pidana. Hakim dalam

mempertimbangkan keterangan saksi a de charge harus melakukan pemeriksaan


9
Lisa Wahyuni and Fatria Khairo, ‘Saksi a de Charge Dalam Persidangan Tindak Pidana
Korupsi’, Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum, 1.1 (2022), 29–40
<https://lexstricta.stihpada.ac.id/index.php/S2/article/view/4>.

6
7

secara hati-hati, objektif dan independen, dengan memperhatikan bukti-bukti lain

yang ada dalam perkara dan menghindari pemihakan atau prasangka terhadap

salah satu pihak dalam perkara.

Saksi a de charge merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa,

terdakwa dapat menghadirkan saksi a de charge dalam persidangan “Apabila

terdakwa merasa bahwa saksi a de charge tersebut dapat memberi keuntungan

kepada terdakwa”. Saksi a de charge merupakan salah satu bagian yang penting

dalam proses pembuktian dalam Pengadilan, dikarenakan saksi a de charge dapat

menyeimbangkan pembuktian yang telah dihadirkan oleh JPU yang telah

mendakwa terdakwa, Kedudukan antara saksi a charge dan a de charge adalah

sama di dalam persidangan, keterangan antara saksi a charge dan a de charge

dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Kekuatan

pembuktian saksi a de charge sama dengan saksi a charge kedudukannya sama,

karena pada intinya dalam KUHAP telah diatur bahwa keterangan saksi

merupakan salah satu alat bukti yang kuat baik itu saksi a charge maupun saksi a

de charge.10

Menghadirkan saksi a de charge sangat penting dalam proses hukum

pidana karena saksi tersebut dapat memberikan keterangan yang mendukung

dakwaan atau tuntutan jaksa penuntut umum dalam suatu perkara tindak pidana.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa penting untuk menghadirkan saksi a de

charge:

10
Eky Chaimansyah, ‘Hak Tersangka/Terdakwa Untuk Mengajukan Saksi a De Charge
(Saksi Meringankan) Dalam Proses Perkara Pidana’, Lex Crimen, 5.2 (2016), 3414
<https://www.neliti.com/id/publications/3414/>.

7
8

1. Mendukung dakwaan atau tuntutan jaksa penuntut umum: Saksi a de

charge dapat memberikan keterangan yang dapat mendukung dakwaan

atau tuntutan jaksa penuntut umum dalam suatu perkara tindak pidana.

Keterangan saksi a de charge dapat menjadi salah satu bukti yang kuat

untuk membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

2. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum:

Keberadaan saksi a de charge dan keterangan yang diberikannya dapat

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum, karena

masyarakat akan melihat bahwa proses hukum tersebut adil dan

transparan.

3. Memperkuat integritas proses hukum: Menghadirkan saksi a de charge

dan mempertimbangkan keterangan yang diberikannya dapat memperkuat

integritas proses hukum, karena hakim harus melakukan pemeriksaan

secara hati-hati, objektif, dan independen terhadap keterangan saksi a de

charge.

4. Menjaga prinsip persamaan di hadapan hukum: Dalam proses hukum,

terdakwa memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan. Dengan

adanya saksi a de charge, maka prinsip persamaan di hadapan hukum

dapat terjaga, karena terdakwa dapat mengajukan saksi sendiri untuk

memberikan keterangan yang mendukung pembelaannya.

5. Meningkatkan efektivitas penegakan hukum: Dengan adanya saksi a de

charge, penegakan hukum dapat menjadi lebih efektif dan tepat, karena

8
9

keterangan saksi a de charge dapat menjadi bukti yang kuat untuk

membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.11

Sebagai saksi yang dihadirkan oleh pihak penuntut umum, keterangan

yang diberikan oleh saksi a de charge perlu dinilai dengan hati-hati oleh hakim,

karena saksi tersebut cenderung memiliki kepentingan dalam kasus yang sedang

diproses. Saksi tersebut dapat dianggap memiliki kepentingan dalam kasus yang

sedang diproses, sehingga kesaksian yang diberikan dapat menjadi subjektif atau

tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, hakim perlu mempertimbangkan

kredibilitas dan kepentingan saksi a de charge dalam memberikan kesaksian, serta

membandingkan kesaksian tersebut dengan bukti-bukti dan keterangan lain yang

ada dalam persidangan untuk dapat menentukan kebenaran dan keadilan dalam

kasus tersebut.

Pengaruh saksi a de charge adalah hakim menerima keterangan dari saksi

dan menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam memutus perkara. Namun, belum

ada Undang-Undang yang lebih jelas mengenai saksi yang meringankan atau a de

charge, sehingga dalam pelaksaannya agar tidak terjadi permasalahan mengenai

diajukan saksi yang meringankan atau saksi a de charge oleh terdakwa ataupun

penasihat hukum terdakwa sebagai upaya melemahkan dakwaan Penuntut Umum,

sehingga saksi a de charge dihadirkan dalam persidangan adalah untuk

memberikan keterangan yang menguntungkan atau meringankan terdakwa. Oleh

karena itu, terdakwa atau penasihat hukum terdakwa berhak menghadirkan saksi a

de charge, untuk mengungkapkan fakta yang bersifat membalik atau melemahkan

11
Yafeth Bonai, ‘Penggunaan Saksi a de Charge Sebagai Hak Tersangka Pada Tahap
Penyidikan’ (Universitas Hasanuddin Makassar, 2013).

9
10

dakwaan Penuntut Umum atau setidaknya meringankan terdakwa, untuk

menegakan keadilan terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah,

antara lain menghadirkan saksi a de charge, oleh karena itu harus dibuktikan

kekuatan pembuktian keterangan saksi a de charge.12

Dengan demikian, menghadirkan saksi a de charge sangat penting dalam

proses hukum pidana karena dapat memberikan dampak positif pada kepercayaan

masyarakat terhadap proses hukum, integritas proses hukum, prinsip persamaan di

hadapan hukum, dan efektivitas penegakan hukum.

Berangkat dari pernyataan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih

dalam mengenai hal tersebut dan mengaitkannya dengan pertimbangan Hakim

dalam menjatuhkan putusan perkara penganiayaan yang di dalamnya terdapat

kesaksian saksi a de charge dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul:

“Pertimbangan Hakim Dalam Menilai Saksi a de charge Untuk Menjatuhkan

Putusan Perkara Penganiayaan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini

antara lain:

1. Bagaimana kekuatan saksi A DE CHARGE dalam pertimbangan

hakim di putusan perkara penganiyaan?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai saksi A DE CHARGE

di sidang pengadilan putusan perkara penganiyaan?

12
Laras Iga Mawarni, ‘Keabsahan Alat Bukti Keterangan Saksi a de Charge Yang
Digunakan Hakim Untuk Memutus Perkara Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak (Studi
Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN Png)’, Verstek, 9.3 (2021)
<https://doi.org/10.20961/JV.V9I3.55051>.

10
11

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka dapat ditentukan tujuan penelitian

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Penilaian hakim terhadap saksi A De Charge dalam

putusan perkara Penganiyaan

2. Untuk mengetahui tata cara pemeriksaan saksi A De Charge dalam

putusan perkara Penganiyaan

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan pengetahuan di bidang hukum dan kajian bahan

mahasiswa, khususnya hukum pidana terkait Pertimbangan Hakim

dalam menilai Saksi A De Charge menjatuhkan putusan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

mahasiswa sebagai bahan pertimbangan dan penyuluhan tentang

Pertimbangan Hakim dalam menilai Saksi A De Charge untuk

menjatuhkan putusan perkara penganiyaan

E. Tinjauan Pustaka

1. Saksi A De Charge

a. Pengertian Saksi A De Charge

Saksi A De Charge (menguntungkan Terdakwa): Saksi A de

charge, adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh Penuntut

11
12

Umum atau terdakwa atau Penasihat hukum, yang sifatnya

meringankan terdakwa. Menurut Pasal 160 ayat (1) c KUHAP,

bahwa Hakim ketua sidang wajib mendengar saksi yang demikian,

baik yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang

diminta oleh terdakwa atau penasihat Hukum atau Penuntut

Umum, selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya

putusan. Saksi a de charge yang tercantum dalam surat pelimpahan

perkara pemanggilannya dilakukan oleh penuntut umum. Akan

tetapi saksi a de charge yang dimintakan oleh terdakwa atau

penasihat hukum, pemanggilannya dilakukan oleh terdakwa atau

penasihat hukum itu sendiri. Karena penuntut umum dan terdakwa

atau penasihat hukum dapat saling menghadapkan saksi. Hal ini

sering membawa kesulitan, dalam hal saksi a de charge tersebut

sedang berada dalam tahanan yang berwajib. Atau apabila saksi a

de charge tersebut telah dipanggil atau diundang oleh terdakwa

atau penasihat hukum dua kali berturut-turut secara patut, tetapi

tidak mengindahkannya. Apakah ada saksi hukum yang dapat

dikenakan terhadap saksi tersebut? Padahal menjadi saksi dalam

perkara pidana adalah menjadi kewajiban dari setiap orang, yang

artinya apabila saksi itu tidak mau hadir di muka pengadilan, maka

ia dapat dihadapkan ke persidangan secara paksa. (Pasal 159 ayat

(2) KUHAP).13

13
Ubwarin. E. (2015), Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melanggulagi
Kejahatan Skimming ATM, Jurnal Sasi, 21 (2), hal 17-20

12
13

b. Kedudukan Saksi A De Charge

Tersangka maupun terdakwa yang hadir dan dihadapkan

dimuka hukum sejak awal memiliki hak-hak yang telah diberikan

oleh Undang-Undang, salah satu hak yang dimiliki tersangka

adalah mengajukan saksi yang menguntungkan bagi dirinya. Jika

pada saat penyidikan tersangka menginginkan untuk didengarkan

saksi a de charge, maka penyidik wajib untuk mendatangkan saksi

a de charge tersebut dan mendengarkan kesaksian saksi a de

charge tersebut. Hal tersebut harus dicatat dalam berita acara.

Kehadiran saksi a de charge terbatas dari keinginan dari tersangka

untuk Di dengar kesaksiannya dan kehadirannya baik dalam

penyidikan.14 Jika tersangka dalam proses penyidikan tidak

menghendaki dengarnya keterangan saksi berkewajiban untuk

menghadirkan saksi a de charge. Saksi a de charge dalam proses

persidangan memiliki kedudukan yang sama dengan saksi a

charge. Keterangan dari saksi a de charge merupakan keterangan

yang menguntungkan terdakwa pada saat persidangan. Proses

persidangan di Pengadilan terdapat proses mendengarkan

keterangan kesaksian dari saksi a de charge, hal ini sejalan dengan

sistem pembuktian terbalik dalam Pengadilan. Keterangan dari

saksi a de charge dapatmembantu terdakwa untuk membuktikan

diribahwa bisa saja terdakwa tidak melakukan perbuatan yang

14
Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

13
14

didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap diri terdakwa.

Keterangan saksi a de charge juga dapat membantu untuk

mengungkapkan kebenaran. Kedudukan atau status kekuatan

pembuktian dari keterangan saksi a charge dan a de charge dalam

Pengadilan adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 184

KUHAP (1) yang menyatakan bahwa keterangan saksi merupakan

alat bukti. Pada Pasal ini tidak dijelaskan keterangan saksi yang

bagaimana baik saksi a charge maupun saksi a de charge termasuk

dalam keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1

KUHAP tersebut. Dalam hal mendengarkan keterangan saksi di

Pengadilan, keterangan saksi a charge didengarkan terlebih dahulu

lalu dilanjutkan dengan keterangan saksi a de charge, hal ini untuk

mencari kecocokan dari keterangan saksi tersebut.15

menjadi saksi merupakan salah satu kewajiban warga negara.

dimana jika dipanggil dengan sah dan patut untuk menjadi saksi

maka orang yang bersangkutan diwajibkan untuk hadir dan

memberikan kesaksian baik saksi a charge maupun saksi a de

charge. Saksi a de charge merupakan hak yang diberikan kepada

terdakwa, terdakwa dapat menghadirkan saksi a de charge dalam

persidangan Tipikor apabila terdakwa merasa bahwa saksi a de

charge tersebut dapat memberi keuntungan kepada terdakwa. Saksi

a de charge merupakan salah satu bagian yang penting dalam

proses pembuktian dalam Pengadilan umum, dikarenakan saksi a


15
Ibid

14
15

de charge dapat menyeimbangkan pembuktian yang telah

dihadirkan oleh JPU yang telah mendakwa terdakwa.16

c. Pengaruh Keterangan Saksi A De Charge Terhadap Putusan Hakim

Dalam Proses Pengadilan Tindak Pidana

Pada Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa: Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 183

KUHAP tersebut dapat terlihat sebelum menjatuhkan putusan,

hakim harus memperhatikan 2 (dua) aspek dalam menjatuhkan

putusan, yaitu:17

1) Aspek Yuridis Dalam aspek ini hakim dalam memutus perkara

harus didasarkan alat bukti. Dimana minimal alat bukti yang

sah adalah 2 (dua) alat bukti yang sah, alat bukti yang sah ini

telah diatur macamnya dalam Pasal 184 KUHAP. Jika alat

bukti yang sah kurang dari 2 (dua) maka hakim tidak dapat

memutuskan perkara tersebut, dalam KUHAP telah diatur

minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga jika alat bukti

yang sah kurang dari 2 (dua) maka hakim tidak dapat memutus

perkara tersebut. Kata sah dalam dua alat bukti yang sah juga
16
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal
184.
17
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kartawaringin, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara Pidana, Alfabeta, bandung, 2013, hal.
191.

15
16

dimaksudkan adalah dalam menghadirkan alat bukti dalam

persidangan, cara untuk mendapatkan alat bukti tersebut harus

sesuai dengan diatur dalam Undang-Undang hal ini sesuai

dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun

2009 Tentang Pengadilan Tipikor: Semua alat bukti yang

diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang

diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Aspek Non Yuridis Pada aspek ini hakim memutus perkara

dengan menggunakan hati nurani dan keyakinan hakim.

Keyakinan hakim ini tidak bisa sembarangan, keyakinan hakim

ini didapat dari keyakinan dalam pembuktian minimal 2 (dua)

alat bukti yang sah. Hakim dituntut untuk teliti dan cermat

dalam memutus perkara. Keyakinan dan hati nurani hakim

didorong dari pembuktian dalam persidangan. Hakim juga

memperhatikan dari sifat baik dan buruknya terdakwa pada saat

persidangan.18

Dalam persidangan tidak jarang terdakwa tidak menghadirkan

saksi a de charge dikarenakan banyak faktor yang

mempengaruhi. Namun dengan kehadiran saksi a de charge

pada persidangan tidak hanya menguntungkan terdakwa semata

namun juga dapat membantu hakim dalam menentukan fakta-

fakta hukum mengenai kasus dalam persidangan.


18
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

16
17

Keseimbangan antara beban pembuktian antara JPU dan

terdakwa dapat terjadi dengan didengarnya keterangan saksi a

de charge dalam persidangan. Kualifikasi saksi a de charge

ditentukan oleh terdakwa, namun mengenai keterangan

kesaksian saksi a de charge yang dapat mempengaruhi hakim

hanya dapat ditentukan oleh hakim dengan mencermati

kesesuaian antara keterangan saksi a de charge dan alat-alat

bukti lain dalam persidangan. Pengaruh saksi a de charge

kepada hakim ada 2 (dua) yaitu:

a) Hakim menerima keterangan dari saksi a de charge dan

mempertimbangkan keterangan dari saksi a de charge.

b) Hakim tidak sependapat dengan saksi a de charge dan tidak

mempertimbangkan keterangan saksi a de charge dalam

putusan Pengadilan.19

2. Penganiayaan

a. Pengertian Penganiayaan

Di bentuknya Kejahatan terhadap tubuh manusia bertujuan

untuk memberikan perlindungan kepentingan hukum atas tubuh

dari perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau luka,

bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat

menimbulkan kematian. Dalam KUHP, tindak pidana

penganiayaan diatur dalam Pasal 351 s/d Pasal 358 KUHP. Dalam

19
Sri Sutatiek, Menyoal Akuntabilitas Moral Hakim Pidana Dalam Memeriksa,
Mengadili dan Memutuskan Perkara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hal. 37.

17
18

pasal ini hanya mengatur mengenai kekerasan fisik sedangkan

kekerasan psikis tidak. Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan

terhadap tubuh ada dua macam, ialah:20

1) Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja.

Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai

penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II,

Pasal 351 s/d Pasal 358.

2) Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal

360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai

menyebabkan orang lain luka. Penganiayaan merupakan salah

satu bentuk kejahatan terhadap tubuh manusia. Penganiayaan

ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan

luka pada tubuh orang lain.21

Selain itu penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk

menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang

akibat mana sematamata merupakan tujuan si petindak. Suatu

perbuatan disebut penganiayaan apabila orang tersebut

mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk:22

a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain.

b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau

20
Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo
Perkasa, hlm 7
21
Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 132
22
Ibid, hlm.132

18
19

c. Merugikan kesehatan orang lain.

Menurut Simons, yang dimaksud dengan kesengajaan merugikan

kesehatan (orang lain) ialah:

Perbuatan menimbulkan penyakit atau membuat penyakit yang

diderita (orang lain) menjadi lebih berat. Dikatakannya lebih lanjut

bahwa tidak ada alasan untuk tidak memasukkan perbuatan

menyebabkan terganggunya keadaan psikis orang lain ke dalam

pengertiannya.23

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999,

tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dijelaskan bahwa

penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah: Setiap

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan

rasa sakit (pijn) atau penderitaan yang hebat atau jasmani maupun

rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau

keterangan dari seseorang atau orang ketiga, dengan

menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau

diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau

untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk

diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan ditimbulkan oleh,

atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun

dan atau pejabat publik.24

23
Ibid, hlm.141
24
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia

19
20

Menurut Yurisprudensi yang diartikan dengan penganiayayaan

(mishandeling) yaitu:25

a). Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan)

Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun kekali

sehingga basah atau menyuruh orang berdiri di bawah terik

matahari dan sebagainya.26

b). Rasa sakit (pijn) Rasa sakit misalnya menyubit, mendupak,

memukul, menempeleng dan sebagainya.27

c). Luka Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan

pisau dan lain-lain.28

d). Sengaja merusak kesehatan orang Merusak kesehatan orang

misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela

kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.29

F. Metode Penelitian

Metode secara harfiah berarti cara, metode diartikan sebagai suatu cara

atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. 30 Penelitian ini

memerlukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan penelitian

guna mendapatkan hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

25
R. Soesilo, Op.cit, hlm. 245
26
Ibid
27
Ibid
28
Ibid
29
Ibid
30
M. Sobry Sutikno, Belajar dan Pembelajaran, (Lombok: Holistica, 2013), hlm. 83.

20
21

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau

penelitian doktrinal.31 Penelitian ini disebut sebagai penelitian normatif karena

penelitian ini dilakukan pada peraturan perundang- undangan dan bahan- bahan

hukum yang tertulis.32

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian

doktrinal atau yuridis normatif. Penelitian yang mengacu pada norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang- undangan dan putusan Pengadilan serta

norma- norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini mendeskripsikan

secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai pertimbangan hakim dalam

menilai saksi A De Charge dalam putusan perkara penganiyaan.

2. Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

Data primer dan data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian hukum dapat dilihat sebagai data

yang merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung di dalam

masyarakat. Cara mendapatkan data tersebut dengan melakukan

wawancara secara langsung dengan orang yang mengalaminya.

b. Data Sekunder

31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 44.
32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
hlm. 13.

21
22

Data sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan

hukum dalam penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak

tertulis dari para ahli peneliti hukum, bahwa bahan hukum itu berupa

berbagai literatur yang dikelompokkan ke dalam:

1) Bahan Hukum Primer yang terdiri atas peraturan perundang

undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan lebih-lebih

bagi penelitian yang berupa studi kasus.

a) KUHP dan KUHAP.

b) Undang-Undang diluar KUHP dan KUHAP, seperti:

Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, dan Undang-Undang Dasar 1945.

2) Bahan Hukum Sekunder, Yaitu bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu

dapat berupa rancangan perundang-udangan, hasil penelitian,

buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar dan berita internet.

3) Bahan hukum tertier, juga merupakan bahan hukum yang dapat

menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedi, leksikon dan lain-

lain.

3. Lokasi Penelitian

Pada Penelitian ini penulis mengambil lokasi di Pengadilan Negri

Sleman yang menangani perkara Tindak Pidana Penganiayaan.

4. Narasumber

22
23

Narasumber merupakan seseorang yang memiliki Informasi tentang

objek studi. Yaitu para informan dalam penelitian ini berasal dari

wawancara langsung yang disebut narasumber. Di Penelitian ini

menentukan informan dengan menggunakan teknik yang

ditargetkan, yaitu dipilih dengan kriteria dan tujuan tertentu yang

benar-benar mendominasi objek yang dipelajari oleh para ilmuwan

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Suatu teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui atau

mempelajari tingkah laku tanpa kata-kata yaitu dengan teknik

observasi33. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan

ciri khusus dibandingkan dengan teknik lainnya. Pengamatan tidak

terbatas pada orang, tetapi juga pada benda-benda alam lainnya.

Melalui observasi, peneliti dapat belajar tentang perilaku dan

maknanya. Pada penelitian ini observasi dilakukan melalui observasi

langsung di lapangan untuk mengetahui kondisi riil di Pengadilan

Negeri Sleman.

b. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan

data penelitian. Wawancara adalah komunikasi dua arah untuk

memperoleh informasi dari informan yang relevan. Wawancara adalah

peristiwa atau proses interaktif antara pewawancara dan sumber

informasi atau orang yang diwawancarai melalui komunikasi langsung


33
Sugiyono (2018, hlm 229)

23
24

atau melalui pertanyaan langsung tentang subjek yang sedang

diselidiki34. Wawancara yang dipilih oleh peneliti adalah wawancara

bebas terbimbing. Wawancara bebas terbimbing adalah wawancara

yang dilakukan dengan pertanyaan bebas, namun tetap mengikuti

petunjuk wawancara yang telah disiapkan 35. Pertanyaan berkembang

selama wawancara. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan

informasi terkait penelitian.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah cara untuk memperoleh pengetahuan dan

informasi berupa buku, arsip, dokumen, gambar dan angka tertulis

dalam bentuk laporan dan data penunjang penelitian. Studi dokumenter

melengkapi penggunaan metode observasi atau wawancara dan lebih

dapat diandalkan atau kredibel bila didukung oleh foto atau tulisan

ilmiah yang ada. Namun tidak semua dokumen memilih kredibilitas

yang tinggi36. Misalnya, banyak foto tidak mewakili keadaan aslinya

karena gambar mungkin dibuat untuk tujuan tertentu.

6. Metode Analisis Data .

Analisis ini dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara

sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Analisis bahan

hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum

yang telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan

dalam penelitian ini. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif,


34
Yusuf (2014, hlm 372)
35
Arikunto (2016, hlm 199)
36
Sugiyono (2018, hlm 476)

24
25

dikarenakan bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada

kajian-kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-

konsep hukum, serta kaidah-kaidah hukum.37

G. Kerangka Penulisan Skripsi

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN MOTTO
HALAMAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan

E. Tinjauan Pustaka

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
2. Jenis Data
3. Narasumber
4. Teknik Pengumpulan Data
5. Teknik Pengambilan Sampel
6. Analisis Data
BAB II : ALAT BUKTI SAKSI A DE CHARGE

37
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1982), hlm. 22

25
26

A. Pengertian Saksi A De Charge

B. Fungsi Saksi A De Charge

C. Isi Saksi A De Charge

D. Jenis-Jenis Saksi A De Charge

E. Perkara hukum yang memerlukan Saksi A De Charge

BAB III : TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

B. Macam-Macam Tindak Pidana Penganiayaan

C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Seseorang Melakukan Tindak Pidana

Penganiayaan

D. Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana kekuatan saksi A DE CHARGE dalam pertimbangan hakim di

putusan perkara penganiyaan?

B. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai saksi A DE CHARGE di

sidang pengadilan putusan perkara penganiyaan?

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

26
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Alfitra. Hukum Pembuktian Tindak Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta:
Raih Asa Sukses, 2011.

Arto, Mukti Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004.

Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 2000.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.

Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh,
dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik Di Luar KUHP.


Jakarta: Kencana, 2016.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press,


1982.

Sutatiek, Sri. Menyoal Akuntabilitas Moral Hakim Pidana Dalam Memeriksa, Mengadili
dan Memutuskan Perkara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013.

Sutikno, M. Sobry. Belajar dan Pembelajaran. Lombok: Holistica, 2013.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra Negara Kartawaringin, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara Pidana, Bandung:
Alfabeta, 2013.

2. Jurnal Ilmiah

Bonai, Yafeth, ‘Penggunaan Saksi A De Charge Sebagai Hak Tersangka Pada Tahap
Penyidikan’. Universitas Hasanuddin Makassar, 2013.

Chaimansyah, Eky, ‘Hak Tersangka/Terdakwa Untuk Mengajukan Saksi a De Charge


(Saksi Meringankan) Dalam Proses Perkara Pidana’, Lex Crimen, 5.2 (2016), 3414
<https://www.neliti.com/id/publications/3414/>

Jeremiah Setiawan, Peter, dkk, ‘Pengaturan Kedudukan Keterangan Saksi Dalam Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Regulation on Witness Statements
Standing in Criminal Acts of Domestic Violence)’, Negara Hukum: Membangun
Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 13.2 (2022), 167–83
27
28

<https://doi.org/10.22212/JNH.V13I2.3247>

Kadek, I, Agus Irawan, Nyoman Sujana, and Ketut Sukadana, ‘Tindak Pidana
Penganiayaan Yang Mengakibatkan Matinya Seseorang (Studi Kasus Putusan
Nomor: 24/Pid.B/2013/PN.Sp)’, Jurnal Analogi Hukum, 1.3 (2019), 341–46
<https://doi.org/10.22225/AH.1.3.2019.341-346>

Kadek, I, Betit Pranata Suma, Wayan Rideng, and I Ketut Widia, ‘Sanksi Pidana Terhadap
Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Luka Berat’, Jurnal Analogi Hukum,
3.2 (2021), 225–29 <https://doi.org/10.22225/AH.3.2.2021.225-229>

Makartia, Okty Risa, ‘Perspektif Teoritis Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Pidana Di


Bawah Tuntutan Penuntut Umum Dalam Perkara Penganiayaan Berat’, Verstek, 4.2
(2019) <https://doi.org/10.20961/JV.V4I2.38389>

Mawarni, Laras Iga, ‘Keabsahan Alat Bukti Keterangan Saksi A De Charge Yang
Digunakan Hakim Untuk Memutus Perkara Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap
Anak (Studi Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN Png)’, Verstek, 9.3 (2021)
<https://doi.org/10.20961/JV.V9I3.55051>

Parlindungan, Toni, ‘Pemeriksaan Saksi Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Ius Contitum
Indonesia’, Jurnal Gagasan Hukum, 3.01 (2021), 45–58
<https://doi.org/10.31849/JGH.V3I01.7503>

Tompodung, Hiro R, dkk, ‘Kajian Yuridis Tindak Pidana Penganiayaan Yang


Mengakibatkan Kematian’, Lex Crimen, 10.4 (2021)
<https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/33400>

Ubwarin. E. (2015), Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Melanggulagi Kejahatan


Skimming ATM, Jurnal Sasi, 21 (2), hal 17-20

Wahyuni, Lisa, and Fatria Khairo, ‘Saksi A De Charge Dalam Persidangan Tindak Pidana
Korupsi’, Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum, 1.1 (2022), 29–40
<https://lexstricta.stihpada.ac.id/index.php/S2/article/view/4>

Zilvia, Rahmi, and Haryadi Haryadi, ‘Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Kasus Tindak
Pidana Penganiayaan’, PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1.1 (2020), 96–109
https://doi.org/10.22437/PAMPAS.V1I1.8271

3. Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara


Pidana.

28
1

Anda mungkin juga menyukai