Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan hukum acara pidana ialah ”menemukan kebenaran material”. Untuk itu selain penguasaan ilmu pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana itu sendiri, maka diperlukan pula para penegak hukum, antara lain Kepolisian (Penyelidik/Penyidik), Kejaksaan (Penuntut Umum), hakim dan penasihat hukum memiliki ilmu pengetahuan lainnya untuk dapat menunjang dan membantu dalam menemukan kebenaran material. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan bebarapa ilmu-ilmu pembantu yang dapat digunakan sebagai ilmu pembantu hukum acara pidana, sebagai berikut: 1. Logika Untuk memperoleh suatu kebenaran, seseorang akan mememerlukan suatu pemikiran untuk dapat menghubungkan satu keterangan dengan keterangan lainnya, dalam hal ini dibutuhkan logika itu. Pada bagian hukum acara pidana yang paling membutuhkan pemakaian logika, ialah masalah pembuktian dan metode penyidikan. Pola yang dipergunakan adalah hipotesis atau dugaan sementara kemudian diupayakan adanya pembuktian yang logis dan mendukung. Berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan yang diperoleh antara hipotesis dan pembuktiaan tersebut, maka fakta-fakta sesungguhnya akan membentuk konstruksi yang logis. 2. Psikologis Dengan logika kita dapat mengarahkan pikiran kita menuju suatu ketercapaian kebenaran materil, kemudian polisi, hakim, jaksa/penuntut umum dan terdakwa adalah manusia yang memiliki perasaan dan harus dimengerti pola tingkah lakunya. Salah satu ilmu yang mempelajari prilaku manusia adalah psikologi, sehingga untuk seorang penyidik yang ingin memperoleh suatu keterangan (keberanan) dari pelaku perbuatan tindak pidana, maka secara psikilogis penyidik harus mampu menguasainya, dengan memberikan pertanyaan- pertanyaan yang menuju kepada suatu pembuktian persangkaan terhadap pelaku tersebut. 3. Kriminalistik Ilmu psikologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum acara pidana dalam menghadapi manusianya, maka ilmu kriminalistik adalah ilmu yang dapat menganalisis dan menilai fakta-faktanya. Jadi logika diperlukan untuk penyusunan jalan pikiran dalam pemeriksaan dan pembuktian, sedangkan psikologi untuk memahami dan mengerti akan sifat dan kraktek manusianya, maka kriminalistik diperlukan untuk menemukan fakta atau kejadian yang sebenarnya melalui rekonstruksi. Dalam pembuktian bagian-bagian kriminalistik yang dipergunakan, antara lain: ilmu tulisan, ilmu kimia, fisiologi, anatomi patolohik, toxikologi (ilmu racun), pengetahuan tentang luka, daktiloskopi atau sidik jari, jejak kaki) antropometri dan antropologi. 4. Psikiatri Hal-hal yang perlu diteliti dan iusut dalam uasaha menemukan kebenaran material, bukan hanya manusia dan situasi dan kondisi yang normal, tetapi kadang-kadang juga diperlukan hal- hal yang abnormal. Dalam hal ini ilmu yang dibutuhkan untuk meneliti keadaan-keadan yang abnormal adalah psikiatri, maka dengan psikiatri akan mengungkapkan suatu kebenaran mataerial secara abnormal. 5. Kriminologi Selain daripada ilmu-ilmu pembantu hukum acara pidana di atas, maka ilmu kriminologi merupakan salah satu ilmu pembantu yang sangat penting dalam hukum acara pidana, sebab krimnologi ilmu yang mempelajasi sebab-sebab atau latar belakang mengapa oarng melakukan kejahatan (etiologi kriminal/criminele aetologie).
F. Hal-hal Yang Diatur Dalam Hukum Acara Pidana
Van Bemmelen mengemukakan bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-hal: a. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya undang- undang pidana, oleh alat negara, yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut. b. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu. c. Diikhtiarkan segala daya-upaya agar para pelaku dari perbuatan tadi, dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan. d. Alat-alat bukti yang telah diperoleh oleh terkumpul hasil pengusutan dari kebenaran persangkaan tadi diserahkan kepada hakim, demikian juga diusahakan agar tersangka dapat dihadapkan kepada hakim. e. Menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya daripada perbuatan yang disangka dilakukan oleh tersangka dan tindakan atau hukuman apakah yang lalu akan diambil atau dijatuhkan. f. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunkana terhadap putusan yang diambil Hakim. g. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil Hakim. h. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau tindakan untuk dilaksanakan. Maka berdasarkan hal di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tiga fungsi pokok acara pidana, adalah: 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pengambilan putusan oleh hakim. 3. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil. Dengan demikian hukum acara pidana, menentukan, aturan agar para pengusut dan pada akhirnya Hakim, dapat berusaha menembus ke arah ditemukannya kebenaran dari perbuatan yang disangka telah dilakukan orang. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan ke muka sidang pengadilan dinamakan hukum pidana formil. Dengan kata lain bahwa ”Hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Tindakan-tindakan apa yang harus diambil,apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan seseorang. b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakuknya dan cara bagaimana melakukan penyidikan terhadap pelaku. c. Apabila telah diketahui pelakunya, maka penyidik perlu menangkap, menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan. d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut. e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh Polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, selanjutnya pemeriksaan dalam sdiang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
G. Penafsiran Hukum Acara Pidana
Setelah lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka hal yang tak dapat disangkal lagi, bahwa pastilah memerlukan penafsiran atas rumusan pasal-pasalnya. Dengan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasal-pasal KUHAP itu akan dapat mencapai tujuan dari pembentukannya sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang. Hukum acara pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana sering disebut sebagai hukum pidana formal, sehingga hukum acara pidana juga merupakan suatu hukum pidana. Dalam hal penafsiran undang-undang hukum acara pidana, maka Simons34 berpendapat bahwa ”mengenai cara menafsirakan undang-undang pidana umumnya, yaitu Hot hoofdbegins moet zijn de wer uit zich zelf moet worden verklaard (artinya undang-undang itu pada dasarnya harus ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri)”. Jadi penafsiran undang-undang secara terbatas menurut undang-undang seperti dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut strictieve interpretatie atau strictissima interpretaio, atau sebagai strictissimae interpretatio. Menurut van Hamel, bahwa ”pada dasarnya untuk menafsirkan udang- undang hukum pidana berlaku juga ketentuan-ketentuan mengenai penafsiran seperti yang biasa dipergunakan orang untuk menafsirkan undang-undang pada umumnya. Mengenai cara penafsiran suatu ketentuan pidana dalam suatu undang- undang pidana Hoge Raad di dalam arrest-nya, yaitu tanggal 12 Nopember 1900, W. 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 hal. 709, W. 11963, telah memutuskan antara lain ”bij uitlegging van een op zich duidelijke bepaling mag eendaarvan afwijkende bedoeling van den wetgever niet in aanmerking komen (artinya pada waktu menafsirkan suatu ketentuan yang sudah cukup jelas itu, orang tidak boleh menyimpang dari pengertian seperti yang telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang)”. Dalam menafsirkan undang-undang hukum acara pidana dengan metode- metode penafsiran sebagaimana yang telah dipergunakan pada umunya, kecauli penggunaan metode penafsiran secara analogis dan metode penafsiran secara ekstensif, hingga kini belum terdapat suatu communis opinio doctorum atau suatu kesamaan pendapat diantara para ahli hukum, yaitu tentang boleh tidaknya metode-metode penafsiran tersebut dipergunakan untuk menafsirkan undang- undang pidana. Apabila kita membaca seluruh rumuasan pasal-pasal dalam KUHAP, maka tak satupun rumusan pasal-pasalnya yang memberikan kemungkinan atau mengizinkan orang untuk memberikan arti atau penafsiran yang lain kepada perkataan-perkataan yang telah dipergunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam rumusan pasal-pasalnya. Jadi segala perkataan-perkataan yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal KUHAP itu selalu ditafsirkan sesuai arti yang telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.