Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Hukum Acara Pidana Bagian 2

E. Ilmu Bantu Hukum Acara Pidana


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan hukum acara pidana ialah
”menemukan kebenaran material”. Untuk itu selain penguasaan ilmu pengetahuan
tentang hukum pidana dan hukum acara pidana itu sendiri, maka diperlukan pula
para penegak hukum, antara lain Kepolisian (Penyelidik/Penyidik), Kejaksaan
(Penuntut Umum), hakim dan penasihat hukum memiliki ilmu pengetahuan
lainnya untuk dapat menunjang dan membantu dalam menemukan kebenaran
material.
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan bebarapa ilmu-ilmu pembantu
yang dapat digunakan sebagai ilmu pembantu hukum acara pidana, sebagai
berikut:
1. Logika
Untuk memperoleh suatu kebenaran, seseorang akan mememerlukan suatu
pemikiran untuk dapat menghubungkan satu keterangan dengan keterangan
lainnya, dalam hal ini dibutuhkan logika itu. Pada bagian hukum acara pidana
yang paling membutuhkan pemakaian logika, ialah masalah pembuktian dan
metode penyidikan. Pola yang dipergunakan adalah hipotesis atau dugaan
sementara kemudian diupayakan adanya pembuktian yang logis dan mendukung.
Berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan yang diperoleh antara hipotesis dan
pembuktiaan tersebut, maka fakta-fakta sesungguhnya akan membentuk
konstruksi yang logis.
2. Psikologis
Dengan logika kita dapat mengarahkan pikiran kita menuju suatu
ketercapaian kebenaran materil, kemudian polisi, hakim, jaksa/penuntut umum
dan terdakwa adalah manusia yang memiliki perasaan dan harus dimengerti pola
tingkah lakunya. Salah satu ilmu yang mempelajari prilaku manusia adalah
psikologi, sehingga untuk seorang penyidik yang ingin memperoleh suatu
keterangan (keberanan) dari pelaku perbuatan tindak pidana, maka secara
psikilogis penyidik harus mampu menguasainya, dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang menuju kepada suatu pembuktian persangkaan terhadap pelaku
tersebut.
3. Kriminalistik
Ilmu psikologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum acara pidana dalam
menghadapi manusianya, maka ilmu kriminalistik adalah ilmu yang dapat
menganalisis dan menilai fakta-faktanya. Jadi logika diperlukan untuk
penyusunan jalan pikiran dalam pemeriksaan dan pembuktian, sedangkan
psikologi untuk memahami dan mengerti akan sifat dan kraktek manusianya,
maka kriminalistik diperlukan untuk menemukan fakta atau kejadian yang
sebenarnya melalui rekonstruksi.
Dalam pembuktian bagian-bagian kriminalistik yang dipergunakan, antara
lain: ilmu tulisan, ilmu kimia, fisiologi, anatomi patolohik, toxikologi (ilmu
racun), pengetahuan tentang luka, daktiloskopi atau sidik jari, jejak kaki)
antropometri dan antropologi.
4. Psikiatri
Hal-hal yang perlu diteliti dan iusut dalam uasaha menemukan kebenaran
material, bukan hanya manusia dan situasi dan kondisi yang normal, tetapi
kadang-kadang juga diperlukan hal- hal yang abnormal. Dalam hal ini ilmu yang
dibutuhkan untuk meneliti keadaan-keadan yang abnormal adalah psikiatri, maka
dengan psikiatri akan mengungkapkan suatu kebenaran mataerial secara
abnormal.
5. Kriminologi
Selain daripada ilmu-ilmu pembantu hukum acara pidana di atas, maka ilmu
kriminologi merupakan salah satu ilmu pembantu yang sangat penting dalam
hukum acara pidana, sebab krimnologi ilmu yang mempelajasi sebab-sebab atau
latar belakang mengapa oarng melakukan kejahatan (etiologi kriminal/criminele
aetologie).

F. Hal-hal Yang Diatur Dalam Hukum Acara Pidana


Van Bemmelen mengemukakan bahwa pada pokoknya hukum acara
pidana mengatur hal-hal:
a. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya undang-
undang pidana, oleh alat negara, yang khusus diadakan untuk keperluan
tersebut.
b. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu.
c. Diikhtiarkan segala daya-upaya agar para pelaku dari perbuatan tadi,
dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan.
d. Alat-alat bukti yang telah diperoleh oleh terkumpul hasil pengusutan
dari kebenaran persangkaan tadi diserahkan kepada hakim, demikian
juga diusahakan agar tersangka dapat dihadapkan kepada hakim.
e. Menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti
tidaknya daripada perbuatan yang disangka dilakukan oleh tersangka
dan tindakan atau hukuman apakah yang lalu akan diambil atau
dijatuhkan.
f. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunkana terhadap
putusan yang diambil Hakim.
g. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap
putusan yang diambil Hakim.
h. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau tindakan untuk
dilaksanakan.
Maka berdasarkan hal di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tiga
fungsi pokok acara pidana, adalah:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pengambilan putusan oleh hakim.
3. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil.
Dengan demikian hukum acara pidana, menentukan, aturan agar para pengusut
dan pada akhirnya Hakim, dapat berusaha menembus ke arah ditemukannya
kebenaran dari perbuatan yang disangka telah dilakukan orang.
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar
pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan ke muka sidang pengadilan
dinamakan hukum pidana formil. Dengan kata lain bahwa ”Hukum pidana formil
adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan
yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Tindakan-tindakan apa yang harus diambil,apabila ada dugaan, bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan seseorang.
b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakuknya dan cara bagaimana
melakukan penyidikan terhadap pelaku.
c. Apabila telah diketahui pelakunya, maka penyidik perlu menangkap,
menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau
dilakukan penyidikan.
d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu
tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti,
menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita barang-barang
bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut.
e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh
Polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri,
selanjutnya pemeriksaan dalam sdiang pengadilan terhadap terdakwa
oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.

G. Penafsiran Hukum Acara Pidana


Setelah lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
maka hal yang tak dapat disangkal lagi, bahwa pastilah memerlukan penafsiran
atas rumusan pasal-pasalnya. Dengan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan
yang diatur di dalam pasal-pasal KUHAP itu akan dapat mencapai tujuan dari
pembentukannya sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang.
Hukum acara pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana sering
disebut sebagai hukum pidana formal, sehingga hukum acara pidana juga
merupakan suatu hukum pidana. Dalam hal penafsiran undang-undang hukum
acara pidana, maka Simons34 berpendapat bahwa ”mengenai cara menafsirakan
undang-undang pidana umumnya, yaitu Hot hoofdbegins moet zijn de wer uit zich
zelf moet worden verklaard (artinya undang-undang itu pada dasarnya harus
ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri)”. Jadi penafsiran undang-undang
secara terbatas menurut undang-undang seperti dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana disebut strictieve interpretatie atau strictissima interpretaio, atau sebagai
strictissimae interpretatio.
Menurut van Hamel, bahwa ”pada dasarnya untuk menafsirkan udang-
undang hukum pidana berlaku juga ketentuan-ketentuan mengenai penafsiran
seperti yang biasa dipergunakan orang untuk menafsirkan undang-undang pada
umumnya.
Mengenai cara penafsiran suatu ketentuan pidana dalam suatu undang-
undang pidana Hoge Raad di dalam arrest-nya, yaitu tanggal 12 Nopember 1900,
W. 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 hal. 709, W. 11963, telah
memutuskan antara lain ”bij uitlegging van een op zich duidelijke bepaling mag
eendaarvan afwijkende bedoeling van den wetgever niet in aanmerking komen
(artinya pada waktu menafsirkan suatu ketentuan yang sudah cukup jelas itu,
orang tidak boleh menyimpang dari pengertian seperti yang telah dimaksudkan
oleh pembentuk undang-undang)”.
Dalam menafsirkan undang-undang hukum acara pidana dengan metode-
metode penafsiran sebagaimana yang telah dipergunakan pada umunya, kecauli
penggunaan metode penafsiran secara analogis dan metode penafsiran secara
ekstensif, hingga kini belum terdapat suatu communis opinio doctorum atau suatu
kesamaan pendapat diantara para ahli hukum, yaitu tentang boleh tidaknya
metode-metode penafsiran tersebut dipergunakan untuk menafsirkan undang-
undang pidana.
Apabila kita membaca seluruh rumuasan pasal-pasal dalam KUHAP,
maka tak satupun rumusan pasal-pasalnya yang memberikan kemungkinan atau
mengizinkan orang untuk memberikan arti atau penafsiran yang lain kepada
perkataan-perkataan yang telah dipergunakan oleh pembentuk undang-undang di
dalam rumusan pasal-pasalnya. Jadi segala perkataan-perkataan yang terdapat di
dalam rumusan pasal-pasal KUHAP itu selalu ditafsirkan sesuai arti yang telah
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai