Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kenny Gultom

M. Kuliah : Hukum Penitensier


Npm : 1803120143

JAWAB

1. Menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagian dari hukuman pidana positif yaitu
bagian yang menentukan:

* Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat
sanksi pidana).

* Beratnya sanksi itu.

* Lamanya sanksi itu dijalani.

* Cara sanksi itu dijalankan ,dan

* Tempat sanksi itu dijalankan.

2. Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang
pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok
perbuatan pidana.

Abolisi menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, adalah suatu hak untuk
menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan
pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah
dijalankan. Merupakan hak prerogarif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat
Mahkamah Agung.

1. Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan
Abolisi (“UU 11/1954”) namun undang- undang tersebut tidak memberikan definisi hukum yang
jelas mengenai Amnesti dan Abolisi.

Grasi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU
Grasi”) sebagaimana telah diubah oleh Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”). Definisi
hukum Grasi diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Grasi yang berbunyi:

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan


pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Pemberian Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) atau Dewan Perwakilan Rakyat
(“DPR”) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang- Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)

3. Pidana Mati Aturan Pemidanaannya


- Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang
sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling
lama 20 tahun.

- Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan
dengan cara tembak mati.

Pidana Penjara Aturan Pemidanaannya

- Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal
umum 15 tahun)

- Boleh 20 tahun berturut-turut, jika:

* ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu,

* ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52)

- Tidak boleh melebihi 20 tahun.

- Dapat ditambah pidana tambahan

- Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran
lainnya 2 tahun.

- Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.

Pidana Kurungan Aturan Pemidanaanya

- Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun.

- Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4
bulan.

Pidana Denda Aturan Pemidanaanya

- Minimal umum Rp 3,75

- Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.

- Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan,
pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan.

4. Secara harfiah hukum penintensier itu dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari norma-
norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan.

Menurut Bemmelan, hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja organisasi dari lembaga-
lembaga pemidanaan

W.H.A Jonkers menyebut penitentiar recht (hukum penetensier) sebagai strafrechttelijk atau bahasa
Indonesianya hukum sanksi kepidanaan (J.M van Bemmelen-J.P.Balkema-Th.W.van Veen, 1987:28)

Tujuannya adalah apa yang ingin dicapai orang dengan pemidanaannya itu yaitu melalui suatu
organisasi.
5.Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP
didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU
20/1946”).

menurut pendapat Adam Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (hal. 43) serta
pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 174),
sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi satu kali hakim menjatuhkan pidana
tutupan yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para
pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau dikenal juga dengan
sebutan “Tiga Juli Affaire”.

Anda mungkin juga menyukai