Anda di halaman 1dari 21

CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN PERSPEKTIF KONSEPSI BAYYINAH

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada
Fakultas Syariah
Universitas Negeri Raden Mas Said Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
MUHAMMAD ISTAQI MAULAKA
NIM. 21.21.3.1.071

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


JURUSAN HUKUM ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara hukum yang mengedepankan supremacy of law, equality before
the law dan due process of law sudah dipastikan adalah esensi dari penegakan
hukum. Ketika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan hukum, maka sudah
dipastikan ada pelakunya. Untuk menentukan pelaku itu bersalah, maka
diperlukan tahap pembuktian. Apabila alat bukti yang dihadirkan sudah betul-
betul membuktikan bahwa terdapat tindak pidana, maka hakim sudah bisa
untuk menjatuhkan hukuman.1
Menegakan hukum merupakan upaya menjalankan peraturan-peraturan
hukum yang sudah tertulis serta dilakukan secara jelas yang nantinya dijadikan
sebagai pegangan kehidupan manusia tentunya dalam kehidupan individu antar
individu, kelompok antar kelompok, maupun dalam kehidupan bernegara.
Ketika suatu intansi ingin menegakkan hukum, maka sangat diperlukan suatu
sistem untuk mendukung jalannya penegakan hukum. Sistem tersebut adalah
peradilan pidana yang pada fundamentalnya menggunakan pendekatan sistem.
Di Indonesia sendiri sistem peradilan pidana sudah terbentuk secara
sistematis. Diantara sistem tersebut terdiri dari Kepolisian, Lembaga
Pemasyarakatan, Pengadilan Negeri, Kejaksaan, serta Lembaga Bantuan
Hukum (Advokat). Pada dasarnya penegak hukum yang satu dengan yang
lainnya saling berkesinambungan, yaitu dari proses penangkapan,
pemeriksaan, penggeledahan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dan setelah
itu penahanan yang dapat dilakukan oleh pihak Kepolisan atau Kejaksaan, dan
kemudian dilakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri serta akan dilakukan
putusan yang diumumkan oleh Hakim. Kemudian nantinya akan dilimpahkan
kepada Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan hukumannya.

1
Mahmul Siregar, “Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) Dalam Penegakan
Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 13,
Nomor 2, 2018, hlm. 190
Dalam peradilan pidana, terdapat tahap pembuktian yang memiliki
keududukan sangat penting. Maka dari itu, seorang hakim harus memiliki
kemampuan untuk melakukan pemeriksaan terhadap peristiwa tindak pidana.
Dilaksanakannya pembuktian bertujuan untuk menemukan suatu fakta yang
bersifat materil.2 Oleh sebab itu, posisi barang bukti dalam suatu kasus perkara
pidana sangatlah penting untuk dihadirkan ketika proses pemeriksaan di
pengadilan sedang berlagsung. Saking pentingnya posisi barang bukti dalam
sutau perkara pidana akan dapat mengendalikan jalannya pemeriksaan untuk
diselesaikan, dan tentunya mekanisme persidangan sudah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).3
Ketika terdapat sebuah kasus pidana tidak akan terungkap apabila
barang bukti tidak ditemukan. Oleh sebab itu, barang bukti sangat mendukung
proses penyelidikan, penyidikan serta proses penuntutan ketika sudah masuk
ke pengadilan. Apabila terjadi kekurangan pada alat bukti, maka penyidik akan
melakukan penyidikan kembali untuk melengkapi alat bukti yang masih belum
bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Alat bukti yang masih kurang
tersebut apabila sudah berada dipenuntut umum, maka penuntut umum akan
mengembalikannya kepada penyidik.4
Terdapat upaya untuk menemukan alat bukti yaitu dengan dengan cara
melakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah sebuah upaya penyelidik yang
diberi kewenangan untuk melakukan pencarian dan menemukan adanya
dugaan peristiwa tindak pidana. Tentunya dalam melakukan pencarian para
penyellidik tetap harus menjalankannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.5
Tahap pembuktian di Indonesia sendiri telah memeluk bentuk
pembuktian negatif. Maksud dari bentuk pembuktian negatif adalah bahwa
pembuktian dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mewajibkan
terdapat dua alat bukti yang sah untuk mendukung hakim menetapkan

2
Kadi Sukarna, “Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana”, Jurnal
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum, 2014, hlm. 350-351
3
A. Ashari, “Peranan Barang Bukti Dalam Proses Perkara Pidana” Al-Hikam, Vol. 1,
No. 3, 2017, hlm. 1-2
4
A. Ashari, “Peranan Barang Bukti Dalam Proses…”, hlm. 2
5
Uswantun Hasanah, Yulia Monita, “Sidik Jari sebagai Pendukung Alat Bukti dalam
Proses Penyidikan Perkara Pidana”, Journal Of Criminal, Volume 1, Nomor 3, 2020, hlm.
141
terdakwa pidana melakukan tindak pidana. Apa yang diatur dalam undang-
undang tentang pembuktian bahwa apabila tidak terdapat dua alat bukti, maka
terdakwa tidak patut untuk dijatuhkan hukuman oleh hakim. Karena pada asas
minimum pembuktian memiliki doktrin bahwa dalam pembuktian terdapat
aturan mengenai limit unutk terpenuhinya syarat pembuktian yang nantinya
digunakan untuk mendukung penjatuhan hukuman kepada terdakwa.6
Pembuktian merupakan sebuah sentral dari pelaksanaannya
persidangan terhadap kasus pidana. Ketika tahap pembuktian harus terdapat
prosedur yang disusun secara sistematis, sehingga ketika tahap pembuktian
sedang berlangsung akan mudah untuk menentukan terdakwa apakah bersalah
atau tidak bersalah. Selain itu, pada tahap pembuktian tentunya harus terdapat
alat bukti yang dihadirkan tentunya sudah diatur di dalam undang-undang.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi juga mempengaruhi
berkembangnya alat bukti. Misalnya sekaran sudah dikenal dengan istiliah
Closed Circuit Television atau yang disingkat menjadi CCTV.7
Dalam penggunaan alat bukti ketika saat pemeriksaan harus dilakukan
dengan cara yang sangat hati-hati, karena alat bukti merupakan sesuatu yang
bersifat subjektif. Maksud dari bersifat subjektif merupakan sesuatu yang
berdasarkan keyakinan dan bukan berdasarkan fakta. Oleh karena itu, sesuai
dengan sifatnya hakim harus pandai menentukan yang didasarkan pada hati
nurani bahwa jika sudah terdapat alat bukti yang menunjukkan adanya tindak
kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, maka hakim harus memanyatakan
bersalah atas perbuatannya.8
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembahasan latar belakang diatas, maka penulis akan
mengenalkan beberapa permasalahan yang akan diulas dengan rumusan
masalah sebagai berikut:

6
Syahrul Azwar, “Eksistensi Alat Bukti Dalam Pengadilan (Studi Komparatif
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia)”, Qiyas, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.
221
7
Cholqi Choirunnisa, dkk, “Analisis Penggunaan CCTV Sebagai Alat Bukti
Perpsektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum, Vol.
3, No. 6, 2022, hlm. 529-530
8
Sri Nur Ayumi, dkk, “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk Dalam Tindak
Pidana Pembunuhan Berencana”, Jurnal Rechtscientia Hukum, Vol. 3, No. 1, 2023, hlm. 7
1. Bagaimana circumstantial evidence dalam pembuktian tindak pidana
pembunuhan di Indonesia?
2. Bagaimana circumstantial evidence dalam pembuktian tindak pidana
pembunuhan perspektif konsepsi bayyinah?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang sudah disusun, maka tulisan
ilmiah ini betujuan untuk:
1. Untuk mengetahui circumstantial evidence atau bukti tidak langsung
digunakan dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan di Indonesia
2. Untuk mengetahui circumstantial evidence dalam pembuktian tindak pidana
pembunuhan perspektif bayyinah
D. Manfaat Penelitian
Segala pembahasan yang ada pada tulisan ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik dari sisi teoritis maupun sisi praktis. Berikut manfaat
tulisan ilmiah ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Dari buah pembahasan yang terdapat ditulisan ilmiah ini semoga
bermanfaat dalam kemajuan bidang pengetahuan. Tentunya kemajuan
tersebut dijadikan sebagai pembelajaran seputar circumstantial evidence
dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan perspektif bayyinah. Dan
tentunya diharapkan pula kedepannya akan ada tulisan ilmiah yang
dibuat untuk membahas seputar topik pembahasan yang terdapat
ditulisan ilmiah ini.
b. Untuk manfaat selanjutnya, penulis membuat tulisan ilmiah ini untuk
menderma hasil pemikiran penulis sendiri yang nantinya dijadikan
sebagai sumber mahasiswa lainnya untuk membahas terkait
circumstantial evidence atau pembuktian tidak langsung dan bayyinah
atau pembuktian. Tulisan ilmiah ini nantinya dapat diakses di
Pepustakaan UIN Raden Mas Said Surakarta.
E. Kerangka Teori
1. Circumstantial Evidence
Dalam bahasa Indonesia circumstantial evidence artinya ialah bukti
tidak langsung. Bukti tidak langsung merupakan suatu barang bukti yang
berada pada saat peristiwa tindak pidana terjadi, namun secara langsung
barang bukti tersebut tidak menunjukkan secara jelas adanya tindak pidana.
Selain itu, definisi circumstantial evidence adalah suatu kebenaran yang
tidak menjadikan sebagai acuan fenomena berhubungan dengan suatu
peristiwa tindak pidana, namun suatu fenomena yang ditemukan merupakan
fakta-fakta dari suatu peristiwa tindak pidana yang nantinya dapat diambil
kesimpulan.9
Circumstantial evidence atau bukti tidak langsung, tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti utama tetapi hanya bisa dijadikan sebagai alat
bukti petunjuk atau penguat dari alat bukti lainnya. Hal tersebut disebabkan
karena kondisi yang signifikan dalam peradilan. Dalam forensik,
circumstantial atau bukti tidak langsung membantu untuk menemukan
fakta-fakta dari terjadinya peristiwa tindak pidana yang dimana tubuh
manusia digunakan sebagai acuan untuk melakukan pemeriksaan yang
disesuaikan dengan sisa rangka tubuh manusia yang ditemukan.10 Namun,
pada dasarnya circumstantial evidence atau bukti tidak langsung harus
didukung dengan bukti-bukti lainnya, dan nantinya akan dibuat kesimpulan
mengenai hubungan antara circumstantial evidence atau bukti tidak
langsung dengan bukti-bukti lainnya.11
2. Pembunuhan
Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang menyebabkan tidak
berfungsinya seluruh anggota badan seseorang yang disebabkan oleh
perbuatan manusia kepada manusia lainnya karena perbuatan tersebut
termasuk kedalam perbuatan yang mematikan. Pada dasarnya pembunuhan
merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan keji dan kejam

9
Mahmul Siregar, “Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) Dalam Penegakan
Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, 2018, hlm. 192
10
Adrianus Eliasta Meliala, dkk, Buku Ajar Kriminologi Forensik: Forensik
sebagai Studi Kriminologi dan Pelibatan Disiplin Lain dalam Pengungkapan Kejahatan,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2023), hlm. 38
11
Muh. Ibnu Fajar Rahim, Jaksa Dr. Ibnu: Catatan 3 Tahun Menuntut (Edisi
Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi), (Makassar: Humanities Genius, 2022), hlm. 151
karena pembunuhan adalah perbuatan yang termasuk merusak rasa
keamanan, kenyamanan, kedamaian kehidupan manusia, serta melanggar
norma-norma kehidupan manusia.
Tindak pidana pembunuhan adalah termasuk larangan. Artinya
apabila pembunuhan itu dilakukan, maka akan menimbulkan akibat. Oleh
karena itu, siapa saja yang melakukan pembunuhan harus dijatuhi
pertanggungjawaban dan dipidana. Dalam hal ini, pembunuhan termasuk ke
dalam tindak pidana materil. Tindak pidana materil tidak bertumpu pada
bentuk tindak pidana yang telah terjadi, namun bertumpu pada ketentuan
munculnya efek dari suatu larangan.12
Di dalam Hukum Islam, tindak pidana pembunuhan dapat dijatuhi
hukuman qishas dan diyat. Pembunuhan dalam bahasa Arab disebut dengan
al-qatlu yang dimana merupakan persamaan kata dari kata amata yang
berarti mematikan. Adapun definisi pembunuhan menurut tokoh hukum
Islam, yaitu argumen dari Wahbah Zuhaili bahwa pembunuhan ialah suatu
perbuatan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau kehidupan
seseorang karena perbuatan tersebut tergolong mematikan.
Selain itu, terdapat pula definisi pembunuhan dari argumen tokoh
hukum Islam lainnya, yakni menurut Abdul Qadir Audah yang menguraikan
definisi pembunuhan, bahwa menurutnya pembunuhan merupakan suatu
tindakan yang dilakukan oleh anak Adam kepada anak Adam lainnya yang
mengakibatkan hilangnya kehidupan anak Adam di dunia. Definisi senada
dijabarkan oleh Zainudin Ali yang berpendapat bahwa pembunuhan
merupakan kegiatan seorang individu atau kelompok yang menyebabkan
hilangnya nyawa baik itu korbannya satu orang maupun lebih dari satu
orang.
Selain tokoh hukum Islam diatas yang berpendapat mengenai
penjabaran pembunuhan, terdapat satu tokoh lainnya yang sedikit berbeda,
yaitu Ahmad Wardi Muslich yang berpendapat bahwa pembunuhan ialah
perbuatan yang dilakukan seorang individu secara sengaja atau tidak

Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Tangerang: PT


12

Nusantara Persada Utama, 2017), hlm. 56


sengaja yang ditujukan kepada individu lain yang dapat menyebabkan
hilangnya kehidupan seorang individu di dunia.13
Dalam hukum Islam, pembunuhan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
pembunuhan sengaja (al-qatlu ‘amd), pembunuhan semi sengaja (al-qatlu
syubh al-‘amd), pembunuhan tidak disengaja (al-qatlu al-khata’).14
Pembunuhan merupakan termasuk kategori yang hukumannya sangat berat,
baik pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja hukuman pokoknya adalah
qishas.15
Dari ketiga macam pembunuhan tersebut tentunya salah satunya
wajib dijatuhkan hukuman qishas, yaitu pada jenis pembunuhan disengaja.
Karena jenis pembunuhan disengaja hukumannya telah diatur di dalam Al-
Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sedangkan dua jenis pembunuhan lainnya tidak
mendapatkan hukuman qishas melainkan akan mendapatkan hukuman
diyat.
Alasan kenapa pembunuhan disengaja wajib menjalani hukuman
qishas karena pelaku pembunuhan sudah mengetahui dari akibat
perbuatannya bahwa apabila ia melakukan pembunuhan maka akan
menghilangkan nyawa orang lain. Adapun alasan lainnya, yaitu
pembunuhannya dilakukan dengan alat yang secara unsurnya mematikan.
Alasan lainnya, yaitu pembunuhan dilakukan dengan cara direncanakan
terlebih dahulu agar pembunuhan dapat dijalankan dengan rapi.
Selain itu, terdapat pembunuhan yang tidak bermaksud membunuh
tetapi hanya menganiaya saja dan mengakibatkan kematian, maka hal
tersebut tetap termasuk kategori pembunuhan disengaja. Penganiayaan berat
tersebut tetap akan mendapatkan hukuman qishas. Namun, apabila pihak
keluarga korban dapat melapangkan dada dari perbuatan korban, maka
korban harus membayar diyat kepada keluarga korban.16
3. Pembuktian

13
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, (Mataram: Sanabil, 2020), hlm. 235-236
14
Muhammad Nur, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Banda
Aceh: Yayasan PeNa, 2020), hlm. 22
15
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang: Rafah
Press, 2020), hlm. 112
16
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 6-7
Ketika ingin membuktikan suatu hal baik itu suatu peristiwa pidana
maupun perkara perdata tentunay terdapat masalah yang harus dihadapi,
diantaranya dalam membuktikan suatu hal perlu standar yang cukup untuk
dapat dikatakan sebagai barang bukti yang sah. Standar tersebut bisa
diungkapkan melalui argumentasi-argumentasi yang mendukung serta
apabila dikonsumsi secara naluriah tidak bertentangan dengan akal sehat
manusia.17 Permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang ditangani
di pengadilan. Tentunya dalam tahap pemeriksaan barang bukti sudah pasti
memuat berbagai upaya yang dilakukan dalam menentukan kebenaran dari
suatu terjadinya tindak kejahatan.18
Pembuktian merupakan determinasi yang dijadikan sebagai dasar
atau panduan mengenai prosedur yang telah diatur dalam undang-undang
untuk membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana. Dalam tahap
pembuktian tidak hanya pemeriksaan terhadap para saksi dan terdakwa,
tetapi pemeriksaan terhadap barang-barang yang ada hubungannya dengan
kejadian tindak pidana juga akan diperiksa oleh hakim dalam persidangan.
Dalam pembuktian harus terdapat sistem untuk mengatur apa saja
yang dapat dijadikan sebagai barang bukti yang sah secara hukum. Selain
itu, dalam pembuktian terdapat pula penilaian apakah suatu barang bukti
memiliki kedudukan atau kekuatan yang dapat menunjukkan bahwa telah
terjadinya tindak pidana. Oleh sebab itu, seorang hakim harus betul-betul
hati-hati ketika mencari fakta agar nantinya tidak terjadi keluar dari garis
sistem pembuktian.19
Dengan adanya pembuktian tentunya memiliki tujuan serta fungsi
dari pembuktian. Tujuan dan fungsi pembuktian bagi penuntut umum bahwa
pembuktian adalah upaya untuk mendukung hakim yang didasarkan pada
alat bukti supaya terdakwa dapat dinyatakan bersalah yang telah tertulis
pada surat dakwaan.

17
Rahman Amin, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata,
(Yogyakarta: Deepublish, 2020), hlm. 13
18
Ramdhan Kasim, Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana, (Malang: Setara
Press, 2019) hlm. 207-208
19
Riadi Asra Rahmad, Hukum Acara Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), hlm.
83-84
Selain itu terdapat pula tujuan dan fungsi pembuktian bagi terdakwa
atau bagi penasihat hukum jika terdakwa membawa penasihat hukum.
Tujuan dan fungsinya adalah agar hakim untuk melakukan pertimbangan
terhadap alat bukti yang ada dengan tujuan untuk dibebaskan dari
dakwaannya atau diringankan pidananya. Agar terdakwa terbebas atau
diringankan hukumannya, maka pihak terdakwa yaitu penasihat hukumnya
harus mengajukan bantahan berupa alat bukti yang dapat mendukung
terdakwa terbebas atau mendapat peringanan pidana.
Tujuan dan fungsi pembuktian bagi hakim tentunya sangatlah
penting. Karena dengan adanya barang bukti yang dihadirkan dalam
persidangan baik barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum maupun
barang bukti yang diajukan oleh terdakwa/penasihat hukum akan membantu
hakim untuk melakukan pertimbangan, dan membuat keputusan.20
Dalam pembuktian terdapat teori tentang pembuktian, diantaranya
teori pembuktian yang didasarkan pada perundang-undangan. Teori tersebut
menjelaskan bahwa untuk membuktikan kesalahan yang telah diperbuat
oleh terdakwa harus berdasarkan barang bukti yang terdapat hubungan
dengan kejadian tindak pidana, dan tentunya penyertaan barang bukti yang
sah pada persidangan sudah diatur dalam perundang-undangan.
Adapun teori pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim.
Teori tesebut mengungkapkan bahwa hakim dapat memutuskan suatu
perkara pidana dengan hanya menggunakan keyakinannya saja. Tanpa alat
bukti, seorang hakim dapat menyatakan dengan keyakinannya bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana. Namun, disisi lain teori sangatlah
lemah dan pada dasarnya dapat merugikan terdakwa. Karena bisa saja
keyakinan hakim meleset dan telah melakukan kesalahan terhadap
memberikan keputusan kepada terdakwa.
Terdapat teori pembuktian yang sama dengan teori diatas, yaitu teori
pembuktian yang didasarkan dengan keyakinan hakim yang logis atau
masuk akal. Dalam teori berpendapat bahwa hakim dapat membuktikan

20
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia”, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 25
kesalahan terdakwa tanpa alat bukti tetapi dengan keyakinan hakim yang
dibuat dalam bentuk kesimpulan. Tentunya dalam hal tersebut keyakinan
hakim harus didasarkan pada alasan-alasan yang masuk akal atau logis.21
4. Bayyinah
Bayyinah merupakan istilah pembuktian yang digunakan dalam
hukum Islam. Bayyinah atau pembuktian berisi pendapat atau alat bukti
yang menguatkan ditetapkannya pelaku tindak pidana. Adapun definisi
bayyinah atau pembuktian menurut Ibnu Qayyim, bahwa sesuatu hal yang
dapat menjabarkan kebenaran dengan jelas. Dari definisi yang kemukakan
oleh Ibnu Qayyim bahwa bayyinah atau pembuktian lebih mengarah pada
kekuatan suatu alat bukti yang dinilai dapat mengungkapkan suatu peristiwa
tindak pidana.22
Bayyinah merupakan suatu mekanisme yang harus dilaksanakan
dalam membuktikan suatu peristiwa tindak pidana dengan cara memberikan
dalih-dalih yang tentunya berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi di
tempat kejadian perkara atau dalam suatu peristiwa tindak pidana. Oleh
karena itu, seluruh hal yang berkaitan dengan barang bukti, informasi baik
infromasi dalam bentuk data maupun informasi dalam bentuk narasumber
menjadi ruang llingkup pembahasan bayyinahi atau pembuktian.23
F. Tinjauan Pustaka
Dalam menunjang tulisan ilmiah ini tentunya penulis akan melakukan
tinjauan terhadap penelitian-penelitian atau tulisan-tulisan ilmiah yang pernah
membahas terkait dengan judul pada proposal ini. Pada penelitian-penelitian
sebelumnya sudah ada yang membahas terkait dengan circumstantial evidence,
namun tidak dengan bayyinah. Akan tetapi walaupun berbeda, penulis
menemukan beberapa karya ilmiah yang di dalamnya membahas terkait dengan
circumstantial evidence sebagai berikut:

21
Ramdhan Kasim, Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana… hlm. 209-210
22
Muh. Jamal Jamil, “Pembuktian di Peradilan Agama”, Jurnal Al-Qadau, Vol. 4,
No. 1, 2017, hlm. 30
23
Diah Ayu Lestari, dkk, “Analisis Fiqih Jinayah terhadap Peranan Visum Et
Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Kasus Putusan
No.141/Pid.B/2020/Pn.Pin)”, Jurnal Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam, 2022
Skripsi yang disusun oleh Cintia Agustina Resvianda dari Fakultas
Syariah dengan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Tentang Kedudukan
Alat Bukti Tidak Langsung Atau Circumstantial Evidence Sebagai Dasar
Hakim Menjatuhkan Pidana Perspektif Fiqh Jinayah”.24 Pembahasan di dalam
skripsi tersebut terkait dengan analisis secara hukum mengenai alat bukti tidak
langsung atau circumstantial evidence yang nantinya akan dinilai berdasarkan
pandangan fiqh jinayah. Tentunya pembahasan tersebut berbeda dengan skripsi
penulis yang lebih mengarah pada sudut pandang bayyinah atau pembuktian
menyikapi bukti tidak langsung atau circumstantial evidence.
Selanjutnya skripsi yang disusun oleh Miftahul Chaer Amiruddin dari
Fakultas Syariah Jurusan Ilmu Hukum dengan skripsi yang berjudul “Analisis
Yuridis Pertimbangan Tentang Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara
Dengan Berdasar Circumstantial Evidence Atau Bukti Tidak Langsung”.
25
Dalam skripsi tersebut tentunya membahas mengenai kedudukan bukti tidak
langsung yang digunakan sebagai untuk memahami terkait pertimbangan
keyakinan hakim. Terdapat perbedaan dengan judul serta pembahasan skripsi
milik penulis sendiri. Letak perbedaannya tentunya terdapat pada rumusan
masalah yang nantinya akan dibahas. Lagi-lagi dalam skripsi yang dijadikan
sebagai tinjauan oleh penulis membahas terkait dengan analisis berdasarkan
aspek hukum atau secara yuridisnya. Sudah dipastikan berbeda dengan milik
penulis yang tidak membahas secara aspek yuridis.
Selanjutnya skripsi yang ketiga karya Indriani dari Fakultas Syariah dan
Hukum dengan program studi Ilmu Hukum. Skripsi tersebut berjudul “Bukti
Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) Dalam Perkara Kartel Sepeda
Motor Matik Yamaha Dan Honda”.26 Dalam skripsi tersebut membahas
mengenai pembuktian yang tidak langsung dalam perkara kartel sepeda motor

Cintia Agustina Resvianda, “Analisis yuridis Tentang Kedudukan Alat Bukti


24

Tidak Langsung Atau Circumstantial Evidence Sebagai Dasar Hakim Dalam Menjatuhkan
Pidana Perspektif Fiqh Jinayah”, Skripsi, Fakultas Syariah, 2023, hlm. 1
25
Miftahul Chaer Amiruddin, “Analisis Yuridis Pertimbangan Tentang Keyakinan
Hakim Dalam Memutus Perkara Dengan Berdasar Circumstantial Evidence Atau Bukti Tidak
Langsung”, Skripsi, Fakultas Syariah, 2020, hlm. x
26
Indriani, “Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) Dalam Perkara Kartel
Sepeda Motor Matik Yamaha Dan Honda”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, 2018, hlm.
1
matik Yamaha dan Honda. Kartel merupakan suatu praktik yang dianggap
sebagai praktik monopoli, dan tentunya akan melahirkan persaingan usaha
yang tidak sehat. Letak perbedaan dengan skripsi milik penulis dapat dilihat
dari rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam skripsi karya Indriani tidak
terdapat pembahasan dalam sudut pandang hukum Islam, sedangkan penulis
menggunakannya.
Selain skripsi, penulis juga menggunakan beberapa jurnal untuk
dijadikan sebagai tinjauan pustaka. Diantaranya sebagai berikut:
Jurnal yang pertama karya Karunia Pangestu, Heru Suyanto, dan
Rosalia Dika Agustanti yang berjudul “Application of Cirmcumstantial
Evidence in Criminal Laws in Indonesia”.27 Pada jurnal ini tentunya membahas
mengenai penggunaan atau penerapan bukti tidak langsung atau circumstantial
evidence dalam sebuah perkara pidana atau ketika proses pembuktian pada
peradilan pidana di Indonesia. Perbedaan dengan judul skripsi milik penulis
terletak pada pembahasannya. Pembahasan pada jurnal lebih fokus pada
penerapannya, sedangkan pembahasan pada skripsi penulis lebih fokus pada
penggunaan bukti tidak langsung atau circumstantial evidence pada kasus
pembunuhan dan nantinya akan diberikan sudut pandang yang berbeda.
Jurnal selanjutnya karya dari Adam Bastian Mardhatillah dan Ahmad
Mahyani yang berjudul “Bukti tidak Langsung Sebagai Dasar Hakim
Menjatuhkan Pidana (Putusan Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST)”.28
Dalam jurnal tersebut tentunya membahas mengenai studi kasus pada putusan
hakim. Dalam proses penyelesaian kasus tersebut terdapat objek yang dapat
dijadikan sebagai pembahasan, yaitu bukti tidak langsung atau circumstantial
evidence dijadikan dasar hakim untuk memberikan tuntutan kepada terdakwa
serta dalam jurnal tersebut terdapat pembahasan mengenai penggunaan
circumstantial evidence menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Terdapat perbedaan dengan skripsi milik penulis yang cukup signifikan.
Perbedaannya adalah dalam jurnal tentunya lebih fokus pada studi kasusnya,

27
Karunia Pangestu, dkk, “Application of Circumstantial Evidence in Criminal
Laws in Indonesia”, Jurnal Hukum Novelty, Volume 12, Issue 01, 2021, hlm. 54-66
28
Adam Bastian Mardhatillah, Ahmad Mahyani, “Bukti Tidak Langsung Sebagai
Dasar Hakim Menjatuhkan Pidana (Putusan Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST)”, Jurnal
Mimbar Keadilan, Volume 12, Nomor 1, 2019, hlm 59-66
sedangkan skripsi milik penulis tidak ada studi kasus hanya saja
pembahasannya lebih fokus pada teorinya dan acaranya.
Selanjutnya jurnal yang disusun oleh Muhammad Jamal Jamil yang
berjudul “Pembuktian di Peradilan Agama”. Jurnal tersebut telah mendapat
persetujuan pada tahun 2017.29 Pembahasan jurnal tersebut mengenai hukum
acara di Peradilan Agama. Alasan penulis menggunakan jurnal tersebut
dijadikan sebagai tinjauan pustaka adalah karena dalam jurnal tersebut terdapat
pembahasan mengenai bayyinah atau pembuktian. Letak perbedaan antara
jurnal dengan skripsi penulis adalah objek pembahasannya. Objek pembahasan
dalam jurnal tersebut lebih mengarah pada proses pembuktian dalam peradilan
Agama, artinya hanya pada ruang lingkup peradilan Agama saja. Sedangkan
milik penulis membahas penerapan dari circumstantial evidence atau bukti
tidak langsung pada kasus pembunuhan.
Jurnal yang lainnya merupakan karya dari Cahya Wulandari dari
Fakultas Hukum yang dirilis pada tahun 2018 dengan judul “Legal Analysis Of
The Use Of Circumstantial Evidence Theory: Study Of The Supreme Court
Decision Number 777/Pid.B/2016/PN Jakarta Pusat.30 Jurnal tersebut hampir
sama dengan jurnal sebelumnya yang memfokuskan pembahasan pada studi
kasus pada sebuah surat putusan hakim. Tentunya berbeda dengan pembahasan
skripsi milik penulis yang tidak ada studi kasusnya. Karena penulis ingin lebih
mengarah hanya pada satu tindak pidana saja, yaitu pembunuhan serta
bagaimana bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dapat digunakan
sebagai pembuktian dan nantinya akan dibahas juga secara bayyinah atau
pembuktian dalam perspektif hukum Islam.
Jurnal yang terakhir adalah karya dari Muhammad Rian Abi Darda,
Firdaus, Meriza Elpha Darnia yang disetujui pada tahun 2023 dengan judul
“Pengaruh Penggunaan Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence)
Dalam Menangani Perkara Kartel Dikaitkan Dengan Legalitas Bukti Tidak

29
Muh. Jamal Jamil, “Pembuktian di Peradilan Agama”, Jurnal Al-Qadau Peradilan
dan Hukum Keluarga Islam, Volume 4, Nomor 1, 2017, hlm. 25-38
30
Cahya Wulandari, “Legal Analysis Of The Use Of Circumstantial Evidence
Theory: Study Of The Supreme Court Decision Number 777/Pid.B/2016/PN Jakarta Pusat”,
Jurnal Yustisia, Vol. 7, No. 1, 2018, hlm. 109-128
Langsung”.31 Dalam jurnal tersebut membahas mengenai pengaruh
diterapkannya circumstantial evidence atau bukti tidak langsung pada perkara
kartel. Tentunya berbeda dengan objek perkara milik penulis. Perkara kartel
merupakan perkara yang biasanya hanya terjadi pada perusahaan besar yang
menjual suatu produk, sedangkan pembunuhan dapat terjadi dimana saja dan
siapa saja bisa menjadi korban pembunuhan.
G. Metode Penulisan
Dalam penyusunan tulisan ilmiah tentunya harus menggunakan metode
penulisan agar tersusun secara sistematis serta metode pengumpulan data untuk
mendukung pembahasan dalam tulisan ilmiah ini. Maka dari itu, penulis
menggunakan metode:
1) Jenis Penelitian
Jenis metode penulisan yang digunakan penulis untuk
menyusun tulisan ilmiah ini menggunakan metode library research atau
penelitian kepustakaan. Dalam metode penelitian hukum library
research atau penelitian kepustakaan dikenal dengan sebutan penelitian
hukum normatif. Library research atau penelitian kepustakaan adalah
studi yang menjadikan dokumen, argumentasi para sarjana, teori
hukum, peraturan perundang-undang sebagai objek utama yang
dijadikan bahan penelitian.32
Penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan bentuk
deskriptif-analitis serta menggunakan pendekatan yuridis normatif
yang artinya dalam tulisan ilmiah ini menggunakan penelitian pada
kaidah-kaidah hukum, teori hukum, ataupun peraturan perundang-
undangan. Lebih jelasnya dalam penelitian ini akan membahas terkait
circumstantial evidence atau bukti tidak langsung dalam pembuktian
tindak pidana pembunuhan perspektif bayyinah atau pembuktian.
2) Sumber Data

31
Muhammad Rian Abi Darda, dkk. “Pengaruh Penggunaan Bukti Tidak Langsung
(Circumstantial Evidence) Dalam Menangani Perkara Kartel Dikaitkan Dengan Legalitas
Bukti Tidak Langsung”, Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 2023, hlm. 662-683
32
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram: Mataram University Press,
2020), hlm. 45
Referensi penellitian atau biasa disebut dengan istiliah sumber
data merupakan dari mana bahan atau data diperoleh. Dalam hal ini juga
dapat diartikan sebagai suatu benda yang dijadikan orang sebagai
tempat untuk mengamati, bertanya mengenai informasi atau membaca
buku tertentu yang isinya berhubungan dengan rumusan masalah dalam
suatu tulilsan ilmiah.33
Berkenaan mengenai sumber data yang dipakai dalam tulisan
ilmiah atau penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang tentunya
terdiri dari tiga bagian diantara:
a. Bahan hukum primer, yakni materi hukum yang memiliki sifat
membalut.34 Tentunya dalam tulisan ilmiah atau penelitian ini akan
menggunakan peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 183-189
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tentang Pembuktian.
b. Bahan Hukum Sekunder, ialah materi hukum yang menjelaskan
terkait materi yang terdapat pada bahan hukum primer, misalnya
informasi yang didapat pada suatu buku, jurnal, skripsi, atau karya
ilmiah lainnya, atau media-media yang dapat diambil informasinya.
c. Bahan Hukum Tersier, ialah materi yang nantinya akan menjelaskan
terkait dua bahan hukum pada dua poin sebelumnya.
3) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam proposal
skripsi ini adalah teknik dokumentasi. Dalam teknik tersebut adalah
teknik pengumpulan data tertulis.35 Pengumpulan data dokumentasi
adalah tahap untuk mengumpulkan data yang tertulis agar pengumpulan
data tersebut dapat digunakan sebagai pendukung tersusunnya
penelitian ini. Tentunya dari hasil pengumpulan data tersebut penulis
akan melakukan analisa terhadap bagian-bagian yang sesuai dengan

33
Rahmadi, Pengantar Metodologi Penelitian, (Banjarmasin: Antasari Press, 2011),
hlm. 60
34
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 113
35
Rahmandi, Pengantar Metodologi Penelitian… hlm. 89
pembahasan dan nantinya penulis akan membuat jalan keluar untuk
memperoleh jawaban yang dibutuhkan pada penellitian ini.
4) Teknik Analisis Data
Untuk mendukung penelitian ini penulis menggunakan teknik
analisis data kualitatif, yaitu menganalisis melalui tahapan dengan cara
menguraikan data-data yang berbobot dan tentunya data-data tersebut
membentuk suatu kalimat yang rapi, sitematis, masuk akal, serta efektif
sehingga data-data yang dilah tersebut dapat dipahami dengan mudah.36
H. Sistematika Penulisan
Penulis melakukan upaya untuk melakukan penjabaran susunan per-bab
dari tulisan ilmiah ini agar lebih teratur, maka penulis membuat susunan pada
masing-masing bab. Tulisan ilmiah ini terdiri dari beberapa bab serta sub-bab
dengan susunan antara lain:
BAB I Pendahuluan, pada bab ini penulis menjabarkan mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori, pada bagan ini penulis menguraikan tentang
tinjauan umum mengenai circumstantial evidence dalam pembuktian tindak
pidana pembunuhan serta dalam perspektif bayyinah. Dan dari judul pada
tulisan ilmiah ini akan diambil topik yang menjadi pembahasan.
BAB III Deskripsi atau Data Penelitian, pada bab ini lebih mengarah
tentang gambaran umum mengenai circumstantial evidence atau bukti tidak
langsung dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan, dan gambaran umum
mengenai bayyinah.
BAB IV Analisis, pada bab ini menjabarkaan terkait penjelasan analisis
circumstantial evidence terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB V Penutup, pada bab ini tentunya berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian kesimpulan berisi jawaban terkait seluruh pembahasan dari
permasalahan yang dikaji dalam tulisan ilmiah ini. Sedangkan saran berisi
tentang kritik yang dapat dijadikan sebagai peningkatan dalam tulisan ilmiah

36
Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2017), hlm. 69
ini, dan tentunya tulisan ini sangat diharapkan bermanfaat bagi penyusun dan
umumnya bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Alfitra. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011.
Asra Rahmad, Riadi. Hukum Acara Pidana. Depok: Rajawali Press, 2019.
Amin, Rahman. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata.
Yogyakarta: Deepublish, 2020.
Eliasta Meliala, Adrianus, dkk. Buku Ajar Kriminologi Forensik: Forensik
sebagai Studi Kriminologi dan Pelibatan Disiplin Lainnya dalam
Pengungkapan Kejahatan. Jakarta: Salemba Humanika, 2023.
Hamim, Khairul. Fikih Jinayah. Mataram: Sanabil, 2020.
Irfan, Nurul, Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.
Ishaq. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2017.
Ibnu Fajar Rahim, Muh. Jaksa Dr. Ibnu: Catatan 3 Tahun Menuntut (Edisi
Kejaksaan Negara Kabupaten Bekasi). Makassar: Humanities Genius,
2022.
Kasim, Ramdhan, Apriyanto Nusa. Hukum Acara Pidana. Malang: Setara Press,
2019.
Marsaid. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Palembang: Rafah Press,
2020.
Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press,
2020.
Nur, Muhammad. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Banda Aceh:
Yayasan Pena, 2020.
Rahmadi. Pengantar Metodologi Penelitian. Banjarmasin: Antasari Press, 2011.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
Wahyuni, Fitri. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Tangerang: PT
Nusantara Persada Utama, 2017.
B. Jurnal
Ayu Lestari, Diyah, dkk. “Analisis Fiqih Jinayah terhadap Peranan Visum Et
Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Kasus
Putusan No.141/Pid.B/2020/Pn.Pin). Jurnal Hukum Pidana dan Hukum
Pidana Islam (2022)
Ashari, A. “PerananBarang Bukti Dalam Proses Perkara Pidana”. Al-Hikam 1. no.
3 (2017):1-2
Azwar, Syahrul. “Eksistensi Alat Bukti Dalam Pengadilan (Studi Komparatif
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia”. Qiyas 3. no. 2
(2018):221
Ayumi, Sri Nur. “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan Berencana”. Jurnal Rechtscientia Hukum 3. no. 1 (2023):7
Choirunnisa, Cholqi, dkk. “Analisis Penggunaan CCTV Sebagai Alat Bukti
Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Jurnal Laboratorium
Syariah dan Hukum 3. no. 6 (2022):529-530
Rian Abi Darda, Muhammad, dkk. “Pengaruh Penggunaan Bukti Tidak Langsung
(Circumstantial Evidence) Dalam Menangani Perkara Kartel Dikaitkan
Dengan Legalitas Bukti Tidak Langsung”. Jurnall Ilmiah Wahana
Pendidikan (2023):662-683
Hasanah, Uswatun dan Yulia Monita. “Sidik Jari sebagai Pendukung Alat Bukti
dalam Proses Penyidikan Perkara Pidana”. Journal Of Criminal 1. no. 3
(2020):141
Jami Jamal, Muh. “Pembuktian di Peradilan Agama”. Jurnal Al-Qadau 4. no. 1
(2017):30
Mardhatillah Bastian, Adam dan Ahmad Mahyani. “Buktik tidak Langsung Sebagai
Dasar Hakim Menjatuhkan Pidana (Putusan Nomor:
777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST). Jurnal Mimbar Keadilan 12. no. 1
(2019):59-66
Siregar, Mahmul. “Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) Dalam Penegakan
Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”. Jurnal Hukum Keadilan 13. no. 2
(2018): 190
Sukarna, Kadi. “Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana”. Jurnal
Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum (2014):350
Pangestu, Karunia, dkk. “Application of Circumstantial Evidence in Criminal Laws
in Indonesia”. Jurnal Hukum Novelty 12 (2021):54-66
Wulandari, Cahya. “Legal Analysis Of The Use Circumstantial Evidence Theory:
Study Of The Supreme Court Decision Number 777/Pid.B/2016/PN Jakarta
Pusat”. Jurnal Yustisia 7. no. 1 (2018):109-128
C. Skripsi
Cintia Agustina Resvianda. “Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Alat Bukti
Tidak Langsung Atau Circumstantial Evidence Sebagai Dasar Hakim
Dalam Menjatuhkan Pidana Perspektif Fiqh Jinayah”. 2023
Indriani. “Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) Dalam Perkara
Kartel Sepeda Motor Matik Yamaha Dan Honda”. 2018
Miftahul Chaer Amiruddin. “Analisis Yuridis Pertimbangan Tentang Keyakinan
Hakim Dalam Memutus Perkara Dengan Berdasar Circumstantial Evidence
Atau Bukti Tidak Langsung”. 2020

Anda mungkin juga menyukai