Anda di halaman 1dari 29

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK

BERLABEL HALAL
PADA KASUS PRODUK MIE INSTAN IMPOR KOREA
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen

Dosen:
Dr. Endang Pujiastuti, S.H.,M.H.
Agung Sujati Winata, S.H.,M.H.

Disusun Oleh:
Dania Wachidatu 17.4301.292
Yanuarius Yurri Virnando 17.4301.009
Andrian Hidayat 18.4301.086
Mochamad Rabiul Dias 18.4301.016
Dini Hardiyanti 18.4301.184
M. Topan Kelana Sakti 18.4301.072
Ferdy Aditya 18.4301.192
Aal Fahrurozi 18.4301.191

Kelas A
Semester VII

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Dalam makalah ini saya menjelaskan mengenai PERLINDUNGAN
HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK BERLABEL HALAL.
Adapun penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen. Saya menyadari makalah ini masih
banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengaharapkan kritik dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan

Bandung, 07 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………… i


DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………... 1


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………..........………… 4

1.3. Tujuan Penulisan ………………………………………………………… 5

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….. .6


2.1 Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha Terhadap Makanan
Berlabel Halal ……………………………………………………….…... 6

2.1.1 Hak dan Kewajiban Konsumen ……………………………………….… 6

2.1.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha ………………………………………… 9

2.2 Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Berlabel Halal ……….…… 10

2.2.1 Perlindungan Hukum Preventif bagi Konsumen Terhadap Produk Berlabel


Halal ……………………………………………………………………. 12

2.2.2 Perlindungan Hukum Represif bagi Konsumen Terhadap Produk Berlabel


Halal …………………………………………………….……………… 19

2.2.3 Kasus Mengenai Produk Berlabel Halal ……………………………..… 20

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………...24


3.1 KESIMPULAN ………………………………...………………………..24
3.2 SARAN ………………………………………………....……………….24

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 25


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk sosial dan untuk bertahan hidup harus dapat
bersosialisasi atau berhubungan dengan manusia lain. Hal ini tidak bisa dihindari
dan mutlak dilakukan manusia apalagi pada masa sekarang ini. Hubungan
antarmanusia dan hubungan kemanusiaan seseungguhnya mempunyai pengertian
yang berbeda. Dalam setiap bentuk hubungan, hubungan antarmanusia lebih
mendominasi daripada hubungan kemanusiaan. Begitu juga dengan kebutuhan
manusia yang turut mendominasi setiap harinya.
Setiap manusia pada suatu waktu dalam posisi tunggal atau sendiri
maupun berkelompok bersama orang lain dan dalam keadaan apapun pasti
menjadi kosumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang
universal ini pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai kelemahan pada
konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman.
Secara mendasar, konsumen dipandang secara materil maupun formal
makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi
produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai
sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya
baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan
merasakan dampaknya.
Melalui Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Kosumen Pasal 4 menetpkan 9 (Sembilan) hak konsumen sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara
patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan Pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi atau penggantian,
apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.1
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan jasa yang
penggunaanya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman dan
membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam
masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan jasa dalam
penggunaanya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen
penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan jasa yang
dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan
jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk
didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi
sampai ganti rugi. 2
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara efektif mungkin agar dapat
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara
pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak

1
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 39.
2
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen (Bandung; Nusa Media, 2010), hlm. 33-
34.
termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak
terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara
lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.3
Akhir-akhir ini, banyak produk barang dan/atau jasa yang berasal dari luar
negeri masuk ke Indonesia salah satunya ialah makanan. Makanan merupakan
kebutuhan utama untuk keberlangsungan kehidupan. Saat ini produk makanan,
baik berupa bahan mentah maupun siap saji (instant), telah beredar luas di
pasaran. Beredarnya produk makanan ini memerlukan kontrol yang kuat dari
pemerintah maupun masyarakat untuk memastikan bahwa produk makanan yang
beredar di pasaran memenuhi standart dan layak untuk dikonsumsi. Pengendalian
ini berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap produk
yang dikonsumsi. Perlindungan ini juga mendorong para produsen untuk
mendistribusikan makanan yang sesuai dengan standart yang berlaku.
Di Indonesia, perlindungan makanan menjadi standar yang perlu dipenuhi.
Hal ini karena produk makanan yang terdistribusi akan diserap oleh pasar yang
mayoritas konsumennya adalah pemeluk agama atau keyakinan tertentu yang
mewajibkan pemeluknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Semisal umat
muslim yang diwajibkan untuk mengkonsumsi produk makanan halal atau umat
Buddha yang tidak boleh memakan olahan sapi dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, informasi tentang kandungan produk makanan serta informasi kehalalan
produk menjadi standart makanan sebelum didistribusikan ke masyarakat.
Standar jaminan dalam makanan sepenuhnya ditanggung oleh produsen
atau media perantara yang mendistribusikan produk tersebut hal ini sesuai dengan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yaitu:
“badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau
orang perorangan dalam badan usaha diberi tanggung jawab terhadap
jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang
diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi
makanan tersebut”

3
Zumroetin K. Soesilo, Penyambung Lidah Konsumen (Jakarta: Swadaya, 1996), hlm. 12.
Disisi lain, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap produk halal,
tidak diimbangi dengan tindakan para pelaku usaha dalam memberikan informasi
produk yang tepat atau mensertifikatkan kehalalan produksinya dan memberikan
label halal pada kemasannya. Kewajiban mencantumkan informasi makanan,
seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen bahwa perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha dalam memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa
adalah “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat”
Produsen yang memasarkan produknya tanpa penjelasan komposisi bisa
berakibat fatal terhadap konsumen tertentu. Seperti dalam contoh kasus baru-baru
ini terjadi BPOM telah mengeluarkan surat edaran Nomor :
IN.08.04.532.06.17.2432 bahwa mie instant impor yang berasal dari Korea yang
disinyalir berbahan dasar babi dan dinilai meresahkan warga. Mie instant bernama
Nigashimaru, Buldak, Ramyeon, Samyang, Nongshim dan Ottogi yang
mengandung babi dalam komposisinya tersebar di supermarket di wilayah
Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk sebuah penulisan hukum dengan judul:
“PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK
BERLABEL HALAL (KASUS PRODUK MIE INSTANT IMPOR DARI
KOREA)

1.2 Identifikasi Masalah


1. Bagaimana hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha terhadap
makanan berlabel halal?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk berlabel
halal?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen serta pelaku usaha
terhadap makanan berlabel halal.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
produk berlabel halal.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha Terhadap


Makanan Berlabel Halal
2.1.1 Hak dan Kewajiban Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen merumuskan sejumlah hak
penting konsumen menurut Pasal 4, ada sembilan hak dari hak konsumen, delapan
di antaranya hak yang secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lainya. Hak-hak tersebut adalah:4
1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan eselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya sehingga konsumen dapat terhindat dari kerugian (fisik maupun
psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.5
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa. Hak untuk memilih dimaksudkan
untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-
produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa adanya tekanan dari pihak
luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak untuk memutuskan
untuk membeli atau tidal terhadap suatu produk, demikian pula keputusan
untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.6
Hak memilih hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu.
Apabila suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen maka
dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi.7
3) Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas informasi ini sangatlah
penting sebab tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada
4
Republik Indonesia, Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dikutip dalam buku Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, hlm. 175.
5
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Ed. I; Cet. II;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 41.
6
Ibid.
7
Ibid.
konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk. Hak ini
dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang
suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih
produk yang diinginkan/sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari
kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.8 Informasi tersebut
dapat pula disampaikan secara lisan maupun tertulis, baik yang dilakukan
dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk,
maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui
media cetak maupun melalui media elektronik.9 Informasi ini dapat
memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari
konsumen untuk memilih produk serta meningkatkan kesetiannya terhadap
produk tertentu, sehingga akan member ikan keuntungan bagi perusahaan
yang memiliki kebutuhannya. Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan
menguntungkan baik konsumen maupun produsen.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Hak untuk didengar ini
merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak
untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila
informasi tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya
kerugian yang telah dialami akibat penggunaan seuatu produk, atau yang
berupa penyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara
peseorangan, mauun secara kolektif, baik disampaikan secara langsung
maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui Yayasan
Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI).
5) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (advokasi), perlindungan, dan
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini tentu saja
dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan
akibat penggunaan produk dengan melalui jalur hukum.
6) Hak untuk memperoleh pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk
memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 42.
memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat
terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan
konsumen tersebut, konsumen akan menjadi lebih kritis dan teliti dalam
memilih suatu produk yang dibutuhkan.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, dan tidak
disriminatif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan
penjelasan terhadap konsumen agar diperlakukan benar, jujur, serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,
miskin, dan status social lainnya.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk
memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya
penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak
ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen,
baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri
(sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu
saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di
luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.
9) Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-undangan lain. Hak atas lingkungan
yang bersih dan sehat sangat penting bagi konsumen dan lingkungan. Hak untuk
memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi
tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997.
Adapun mnegenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang konsumen, yakni:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan jasa, demi keamanan dan kesalamatan,
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa,
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar rupiah yang disepakati,
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.10

2.1.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Dalam UUPK, tidak menggunakan istilah produsen, tetapi menggunakan
istilah pelaku usaha yang artinya sama dengan produsen. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 3 mendefinisikan pelaku usaha sebagai:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang di dirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, bauk sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Tanggung jawab yang besar senantiasa melekat pada produsen karena
produsen sebagai pihak yang memproduksi suatu barang harus selalu memastikan
bahwa bahan-bahan yang digunakan adalah bahan yang memang halal dan dalam
setiap kemasannya memasang informasi kandungan produk tersebut.
Dalam UUPK ada 3 jenis pertanggung jawaban, yaitu tanggung jawab
ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
dan tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.11 Berkenaan dengan
tanggung jawab, pada Pasal 19 ayat UUPK mengatur bahwa tanggung jawab
pelaku usaha adalah :
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
(2) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian barang
yang sejenis atau setara nilainya atau pengembalian uang dan/atau
pemberian santunan yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari
setelah tanggal transaksi;
10
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Ed. 1; Cet. IV: Jakarta:
Sinaar Grafika, 2014), hlm. 41.
11
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Bandung, hlm. 125.
(4) Pemberian ganti rugi yang dimaksud ayat (1) dan (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
(5) Ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha membuktikan kesalahan tersebut adalah kesalahan
konsumen”.
Dari ketentuan pasal diatas, dapat diketahui bahwa tanggung jawab
produsen yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, dimana dalam hal ini
produsen yang memproduksi produk tanpa informasi terkait kejelasan kandungan
produk tersebut apakah halal atau tidak, wajib memberikan ganti rugi
sebagaimana tercantum pada ayat (2). Ganti rugi tersebut dapat berupa
penggantian barang yang sejenis atau setara nilainya atau pengembalian uang
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2.2 Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Berlabel Halal
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan
bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan
perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya
perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar yang lemah dan terus
melemah, hal ini disebabkan:12
a) Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya;
b) Daya beli konsumen makin meningkat;
c) Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak
diketahui semua orang;
d) Model-model produk lebih cepat berubah;
e) Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih
besar kepada bermacam-macam pelaku usaha; Iklan yang menyesatkan; dan
f) Wanprestasi oleh pelaku usaha.
Posisi konsumen sangat lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.
Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

12
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 9.
(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan
hukumperlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan
dan ditarikbatasnya. Menurut Az Nasution berpendapat bahwa:
“hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
di dalam kehidupan bermasyarakat.”13
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen
diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan
hakhak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum
perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya
untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan
konsumen.
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek – subyek hukum melalui peraturan perundang – undang yang
berlaku dan dipaksankan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum diberikan oleh pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan
rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif

13
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, (Cet. II; Jakarta: Diadit
Media, 2006), hlm. 37.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.14

2.2.1 Perlindungan Hukum Preventif bagi Konsumen Terhadap Produk


Berlabel Halal
Seperti yang telah dikutip di atas bahwa perlindungan hukum preventif
merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah yang bertujuan
untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam hal produk berlabel hal
perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan
labelisasi halal, sertifikasi halal serta mengaturnya dalam peraturan perundang-
undangan.
Pelaksanaan perlindungan dan penegakan hukum sebagai upaya
perlindungan konsumen dapat juga dilakukan upaya pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah. Upaya pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui 3 sistem,
yaitu :15
1. Sistem Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap
segala produk pangan sejak tahap awal berupa pendaftaran produk pangan
tersebut;
2. Sistem Pengawasan Khusus, yaitu sistem pengawasan yang dilakukan secara
aktif apabila ditemui kasus produk pangan yang tidak sesuai standar. Misalnya
ketika ditemukan kasus produk pangan yang tidak mencantumkan label halal
maka penegak hukum atau pihak yang berwenang segera menanganinya dengan
cara-cara sebagaimana diatur oleh undang-undang misalnya dengan menarik
seluruh produk tersebut dari masyarakat;
3. Sistem Pengawasan Insidental, yaitu penegak hukum atau pihak yang
berwenang melakukan pengawasan secara langsung dalam upaya pengawasan
keamanan dan keselamatan produk pangan halal dengan melakukan sidak secara
rutin.
14
Ray Pratama Siadari, 2015, “Teori Perlindungan Hukum”, URL
:http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html, Diakses tanggal 15
November 2020.
15
Hendrian Wulansari, 2018, “Perlindungan Konsumen Terhadap Ketiadaan Label Halal
Pada Produk Farmasi Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal”, Jurnal Hukum Adigama, Universitas Tarumanegara, Vol. 1 No. 1
Labelisasi berkaitan erat dengan pengemasan. Label merupakan bagian dari
suatu produk yang menyampaikan informasi mengenai produk dan penjual.
Sebuah label bisa merupakan bagian dari kemasan, atau bisa pula merupakan
etiket (tanda pengenal) yang dicantelkan pada produk.16
Sertifikat Halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam.
Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman
LABEL HALAL pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Label sebagai informasi berfungsi:
1. Mengubah perilaku konsumen terhadap produk,
2. Kedua mengakomodasi preferensi konsumen serta meningkatkan
keamanan pangan (food safety)
3. Sebagai jaminan bahwa Negara sedang mempertimbangkan
kepentingan konsumen (cunsemur interests).17
Tujuan dari label halal adalah sebagai informasi untuk membantu konsumen
mengindetifikasi produk makanan yang paling sesuai dengan pilihan mereka. Jika
konsumen mengetahui identitas suatu produk dengan jelas, memungkinkan bagi
konsumen untuk memilih produk, memberikan informasi adalah upaya
meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kebebasan konsumen untuk
menggunakan hak pilih mereka, karena konsumen membuat keputusan
berdasarkan informasi yang ada pada label. Jadi label sangat membantu konsumen
untuk mendapat informasi yang akurat mengenai produk tersebut bagi
kemanfaatan dan kesejahteraan konsumen.
Sertifikasi dan labelisasi halal membantu konsumen untuk mengetahui
sifat dan produk, sehingga memungkinkan bagi konsumen untuk memilih
berbagai produk yang saling bersaing (competing products). Informasi inilah yang
dibutuhkan konsumen pada produk panganan halal, dengan informasi yang
simetris, konsumen dapat menentukan pilihannya untuk mengkonsumsi produk
panganan halal, karena informasi yang simetris merupakan kesejahteraan

16
Danang Sunyoto, Teori Kuesioner Analisis Data Untuk Pemasaran Dan Perilaku
Konsumen, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hlm. 63.
17
Zulham, Hukum Perlindunan Konsumen (Cet. II; Kencana: Jakarta, 2013), hal. 116.
(walfare) bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan dan labelisasi tercipta
keadilan bagi konsumen.
Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak hanya menyangkut kehalalan
produk. Dalam Undang-Undang juga memberikan pengecualian terhadap pelaku
usaha yang memproduksi produk dari bahan berasal dari bahan yang diharamkan
dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada
kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca,
tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang - Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha”. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu
melakukan pembinaan sekaligus pengawasan terhadap terselenggaranya kegiatan
usaha yang dapat mendukung terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing
pihak (pelaku usaha dan konsumen) sesuai amanah undang-undang dan peraturan
yang yang terkait. Pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan konsumen
dan penerapan ketentuan peraturan perundangundangan nya dilaksanakan oleh
pemerintah, masyarakat dan LPKSM (Lembaga Pengawas Konsumen Swadaya
Masyarakat). Pengawasan pemerintah dilakukan oleh menteri dan/atau menteri
teknis terkait, sedangkan pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM dilakukan
secara langsung terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Karena itu
jika dari hasil pengawasan terjadi penyimpangan yang membahayakan konsumen
maka pelakunya dapat dikenai sangsi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Menurut Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen tentang pengawasan


terhadap perlindungan konsumen adalah:
1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan nya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan atau jasa yang
beredar di pasal.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, menteri dan atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan swadaya masyarakat dapa disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis
6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Berdasarkan Pasal 30 tersebut, pemerintah bersama unsur
masyarakat dan LPKSM adalah pihak-pihak yang berwenang untuk
melakukan pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan LPKSM selain
dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan nya juga dilakukan atas barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar. Pengawasan terhadap barang dan/ jasa dilakukan
dengan cara melakukan penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan
meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan
pemasangan label, pengiklanan dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia
usaha. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberikan
perlindungan bagi konsumen khususnya konsumen muslim terhadap beredarnya
produk pangan yang tidak bersertifikat halal. Peran dalam pengawasan ini tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat dan lembaga lain
yang diberi kewenangan.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan


Berdasarkan ketentuan yang ada, pengawasan produk yang berkaitan
langsung dengan kesehatan manusia, baik yang berupa makanan/minuman
maupun sediaan farmasi (obat-obatan, kosmetik, dan alat kesehatan) dilakukan
dalam berbagai tahap, baik mengenai bahan, cara produksi, lingkungan produksi,
pengangkutan dan lain-lain, sehingga apabila berbagai ketentuan tersebut
dilaksanakan dengan baik maka konsumen akan terlindungi. Pengawasan yang
demikian itu sangat penting bagi konsumen, karena persyaratan keamanan
minimal menurut pandangan konsumen adalah menyangkut masalah kesehatan
yang terdiri dari sanitasi bahan baku dan proses pengolahan, pencemaran bahan
kimia atau bahan berbahaya lainnya, bahan tambahan dan lain-lain.
Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam, pemerintah
mengatur mengenai label produk halal melalui UndangUndang No. 18 Tahun
2012 Tentang Pangan. Pasal 97 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan, selanjutnya di ayat
ayat (2) disebutkan setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan
wajib mencantumkan label di dalam dan/ atau pada Kemasan Pangan pada saat
memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada ayat (3) diatur
tentang pencantuman label di dalam dan/ atau pada Kemasan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak jangan menggunakan
bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: nama produk,
daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak
yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan
kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa, nomor izin edar bagi
pangan olahan dan asal usul bahan pangan tertentu. Keterangan tentang kehalalan
pangan tersebut tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat khususnya
yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya
dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang
digunakan dalam memproduksi pangan tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam
proses produksinya.

2. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH)


Peraturan perundang-undangan terkait produk halal yang ada sebelumnya
belum satu pendapat mengenai sifat Sertifikasi Halal. Pengaturannya bertentangan
satu sama lain, misalnya pengaturan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengatur bahwa Sertifikasi Halal bersifat kebolehan (voluntary),
Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2014 Pasal 58
ayat 4 menyatakan bahwa “produk hewan yang diproduksi di dan/ atau
dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan
wajib disertai:
a. Sertifikat veteriner, dan
b. Sertifikat halal bagi produk yang dipersyaratkan.”
Pengaturan tersebut sejalan dengan pengaturan sertifikasi halal dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang menyatakan
Sertifikasi Halal bersifat wajib apabila dipersyaratkan (mandatory if required).
Hal yang lebih tegas tentang sertifikasi halal diatur dalam UU Nomor 33 Tahun
2014 tentang JPH Pasal 4 menyatakan secara jelas bahwa:
“Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat Halal”.
“Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud di atas mulai
berlaku 5 (lima) Tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan”.18
Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal artinya bahwa sertifikat halal bersifat wajib (mandatory)
bagi importir maupun pelaku usaha yang ada di dalam negeri. Jadi hanya 2 (dua)

18
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604)
jenis produk yang beredar di Indonesia nantinya, yakni produk Halal dan Produk
Non Halal. Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari
bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
keterangan tidak halal pada produk.Yang dimaksud dengan “keterangan tidak
halal” adalah pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan. Prioritas wajib
sertifikat halal adalah untuk makanan, kemudian baru obat dan kosmetika. Pelaku
usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib : Pertama, Mencantumkan
label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; Kedua, menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal, Ketiga, memisahkan
lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;
keempat, memperbaharui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir
dan Kelima, melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH (Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal).
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat Halal wajib mencantumkan
Label Halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk dan/atau tempat
tertentu pada produk. Produk yang tidak bersertifikat halal tidak boleh beredar
kecuali pelaku usaha yang memproduksi bahan yang berasal dari bahan yang
diharamkan dikecualikan dari pengajuan sertifikat.
Sertifikasi halal bersifat wajib, maka produk pangan yang beredar terdiri
dari dua kategori: pertama, pelaku usaha yang mengurus sertifikasi halal melalui
pengajuan permohonan untuk melakukan pengurusan sertifikat halal dan yang
memperbaharui sertifikasi halal jika masa berlakunya berakhir. Maka berhak
menggunakan label halal dan harus dicantumkan dalam kemasan produk. Kedua,
Pelaku usaha yang tidak melakukan pengajuan permohonan sertifikasi halal
terhadap produknya, maka produk yang dihasilkannya tidak bersertifikat halal dan
tidak boleh mencantumkan label halal dalam kemasan produknya. Jika ada
pencantuman label halal maka label yang digunakan adalah tidak sah.
Untuk menjaga kehalalan produk dan menjamin konsumen muslim dan
warga negara Indonesia untuk mengkonsumsi produk pangan yang baik dan halal
maka penegakan hukum akan menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha. Secara
tegas Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
terhadap pelanggarannya, maka ditetapkan dua sanksi yaitu sanksi administratif
dan sanksi pidana.

2.2.2 Perlindungan Hukum Represif bagi Konsumen Terhadap Produk


Berlabel Halal
Perlindungan hukum represif adalah perlindungan akhir yang berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan. Dalam kaitannya
dengan pelanggaran atas beredarnya produk dimasyarakat, perlindungan respresif
yang dilakukan adalah dengan melakukan penarikan terhadap produk tersebut dari
pasaran.
Ketentuan pidana dalam UU JPH terkait label diatur dalam Pasal 143 dan
Pasal 144. Pasal 143 mengatur bahwa “setiap orang yang dengan sengaja
menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali dan/atau
menukar tanggal, dan Tahun kadaluarsa pangan yang diedarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
Tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (Empat Milyar Rupiah)”.
Selanjutnya pada Pasal 144 mengatur bahwa “Setiap orang dengan sengaja
memberikan keterangan atau persyaratan yang tidak benar atau menyesatkan pada
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) di Pidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) Tahun atau denda paling banyak Rp.
6.000.000.000,00 (Enam Milyar Rupiah)”. Segala ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-
Undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban bagi pelaku usaha
yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana yang tercantum pada Pasal 25
UU JPH maka dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda
administratif atau pencabutan sertifikat halal. Dan juga bagi pelaku usaha yang
tidak melakukan kewajiban dalam memproduksi produk dari bahan yang berasal
dari barang yang dieramkan sesuai Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran lisan, teguran tertulis atau denda administratif.
Selain ketentuan berupa denda yang bersifat administratif di UU JPH ini
juga mengatur ketentuan pidana bagi pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 56
yaitu “Pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh
sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua Milyar rupiah)”.19
Untuk menjamin kerahasiaan formula yang diajukan oleh pelaku usaha
yang melakukan mengajukan sertifikasi halal di atur dalam Pasal 43 UU JPH,
“Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku
usaha”. Apabila melanggar maka pelaku dipidana penjara paling lama 2 (dua)
Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua Milyar rupiah).

2.2.3 Kasus Mengenai Produk Berlabel Halal

Pada pertengahan juni 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
menemukan produk mie terkenal asal Korea positif mengandung babi. Hal
tersebut diketahui setelah BPOM melakukan pengambilan sampel dan pengujian
terhadap beberapa mie instant asal Korea. Dari beberapa produk yang diuji oleh
BPOM, terdapat empat produk mie instant positif terdeteksi mengandung
mengandung DNA babi. Keenam produk asal Korea yang mengandung babi
tersebut yakni Nigashimaru, Buldak, Samyang (mie instant U-Dong), Samyang
(mie instant rasa Kimchi), Ottogi (mie instant Yeul Ramen) dan Nongshim (mie
instant Shin Ramyun Black).BPOM meminta agar mie instant yang diimpor oleh
PT Koin Bumi tersebut segera ditarik dari pasaran.
Mengenai kasus ini, enam produk mie instan impor asal Korea Selatan bermerk
Nigashimaru, Buldak, Samyang varian U-dong, Samyang rasa kimchi, Nongshim
dan Ottogi, selain terindikasi mengandung DNA Babi juga tidak mengantongi
19
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604)
sertifikasi halal dan label halal pada kemasannya. Hal ini tentu cukup meresahkan
masyarakat yang beragama Islam, mengingat konsumen muslim membutuhkan
informasi yang lebih jelas untuk dapat menikmati produk halal. Selain itu, secara
jelas bahan yang berasal dari babi, telah dikategorikan tidak halal. Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
menyebutkan bahwa:
Bahan yang berasal dari hewan dikategorikan tidak halal meliputi:
a. Bangkai;
b. Darah
c. Babi; dan/atau
d. Hewan yang disembelih tidak sesuai syariat.
Selanjutnya Pasal 8 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan tindakan yang dilarang bagi
pelaku usaha antara lain:
“tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label”
Ketentuan tersebut adalah sebuah upaya untuk melindungi konsumen,
khususnya masyarakat muslim dari peredaran produk tidak halal. Selanjutnya,
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal menyebutkan bahwa setiap produk yang beredar wajib mengantongi
sertifikasi halal. Ketentuan tersebut berkaitan erat dengan upaya menjamin hak
konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf c UndangUndang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak atas informasi yang benar
jelas, jujur terhadap kondisi suatu barang atau jasa.
Pencantuman label halal pada produk yang telah mengantongi sertifikasi
halal adalah bagian dari upaya perlindungan hukum bagi konsumen muslim untuk
memberikan informasi yang jelas mengenai kehalalan suatu produk. Konsumen
sejatinya dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha berada didalam
posisi yang cukup lemah. Hal itu terjadi karena dalam menikmati suatu produk,
konsumen sangat bergantung kepada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha.
Pencantuman label halal pada kemasan produk adalah suatu upaya menghindarkan
konsumen dari kekeliruan dalam menikmati produk yang halal.
Selanjutnya, pada produk yang mengandung bahan tidak halal diwajibkan
untuk mengikuti prosedur khusus dengan mencantumkan keterangan
“mengandung babi” pada kemasannya, dimana hal itu tidak dilakukan oleh
importir keempat produk mie instan asal Korea Selatan tersebut. Konsumen dalam
membedakan produk halal dan tidak halal tidak cukup dengan hanya
mengandalkan informasi mengenai komposisi produk dalam kemasan. Khususnya
untuk produk impor, tak jarang informasi mengenai komposisi produk ditulis
dengan menggunakan bahasa asing. Selain itu, zat-zat tidak halal juga ditulis
dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang tentunya akan sulit dipahami oleh
konsumen awam.
Prosedur untuk mencantumkan keterangan “mengandung babi” pada produk
yang tidak halal cukup penting untuk dijalankan oleh pelaku usaha, sebagai
bentuk penegasan bahwa produk tersebut mengandung babi, sehingga konsumen
dapat lebih cepat menangkap informasi mengenai produk yang tidak halal.
Penempatan produk tidak halal harus terpisah dengan produk yang halal agar
konsumen tidak terkecoh.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen muslim atas beredarnya
produk tidak halal dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan:
“Pelaku usaha bertanggung jawab atas periklanan yang diproduksi dan
segala akibat yang timbul dari iklan tersebut”
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
konsumen mengatur:
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen mempunyai kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa ganti rugi dengan jumlah paling banyak
Rp.200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penerapan sanksi secara lebih lanjut diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, konsumen yang dirugikan atas beredarnya produk
tidak halal dapat mengajukan ganti rugi melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dengan jumlah paling banyak Rp.200.000.000,00. Gugatan ganti rugi
yang diajukan berdasarkan kesalahan pelaku usaha yang tidak memenuhi syarat
dalam hal periklanan produknya, dalam hal ini tidak mencantumkan keterangan
“mengandung babi” pada produk yang tidak halal, sehingga menimbulkan
kekeliruan terhadap konsumen dalam membedakan produk halal dan produk tidak
halal.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1) Perlindungan yang diberikan terhadap konsumen atas beredarnya produk
tanpa disertai informasi kehalalan dilakukan dengan senantiasa menjaga hak
yang dimiliki konsumen sesuai ketentuan Pasal 4 UUPK. Tanggung jawab
dari produsen adalah berupa ganti rugi baik secara materil maupun immateril
dan melakukan penarikan terhadap produk yang tidak mencantumkan
informasi yang jelas pada kemasannya.
2) Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk berlabel halal yaitu
dibagi menjadi 2 yaitu perlindungan hukum preventif berupa labelisasi dan
sertifikasi halal serta aturan yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal, selain itu ada juga Peraturan Pemerintah
No. 31 Tahun 2019. Kemudian perlindungan hukum represif yang terdiri dari
sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif atau
pencabutan sertifikat halal dan sanksi pidana berupa pidana penjara serta
denda.

3.2 Saran
1) Perlindungan bagi konsumen harus selalu ditegakkan karena konsumen selalu
menjadi pihak yang dirugikan apabila terjadi suatu pelanggaran. Dalam
melakukan usahanya, pelaku usaha haruslah senantiasa beritikad baik dengan
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur atas produk yang di
produksinya.
2) Pemerintah sebagai pelindung masyarakat seharus mengawasi dengan ketat
produk yang berlabel kan halal karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim dan juga pemerintah mengawasi produk halal tersaeebut harus dengan
syariat islam.

DAFTAR PUSTAKA

Barkatullah, Abdul Halim. Hak-hak Konsumen. Bandung; Nusa Media, 2010.


Indonesia. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal.

Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2004.

Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit


Media, 2006.

Siadari, Ray Pratama. “Teori Perlindungan Hukum”. Diakses tanggal 15


November 2020. http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-
hukum.html.

Soesilo, Zumroetin K. Penyambung Lidah Konsumen. Jakarta: Swadaya, 1996.

Sunyoto, Danang. Teori Kuesioner Analisis Data Untuk Pemasaran Dan Perilaku
Konsumen. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia, 2008.

Wulansari, Hendrian. “Perlindungan Konsumen Terhadap Ketiadaan Label Halal


Pada Produk Farmasi Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal”. Jurnal Hukum Adigama, Universitas Tarumanegara,
Vol. 1 No. 1. (2018).

Zulham. Hukum Perlindunan Konsumen. Kencana: Jakarta, 2013.

Anda mungkin juga menyukai