BERLABEL HALAL
PADA KASUS PRODUK MIE INSTAN IMPOR KOREA
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen
Dosen:
Dr. Endang Pujiastuti, S.H.,M.H.
Agung Sujati Winata, S.H.,M.H.
Disusun Oleh:
Dania Wachidatu 17.4301.292
Yanuarius Yurri Virnando 17.4301.009
Andrian Hidayat 18.4301.086
Mochamad Rabiul Dias 18.4301.016
Dini Hardiyanti 18.4301.184
M. Topan Kelana Sakti 18.4301.072
Ferdy Aditya 18.4301.192
Aal Fahrurozi 18.4301.191
Kelas A
Semester VII
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Dalam makalah ini saya menjelaskan mengenai PERLINDUNGAN
HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK BERLABEL HALAL.
Adapun penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen. Saya menyadari makalah ini masih
banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengaharapkan kritik dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan
Penyusun
DAFTAR ISI
1
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 39.
2
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen (Bandung; Nusa Media, 2010), hlm. 33-
34.
termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak
terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara
lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.3
Akhir-akhir ini, banyak produk barang dan/atau jasa yang berasal dari luar
negeri masuk ke Indonesia salah satunya ialah makanan. Makanan merupakan
kebutuhan utama untuk keberlangsungan kehidupan. Saat ini produk makanan,
baik berupa bahan mentah maupun siap saji (instant), telah beredar luas di
pasaran. Beredarnya produk makanan ini memerlukan kontrol yang kuat dari
pemerintah maupun masyarakat untuk memastikan bahwa produk makanan yang
beredar di pasaran memenuhi standart dan layak untuk dikonsumsi. Pengendalian
ini berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap produk
yang dikonsumsi. Perlindungan ini juga mendorong para produsen untuk
mendistribusikan makanan yang sesuai dengan standart yang berlaku.
Di Indonesia, perlindungan makanan menjadi standar yang perlu dipenuhi.
Hal ini karena produk makanan yang terdistribusi akan diserap oleh pasar yang
mayoritas konsumennya adalah pemeluk agama atau keyakinan tertentu yang
mewajibkan pemeluknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Semisal umat
muslim yang diwajibkan untuk mengkonsumsi produk makanan halal atau umat
Buddha yang tidak boleh memakan olahan sapi dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, informasi tentang kandungan produk makanan serta informasi kehalalan
produk menjadi standart makanan sebelum didistribusikan ke masyarakat.
Standar jaminan dalam makanan sepenuhnya ditanggung oleh produsen
atau media perantara yang mendistribusikan produk tersebut hal ini sesuai dengan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yaitu:
“badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau
orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggung jawab terhadap
jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang
diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi
makanan tersebut”
3
Zumroetin K. Soesilo, Penyambung Lidah Konsumen (Jakarta: Swadaya, 1996), hlm. 12.
Disisi lain, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap produk halal,
tidak diimbangi dengan tindakan para pelaku usaha dalam memberikan informasi
produk yang tepat atau mensertifikatkan kehalalan produksinya dan memberikan
label halal pada kemasannya. Kewajiban mencantumkan informasi makanan,
seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen bahwa perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha dalam memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa
adalah “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat”
Produsen yang memasarkan produknya tanpa penjelasan komposisi bisa
berakibat fatal terhadap konsumen tertentu. Seperti dalam contoh kasus baru-baru
ini terjadi BPOM telah mengeluarkan surat edaran Nomor :
IN.08.04.532.06.17.2432 bahwa mie instant impor yang berasal dari Korea yang
disinyalir berbahan dasar babi dan dinilai meresahkan warga. Mie instant bernama
Nigashimaru, Buldak, Ramyeon, Samyang, Nongshim dan Ottogi yang
mengandung babi dalam komposisinya tersebar di supermarket di wilayah
Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk sebuah penulisan hukum dengan judul:
“PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK
BERLABEL HALAL (KASUS PRODUK MIE INSTANT IMPOR DARI
KOREA)
12
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 9.
(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan
hukumperlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan
dan ditarikbatasnya. Menurut Az Nasution berpendapat bahwa:
“hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
di dalam kehidupan bermasyarakat.”13
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen
diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan
hakhak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum
perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya
untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan
konsumen.
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek – subyek hukum melalui peraturan perundang – undang yang
berlaku dan dipaksankan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum diberikan oleh pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan
rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
13
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, (Cet. II; Jakarta: Diadit
Media, 2006), hlm. 37.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.14
16
Danang Sunyoto, Teori Kuesioner Analisis Data Untuk Pemasaran Dan Perilaku
Konsumen, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hlm. 63.
17
Zulham, Hukum Perlindunan Konsumen (Cet. II; Kencana: Jakarta, 2013), hal. 116.
(walfare) bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan dan labelisasi tercipta
keadilan bagi konsumen.
Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak hanya menyangkut kehalalan
produk. Dalam Undang-Undang juga memberikan pengecualian terhadap pelaku
usaha yang memproduksi produk dari bahan berasal dari bahan yang diharamkan
dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada
kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca,
tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang - Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha”. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu
melakukan pembinaan sekaligus pengawasan terhadap terselenggaranya kegiatan
usaha yang dapat mendukung terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing
pihak (pelaku usaha dan konsumen) sesuai amanah undang-undang dan peraturan
yang yang terkait. Pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan konsumen
dan penerapan ketentuan peraturan perundangundangan nya dilaksanakan oleh
pemerintah, masyarakat dan LPKSM (Lembaga Pengawas Konsumen Swadaya
Masyarakat). Pengawasan pemerintah dilakukan oleh menteri dan/atau menteri
teknis terkait, sedangkan pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM dilakukan
secara langsung terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Karena itu
jika dari hasil pengawasan terjadi penyimpangan yang membahayakan konsumen
maka pelakunya dapat dikenai sangsi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
18
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604)
jenis produk yang beredar di Indonesia nantinya, yakni produk Halal dan Produk
Non Halal. Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari
bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
keterangan tidak halal pada produk.Yang dimaksud dengan “keterangan tidak
halal” adalah pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan. Prioritas wajib
sertifikat halal adalah untuk makanan, kemudian baru obat dan kosmetika. Pelaku
usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib : Pertama, Mencantumkan
label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; Kedua, menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal, Ketiga, memisahkan
lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;
keempat, memperbaharui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir
dan Kelima, melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH (Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal).
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat Halal wajib mencantumkan
Label Halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk dan/atau tempat
tertentu pada produk. Produk yang tidak bersertifikat halal tidak boleh beredar
kecuali pelaku usaha yang memproduksi bahan yang berasal dari bahan yang
diharamkan dikecualikan dari pengajuan sertifikat.
Sertifikasi halal bersifat wajib, maka produk pangan yang beredar terdiri
dari dua kategori: pertama, pelaku usaha yang mengurus sertifikasi halal melalui
pengajuan permohonan untuk melakukan pengurusan sertifikat halal dan yang
memperbaharui sertifikasi halal jika masa berlakunya berakhir. Maka berhak
menggunakan label halal dan harus dicantumkan dalam kemasan produk. Kedua,
Pelaku usaha yang tidak melakukan pengajuan permohonan sertifikasi halal
terhadap produknya, maka produk yang dihasilkannya tidak bersertifikat halal dan
tidak boleh mencantumkan label halal dalam kemasan produknya. Jika ada
pencantuman label halal maka label yang digunakan adalah tidak sah.
Untuk menjaga kehalalan produk dan menjamin konsumen muslim dan
warga negara Indonesia untuk mengkonsumsi produk pangan yang baik dan halal
maka penegakan hukum akan menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha. Secara
tegas Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
terhadap pelanggarannya, maka ditetapkan dua sanksi yaitu sanksi administratif
dan sanksi pidana.
Pada pertengahan juni 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menemukan produk mie terkenal asal Korea positif mengandung babi. Hal
tersebut diketahui setelah BPOM melakukan pengambilan sampel dan pengujian
terhadap beberapa mie instant asal Korea. Dari beberapa produk yang diuji oleh
BPOM, terdapat empat produk mie instant positif terdeteksi mengandung
mengandung DNA babi. Keenam produk asal Korea yang mengandung babi
tersebut yakni Nigashimaru, Buldak, Samyang (mie instant U-Dong), Samyang
(mie instant rasa Kimchi), Ottogi (mie instant Yeul Ramen) dan Nongshim (mie
instant Shin Ramyun Black).BPOM meminta agar mie instant yang diimpor oleh
PT Koin Bumi tersebut segera ditarik dari pasaran.
Mengenai kasus ini, enam produk mie instan impor asal Korea Selatan bermerk
Nigashimaru, Buldak, Samyang varian U-dong, Samyang rasa kimchi, Nongshim
dan Ottogi, selain terindikasi mengandung DNA Babi juga tidak mengantongi
19
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604)
sertifikasi halal dan label halal pada kemasannya. Hal ini tentu cukup meresahkan
masyarakat yang beragama Islam, mengingat konsumen muslim membutuhkan
informasi yang lebih jelas untuk dapat menikmati produk halal. Selain itu, secara
jelas bahan yang berasal dari babi, telah dikategorikan tidak halal. Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
menyebutkan bahwa:
Bahan yang berasal dari hewan dikategorikan tidak halal meliputi:
a. Bangkai;
b. Darah
c. Babi; dan/atau
d. Hewan yang disembelih tidak sesuai syariat.
Selanjutnya Pasal 8 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan tindakan yang dilarang bagi
pelaku usaha antara lain:
“tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label”
Ketentuan tersebut adalah sebuah upaya untuk melindungi konsumen,
khususnya masyarakat muslim dari peredaran produk tidak halal. Selanjutnya,
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal menyebutkan bahwa setiap produk yang beredar wajib mengantongi
sertifikasi halal. Ketentuan tersebut berkaitan erat dengan upaya menjamin hak
konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf c UndangUndang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak atas informasi yang benar
jelas, jujur terhadap kondisi suatu barang atau jasa.
Pencantuman label halal pada produk yang telah mengantongi sertifikasi
halal adalah bagian dari upaya perlindungan hukum bagi konsumen muslim untuk
memberikan informasi yang jelas mengenai kehalalan suatu produk. Konsumen
sejatinya dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha berada didalam
posisi yang cukup lemah. Hal itu terjadi karena dalam menikmati suatu produk,
konsumen sangat bergantung kepada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha.
Pencantuman label halal pada kemasan produk adalah suatu upaya menghindarkan
konsumen dari kekeliruan dalam menikmati produk yang halal.
Selanjutnya, pada produk yang mengandung bahan tidak halal diwajibkan
untuk mengikuti prosedur khusus dengan mencantumkan keterangan
“mengandung babi” pada kemasannya, dimana hal itu tidak dilakukan oleh
importir keempat produk mie instan asal Korea Selatan tersebut. Konsumen dalam
membedakan produk halal dan tidak halal tidak cukup dengan hanya
mengandalkan informasi mengenai komposisi produk dalam kemasan. Khususnya
untuk produk impor, tak jarang informasi mengenai komposisi produk ditulis
dengan menggunakan bahasa asing. Selain itu, zat-zat tidak halal juga ditulis
dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang tentunya akan sulit dipahami oleh
konsumen awam.
Prosedur untuk mencantumkan keterangan “mengandung babi” pada produk
yang tidak halal cukup penting untuk dijalankan oleh pelaku usaha, sebagai
bentuk penegasan bahwa produk tersebut mengandung babi, sehingga konsumen
dapat lebih cepat menangkap informasi mengenai produk yang tidak halal.
Penempatan produk tidak halal harus terpisah dengan produk yang halal agar
konsumen tidak terkecoh.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen muslim atas beredarnya
produk tidak halal dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan:
“Pelaku usaha bertanggung jawab atas periklanan yang diproduksi dan
segala akibat yang timbul dari iklan tersebut”
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
konsumen mengatur:
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen mempunyai kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa ganti rugi dengan jumlah paling banyak
Rp.200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penerapan sanksi secara lebih lanjut diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, konsumen yang dirugikan atas beredarnya produk
tidak halal dapat mengajukan ganti rugi melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dengan jumlah paling banyak Rp.200.000.000,00. Gugatan ganti rugi
yang diajukan berdasarkan kesalahan pelaku usaha yang tidak memenuhi syarat
dalam hal periklanan produknya, dalam hal ini tidak mencantumkan keterangan
“mengandung babi” pada produk yang tidak halal, sehingga menimbulkan
kekeliruan terhadap konsumen dalam membedakan produk halal dan produk tidak
halal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1) Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen atas beredarnya produk
tanpa disertai informasi kehalalan dilakukan dengan senantiasa menjaga hak
yang dimiliki konsumen sesuai ketentuan Pasal 4 UUPK. Tanggung jawab
dari produsen adalah berupa ganti rugi baik secara materil maupun immateril
dan melakukan penarikan terhadap produk yang tidak mencantumkan
informasi yang jelas pada kemasannya.
2) Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk berlabel halal yaitu
dibagi menjadi 2 yaitu perlindungan hukum preventif berupa labelisasi dan
sertifikasi halal serta aturan yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal, selain itu ada juga Peraturan Pemerintah
No. 31 Tahun 2019. Kemudian perlindungan hukum represif yang terdiri dari
sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif atau
pencabutan sertifikat halal dan sanksi pidana berupa pidana penjara serta
denda.
3.2 Saran
1) Perlindungan bagi konsumen harus selalu ditegakkan karena konsumen selalu
menjadi pihak yang dirugikan apabila terjadi suatu pelanggaran. Dalam
melakukan usahanya, pelaku usaha haruslah senantiasa beritikad baik dengan
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur atas produk yang di
produksinya.
2) Pemerintah sebagai pelindung masyarakat seharus mengawasi dengan ketat
produk yang berlabel kan halal karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim dan juga pemerintah mengawasi produk halal tersaeebut harus dengan
syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sunyoto, Danang. Teori Kuesioner Analisis Data Untuk Pemasaran Dan Perilaku
Konsumen. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.