Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab


kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa “Presiden memberi
Grasi, Amnesti dan Abolisi”. Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa “Amnesti dan
Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas kuasa Undang-
Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari mahkamah Agung. Dalam sejarah
ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi.

Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya non hukum yang luar biasa, sebab
secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui
upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah
Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap ,
maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa
disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan
alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden.

Dalam fungsinya selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala
pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi
jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara
untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum
tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi
kepala negara. Dalam bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’ maka
terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, dan abolisi yang atur dalam
ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (UUD).
Substansi grasi, amnesti, abolisi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia
sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah
manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya
Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif
oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang
hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum.
Mengenai teori-teori pemidanaan (dalam banyak literature hukum disebut dengan
teori hukum pidana/strafrecht-theorien) berhubungan langsung dengan pengertian hukum
pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak
negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti mengapa,
apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan,
atau apakah alasannya bahwa Negara dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi
kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang,
adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi pokok bahasan dalam teori-teori
pemidanaan ini. Pertanyaan yang mendasar tersebut timbul berhubungan dengan kenyataan
bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan
kepentingan hukum pribadi manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu
sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, artinya
hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana mati dan kemudian
dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah, hukum pidana
objektif dapat disebut sebagai hukum sanksi istimewa.
Jelaslah kiranya pidana diancamkan (pasal 10 KUHP) itu apabila telah
diterapkan,justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia sebenarnya
dilindungi oleh hukum.Tentulah hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar
sehingga hanya boleh dimiliki oleh Negara saja.Mengenai Negara seharusnya memiliki
hak ini tidak ada perbedaan pendapat.Negara merupakan organisasi sosial yang
tertinggi,yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata
tertib/ketertiban masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu,maka
wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan
menjalankan pidana.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Grasi, Amnesti, dan Abolisi ?


2. Apakah yang di maksud dengan teori pemidanaan Absolut, Relatif dan teori
Gabungan?
3. Bagaimana analisis pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi kepada narapidana
terhadap teori pemidanaan ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Grasi, Amnesti, dan Abolisi

1. Grasi

Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas suatu putusan
pengadilan yang telah memiliki keuatan hukum yang tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung.
Istilah grasi berasal dari kata “gratie” dalam bahasa Belanda atau “granted” dalam bahasa Inggris.
Yang berarti wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman
yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat
hukum.Secara singkat, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan grasi sebagai ampunan yang
diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman.

Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi
adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan
pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan grasi
ialah sebuah tindakan yang dilakukan oleh Presiden dalam memberikan ampunan pada seseorang
dengan cara mengubah, menghapus atau mengurangi hukuman yang diberikan oleh hakim.
Sesungguhnya grasi bukanlah sebuah upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai
pada tingkat Kasasi ke MA. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak
prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden.

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002, maka dapat kita ketahui bahwa grasi :

1. Dapat dimohonkan pada pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2
(dua) tahun.
2. Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:
a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur
hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
diterima.
3. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:
a. Peringanan atau perubahan jenis pidana
b. Pengurangan jumlah pidana
c. Penghapusan pelaksanaan pidana.
4. Permohonan Grasi dapat diajukan oleh:
a. Terpidana atau Kuasa Hukumnya
b. Keluarga Terpidana, baik dengan persetujuan terpidana maupun tanpa persetujuan
terpidana (bagi terpidana hukuman mati).

Terpidana hanya dapat mengajukan permohonan grasi 1 (satu) kali terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa :

1. Pidana mati
2. Pidana seumur hidup, atau
3. Pidana penjara paling rendah 2 tahun

Jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 1 (satu) tahun sejak memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 7 UU No. 5 Tahun 2010 . Kemudian, yang dimaksud
dengan istilah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan
sebagai :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu
yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi.

Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa
resiko yang di khawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk
pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap
innocent people.

Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan,
penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi.
Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko
tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini
memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam
lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal
upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.

2. Amnesti

Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang
sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Amnesti berasal dari kata Yunani, “amnestia”, yang berarti keterlupaan. Secara umum amnesti
adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah
dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara
semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala
negara kepada seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu.
Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan
kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan
terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang
membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Sama dengan grasi, amnesti merupakan hak
prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif.
Seperti disebutkan diatas, bahwa amnesti diberikan kepada kelompok orang yang pernah
melakukan hal-hal yang berakibat luas bagi pemerintahan negara. Dan biasanya amnesti diberikan
tanpa syarat. Oleh karena itu, dalam pemberiannya, amnesti tidak bisa diberikan secara
sembarangan, tetapi harus melalui pertimbangan yang panjang serta adanya jaminan bahwa
kelompok tersebut tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai
dengan amanat undang-undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Berdasarkan Pasal 14
ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada
di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam
memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski
tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang-Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan
abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Hingga sekarang, Indonesia masih memakai UU
Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Dalam Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas
kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan
suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk
persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut.
Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti
dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Selain itu juga amnesti berarti pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik
demi kepentingan si terdakwa, si tersangka dan mereka yang belum diadili untuk ditiadakan akibat
hukum dari delik-delik yang di maksud. Dalam hal ini berlaku pula apa yang dinamakan “ante
sententiam”, yaitu sebelum putusan atau vonis hakim dibacakan. Bagaimana dengan mereka yang
belum tertangkap atau yang belum diketahui tetapi melakukan delik itu. Tentu saja mereka itu semua
“dibebaskan”, jadi sebelum fase berlaku “ante sententiam”. Pada umumnya amnesti bertalian
dengan soal politik, sehingga dapatlah difahami kalau dalam hal politik, maka Dewan Perwakilan
Rakyat perlu diikutsertakan dalam soal pertimbangan. Apalagi Amnesti selalu menyangkut
sekelompok orang dan demi kepentingan Bangsa dan negara.

3. Abolisi

Abolisi berasal dari bahasa Inggris, “abolition”, yang berarti penghapusan atau
pembasmian. Menurut istilah Abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya, abolisi
merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara,
dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut.
Dari definisi diatas, tentu kita pun dapat mengetahui bahwa sebenarnya abolisi bukanlah suatu
pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi merupakan sebuah upaya Presiden
untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang tersangka. Karena
dianggap pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.

B. Teori pemidanaan Absolut, Relatif, dan Gabungan

1. Teori pemidanaa Absolut

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat
tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum
(pribadi,masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi.
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat
tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum
(pribadi,masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi.
2. Teori Relatif

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana
melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari
penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang,
sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap
masyarakat (preventif umum).

b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku
pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat.

Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari
pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana
pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari
kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal
untuk tujuan kemasyarakatan.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,
karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai
satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan
sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.
Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Dengan munculnya teori gabungan
ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik
beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
C. Analisis pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi

Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan


penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-
alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan
meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan
pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam
realitasnya sebagai roh.

Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat bahwa
negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat
terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana
ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa
musuh tidaklah boleh dibenci. Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana
para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana
sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.

Negativisme yang dimaksud merupakan sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di
masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah
perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan
antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama
tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak
secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak
Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini
dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak
dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.

Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara
adalah identik, karena adalah tak lain dari pada satu susunan tingkah laku manusia dan satu
ketertiban paksaan kemasyarakatan.Jika dilihat dari aspek efek jera, maka penggunaan kata ‘efek
jera’ dalam penghukuman harus ditempatkan dalam konteks pelaku yang sudah pernah atau
berulang kali melakukan tindak pidana, bukan bagi mereka yang mau/akan/ingin melakukan
tindak pidana. misalnya, seorang koruptor dihukum penjara supaya menimbulkan efek jera, bukan
bagi orang lain yang telah/mau/termotivasi untuk korupsi, melainkan efek jera bagi dirinya sendiri.
Tujuannya, agar si pelaku yang dihukum tersebut tidak lagi melakukan korupsi setelah bebas dari
penjara. Apabila dikaitkan dengan hukuman mati, sangat tidak benar apabila hukuman mati
dikenakan dengan tujuan menimbulkan efek jera

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

a. Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh
hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim kepada seseorang.

b. Amnesti
suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk
meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini
diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah
ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada
orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap
delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang
membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.

c. Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara,
dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden
memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang
menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

Teori Pemidanaan

a. Teori Pemidanaan Absolut

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan
berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah
melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi,masyarakat atau
Negara) yang telah dilindungi.

b. Teori Relatif

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat .Tujuan pidana adalah tata tetib masyarakat,dan
untuk menegakkan tatatertib itu diperlukan Pidana.

c. Teori Gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
masyarakat,dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.

Anda mungkin juga menyukai