PROPOSAL
Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1
Fakultas Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum
DISUSU OLEH:
NIM:
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………...……………...…..1
A. Latar Belakang………………….………………...…….…..…..1
B. Rumusan Masalah………………………………...…….…..…..5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………………..…….6
D. Metode Penelitian……………………………...……………….7
E. Sistematika Penelitian…………………………………………..9
ii
DAFTAR PUSTAKA…………………………..………………………….……43
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perkara pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur pada putusan pengadilan
saksi kategori de auditu tidak dapat dijadikan sebagai saksi yang sah sebagai
Dengan kata lain, testimonium de auditu merupakan testimoni yang sah secara
untuk memperoleh kepastian hukum dengan cara pemeriksaan dan penalaran yang
baik dari hakim: Pertama, mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan
ini terjadi.1 Sesuai dengan itu, sesuai dengan kedua basis tersebut, langka
1
yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengemukakan hal-hal tersebut dan
berpikir secara logis.2
justifiable.3 Khususnya terkait penggunaan alat bukti yang sah secara hukum.
Dalam konsepsi yang ideal, hakim dalam proses pembuktian pada proses sidang
berlangsung harus menggunakan alat bukti yang sah secara hukum, sah secara
hukum yang dimaksud yakni alat bukti yang diatur secara tegas dalam hukum
pidana.
ketentuan alat bukti yang sah secara hukum pidana diantaranya: (1) keterangan
saksi, (2) keterangan Ahli, (3) Surat, (4) Petunjuk, (5) keterangan Terdakwa.
Ketentuan terkait alat bukti pra tahun 2010 dibatasi secara limitatif
putusan MKRI pada Tahun 2010, alat bukti tidak hanya sebagaimana tampak
dalam Pasal 184 KUHP namun termasuk juga saksi kategori testimonium de
auditu.4 Adanya penambahan alat bukti tersebut, maka implikasi pada domain
praksis adalah keharusan bagi untuk patuh dan tunduk pada putusan MKRI a quo,
2
Ibid.
3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
273-274.
4
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010, 18
Agustus 2019, hlm. 88.
2
agar ada koherensi antara praktik dan hukumnya. Dengan perkataan lain, tidak
perempuan, maka sangat relevan. Sebab, tak jarang kasus pelecehan terhadap anak
tidak memiliki saksi yang kualifikatif sebagai ditentukan dalam KUHP, yakni
melihat, mendengar dan mengalami. Jika pun terdapat saksi yang kualifikatif
sebagai dimaksud dalam KUHP, maka itu cukup jarang. Padahal kejahatan
mencatat bahwa pada Tahun 2021 terdapat ribuan kasus pelecehan seksual
terhadap anak yakni 6.547.6 Secara global World Health Organisation (WHO)
mencatat bahwa terdapat sekitar 1 miliar anak di dunia yang mengalami kekerasan
meninggal dunia.7
Bertolak dari fakta tersebut, pada domain praksis, tidak selalu kasus
sidang pengadilan. Acap kali, karena keterbatasan alat bukti, hakim memutuskan
bahwa tidak ada alat bukti yang sah. Bahkan sekalipun terdapat saksi de auditu,
hakim tak jarang menolak keterangan saksi tersebut. Padahal keterangan saksi
3
Penjelasan sebagaimana tersebut di atas, tidak merupakan hipotesis belaka
melainkan suatu peristiwa yang nyata terjadi. Adapun peristiwa yang dimaksud
Para pihak yang berpekara adalah Johny Rompas (Terdakwa) dan Anggreini
Natalia Pudinaung (Korban). Adapun yang menjadi duduk perkara yakni dugaan
pelecehan seksual terhadap korban oleh terdakwa. Dalam kasus ini, baik korban
maupun terdakwa tidak memiliki alat bukti yakni saksi yang melihat, mendengar
dan mengalami. Alat bukti yang diajukan di pengadilan adalah saksi de auditu.
Dengan salah satu alasan itu, hakim kemudian menyatakan bahwa pelaku
tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap
“korban”. Padahal saksi dari pihak korban menerangkan bahwa setiap berangkat
ke sekolah dan pulang sekolah selalu di ojek terdakwa bahkan saksi juga
untuk keluar rumah padahal sudah pukul 19.00 WITA, bahkan saksi juga
korban tinggal sudah memiliki dugaan kuat bahwa terdakwa melakukan pelecehan
4
Jika dicermati secara sumir tentunya hal ini menabrak hukum. Sebab,
apalagi perkara yang sedang dihadapi adalah tentang percabulan anak perempuan,
yang secara substantif minim alat bukti dan sangat membutuhkan keterangan saksi
Dari uraian ringkas tentang isu hukum di atas, yang menjadi persoalan
krusial berkenaan dengan alat bukti testimonium de auditu ini adalah bagaimana
terhadap anak. Atas dasar itu tersebut, pada tulisan ini penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut dengan menjadikannya sebagai karya tulis dengan judul:
Pelecehan Seksual Terhadap Anak Studi kasus Putusan Nomor Putusan No.
96/Pid.Sus/2018/PN Amr”.
B. Rumusan Masalah
Untuk mem-breakdown isu hukum tersebut, maka dibawah ini diuraikan isu
5
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor
1. Tujuan penelitian
1.1. Menganalisis prinsip atau asas tentang nilai alat bukti kategori
anak.
anak belum sesuai dengan prinsip atau asas alat bukti kategori
Testimonium de Auditu.
2. Manfaat Penelitian
terhadap anak.
6
D. Metode Penelitian
keterangan saksi tidak relevan dengan isu yang sedang di bahas. Sebagai langka
untuk mengkaji putusan a quo, maka pendekatan yang akan digunakan oleh
pendekatan kasus.
2. Bahan Hukum
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2013, h. 60.
7
2.1. Bahan Hukum Primer
hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Nomor 4316); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3209) atau disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5076); Undang- Undang 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah
yang berupa buku teks (textbook), jurnal hukum, karya tulis dan makalah hukum
baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di luar negeri dan baik yang
8
berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing yang dimuat di media cetak, media
massa maupun media elektronik yang menyangkut dan berhubungan dengan materi
“Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana”. Selain itu pendapat para sarjana,
Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara
variabel judul11 dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-istilah yang berkorelasi
E. Sistematika Penelitian
dalam tujuan penelitian, maka penelitian ini akan terdiri dari empat bab dengan
Penelitian ini terdiri dari IV Bab, yakni Bab I berisi tentang latar belakang
dan tindak pidana kekerasan seksual anak. Bab III berisi uraian analisis penulis
atas isu hukum dalam tulisan ini, spesifik menguraikan putusan pengadilan yang
9
Terakhir, Bab IV berisikan kesimpulan dan saran dari penulis atas uraian diskusi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
10
Tindak pidana merupakan salah satu istilah yang sering dipergunakan untuk
merupakan salah satu sendi penting dari hukum pidana selain kesalahan, dan
undangan pidana sebagai perbuatan yang dilarang. Perbuatan ini bila dilakukan
dengan kesalahan maka orang yang melakukan perbuatan dapat dikenakan sanksi
pidana.12
12
I Ketut Mertha, I Gusti Ketut Ariawan, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dkk, Buku Ajar
Hukum Pidana, Denpasar, 2016, h. 64.
13
Ada empat ahli yang sepakat dalam menggunakan istilah “tindak pidana”, yaitu:
Satochid, Wirjono Prodjodikoro, Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni AHAEM-PETAHAEM, Jakarta, 1989, h. 208. Lihat juga Sudarto, Hukum
Pidana Jilit 1A, Bagian Penerbitan dan Biro Perpustakaan dan Penerbitan Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya, Malang, 1974, h. 42. Dan lihat juga Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUUKUHP) 2012, h. 5.
14
Ada satu ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Utrecht. Baca Utrecht, Hukum Pidana
1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya, 1994, h. 251.
15
Ada dua ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Karni dan H. J. Van Scravandijk. Baca
Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …Op.Cit., h.
206. Baca juga H. J. Van Scravandijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B.
Walters, Djakarta-Groningen, 1956, h. 87.
16
Ada dua ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Roeslan Saleh dan Muljatno. Baca
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983,
h. 13. Baca juga Muljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h. 54.
17
Untuk istilah yang ini, hanya satu orang ahli hukum saja yang menggunakannya, yaitu
Tirtaamidjaja. Baca Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
Sofmedia, Jakarta, 2012, h. 118.
18
Yang menggunakan istilah ini adalah Andi Hamzah, Oemar Senoadji, dan Andi Zainal
Abidin. Baca Andi Hamza, Ibid dan Ibid, h. 119. Baca juga Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum
Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, h. 246.
11
Pertama: Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
digunakan istilah “peristiwa pidana”. Kedua: Pasal 5 ayat (3b) Undang-
Undang No.1/drt/1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekausaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil, digunakan istilah “perbuatan pidana”. Ketiga: Undang-
Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie
Ttijdelijke Bijzondere Straf Bepalingan Saatbland Tahun 1958 Nomor 17,
digunakan istilah “perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum”. Keempat:
Undang-Undang Nomor 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, digunakan istilah: “hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”. Kelima: Undang-
Undang Nomor 7/Drt/1953 tentang Pemilihan Umum, digunakan istilah:
“Tindak Pidana”. Keenam: Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, digunakan
istilah: “tindak pidana”. Ketujuh: Undang-Undang Nomor 8 Tahu 1981
tentang KUHAP, digunakan istilah: “tindak pidana”. Dan kedelapan:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, digunakan istilah: “tindak pidana”.
Dari enam istilah tersebut, istilah yang secara resmi digunakan adalah baik dalam
“tindak pidana”.
unsur tindak pidana yang terdiri atas dua aliran yaitu aliran monistis dan dualistis.
Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi
rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambil dari batasan tindak pidana
adalah:20
19
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, P.T Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 79.
20
Ibid
12
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan
c. Ancaman Pidana (bagi yang melanggar hukum). Perbuatan manusia
saja boleh dilarang, oleh aturan hukum.
pada perbuatan itu, tapi tidak dapat dipisahkan dengan orangnya. Ancaman
(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam
pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah orang
yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang
pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti
diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian
dijatuhi pidana.
itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada
21
Ibid., hlm. 80.
13
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak
a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana; dan
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham
dualistis tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah
dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa
memang tampak berbeda. Ada dua rumusan yang dikemukakan oleh para ahli
penganut paham monistis, yaitu Jonkers dan Schravendijk. Dari batasan yang
dibuat Jonkers (penganut paham monistis) dapat dirinci unsur-unur tindak pidana
yaitu:23
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan
d. Dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang
14
Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun
monistis merupakan suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana
harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan
pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan
dalam tindak pidana hanya mencakup criminal act dan criminal responsibility
tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan sebuah
dikemukakan oleh para ahli, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan
tentang perihal apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana, sebagai berikut:
2513
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-
Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 38.
26
Ibid., hlm. 40.
15
Pertama, ada perbuatan, artinya perbuatan tersebut mencocoki rumusan
sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum terbagi atas dua macam, yaitu sifat
Ketiga, tidak ada alasan pembenar, alasan pembenar adalah alasan yang
tersebut dianggap patut dan dibenarkan. Alasan pembenar terdiri atas daya paksa
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.27
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), hal. 1.
16
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat
penderitaan khusus.28
perasaan korban dan keluarganya. Dari dimensi demikian maka menurut Muladi
pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu
mencakup pengertian:30
17
d. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan ataudioperasionalkan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan
memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak
lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
pencegahan (deterrence).31
Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien). dasar pijakan dari teori
ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa
31
Ibid, hal.10
32
Ibid. hal.16
18
pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat
tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan
berpendapat bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa
melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga
Dari teori tersebut, Nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan
etika, apabila seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum, dan hukuman
itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah
Selanjutnya adalah teori relatif atau teori tujuan (Doel Theorien). Dasar
membuat pelaku tidak berbahaya lagi. Dan yang terakhir adalah teori gabungan
atau teori modern (vereningings Theorien). Teori gabungan adalah kombinasi dari
teori absolute dan teori relative, teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu
Prins, Van Hamel, dan Van List dengan pandangan sebagai berikut :34
19
c. Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan.
a. Pidana Pokok :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
b. Pidana tambahan :
Pidana mati adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan
(Pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 ayat 4 KUHP),
berupa hukuman penjara atau kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari
dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum
20
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringan antara
lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP yaitu
lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu
tahun.
yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen,
diatur dalam Pasal 30 KUHP. Pidana denda tersebut dapat dibayar oleh siapa saja,
terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
(a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (b) Hak
memasuki angkatan bersenjata; (c) Hak memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (d) Hak menjadi
penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke
bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (e) Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri; (f) Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam
putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah
21
barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk
melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi:
dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si
B. Pertanggungjawaban Pidana
dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 35
berikut.
35
Ibid, hlm. 73.
22
ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain
berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
bertanggungjawab mencakup:36
1. Keadaan jiwanya:
2. Kesalahan
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum
positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang artinya,
atasnya.37
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau
dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:
36
Ibid, hlm. 76.
37
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, h. 227.
23
2.1. Kesengajaan (opzet)
Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet)
itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku
akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak
bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delik tetapi ia tahu benar bahwa akibat
mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-
undang.42
38
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 226.
39
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan),
Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 9.
40
Teguh Prasetyo, Op.cit. hlm. 98.
41
Amir Ilyas, Op.Cit. hlm. 80
42
Leden Marpaung, Op.cit., h. 18.
24
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-
hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan
kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan pemaaf
terdiri atas daya paksa relatif, Pasal 48 KUHP, pembelaan terpaksa melampaui
batas (noodweer exces), Pasal 49 ayat (2) KUHP, dan menjalankan perintah
jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah, Pasal 51 ayat (2)
KUHP
dijelaskan hal-hal yang fundamental terkait suatu pembuktian. Ada empat hal terkait
konsep pembuktian itu sendiri: pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan
43
Ibid. h. 26.
44
Ibid.
25
sengketa atau perkara yang sedang diproses. Artinya, bukti tersebut berkaitan
dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran suatu peristiwa. Mengenai
"Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that
is must relate to some fact which is proper object of the proof in the
proceedings. The evidence must be relate the fact to be proved in the sense
that it tends to make the existence (or non-existence) of the fact more
probable, or less probable, that it would be without evidence.....45
Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu
bukti yang diterima dengan sendirinya relevan. Sebaliknya, suatu bukti yang tidak
relevan, tidak akan dapat diterima. Kendatipun demikian, dapat saja suatu bukti
relevan, tetapi tidak dapat diterima. Misalnya adalah testimoni de auditu atau
hearsay, yakni mendengar kesaksian dari orang lain. Tegasnya, suatu bukti yang
dapat diterima pasti relevan, namun tidak sebaliknya, suatu bukti yang relevan
belum tentu dapat diterima. Dengan kata lain, primafacie dari bukti yang diterima
Ketiga, hal yang disebut sebagai exclusionary rules. Dalam beberapa literatur
diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Tegasnya, peraturan yang
mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima di
pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatu bukti relevan
dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat
26
Exclusionary rule membolehkan seorang terdakwa mencegah penuntut umum
mengajukan bukti di pengadilan sebagai bukti yang dapat diterima karena diperoleh
secara inkonstitusional. Exclusionary rule juga dapat menolak bukti probatif dengan
Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat
diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita
setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu
dengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai
demikian pula derivative evidence adalah bukti yang inadmissible atau tidak dapat di
48
Ibid.,
49
Ibid., hlm. 12.
50
Ibid., hlm. 12.
27
Pembuktian (bewijzen) merupakan titik sentral dari hukum acara pidana. Van
pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan
memeriksa dan penalaran dari hakim: (1) mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau
perbuatan tersebut sungguh pernah terjadi. Dan (2) mengenai pertanyaan mengapa peristiwa
ini terjadi. Sesuai dengan kedua kriteria tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan
yakni:
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutus perkara.
Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian yang konkrit, bukan sesuatu yang
abstrak. Dengan adanya pembuktian, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan
terletak pada masa yang lampau, maka diperlukan alat-alat pembantu untuk dapat
yang dalam hal ini dapat diambil dari orang-orang yang melihat, mendengar atau
51
Suryono Sutarto, Op. Cit., hlm. 36.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 36-37.
28
untuk membantu hakim dalam menggambarkan atau melukiskan kembali tentang
Pembuktian menurut Yahya, juga dapat diartikan sebagai suatu penegasan tentang
Undang secara negatif (negatief wettelijk), karena mengacu pada Pasal 183 KUHAP
yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
keyakinan, suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa-lah yang
bersalah melakukannya.”
hukum acara pidana terdapat beberapa teori atau ajaran yang berkaitan dengan
54
Ibid., hlm. 41.
55
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
273-274.
29
alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan
alasan-alasan yang logis yang menjadi dasar keyakinannya dalam
menentukan kesalahan Terdakwa. Ketiga, Pembuktian Menurut Undang-
Undang Secara Positif. Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk
menentukan kesalahan Terdakwa semata-mata didasarkan pada alat-alat
bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang. Keempat,
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
Stelsel). Dalam sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah tidaknya
Terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.56
memperoleh keyakinan hakim diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan Terdakwa.
30
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail, telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Lebih lanjut, ketentuan dalam Pada pasal 1 ayat (4) menentukan bahwa:
putusan, alat bukti harus digunakan sejak tahap awal dalam proses perkara. Selama
proses penyidikan, alat bukti digunakan mulai dalam tahap awal proses penanganan
perkara. Dalam tahap penuntutan, penuntut umum harus menggunakan alat bukti
bukti diperlukan untuk memperoleh keyakinan hakim atas bersalah atau tidaknya
Terdakwa.
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa pendapat maupun
rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi.
Penjelasan dari Pasal 185 ayat (5) KUHAP tersebut menyebutkan bahwa dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
testimonium de auditu.
31
Dengan demikian diatur secara tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh
dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum
acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil dan untuk perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia bahwa keterangan seorang saksi yang hanya
mendengar dari orang lain tidak dapat dijamin kebenarannya. Namun demikian
untuk menjamin hak-hak tersangka maka dalam hukum acara pidana terdapat saksi
yang menguntungkan tersangka atau disebut juga dengan saksi a de charge. Menurut
sifat dan eksistensinya, keterangan saksi a de charge yaitu keterangan saksi dengan
Saksi
Secara leksikal, kata “saksi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).
Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian
tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan
Terdakwa. keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat
atau mengetahui, bukti kebenaran. Orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
32
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “saksi adalah orang yang dapat
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
Perlindungan saksi dan Korban, serta Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002
tentang tata cara perlindungan terhadap Korban dan saksi dalam Pelanggaran HAM
Berat, “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
KUHAP), merumuskan pengertian saksi yaitu saksi adalah orang yang dapat
di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami
sendiri, atau didengar sendiri. Macam-macam saksi yang dijabarkan secara singkat
a) Saksi a charge
59
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm. 139.
33
saksi-saksi yang memberatkan Terdakwa tersebut, yang tercantum
b) Saksi a de charge
c) Saksi Korban
menjadi saksi”. Hal ini dilakukan agar tindak pidana yang terjadi
34
langsung mengalami tindak pidana tersebut, dan penting
sebagai berikut:61
60
Marjanne Termorshuizen dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur, Hilly Djohani-Lapian,
Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 202.
61
Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 107.
62
Andi Hamzah, op. cit., hlm. 270.
35
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
tersangka/Terdakwa.
f) Saksi Verbalisan
oleh penyidik. Dalam hal ini, alasan yang paling sering dipergunakan
36
yaitu Terdakwa ketika diperiksa dalam penyidikan ditekan atau
ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh saksi. Artinya, agar
keterangan seorang saksi dianggap sebagai alat bukti yang sah, pada prinsipnya
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sesuai
pasal 185 ayat (1) KUHAP maka saksi harus hadir dalam persidangan.
saksi di depan penyidik hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara
dalam sidang. Namun sebagai pengecualian Pasal 185 ayat (1) KUHAP, saksi
dimungkinkan untuk tidak hadir di depan persidangan hal ini untuk saksi yang
sudah diperiksa dalam tahap penyidikan, karena alasan-alasan tertentu tidak dapat
adalah sama dengan keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, yaitu: (1)
64
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hlm. 66.
65
Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 46.
37
Sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti. (2) Dapat dipergunakan untuk
alat bukti sepanjang mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya,
dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.
sebelumnya (dalam penyidikan) telah diberikan di bawah sumpah atau janji maka
nilainya sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diberikan dalam
sidang pengadilan.
Pasal 160 ayat (3) KUHAP karena dengan adanya sumpah atau janji sebelum
untuk berkata benar.66 Namun jika Hakim menganggap perlu dimungkinkan saksi
Saksi Menerangkan Apa Yang Ia Lihat, Apa Yang Ia Dengar Dan Apa Yang
sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian ialah keterangan saksi
yang saksi dengar sendiri, saksi lihat sendiri, dan saksi alami sendiri, dan dari
keterangannya itu saksi harus dapat menyebut alasan dari pengetahuannya sesuai
38
Pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi sesuai Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Sehingga setiap
keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri, di luar apa yang dilihat
sendiri atau di luar apa yang dialaminya sendiri dalam peristiwa pidana tidak
dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti, begitu pula dengan keterangan saksi
yang diperoleh dari orang lain atau yang disebut dengan testimonium de auditu
Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena
itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP yaitu 2
(dua) alat bukti dan keyakinan Hakim. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan
seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan Terdakwa, atau unus testis nullus testis. Jika alat bukti
dari penuntut umum jika hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah
dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian seorang
saksi saja tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
jelasnya, tetapi Terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak
ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian seorang saksi saja harus
dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis
nullus testis.
menjadi alat bukti yang sah dan terhadapnya melekat nilai kekuatan pembuktian.
Pada dasarnya, penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
39
adalah bebas, artinya seorang hakim bebas untuk menilai atau mengesampingkan
terdapat tipe-tipe perkosaan dalam kepustakaan saat ini, yaitu sadistic rape,anger
rape, domination rape, seduction – turned into- rape, exploitasion rape, forcible
rape dan statutory rape. Sedangkan yang biasa digunakan dalam perundang-
Dalam tipe sadistic rape seksualitas dan agresi bercampur menjadi suatu rasa
dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan dan ini ditandai dengan
kebrutalan secara fisik. Sementara dalam Domination rape motif dari pemerkosaan
“coitus”. Sedangkan tipe terakhir yaitu exploitation rape merujuk pada suatu tipe di
wanita tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena
67
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill Co, Jakarta, 1997, hlm. 22.
68
Ibid, h. 22.
40
Dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan dalam bab ini
ialah kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Bab ke-XIV dari buku II KUHP, yang
di dalam Wetboek van Strafrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden69.
69
P. A. F. Lamintang, SH, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggat
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, cet. 1 Bandung: Penerbit Mandar Maju,
1990, hlm. 1.
41
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni,
Bandung, 1987.
…………………..., Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, P.T Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
Sofmedia, Jakarta, 2012.
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012.
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998.
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012.
I Ketut Mertha, I Gusti Ketut Ariawan, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dkk, Buku
Ajar Hukum Pidana, Denpasar, 2016.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUUKUHP)
2012.
42
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat dan
Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan
Penyelidikan), Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media,
Bandung, 2017.
Muljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Marjanne Termorshuizen dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur, Hilly Djohani-
Lapian, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2005.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
P.AF. Lumintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988.
…………………
, SH, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggat
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, cet. 1 Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 1990.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2013.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara
Baru, Jakarta, 1983
Sudarto, Hukum Pidana Jilit 1A, Bagian Penerbitan dan Biro Perpustakaan dan
Penerbitan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Brawijaya, Malang, 1974.
………., Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.
Satochid, Wirjono Prodjodikoro, Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana
di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETAHAEM, Jakarta,
1989.
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
1991.
43
Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 2003
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill Co, Jakarta, 1997.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011.
Utrecht, Hukum Pidana 1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya, 1994.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan
Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
atau disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
(Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5076);
Undang- Undang 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010, 18
Agustus 2019.
44
Putusan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr, 18 Maret 2019.
Internet
Antara, WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan Setiap Tahunnya,
di Kutip dari: WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan
Setiap Tahunnya (bisnis.com), pada hari selasa, 26 Juli 2022 Pukul 24.00
WITA.
Vitoria Mantalean, Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Anak
Sepanjang 2021, Dikutip dari: Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus
Kekerasan Seksual terhadap Anak Sepanjang 2021 Halaman all -
Kompas.com, pada hari Selasa, 26 Juli 2022, Pukul 23.55 WITA.
45