Anda di halaman 1dari 48

KEKUATAN ALAT BUKTI KATEGORI TESTIMONIUM DE

AUDITU DALAM KASUS PELECEHAN SEKSUAL


TERHADAP ANAK
(STUDI KASUS: PUTUSAN NO. 96/PID.SUS/2018/PN AMR)

PROPOSAL

Diajukan Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1
Fakultas Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum

DISUSU OLEH:

NIM:

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS HUKUM
MANADO
2023

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………...……………...…..1
A. Latar Belakang………………….………………...…….…..…..1
B. Rumusan Masalah………………………………...…….…..…..5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………………..…….6
D. Metode Penelitian……………………………...……………….7
E. Sistematika Penelitian…………………………………………..9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………….….………………….…11


A. Tindak Pidana…………………………...…..……………….11
1. Pengertian Tindak Pidana……..…………..…………….11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………….13
3. Pidana dan Pemidanaan…………………………………17
4. Jenis-Jenis Pidana……………………………………….20
B. Pertanggungjawaban Pidana……………………...………...23
1. Mampu
Bertanggungjawab……………………………...23
2. Kesalahan…………………………...…………………..24
C. Teori Relevansi Alat Bukti…………………………….…..…
26
D. Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana……………..
….28
1. Teori Sistem Pembuktian……………………...
………...28
2. Alat-Alat Bukti Dalam Perkara
Pidana……………….....31
3. Pengertian, Macam-Macam dan Pengecualian Menjadi
Saksi………………………………………………….…33
4. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi……………….38
E. Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap
Anak……….40

ii
DAFTAR PUSTAKA…………………………..………………………….……43

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulisan ini hendak mengkaji praktik penggunaan saksi de auditu dalam

perkara pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur pada putusan pengadilan

negeri Amurang Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr. Dimana dalam putusan

pengadilan negeri Amurang tersebut hakim secara afirmatif menegaskan bahwa

saksi kategori de auditu tidak dapat dijadikan sebagai saksi yang sah sebagai

instrumen memperkuat persangkaan. Tindakan hakim ini tentunya menuai

kontroversi, sebab Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam

putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 dengan tegas menyatakan bahwa saksi de

auditu dibenarkan sebagai saksi untuk memperkuat persangkaan atau dugaan.

Dengan kata lain, testimonium de auditu merupakan testimoni yang sah secara

hukum dan tidak boleh dikesampingkan.

Berdasarkan doktrin sistem pembuktian, pembuktian merupakan usaha

untuk memperoleh kepastian hukum dengan cara pemeriksaan dan penalaran yang

baik dari hakim: Pertama, mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan

tersebut sungguh pernah terjadi. Kedua, mengenai pertanyaan mengapa peristiwa

ini terjadi.1 Sesuai dengan itu, sesuai dengan kedua basis tersebut, langka

selanjutnya yang harus dilakukan adalah:

Pertama, menunjukkan peristiwa-peristiwa mana yang dapat diterima oleh


pancaindera. Kedua, memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa
yang telah diterima tersebut. Ketiga, menggunakan pikiran logis. Dengan
demikian pengertian membuktikan sesuatu adalah menunjukkan hal-hal
1
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991.
hlm. 36.

1
yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengemukakan hal-hal tersebut dan
berpikir secara logis.2

Pembuktian harus berisi ketentuan-ketentuan yang dapat dibenarkan

menurut hukum pembuktian, sehingga dalam memberikan putusan-nya, hakim

dapat dengan benar mendiagnosa kasus dan memberikan judgment yang

justifiable.3 Khususnya terkait penggunaan alat bukti yang sah secara hukum.

Dalam konsepsi yang ideal, hakim dalam proses pembuktian pada proses sidang

berlangsung harus menggunakan alat bukti yang sah secara hukum, sah secara

hukum yang dimaksud yakni alat bukti yang diatur secara tegas dalam hukum

pidana.

Di Indonesia, dalam proses penyelesaian persoalan tindak pidana, sudah

ditegaskan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 184 KUHP mengakomodir

ketentuan alat bukti yang sah secara hukum pidana diantaranya: (1) keterangan

saksi, (2) keterangan Ahli, (3) Surat, (4) Petunjuk, (5) keterangan Terdakwa.

Ketentuan terkait alat bukti pra tahun 2010 dibatasi secara limitatif

sebagaimana tampak dalam ketentuan a quo, namun dalam perkembangan, pasca

putusan MKRI pada Tahun 2010, alat bukti tidak hanya sebagaimana tampak

dalam Pasal 184 KUHP namun termasuk juga saksi kategori testimonium de

auditu.4 Adanya penambahan alat bukti tersebut, maka implikasi pada domain

praksis adalah keharusan bagi untuk patuh dan tunduk pada putusan MKRI a quo,

2
Ibid.
3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
273-274.
4
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010, 18
Agustus 2019, hlm. 88.

2
agar ada koherensi antara praktik dan hukumnya. Dengan perkataan lain, tidak

terjadi contradiction in’terminis antara legal substantive dan legal structural.5

Berkenaan dengan alat bukti saksi kategori testimonium de auditu, jika

dihubungkan dengan kasus pelecehan seksual khususnya terhadap anak

perempuan, maka sangat relevan. Sebab, tak jarang kasus pelecehan terhadap anak

tidak memiliki saksi yang kualifikatif sebagai ditentukan dalam KUHP, yakni

melihat, mendengar dan mengalami. Jika pun terdapat saksi yang kualifikatif

sebagai dimaksud dalam KUHP, maka itu cukup jarang. Padahal kejahatan

tersebut, sering terjadi kepada anak perempuan di Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A)

mencatat bahwa pada Tahun 2021 terdapat ribuan kasus pelecehan seksual

terhadap anak yakni 6.547.6 Secara global World Health Organisation (WHO)

mencatat bahwa terdapat sekitar 1 miliar anak di dunia yang mengalami kekerasan

fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, cedera, menjadi disabilities, dan

meninggal dunia.7

Bertolak dari fakta tersebut, pada domain praksis, tidak selalu kasus

pelecehan seksual terhadap anak dapat dibuktikan dalam proses pembuktian di

sidang pengadilan. Acap kali, karena keterbatasan alat bukti, hakim memutuskan

bahwa tidak ada alat bukti yang sah. Bahkan sekalipun terdapat saksi de auditu,

hakim tak jarang menolak keterangan saksi tersebut. Padahal keterangan saksi

tersebut, bisa menjadi penguat dugaan atau persangkaan.


5
Baca Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media,
Bandung, 2017, hlm. 14-18.
6
Vitoria Mantalean, Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Anak Sepanjang
2021, Dikutip dari: Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak
Sepanjang 2021 Halaman all - Kompas.com, pada hari Selasa, 26 Juli 2022, Pukul 23.55 WITA.
7
Antara, WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan Setiap Tahunnya, di
Kutip dari: WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan Setiap Tahunnya
(bisnis.com), pada hari selasa, 26 Juli 2022 Pukul 24.00 WITA.

3
Penjelasan sebagaimana tersebut di atas, tidak merupakan hipotesis belaka

melainkan suatu peristiwa yang nyata terjadi. Adapun peristiwa yang dimaksud

penulis tergambar dalam putusan pengadilan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr.

Para pihak yang berpekara adalah Johny Rompas (Terdakwa) dan Anggreini

Natalia Pudinaung (Korban). Adapun yang menjadi duduk perkara yakni dugaan

pelecehan seksual terhadap korban oleh terdakwa. Dalam kasus ini, baik korban

maupun terdakwa tidak memiliki alat bukti yakni saksi yang melihat, mendengar

dan mengalami. Alat bukti yang diajukan di pengadilan adalah saksi de auditu.

Dalam penanganan kasus hakim dalam pertimbangan hukumnya

mengesampingkan atau tidak menjadikan keterangan dari saksi de auditu sebagai

dasar pertimbangan yang sah dengan alasan bahwa tidak relevan:

mengenai keterangan para saksi, yang menerangkan beberapa kali melihat


terdakwa membonceng anak korban tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk
adalah perbuatan masuknya alat kelamin terdakwa ke dalam alat kelamin
anak korban ataupun perbuatan yang berkaitan dengan mencium, mengisap
payudara, meraba-raba alat kelamin atau memegang alat kelamin karena
pekerjaan dari terdakwa adalah tukang ojek.8

Dengan salah satu alasan itu, hakim kemudian menyatakan bahwa pelaku

tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap

“korban”. Padahal saksi dari pihak korban menerangkan bahwa setiap berangkat

ke sekolah dan pulang sekolah selalu di ojek terdakwa bahkan saksi juga

menerangkan bahwa pernah saksi menyaksikan bahwa terdakwa mengajak korban

untuk keluar rumah padahal sudah pukul 19.00 WITA, bahkan saksi juga

menerangkan bahwa banyak orang di sekitar lingkungan dimana terdakwa dan

korban tinggal sudah memiliki dugaan kuat bahwa terdakwa melakukan pelecehan

seksual terhadap korban.9


8
Putusan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr, 18 Maret 2019, hlm. 59-60.
9
Ibid, h. 28-33.

4
Jika dicermati secara sumir tentunya hal ini menabrak hukum. Sebab,

hukumnya sudah jelas, bahwa keterangan saksi kategori testimonium de auditu

wajib menjadi bahan pertimbangan bagi hakim dalam penyelesaian perkara,

apalagi perkara yang sedang dihadapi adalah tentang percabulan anak perempuan,

yang secara substantif minim alat bukti dan sangat membutuhkan keterangan saksi

kategori testimonium de auditu.

Dari uraian ringkas tentang isu hukum di atas, yang menjadi persoalan

krusial berkenaan dengan alat bukti testimonium de auditu ini adalah bagaimana

kekuatan pembuktiannya di dalam persidangan dalam kasus pelecehan seksual

terhadap anak. Atas dasar itu tersebut, pada tulisan ini penulis tertarik untuk

mengkaji lebih lanjut dengan menjadikannya sebagai karya tulis dengan judul:

“Kekuatan Alat Bukti Kategori Testimonium de Auditu Dalam Kasus

Pelecehan Seksual Terhadap Anak Studi kasus Putusan Nomor Putusan No.

96/Pid.Sus/2018/PN Amr”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana sudah penulis uraikan di atas, yang

menjadi rumusan masalah adalah: bagaimana kekuatan alat bukti kategori

testimonium de Auditu dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak dalam

putusan pengadilan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr?

Untuk mem-breakdown isu hukum tersebut, maka dibawah ini diuraikan isu

yang akan dijawab di bagian pembahasan, yakni:

1. Bagaimana hukum tentang alat bukti kategori testimonium de auditu?

5
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor

96/Pid.Sus/2018/PN Amr tentang pelecehan seksual terhadap anak,

sudah sesuai dengan asas testimonium de auditu?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

1.1. Menganalisis prinsip atau asas tentang nilai alat bukti kategori

testimonium de auditu dalam kasus pelecehan seksual terhadap

anak.

1.2. Mengargumentasikan bahwa putusan Nomor

96/Pid.Sus/2018/PN Amr tentang pelecehan seksual terhadap

anak belum sesuai dengan prinsip atau asas alat bukti kategori

Testimonium de Auditu.

2. Manfaat Penelitian

2.1. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam bidang hukum pidana khususnya

ketika memahami konsep kekuatan alat bukti kategori

Testimonium de Auditu dalam perkara pelecehan seksual

terhadap anak.

2.2. Secara praksis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran terkait alat bukti kategori testimonium de

auditu khusus dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak.

Dimana tak jarang tidak memiliki saksi yang melihat,

mendengar dan mengalami langsung.

6
D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.10 Penelitian hukum

yang dimaksud ditujukan untuk mengkaji putusan pengadilan Nomor

96/Pid.Sus/2018/PN Amr tentang pelecehan seksual terhadap anak yang secara

substantif tidak menggunakan saksi kategori de auditu dengan alasan bahwa

keterangan saksi tidak relevan dengan isu yang sedang di bahas. Sebagai langka

untuk mengkaji putusan a quo, maka pendekatan yang akan digunakan oleh

penulis adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan

pendekatan kasus.

Pendekatan perundang-undangan sangat dibutuhkan oleh penulis. Sebab,

sebagai secara substantif instrumen justifikasi dari penggunaan saksi de auditu

putusan pengadilan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr adalah peraturan perundang-

undangan dan putusan MKRI. Selanjutnya pendekatan konseptual digunakan

sebagai sarana untuk justifikasi pemahaman konsep testimonium de auditu. Hal

sebagai upaya memperjelas makna dari saksi kategori de auditu. Sedangkan

pendekatan kasus digunakan sebagai instrumen untuk membandingkan kasus-

kasus yang serupa dengan putusan pengadilan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr

dalam rangka memperkuat argumentasi penulis.

2. Bahan Hukum
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2013, h. 60.

7
2.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan

hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga

dan Perubahan Keempat); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4316); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3209) atau disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP); Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

(Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor

5076); Undang- Undang 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 65/PUU-VIII/2010; Putusan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr

2.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah

yang berupa buku teks (textbook), jurnal hukum, karya tulis dan makalah hukum

baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di luar negeri dan baik yang

8
berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing yang dimuat di media cetak, media

massa maupun media elektronik yang menyangkut dan berhubungan dengan materi

“Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana”. Selain itu pendapat para sarjana,

kasus-kasus hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

2.3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara

gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait dengan komponen

variabel judul11 dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-istilah yang berkorelasi

dengan “syarat pembuktian”, dan lain-lain.

E. Sistematika Penelitian

Sesuai dengan hasil breakdown dari argumen penelitian yang dinyatakan

dalam tujuan penelitian, maka penelitian ini akan terdiri dari empat bab dengan

penjelasan masing-masing konten dalam bab sebagai berikut:

Penelitian ini terdiri dari IV Bab, yakni Bab I berisi tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori,

dan metode penelitian. Selanjutnya, Bab II membicarakan tentang isu pembuktian

dan tindak pidana kekerasan seksual anak. Bab III berisi uraian analisis penulis

atas isu hukum dalam tulisan ini, spesifik menguraikan putusan pengadilan yang

menjadi obyek kajian serta memberikan anotasi terhadap putusan tersebut.


11
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm, 295-296.

9
Terakhir, Bab IV berisikan kesimpulan dan saran dari penulis atas uraian diskusi

dari Bab II hingga Bab III.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

10
Tindak pidana merupakan salah satu istilah yang sering dipergunakan untuk

menerjemahkan istilah strafbaarfeit yang adalah bahasa Belanda. Tindak pidana

merupakan salah satu sendi penting dari hukum pidana selain kesalahan, dan

pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-

undangan pidana sebagai perbuatan yang dilarang. Perbuatan ini bila dilakukan

dengan kesalahan maka orang yang melakukan perbuatan dapat dikenakan sanksi

pidana.12

Pada dasarnya, terkait istilah strafbaarfeit dikalangan para ahli hukum

pidana Indonesia diterjemahkan secara beragam dengan landasan argumentasinya

masing-masing. Ada yang menerjemahkan tindak pidana,13 peristiwa pidana,14

perbuatan yang dapat dihukum,15 perbuatan pidana,16 pelanggaran pidana,17 dan

delik.18 Bahkan di beberapa peraturan perundang-undangan dipergunakan istilah

yang tidak sama:

12
I Ketut Mertha, I Gusti Ketut Ariawan, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dkk, Buku Ajar
Hukum Pidana, Denpasar, 2016, h. 64.
13
Ada empat ahli yang sepakat dalam menggunakan istilah “tindak pidana”, yaitu:
Satochid, Wirjono Prodjodikoro, Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni AHAEM-PETAHAEM, Jakarta, 1989, h. 208. Lihat juga Sudarto, Hukum
Pidana Jilit 1A, Bagian Penerbitan dan Biro Perpustakaan dan Penerbitan Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya, Malang, 1974, h. 42. Dan lihat juga Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUUKUHP) 2012, h. 5.
14
Ada satu ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Utrecht. Baca Utrecht, Hukum Pidana
1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya, 1994, h. 251.
15
Ada dua ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Karni dan H. J. Van Scravandijk. Baca
Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …Op.Cit., h.
206. Baca juga H. J. Van Scravandijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B.
Walters, Djakarta-Groningen, 1956, h. 87.
16
Ada dua ahli yang menggunakan istilah ini, yaitu Roeslan Saleh dan Muljatno. Baca
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983,
h. 13. Baca juga Muljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h. 54.
17
Untuk istilah yang ini, hanya satu orang ahli hukum saja yang menggunakannya, yaitu
Tirtaamidjaja. Baca Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
Sofmedia, Jakarta, 2012, h. 118.
18
Yang menggunakan istilah ini adalah Andi Hamzah, Oemar Senoadji, dan Andi Zainal
Abidin. Baca Andi Hamza, Ibid dan Ibid, h. 119. Baca juga Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum
Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, h. 246.

11
Pertama: Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
digunakan istilah “peristiwa pidana”. Kedua: Pasal 5 ayat (3b) Undang-
Undang No.1/drt/1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekausaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil, digunakan istilah “perbuatan pidana”. Ketiga: Undang-
Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie
Ttijdelijke Bijzondere Straf Bepalingan Saatbland Tahun 1958 Nomor 17,
digunakan istilah “perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum”. Keempat:
Undang-Undang Nomor 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, digunakan istilah: “hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”. Kelima: Undang-
Undang Nomor 7/Drt/1953 tentang Pemilihan Umum, digunakan istilah:
“Tindak Pidana”. Keenam: Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, digunakan
istilah: “tindak pidana”. Ketujuh: Undang-Undang Nomor 8 Tahu 1981
tentang KUHAP, digunakan istilah: “tindak pidana”. Dan kedelapan:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, digunakan istilah: “tindak pidana”.

Dari enam istilah tersebut, istilah yang secara resmi digunakan adalah baik dalam

peraturan perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan adalah istilah

“tindak pidana”.

2. Unsur - Unsur Tindak Pidana

Beberapa teoritisi hukum memiliki penafsiran tersendiri mengenai unsur-

unsur tindak pidana yang terdiri atas dua aliran yaitu aliran monistis dan dualistis.

Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi

rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambil dari batasan tindak pidana

oleh teoretisi yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, Schravendijck.19

Menurut Moeljatno (penganut paham dualistis), unsur tindak pidana

adalah:20

19
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, P.T Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 79.
20
Ibid

12
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan
c. Ancaman Pidana (bagi yang melanggar hukum). Perbuatan manusia
saja boleh dilarang, oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dapat dipisahkan dengan orangnya. Ancaman

(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam

kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan

pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah orang

yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang

lain dari pengertian perbuatan pidana.

Menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:21

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);


b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. Diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat

pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti

dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat

diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian

dijatuhi pidana.

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur

itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada

orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.

21
Ibid., hlm. 80.

13
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak

pidana sebagai berikut:22

a. Kelakuan manusia;
b. Diancam dengan pidana; dan
c. Dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham

dualistis tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah

perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undangundang, dan diancam

dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa

unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat,

semata-mata mengenai perbuatannya.

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monistis,

memang tampak berbeda. Ada dua rumusan yang dikemukakan oleh para ahli

penganut paham monistis, yaitu Jonkers dan Schravendijk. Dari batasan yang

dibuat Jonkers (penganut paham monistis) dapat dirinci unsur-unur tindak pidana

yaitu:23

a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan
d. Dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang

lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:24

a. Kelakuan (orang yang);


b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat); dan
e. Dipersalahkan/kesalahan.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 81.
24
Ibid.

14
Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun

pada hakikatnya ada persamaannya, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur

mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya. Dari

beberapa pandangan ahli diatas yang berpandangan monistisdan dualistis, penulis

dapat memberikan kesimpulan atas beberapa penafsiran oleh ahli tersebut.

Adapun perbedaan diantara kedua pandangan tersebut adalah pandangan

monistis merupakan suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana

harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan

prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan atau tindak

pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan

pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility).25

Lain halnya dengan pandangan dualistis yang memisahkan antara perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini memiliki prinsip bahwa

dalam tindak pidana hanya mencakup criminal act dan criminal responsibility

tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan sebuah

perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang

dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa

adanya suatu dasar pembenar.26

Dari sekian banyak penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang

dikemukakan oleh para ahli, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan

tentang perihal apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana, sebagai berikut:

2513
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-
Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 38.
26
Ibid., hlm. 40.

15
Pertama, ada perbuatan, artinya perbuatan tersebut mencocoki rumusan

delik yang ada di dalam ketentuan perundang-undangan. Kedua, ada sifat

melawan hukum (Wederrechtelijk), artinya perbuatan yang dilakukan memiliki

sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum terbagi atas dua macam, yaitu sifat

melawan hukum secara formil (Formale wederrechtelijk) dan sifat melawan

hukum secara materil (materiele wedderrechtelijk). Perbuatan bersifat melawan

hukum secara formil adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang,

kecuali jika diadakan pengecualian oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan

bersifat melawan hukum secara materil (materiele wederrechtelijk) adalah suatu

perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan

dengan masyarakat atau melanggar kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat.

Ketiga, tidak ada alasan pembenar, alasan pembenar adalah alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukum dari suatuperbuatan, hingga perbuatan

tersebut dianggap patut dan dibenarkan. Alasan pembenar terdiri atas daya paksa

absolut (overmacht) pasal 48 KUHP, pembelaan terpaksa (noodweer) pasal 49

ayat (1) KUHP, menjalankan ketentuan undang-undang pasal 50 ayat (1),

menjalankan perintah jabatan yang sah pasal 51 ayat (1) KUHP.

3. Pidana dan Pemidanaan

3.1. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat

dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.27

27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2005), hal. 1.

16
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat

Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan

penghukuman. Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa hukum pidana

merupakan sistem sanksi yang negative, maka Sudarto menggambarkan bahwa

pemidanaan merupakan sistem sanksi yang negative yang disebut sebagai

penderitaan khusus.28

Menurut Roeslan Saleh bahwa pemidanaan tidak hanya memperhatikan

kepentingan-kepentingan masyarakat saja, atau melainkan juga memperhatikan

perasaan korban dan keluarganya. Dari dimensi demikian maka menurut Muladi

dan Barda Nawawi Arief, menyimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur

atau cirri-ciri sebagai berikut:29

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan


atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan..
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Lebih lanjut menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian sistem

pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan

pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu

mencakup pengertian:30

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-perundang) untuk pemidanaan.


b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/
penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
c. Keseluruhan sistem (aturan perundangan-undangan) untuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana.
28
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 30.
29
Op.cit, hal. 4.
30
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, h.136.

17
d. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan ataudioperasionalkan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).

3.2. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang

masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni

pandangan retributive (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian

view). Pandangan retributive mengandalkan pemidanaan sebagai ganjaran

negative terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat

sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap

kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.

Pandangan ini dikatan bersifat melihat kebelakang (backward-looking).

Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya

dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan

dijatuhkannya pidana itu. Disatu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk

memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak

lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat

pencegahan (deterrence).31

Adapun teori-teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut: 32 pertama, teori

Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien). dasar pijakan dari teori

ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa
31
Ibid, hal.10
32
Ibid. hal.16

18
pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat

tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan

hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindunginya. Kant

berpendapat bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa

yang disebut Kategorischen Imperative menghendaki agar setiap perbuatan

melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga

setiap pengecualian atau setiap pembahasan yang semata-mata didasarkan pada

suatu tujuan itu harus dikesampingkan.33

Dari teori tersebut, Nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan

etika, apabila seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum, dan hukuman

itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah

etika dari yang jahat ke yang baik.

Selanjutnya adalah teori relatif atau teori tujuan (Doel Theorien). Dasar

pemikirannya agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman, artinya penjatuhan

pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sifat mental atau

membuat pelaku tidak berbahaya lagi. Dan yang terakhir adalah teori gabungan

atau teori modern (vereningings Theorien). Teori gabungan adalah kombinasi dari

teori absolute dan teori relative, teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu

selain memberikan penderitaan jasmani dan psikologis juga yang terpenting

adalah memberikan pemidanaan dan penderitaan. Teori ini diperkenalkan oleh

Prins, Van Hamel, dan Van List dengan pandangan sebagai berikut :34

a. Hal penting dalam pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu


gejala masyarakat.
b. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus bertujuan
memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.
33
P.AF. Lumintang., Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988, hlm. 25.
34
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988. h. 47.

19
c. Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan.

4. Jenis - Jenis Pidana

Dalam pasal 10 KUHP disebut tujuh jenis pidana, yaitu :

a. Pidana Pokok :

1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda

b. Pidana tambahan :

1. Pencabutan hak-hak tertentu


2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman

selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP :

Pidana mati adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan

terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana

(Pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 ayat 4 KUHP),

pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

Pidana penjara membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu

berupa hukuman penjara atau kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari

kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan

lebih ringan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan

lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang

dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum

seumur hidup, hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP.

20
Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringan antara

lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa

peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut,

dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP yaitu

lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu

tahun.

Pidana denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan

terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah

yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen,

sedangkan jumlah maksimum tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda

diatur dalam Pasal 30 KUHP. Pidana denda tersebut dapat dibayar oleh siapa saja,

baik keluarga ataupun diluar dari pihak keluarga.

Pencabutan Hak Tertentu diatur dalam Pasal 35 KUHP: (1) Hak-hak

terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang

ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:

(a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (b) Hak
memasuki angkatan bersenjata; (c) Hak memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (d) Hak menjadi
penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke
bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (e) Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri; (f) Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam

aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

Perampasan Barang Tertentu. Pidana memiliki makna bahwa karena suatu

putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah

21
barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk

melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi:

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau


sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas. (2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi
hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. (3) Perampasan
dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah oleh hakim diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Pengumuman putusan hakim. Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk

mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat

umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim

dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si

terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim di muat dalam

putusan (Pasal 43 KUHP).

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang menjurus kepada pemidanaan

pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka

dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 35

Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai

berikut.

1. Mampu Bertanggung jawab

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada umumnya tidak

mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur yaitu

35
Ibid, hlm. 73.

22
ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain

berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu

bertanggungjawab mencakup:36

1. Keadaan jiwanya:

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara


(temporair);
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya); dan
c. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar(slaapwandel), mengigau karena demam
(koorts), dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam
keadaan sadar.
2. Kemampuan jiwanya:

a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;


b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak; dan
c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

2. Kesalahan

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum

positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang artinya,

untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat

pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban

atasnya.37

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau

dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:
36
Ibid, hlm. 76.
37
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, h. 227.

23
2.1. Kesengajaan (opzet)

Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet)

itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang

dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.38 Pada umumnya para pakar

telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni:39

2.2. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku

yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan)

akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak

ada, ia tidak akan melakukan berbuat.40

2.3. Kesengajaan dengan insaf pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn).

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatnnya, tidak

bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delik tetapi ia tahu benar bahwa akibat

tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.41

2.4. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis).

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan

kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk

menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa

mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-

undang.42

2.5. Kealpaan (culpa)

38
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 226.
39
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan),
Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 9.
40
Teguh Prasetyo, Op.cit. hlm. 98.
41
Amir Ilyas, Op.Cit. hlm. 80
42
Leden Marpaung, Op.cit., h. 18.

24
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-

hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan

daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:43

a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld/culpa lata). Dalam hal ini,


si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul
juga akibat tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa levis) Dalam hal
ini, si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya suatu
akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang,
sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu
akibat.44

2.6. Tidak ada alasan pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitings ground ini manyangkut

pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah

dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan

kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan pemaaf

terdiri atas daya paksa relatif, Pasal 48 KUHP, pembelaan terpaksa melampaui

batas (noodweer exces), Pasal 49 ayat (2) KUHP, dan menjalankan perintah

jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah itu sah, Pasal 51 ayat (2)

KUHP

C. Teori Relevansi Alat Bukti

Sebelum mengulas perihal karakter hukum pembuktian, terlebih dulu perlu

dijelaskan hal-hal yang fundamental terkait suatu pembuktian. Ada empat hal terkait

konsep pembuktian itu sendiri: pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan

43
Ibid. h. 26.
44
Ibid.

25
sengketa atau perkara yang sedang diproses. Artinya, bukti tersebut berkaitan

dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran suatu peristiwa. Mengenai

hal ini secara jelas dinyatakan oleh Dennis:

"Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that
is must relate to some fact which is proper object of the proof in the
proceedings. The evidence must be relate the fact to be proved in the sense
that it tends to make the existence (or non-existence) of the fact more
probable, or less probable, that it would be without evidence.....45

Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu

bukti yang diterima dengan sendirinya relevan. Sebaliknya, suatu bukti yang tidak

relevan, tidak akan dapat diterima. Kendatipun demikian, dapat saja suatu bukti

relevan, tetapi tidak dapat diterima. Misalnya adalah testimoni de auditu atau

hearsay, yakni mendengar kesaksian dari orang lain. Tegasnya, suatu bukti yang

dapat diterima pasti relevan, namun tidak sebaliknya, suatu bukti yang relevan

belum tentu dapat diterima. Dengan kata lain, primafacie dari bukti yang diterima

adalah bukti yang relevan.46

Ketiga, hal yang disebut sebagai exclusionary rules. Dalam beberapa literatur

dikenal dengan istilah exclusionary discretion. Phyllis B. Gerstenfeld memberi

definisi exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak

diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Tegasnya, peraturan yang

mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima di

pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatu bukti relevan

dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat

dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak

sesuai dengan aturan.47


45
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 10.
46
Ibid., hlm. 10.
47
Ibid., hlm. 11.

26
Exclusionary rule membolehkan seorang terdakwa mencegah penuntut umum

mengajukan bukti di pengadilan sebagai bukti yang dapat diterima karena diperoleh

secara inkonstitusional. Exclusionary rule juga dapat menolak bukti probatif dengan

konsekuensi meniadakan tuntutan jaksa. Namun, biasanya setiap sistem hukum

mengesampingkan bukti yang telah dipertimbangkan jika bukti tersebut tidak

relevan atau tidak dapat dipercaya.48

Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat

diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita

memasuki kekuatan pembuktian atau bewijskracht. Di sini hakim akan menilai

setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti yang satu

dengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai

dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.49

Bila dihubungkan dengan keempat konsep pembuktian, tainted evidence,

demikian pula derivative evidence adalah bukti yang inadmissible atau tidak dapat di

terima, meskipun bukti tersebut relevan. Konsekuensi lebih lanjut dengan

menggunakan exclusionary rules, hakim dapat mengesampingkan bukti tersebut

sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian (weight of the evidence). Tainted

evidence berkaitan erat dengan bewijsvoering, yakni cara mengumpulkan.

memperoleh, dan menyampaikan bukti ke pengadilan.50

D. Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana

1. Teori Sistem Pembuktian

48
Ibid.,
49
Ibid., hlm. 12.
50
Ibid., hlm. 12.

27
Pembuktian (bewijzen) merupakan titik sentral dari hukum acara pidana. Van

Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Suryono Sutarto,51 mengemukakan maksud dari

pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan

memeriksa dan penalaran dari hakim: (1) mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau

perbuatan tersebut sungguh pernah terjadi. Dan (2) mengenai pertanyaan mengapa peristiwa

ini terjadi. Sesuai dengan kedua kriteria tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan

yakni:

Pertama, menunjukkan peristiwa-peristiwa mana yang dapat diterima


oleh pancaindera. Kedua, memberikan keterangan tentang peristiwa-
peristiwa yang telah diterima tersebut. Ketiga, menggunakan pikiran
logis. Dengan demikian pengertian membuktikan sesuatu adalah
menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera,
mengemukakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logis.52

Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutus perkara.

Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian yang konkrit, bukan sesuatu yang

abstrak. Dengan adanya pembuktian, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan

mata kepala sendiri kejadian yang sesungguhnya, ia dapat menggambarkan dalam

pikirannya apa yang sebenarnya terjadi sehingga hakim memperoleh keyakinan

tentang hal tersebut.53

Oleh karena kejadian-kejadian yang harus dibuktikan ini pada hakikatnya

terletak pada masa yang lampau, maka diperlukan alat-alat pembantu untuk dapat

menggambarkannya kembali mengenai terjadinya suatu peristiwa pidana tersebut,

yang dalam hal ini dapat diambil dari orang-orang yang melihat, mendengar atau

mengalami sendiri terjadinya peristiwa tersebut. Dari hasil pemeriksaan dan

penelitian terhadap bekas-bekas atau keterangan orang-orang itu dapat dipergunakan

51
Suryono Sutarto, Op. Cit., hlm. 36.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 36-37.

28
untuk membantu hakim dalam menggambarkan atau melukiskan kembali tentang

kepastian dari peristiwa tersebut yang telah pernah terjadi.54

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang yang

boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Pembuktian menurut Yahya, juga dapat diartikan sebagai suatu penegasan tentang

dapatnya ketentuan pidana lain yang harus dijatuhkan terhadap Terdakwa.55

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian Undang-

Undang secara negatif (negatief wettelijk), karena mengacu pada Pasal 183 KUHAP

yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan, suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa-lah yang

bersalah melakukannya.”

Hukum acara pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan

kebenaran materiil. Dalam rangka mendapatkan kebenaran materiil ini, dalam

hukum acara pidana terdapat beberapa teori atau ajaran yang berkaitan dengan

sistem pembuktian, yaitu:

Pertama, Conviction-in Time. Sistem pembuktian conviction-in time


menentukan salah tidaknya seorang Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian “keyakinan” hakim. Kedua, Conviction-Raisonee. Dalam sistem
pembuktian conviction-raisonee “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya Terdakwa. Akan tetapi
dalam sistem pembuktian ini, keyakinan hakim harus didukung dengan

54
Ibid., hlm. 41.
55
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
273-274.

29
alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan
alasan-alasan yang logis yang menjadi dasar keyakinannya dalam
menentukan kesalahan Terdakwa. Ketiga, Pembuktian Menurut Undang-
Undang Secara Positif. Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk
menentukan kesalahan Terdakwa semata-mata didasarkan pada alat-alat
bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang. Keempat,
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
Stelsel). Dalam sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah tidaknya
Terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.56

2. Alat-alat Bukti dalam Perkara Pidana

Alat-alat bukti yang sah yang dipergunakan dalam pembuktian untuk

memperoleh keyakinan hakim diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan Terdakwa.

Dalam perkembangannya alat bukti elektronik mengalami perluasan dalam

Hukum Acara yang berlaku di Indonesia sesuai Undang-Undang Republik

Indonesia 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU

ITE) pada Pasal 5 menyebutkan bahwa:

Ayat (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau


hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
dan ayat (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia.

Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) UU ITE menyebutkan secara tegas bahwa:


56
Ibid., hlm. 277-279.

30
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail, telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.

Lebih lanjut, ketentuan dalam Pada pasal 1 ayat (4) menentukan bahwa:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,


diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optical, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.

Meskipun alat bukti diperlukan untuk memperoleh keyakinan hakim atas

putusan, alat bukti harus digunakan sejak tahap awal dalam proses perkara. Selama

proses penyidikan, alat bukti digunakan mulai dalam tahap awal proses penanganan

perkara. Dalam tahap penuntutan, penuntut umum harus menggunakan alat bukti

untuk membuktikan dakwaannya dan selama tahap pemeriksaan persidangan, alat

bukti diperlukan untuk memperoleh keyakinan hakim atas bersalah atau tidaknya

Terdakwa.

Berdasarkan KUHAP, saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa pendapat maupun

rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi.

Penjelasan dari Pasal 185 ayat (5) KUHAP tersebut menyebutkan bahwa dalam

keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau

testimonium de auditu.

31
Dengan demikian diatur secara tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh

dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum

acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil dan untuk perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia bahwa keterangan seorang saksi yang hanya

mendengar dari orang lain tidak dapat dijamin kebenarannya. Namun demikian

untuk menjamin hak-hak tersangka maka dalam hukum acara pidana terdapat saksi

yang menguntungkan tersangka atau disebut juga dengan saksi a de charge. Menurut

sifat dan eksistensinya, keterangan saksi a de charge yaitu keterangan saksi dengan

sifat meringankan Terdakwa dan lazim diajukan oleh Terdakwa/penasihat hukum.57

3. Pengertian, Macam- Macam dan Pengecualian Menjadi

Saksi

Secara leksikal, kata “saksi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).

Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian

tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan

yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Orang yang

memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau

Terdakwa. keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat

atau mengetahui, bukti kebenaran. Orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang

didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.58


57
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 95-96.
58
Pusat Bahasa, halaman. 1205-1206; < https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/saksi>, diunduh tanggal 31 Maret
2022.

32
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), diatur dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

sendiri”. Setali dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan saksi dan Korban, serta Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002

tentang tata cara perlindungan terhadap Korban dan saksi dalam Pelanggaran HAM

Berat, “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Kemudian, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-

KUHAP), merumuskan pengertian saksi yaitu saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami

sendiri, atau didengar sendiri. Macam-macam saksi yang dijabarkan secara singkat

adalah sebagai berikut:

a) Saksi a charge

Saksi a charge merupakan saksi dalam perkara pidana yang

dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, disebabkan

kesaksiannya yang memberatkan Terdakwa.59 Saksi a charge

dapat diartikan pula sebagai saksi yang memberikan keterangan

yang menguatkan pihak jaksa (melemahkan pihak Terdakwa).

59
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm. 139.

33
saksi-saksi yang memberatkan Terdakwa tersebut, yang tercantum

dalam berkas perkara dan dilimpahkan ke pengadilan untuk

dimintai keterangan di muka sidang pengadilan, atau yang diminta

oleh Terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum, hakim

ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.

b) Saksi a de charge

Saksi a de charge adalah saksi yang memberikan keterangan

untuk menguatkan pihak Terdakwa. Saksi a de charge sifatnya

meringankan Terdakwa dan dalam praktik biasanya diajukan oleh

Terdakwa atau penasihat hukum. Pasal 65 KUHAP saksi a de

charge yang tercantum dalam berkas perkara dan surat

pelimpahan perkara ke pengadilan, pemanggilan saksi tersebut

dilakukan oleh penuntut umum, tetapi saksi a de charge yang

diajukan Terdakwa atau penasihat hukum,

c) Saksi Korban

Saksi korban adalah saksi yang menjadi korban dari tindak

pidana. Dengan kata lain, saksi korban merupakan saksi yang

mengalami sendiri suatu kejahatan. Dalam KUHAP tidak

disebutkan secara jelas mengenai saksi korban. Namun, menurut

Pasal 160 ayat (1) huruf KUHAP disebutkan bahwa “yang

pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang

menjadi saksi”. Hal ini dilakukan agar tindak pidana yang terjadi

diuraikan kronologisnya secara jelas oleh orang yang secara

34
langsung mengalami tindak pidana tersebut, dan penting

dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang detail mengenai

kasus posisi yang sebenarnya dari pihak yang dirugikan atas

tindak pidana tersebut.

d) Saksi Mahkota (Kroon Getuige; Crown Witness)

Saksi mahkota berasal dari bahasa Belanda “kroon getuige” yang

berarti saksi mahkota, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan

istilah “crown witness”. Pada bulan Februari 1997 pengertian

saksi mahkota diberi definisi yuridis yang lebih tegas dalam

yurisprudensi Belanda menyangkut perkara Johan v alias De

Hakkelaar yang berarti saksi utama, atau saksi yang sangat

menentukan.60 KUHAP tidak mengatur mengenai saksi mahkota.

Pada hakikatnya, saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari

salah seorang tersangka/Terdakwa yang kemudian dijadikan saksi

bagi tersangka/Terdakwa lainnya. Dengan demikian, berdasarkan

praktik peradilan, asasnya saksi mahkota mempunyai dimensi

sebagai berikut:61

e) Saksi Berantai (Kettingbewijs)

Saksi berantai yaitu beberapa saksi yang memberikan sebagian

keterangan yang saling berhubungan.62 Jenis saksi berantai ini terdapat

dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:

Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang


suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat

60
Marjanne Termorshuizen dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur, Hilly Djohani-Lapian,
Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 202.
61
Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 107.
62
Andi Hamzah, op. cit., hlm. 270.

35
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Menurut S. M. Amin sebagaimana dikutip Andi Hamzah,

kesaksian berantai terdiri dari dua macam, yaitu:63 (a) Beberapa

kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan. (b) Beberapa

kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.

Beberapa saksi yang memberikan beberapa kesaksian yang

masing-masing berdiri sendiri, namun menjadi satu kesatuan untuk

membuktikan satu perbuatan atau satu tindak pidana merupakan

kesaksian berantai jenis pertama. Hal ini sebagaimana contoh yang

telah diuraikan di atas. Sedangkan kesaksian berantai yang kedua,

apabila ada beberapa orang saksi memberikan beberapa kesaksian

yang masing-masing berdiri sendiri, namun kesaksian tersebut

menjadi bukti adanya beberapa tindak pidana yang dilakukan

tersangka/Terdakwa.

f) Saksi Verbalisan

Pengertian saksi verbalisan tidak diatur dalam KUHAP, tetapi banyak

ditemukan dalam praktik. Saksi verbalisan adalah saksi yang

merupakan penyidik kepolisian yang memeriksa tindak pidana yang

bersangkutan. Saksi verbalisan ini (penyidik) menjadi saksi di

persidangan apabila Terdakwa mencabut keterangannya atau tidak

mengakui keteranganya dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat

oleh penyidik. Dalam hal ini, alasan yang paling sering dipergunakan

Terdakwa untuk mencabut atau menyangkal BAP keterangannya,


63
Ibid., hlm. 270

36
yaitu Terdakwa ketika diperiksa dalam penyidikan ditekan atau

dipaksa atau diancam atau dipukul atau disiksa.64

4. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

Agar keterangan saksi memiliki nilai kesaksian dan keabsahan pembuktian,

ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh saksi. Artinya, agar

keterangan seorang saksi dianggap sebagai alat bukti yang sah, pada prinsipnya

harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

Pertama, Saksi Harus Hadir Dalam Persidangan.65 Oleh karena keterangan

saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sesuai

pasal 185 ayat (1) KUHAP maka saksi harus hadir dalam persidangan.

Keterangan saksi di depan penyidik, bukan merupakan alat bukti. Keterangan

saksi di depan penyidik hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara

dalam sidang. Namun sebagai pengecualian Pasal 185 ayat (1) KUHAP, saksi

dimungkinkan untuk tidak hadir di depan persidangan hal ini untuk saksi yang

sudah diperiksa dalam tahap penyidikan, karena alasan-alasan tertentu tidak dapat

dihadirkan ke persidangan. Keterangan saksi yang dimuat dalam Berita Acara

Pemeriksaan dibacakan di sidang pengadilan. Nilai kekuatan pembuktiannya

adalah sama dengan keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, yaitu: (1)
64
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hlm. 66.
65
Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 46.

37
Sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti. (2) Dapat dipergunakan untuk

menguatkan keyakinan hakim. (3) Bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan

alat bukti sepanjang mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya,

dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.

Apabila keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan tersebut

sebelumnya (dalam penyidikan) telah diberikan di bawah sumpah atau janji maka

nilainya sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diberikan dalam

sidang pengadilan.

Saksi Wajib Mengucapkan Sumpah Atau Janji. Saksi dalam memberikan

keterangannya di sidang pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji

menurut cara agamanya masing-masing. Pada dasarnya saksi wajib mengucapkan

sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan di sidang pengadilan sesuai

Pasal 160 ayat (3) KUHAP karena dengan adanya sumpah atau janji sebelum

memberikan keterangan sebenarnya untuk mendorong atau memotivasi saksi

untuk berkata benar.66 Namun jika Hakim menganggap perlu dimungkinkan saksi

mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan (assertoris)

sesuai Pasal 160 ayat (4) KUHAP.

Saksi Menerangkan Apa Yang Ia Lihat, Apa Yang Ia Dengar Dan Apa Yang

Ia Alami Dengan Menyebutkan Dasar Pengetahuannya. Tidak semua keterangan

saksi sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi

sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian ialah keterangan saksi

yang saksi dengar sendiri, saksi lihat sendiri, dan saksi alami sendiri, dan dari

keterangannya itu saksi harus dapat menyebut alasan dari pengetahuannya sesuai

Pasal 1 angka 27 KUHAP.


66
Ibid., hlm. 30.

38
Pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan

merupakan keterangan saksi sesuai Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Sehingga setiap

keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri, di luar apa yang dilihat

sendiri atau di luar apa yang dialaminya sendiri dalam peristiwa pidana tidak

dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti, begitu pula dengan keterangan saksi

yang diperoleh dari orang lain atau yang disebut dengan testimonium de auditu

sesuai Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP.

Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena

itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP yaitu 2

(dua) alat bukti dan keyakinan Hakim. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan

seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk

membuktikan kesalahan Terdakwa, atau unus testis nullus testis. Jika alat bukti

dari penuntut umum jika hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah

dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian seorang

saksi saja tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan

kesalahan Terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya. Walaupun seandainya keterangan seorang saksi saja sedemikian rupa

jelasnya, tetapi Terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak

ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian seorang saksi saja harus

dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis

nullus testis.

Apabila syarat-syarat di atas telah dipenuhi, maka keterangan saksi tersebut

menjadi alat bukti yang sah dan terhadapnya melekat nilai kekuatan pembuktian.

Pada dasarnya, penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi

39
adalah bebas, artinya seorang hakim bebas untuk menilai atau mengesampingkan

isi keterangan seorang saksi yang diberikan di persidangan.

E. Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Menurut Topo Santoso dalam bukunya “Seksualitas dan Hukum Pidana”

terdapat tipe-tipe perkosaan dalam kepustakaan saat ini, yaitu sadistic rape,anger

rape, domination rape, seduction – turned into- rape, exploitasion rape, forcible

rape dan statutory rape. Sedangkan yang biasa digunakan dalam perundang-

undangan adalah forcible rape dan statutory rape.67

Dalam tipe sadistic rape seksualitas dan agresi bercampur menjadi suatu rasa

geram dan kekejaman, serta tindakan-tindakan merusak. Anger rape adalah

penyerangan seksual di mana seksualitas menjadi sarana untuk mengeksperesikan

dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan dan ini ditandai dengan

kebrutalan secara fisik. Sementara dalam Domination rape motif dari pemerkosaan

adalah untuk mendemonstrasikan kekuatannya dan kekuasannya atas si korban.

Dalam Seduction-turned- into-rape penyerangan seksual timbul dalam situasi

menggairahkan yang “diterima”, tetapi dimana korban memutuskan atau sebelumnya

telah memutuskan bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah

“coitus”. Sedangkan tipe terakhir yaitu exploitation rape merujuk pada suatu tipe di

mana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnya si wanita karena

wanita tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena

kurangnya perlindungan hukum bagi si wanita. Tetapi pada kenyataannya perbedaan

tipe di atas sulit untuk dilihat dengan jelas.68

67
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill Co, Jakarta, 1997, hlm. 22.
68
Ibid, h. 22.

40
Dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan dalam bab ini

ialah kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Bab ke-XIV dari buku II KUHP, yang

di dalam Wetboek van Strafrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden69.

Kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP hanya akan dibahas

mengenai kejahatan perkosaan (umum) dan kejahatan perkosaan terhadap anak

kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP hanya akan dibahas mengenai

kejahatan perkosaan (umum) dan kejahatan perkosaan terhadap anak

69
P. A. F. Lamintang, SH, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggat
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, cet. 1 Bandung: Penerbit Mandar Maju,
1990, hlm. 1.

41
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni,
Bandung, 1987.
…………………..., Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, P.T Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
Sofmedia, Jakarta, 2012.
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012.
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998.
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012.
I Ketut Mertha, I Gusti Ketut Ariawan, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dkk, Buku
Ajar Hukum Pidana, Denpasar, 2016.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUUKUHP)
2012.

42
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat dan
Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan
Penyelidikan), Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media,
Bandung, 2017.
Muljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Marjanne Termorshuizen dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur, Hilly Djohani-
Lapian, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2005.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
P.AF. Lumintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988.
…………………
, SH, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggat
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, cet. 1 Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 1990.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2013.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara
Baru, Jakarta, 1983
Sudarto, Hukum Pidana Jilit 1A, Bagian Penerbitan dan Biro Perpustakaan dan
Penerbitan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Brawijaya, Malang, 1974.
………., Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.
Satochid, Wirjono Prodjodikoro, Sianturi SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana
di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETAHAEM, Jakarta,
1989.
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
1991.

43
Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 2003
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill Co, Jakarta, 1997.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2011.
Utrecht, Hukum Pidana 1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya, 1994.

Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan
Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
atau disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
(Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5076);
Undang- Undang 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010, 18
Agustus 2019.

44
Putusan Nomor 96/Pid.Sus/2018/PN Amr, 18 Maret 2019.

Internet
Antara, WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan Setiap Tahunnya,
di Kutip dari: WHO: Sekitar 1 Miliar Anak di Dunia Alami Kekerasan
Setiap Tahunnya (bisnis.com), pada hari selasa, 26 Juli 2022 Pukul 24.00
WITA.
Vitoria Mantalean, Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Anak
Sepanjang 2021, Dikutip dari: Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus
Kekerasan Seksual terhadap Anak Sepanjang 2021 Halaman all -
Kompas.com, pada hari Selasa, 26 Juli 2022, Pukul 23.55 WITA.

45

Anda mungkin juga menyukai