Anda di halaman 1dari 28

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN WEWENANG PEJABAT KAMPUS

DALAM KASUS PELECEHAN KEKERASAN SEKSUAL

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah


Sosiologi Hukum

Disusun oleh:
Puji Calara 18 4301 096
Christina Purba 18 4301 115
Sonia Damayanti S. 18 4301 162
Christiani Sibarani 18 4301 166
Dini Hardiyanti 18 4301 184
Aal Fachru Rozi Ardhana 18 4301 191
Esther Carollin 18 4301 203
Abel Brian Hutagaol 19 4301 093
Rosi Rosita 19 4301 114
Mega Juwita 19 4301 126
Almira Sava 19 4301 121
Yulia Nizza P 19 4301 806
Lidya Nivisa Yusuf 21 4301 806
Umar Natanegara 18 4301 380
Fauzan Satrya Nugraha 18 4301 108
Asep Sanjaya 18 4301 132

Kelas B

Dosen:
Dr. Hj. Emma Dysmala, S.H., M.H.
Agung Sujati Winata, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan ridho-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Sosiologi Hukum dengan
judul “PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN WEWENANG
PEJABAT KAMPUS DALAM KASUS PELECEHAN DAN
KEKERASAN SEKSUAL” tepat pada waktunya. Terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu hingga dapat disusunnya makalah ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sosiologi Hukum. Dalam makalah ini membahas tentang Kekuasaan dan
Wewenang dihubungkan dengan kondisi di Indonesia pada saat ini.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Hj. Emma Dysmala,
S.H., M.H. dan Bapak Agung Sujati Winata, S.H., M.H. selaku dosen dan
asisten dosen mata kuliah Hukum Investasi. Akhirnya kami ucapkan terima
kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan
kualitas makalah ini dan makalah-makalah lainnya pada waktu mendatang.

Bandung, 22 November 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI .............................................................................................. 4

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................. 15

A. Kekuasaan dan Wewenang ....................................................................................... 15

B. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di lingkungan kampus dan


pencegahannya ......................................................................................................... 16

BAB IV SIMPULAN .......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fenomena terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kampus bukanlah


merupakan hal baru. Pelecehan ini kerap kali dilakukan oleh para oknum dari
kalangan terpelajar, baik sesama pelajar, staff dan karyawan universitas,
maupun para tenaga pendidik.
Tindak pelecehan seksual tidak pandang bulu, baik siapa yang berisiko
menjadi korban maupun siapa yang menjadi pelaku. Tindak pelecehan dan
kekerasan seksual yang dikutuk semua pihak ini tidak hanya terjadi di zona-
zona rawan, tetapi juga kerap terjadi di lembaga pendidikan, yang seharusnya
sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban. Di institusi pendidikan
tinggi, kasus pelecehan seksual bahkan ada indikasi belakangan ini makin
marak.
Dalam catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2018, terdapat
3.528 dari 13.384 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik. Komnas
Perempuan juga mencatat sepanjang tahun 2014-2016 pelecehan seksual di
institusi pendidikan menempati posisi kedua terbanyak setelah pelecehan
seksual di ranah privat.
Jika melihat kondisi sekarang di tahun 2021 dengan maraknya kembali
kasus pelecehan seksual oleh tenaga pendidik/dosen dilingkungan perguruan
tinggi maka bisa disimpulkan bahwa lingkungan kampus bukan rahasia lagi
bahwa posisi dosen umumnya sangat superior dan menempatkan posisi
mahasiswa dalam relasi yang subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki
posisi yang setara, mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika
berhadapan dengan ulah sebagian oknum dosen yang cabul.
Momen ketika mahasiswa tengah konsultasi, sedang menempuh ujian, dan
lain sebagainya, sering dimanfaatkan para dosen yang nakal untuk melancarkan
aksi jahat dan hasrat syahwatnya yang tidak terkendali. Mahasiswa yang lemah,
mereka biasanya tidak mampu mengelak dan potensial menjadi korban ulah
dosennya yang melewati batas kepantasan dan moralitas. Kedua, berkaitan
dengan kemungkinan terjadinya power abuse yang dilakukan dosen atau

1
pejabat kampus karena otoritas yang mereka miliki. Seorang dosen yang berhak
dan memiliki otoritas menentukan kelulusan mahasiswa, menentukan besar
nilai ujian mahasiswa, dan lain sebagainya. Ketika tidak mampu menjaga
integritasnya, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan posisinya
untuk melakukan tindakan jahat. Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan
posisi pelaku yang menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban.
Dzeich & Weiner (1990), dalam bukunya The Lecherous Professor: Sexual
Harassment on Campus menyatakan salah satu tipe tindak pelecehan seksual
yang marak terjadi di kampus ialah yang mereka sebut dengan istilah quid pro
quo, yaitu seseorang yang karena kekuasaan yang dimilikinya memiliki peluang
untuk menundukkan korban. Dengan bujuk rayu, menampilkan sosok orang tua
yang penyayang dan lain sebagainya, seorang dosen bisa dengan mudah menipu
mahasiswanya untuk menutupi intensi seksualnya.
Berbeda dengan pandangan umum, bahwa kampus ialah lingkungan yang
steril dari tindak kejahatan, fakta yang ada memperlihatkan bahwa Perguruan
Tinggi ternyata merupakan salah satu zona yang sama berbahayanya dengan
zona-zona sosial yang lain. Di kampus, di satu sisi mahasiswa berkesempatan
untuk belajar menuntut ilmu. Namun, di sisi yang lain mahasiswa sesungguhnya
rawan menjadi korban perilaku keliru yang dilakukan sebagian oknum
dosennya.
Berbicara mengenai abuse of power dalam lingkungan perguruan tinggi
maka hal tersebut berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang yang tenaga
pendidik dan/dosen miliki. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Sedangkan sebagaimana halnya dengan kekuasaan,
wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya
kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan
sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk
menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai
masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-
pertentangan. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai
wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang

2
banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang , maka yang
dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan.
Masih minimnya laporan mengenai kasus kekerasan seksual di kampus
memperlihatkan bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es (iceberg
phenomenon), di mana kasus yang terlihat dipermukaan tidak menjamin jumlah
kasus yang sebenarnya ada, karena dipastikan masih banyak kasus yang tidak
terlaporkan atau teradvokasi kepada pihak kampus. Permasalahan ini layaknya
bom waktu yang bisa sewaktu-waktu meledak. Oleh karena itu, diperlukan
adanya langkah pencegahan dan penanganan dini oleh kampus, tanpa harus
menunggu banyak kasus yang terlaporkan di permukaan terlebih dahulu. Perlu
adanya peran kampus yang tanggap dan cermat dalam menangani kasus
kekerasan seksual ini, sebagai institusi yang menaungi dan bertanggung jawab
atas civitas akademikanya. Dari pembahasan di atas maka kelompok kami
tertarik membahas mengenai “PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN DAN
WEWENANG PEJABAT KAMPUS DALAM KASUS PELECEHAN
KEKERASAN SEKSUAL”.

B. Identifikasi Masalah

Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat
diidentifikasi masalah masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan dan wewenang?
2. Bagaimana bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di
lingkungan kampus dan megapa hal tersebut bias terjadi serta bagaimana
pencegahannya?

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. TEORI KEKUASAAN

Sejarah kekuasaan di dalam negara sudah ada sejak berabad-abad silam.


Para ahli, termasuk John Locke dan Montesquieu, telah memaparkan teori dan
rumusan mengenai macam-macam kekuasaan negara. Pembagian kekuasaan
dalam pemerintahan suatu negara diperlukan untuk mencegah terjadinya
kekuasaan absolut atau mutlak seperti yang berlaku dalam sistem pemerintahan
monarki atau kerajaan.
Miriam Budiardjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik (2007) mengungkapkan
bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain supaya melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki atau
diperintahkannya. Terkait kekuasaan absolut, Lord Acton mengatakan,
“Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi
manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti menyalahgunakannya.”
Pembagian kekuasaan akhirnya diperlukan untuk mencegah terjadinya
kekuasaan absolut. Dengan begitu, pemerintahan suatu negara tidak serta merta
dapat menjalankan kebijakan sendiri.

1. Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke


John Locke, dikutip dari buku bertajuk Pembahagian Kekuasaan Negara
(1962) karya Ismail Suny, membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu:
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-
undang. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang,
termasuk mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Federatif,
yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar negeri. John Locke
juga memisahkan wewenang negara dan agama dengan amat ketat. Dinukil
dari Petualangan Intelektual (2004) karya Simon Petrus L. Tjahjadi, Locke
menegaskan keduanya terpisah dan tidak boleh saling mencampuri. Urusan
agama, tegas John Locke, adalah keselamatan akhirat, sedangkan urusan

4
negara adalah keselamatan di dunia saat ini atau ketika manusia masih
hidup.
2. Teori Kekuasaan Negara Menurut Montesquieu
Pendapat John Locke agak berbeda dengan pandangan Montesquieu tekait
macam-macam kekuasaan negara. Montesquieu tidak memasukkan
kekuasaan federatif melainkan dijadikan satu dari kekuasaan eksekutif.
Adapun kekuasaan negara menurut Mostesquieu terdiri dari: Legislatif,
yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang.
Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang, termasuk
mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Dalam penjabaran
kekuasaan negara dari Mostesquieu, kekuasaan yudukatif berdiri sendiri,
tidak mendapat intervensi dari kekuasaan lainnya saat menjalankan tugas
sebagai pengadil atas pelanggaran undang-undang. Konsep pembagian
kekuasaan negara oleh Mostequieu ini dikenal dengan Trias Politica yang
diterapkan oleh banyak pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia.

Macam-macam Kekuasaan Negara di Indonesia Republik Indonesia


menganut Trias Politica dalam sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan
ini diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Saat UUD 1945
mendapatkan amandemen, ada revisi terkait susunan pembagian kekuasaan.
Tulisan Christiani Junita Umboh bertajuk "Penerapan Konsep Trias Politica
dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia" di Jurnal Lex Administratum
(2020) menyebutkan, sebelum dilakukan amandemen, pembagian kekuasaan
negara di Indonesia terdiri dari: Legislatif oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eksekutif oleh Presiden
Yudikatif oleh Mahkamah Agung (MA) Konsultatif oleh Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) Eksaminatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Setelah
dilakukannya Amandemen UUD 1945 usai Reformasi 1998, terdapat
penambahan dan pengurangan lembaga negara dalam pembagian kekuasaan.
Susunannya sebagai berikut: Legislatif oleh MPR, DPR, dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Eksekutif oleh Presiden Yudikatif oleh MA,

5
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) Eksaminatif oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Asal mula kekuasaan karena Adanya keunggulan Kekuatan dari pada orang
yang satu terhadap lainnya. Kekuasaan Merupakan Kewenangan yang bisa
didapatkan oleh seseorang atau kelompok untuk menjalankan kewenangan
tersebut sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan. Menurut Harold D.
Iaswell Teori Teokrasi ini merupakan Kemampuan pelaku untuk memengaruhi
tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku
terakhir menjadi sesuai dengan keingan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan. Teori ini mengatakan bahwa Manusia itu menbentuk negara dengan
mengadakan perjanjian dengan masyarakat Menurut Teori ini kekuatan yang
berkuasa adalah yang paling kuat(jasmani/fisik), kemudian apabila keluarga
tersebut berkembang menjadi sebuah Masyarakat dan negara ,Maka kekuasaan
tetap berkuasa didalam Masyarakat dan Negara.

Teori Kekuasaan dibagi atas dua bagian Yaitu :


a) Kekuasaan Jasmaniah (Fisik). Tokoh dari ajaran ini adalah Thomas Hobbes
dan Machiavelli Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan,
ia membedakan dua macam status manusia yaitu :
1) Status naturalis
Kedudukan manusia waktu masih belum ada negara. Dalam status naturalis,
negara masih belum terbentuk, masyarakatnya masih kacau. Dalam keadaan
ini perselisihan mudah timbul karena sifat manusia dalam keadaan tidak
tertib itu merupakan srigala bagi yang lain (Homo Homini Lupus), kalau
keadaan ini dibiarkan teruis menerus akan timbul perang semesta (Bellum
Omnium Contra Omnes). Jadi syarat yang penting menurut Thomas Hobbes
menjadi seorang raja adalah orang yang kuat fisiknya, yang melebihi lainnya
agar dapat mengatasi segala kekacauan yang timbul dalam masyarakat.
2) Status civilis
Yaitu kedudukan manusia setelah ada negara sebagai warga negara.
Machiavelli, dalam bukunya yang berjudul Il Principle, ia mengajarkan
kepada raja-raja bagaimana cara untuk memerintah sebaik-baiknya.

6
Menurut Machiavelli, seorang raja harus kuat dan tahu cara mengatasi
segala kekacauan yang dihadapi negara, ia dapat menggunakan segala alat
untuk menguntungkannya.
b) Teori Kekuasaan Ekonomi.
Tokoh dari teori ini adalah Karl Marx. Marx menganggap bahwa negara itu
merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia di dalam masyarakat
untuk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuannya. Sebagai dasar
dari ajaran Marx adalah pertentangan kelas dalam masyarakat dalam dua
kelas, yaitu kaum yang ekonominya kuat dan kaum yang ekonomi lemah.
Pertentangan antara dua kelas itu ditujukan untuk merebut kekuasaan negara
sebab negara adalah alat kekuasaan. Yang penting dalam teori kekuasaan
ekonomi dari Karl Marx adalah sandarannya yang disebut historische
materialisme yaitu bahwa sejarah kehidupan manusia itu dipengaruhi oleh
kebendaan.

B. TEORI KEWENANGAN

Teori kewenangan sebagai dasar atau landasan teoritik pada penelitian


skripsi ini, karena kewenangan Pengadilan Negeri dalam memutus sebuah
perkara tidak terlepas dari teori kewenangan yang di dalamnya memuat ajaran
tentang jenis dan sumber kewenangan. Jenis kewenangan meliputi kewenangan
terikat dan kewenangan bebas. Sedangkan sumber-sumber kewenangan, antara
lain: atribusi, delegasi dan mandat. Dalam konsep Hukum Tata Negara,
kewenangan atau wewenang dideskripsikan sebagai “rechtsmacht” (kekuasaan
hukum). Dalam hukum publik, wewenang terkait kekuasaan1 terdapat sedikit
perbedaan antara kewenangan (Authority, gezag) adalah apa yang disebut
sebagai kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari yang diberikan oleh
undang-undang atau legislatif. Sedangkan wewenang (competence,
bevoegdheid) hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu dari
kewenangan. Kewenangan dalam bidang kekuasaan kehakiman atau
kekuasaan mengadili lazim disebut kompetensi atau yurisdiksi.

1
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Volume No.5 & 6, Tahun XII, September-
Desember, 1997, hal.1

7
Di Belanda konsep bevoegdheid dipergunakan baik dalam lapangan hukum
publik, oleh karena itu bevoegdheid tidak memiliki watak hukum2. Sedangkan
di Indonesia, konsep wewenang selalu dimaknai sebagai konsep hukum publik,
sebab wewenang selalu dikaitkan dengan penggunaan kekuasaan. Sesuai
dengan pendapat di atas, Prajudi Atmosudirdjo menyatakan : “wewenang
merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan di dalam lapangan
hukum publik, sedangkan kekuasaan untuk melakukan tindakan dalam
lapangan hukum privat disebut hak”.3 Wewenang sekurang-kurangnya terdiri
atas tiga komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum.
Komponen pengaruh dimaksudkan, bahwa penggunaan wewenang bertujuan
untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; komponen dasar hukum
dimaksudkan, bahwa wewenang itu harus didasarkan pada hukum yang jelas;
dan komponen konformitas hukum menghendaki bahwa wewenang harus
memiliki standart yang jelas (untuk wewenang umum), dan standart khusus
(untuk jenis wewenang tertentu). Secara yuridis, wewenang merupakan
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk
melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.4 Setiap penggunaan
wewenang harus memiliki dasar legalitas di dalam hukum positif untuk
mencegah terjadinya perbuatan sewenang-wenang.
Penggunaan wewenang pemerintahan selalu dalam batas-batas yang
ditetapkan sekurang-kurangnya oleh hukum positif. Dalam kaitannya dengan
konsep negara hukum, penggunaan Kewenangan tersebut dibatasi atau selalu
tunduk pada hukum yang tertulis maupun tidak tertulis,5yang selanjutnya untuk
hukum tidak tertulis di dalam hukum pemerintahan di Indonesia disebut
dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” hal ini sesuai dengan
penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman, yang berbunyi : “Negara hukum adalah Negara yang dalam
segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam

2Disarikan dari bahan kuliah Philipus M. Hadjon, Dalam Mata Kuliah Sistem
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Pada Program Megister Hukum Pascasarjana,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1997
3Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet.9. Jakarta, 1998.

hal.76
4Indroharto, Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 2002, hal.68


5Ibid., hal.69

8
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab”. Seperti di
kemukakan di atas, bahwa dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan
kekuasaan6. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena
kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial adalah
kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan merupakan suat
kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya
meskipun menghadapi pihak lain yang menentangnya.7
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari
kekuasaan eksekutif atau administrative. Kewenangan merupakan kekuasaan
dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suat bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari wewenang.
Wewenang (Authority) adalah hak untuk memberi perintah dan kekuasaan
untuk meminta dipatuhi. Wewenang dapat juga didefinisikan sebagai
kekuasaan membuat Keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung
jawab kepada orang lain, fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Kewenangan
harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga
kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Pejabat (organ) dalam
mengeluarkan Keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.
Wewenang bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dibagi menjadi8:
a. Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil), yaitu pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
(atributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan

6PhilipusM. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,


Surabaya, Tanpa Tahun, hal.01
7Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana

Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6, 2014, hal.73


8HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht,

Vugas’Gravenhage, hal.129, Dikutip dari Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi,
Rajawali Prees, Jakarta, 2010, hal. 102

9
een bestuurorgaan). Kewenangan atributif bersifat permanen atau tetap ada,
selama undang-undang mengaturnya. Dengan kata lain wewenang yang
melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata negara, atributif ini
di tunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk
oleh pembuat undang-undang. Atributif ini menunjuk pada kewenangan asli
atas dasar konstitusi/undangundang dasar atau peraturan perundang-
undangan.
b. Kewenangan yang bersifat non atributif (non orisinil) yaitu kewenangan
yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain.
Kewenangan non atributif bersifat insidental dan berakhir jika pejabat yang
berwenang telah menariknya kembali. Penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang
ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur
komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara
khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam politik
hukum, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam yaitu
mandat dan delegasi. Dalam pelimpahan wewenang secara mandat terjadi
ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya (mandaat : eenbestuurorgaan laat zijn bevoegheid
namens hem uitoefenen door een ander), mandate yang beralih hanya
sebagian wewenang, pertanggungjawaban tetap pada mandans. Hal ini
dijelaskan Ridwan HR : “....sementara pada mandat, penerima mandat,
mandataris bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans)
tanggung jawab akhir Keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada
mandans”.9

Pelimpahan wewenang secara delegasi, adalah pelimpahan wewenang


pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain
(delegatie : overdrach van een bevoegheid van het ene bestuurorgaan aan een

9 Ibid, hal. 105-106

10
ander) yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans, maka yang
bertanggung jawab sepenuhnya adalah delegataris10. Syarat-syarat delegasi
menurut Hadjon adalah :
a. Delegasi harus definitif dan pemberian delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan,
artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
Atribusi, delegasi dan mandat adalah bentuk kewenangan organ (institusi)
pemerintah yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa Kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu
Keputusan yuridis yang benar11

C. PELECEHAN SEKSUAL
1. Pengertian Pelecehan Seksual
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam
bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak
dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan,
tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas
yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung
unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara
sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian
tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan
segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang
mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau

10Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum


Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hal. 9-10
118F.A.M Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan

Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2006, hal.209

11
dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam
Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak
diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung
penerima.
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual
yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu
diri penerima pelecehan. Pelecehan seksual mencakup, tetapi tidak terbatas
pada bayaran seksual bila ia menghendaki sesuatu, pemaksaan melakukan
kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau
seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku,
ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, semua dapat digolongkan
menjadi pelecehan seksual. Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas
dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan
yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh
korbannya.

2. Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual


Secara umum, pelecehan seksual ada 5 bentuk, yaitu :
a. Pelecehan fisik, yaitu : Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah
keperbuatan seksual seperti mencium, menepuk, memeluk, mencubit,
mengelus, memijat tengkuk, menempelkan tubuh atau sentuhan fisik
lainnya.
b. Pelecehan lisan, yaitu : Ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan
tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang,
termasuk lelucon dan komentar bermuatan seksual.
c. Pelecehan non-verbal/isyarat, yaitu : Bahasa tubuh dan atau gerakan
tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang,
menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat bibir,
atau lainnya.

12
d. Pelecehan visual, yaitu : Memperlihatkan materi pornografi berupa foto,
poster, gambar kartun, screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui
e-mail, SMS dan media lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional, yaitu : Permintaan-permintaan dan
ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan
yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam
berbagai bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan
kontak fisik secara tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh
tertentu) hingga ajakan yang dilakukan secara terang-terangan dan
serangan seksual (Santrock, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
pelecehan seksual adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-
verbal/isyarat, pelecehan visual, dan pelecehan psikologis/emosional.

3. Aspek-aspek Pelecehan Seksual


Mayer dkk. (1987) menyatakan secara umum dua aspek penting dalam
pelecehan seksual, yaitu aspek perilaku dan aspek situasional.
a. Aspek Perilaku
Pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki
penerimanya, dimana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk
baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara
fisik dimana pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik.
Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan dalam bentuk verbal adalah
bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang
terus-menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak,
pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau
cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau aktivitas
seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan
dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.

13
b. Aspek Situasional
Pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi
tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap
ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan,
pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan. Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek pelecehan seksual adalah aspek perilaku
dan aspek situasional.

14
BAB III
PEMBAHASAN

A. KEKUASAAN DAN WEWENANG

Berdasarkan KBBI, kekuasaan adalah kemampuan individu atau


sekelompok orang untuk menguasai individu atau kelompok lainnya yang
didasarkan pada wibawa, wewenang, kharisma atau kekuatan fisik. Seorang
pemikir besar dalam sejarah yaitu Michel Foucault berkontribusi besar dalam
bidang filsafat dan politik yaitu konsepnya tentang kekuasaan. Foucault
menampilkan suatu perspektif kekuasaan secara baru. Menurut Foucault,
kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh negara, sesuatu yang
dapat diukur. Kekuasaan bagi dia ada di mana-mana, karena kekuasaan
merupakan satu dimensi dari relasi. Artinya, di mana ada relasi, di sana ada
kekuasaan. Sebenarnya yang hendak dibuat Foucault adalah menunjukkan
bahwa kita adalah bagian dari mekanisme kekuasaan itu. Dari kesadaran ini
akan lahir kesanggupan untuk menggunakan kekuasaan secara baik, artinya
demi kepentingan orang lain. Keterarahan pada orang lain hanya lahir dari
kesadaran akan tempat diri sendiri dalam konstelasi kekuasaan. Yang menjadi
masalah dalam kehidupan adalah bahwa banyak orang tak menyadari perannya
dalam peta kekuasaan. Apabila orang sadar akan hal ini, maka orang pun akan
menerima dan menghargai pluralitas peran yang ada dalam relasi kekuasaan.
Dari ketidaksadaran ini akan lahir berbagai tindakan dan sistem yang menindas
dan menyeragamkan.

Berdasarkan KBBI wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak.


Menurut H.D. Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hukum publik. Kewenangan
adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau
institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga
menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut

15
kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
hak dan kewajiban. Wewenang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh
seorang pejabat atau institusi yang bertindak menjalankan wewenangnnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Bentuk Penyalahgunaan Kekuasaan Dan Wewenang di Lingkungan


Kampus dan Mengapa Bisa Terjadi dan Cara Pencegahannya

Kriminalisasi terhadap perbuatan penyalahgunaan wewenang yang


dilakukan Pejabat Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 3
UndangUndang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)3 menjadikan
hakim pidana korupsi mencari interpretasi sendiri terhadap unsur
“penyalahgunaan kewenangan”. Hingga saat ini hukum pidana tidak juga
memberikan batasan terhadap unsur “penyalahgunaan kewenangan” secara
limitatif sehingga sering terjadi inkonsistensi dalam mengukur dan
menentukan terjadinya suatu penyalahgunaan wewenang. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)3
menjadikan hakim pidana korupsi mencari interpretasi sendiri terhadap unsur
“penyalahgunaan kewenangan”. Hingga saat ini hukum pidana tidak juga
memberikan batasan terhadap unsur “penyalahgunaan kewenangan” secara
limitatif sehingga sering terjadi inkonsistensi dalam mengukur dan
menentukan terjadinya suatu penyalahgunaan wewenang. Dengan penggunaan
konsep luas dan bebas ini, akan mudah menjadi senjata penyalahgunaan
wewenang yang lain dan justru kebebasan bertindak pemerintah dalam
menghadapi situasi konkret (freies ermessen) menjadi tidak ada artinya. Dalam
hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang
menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan
tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu yang didasarkan atas

16
kepentingan pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk
orang lain. Aturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
di kampus merupakan bukti komitmen lembaga untuk menciptakan lingkungan
kampus yang ramah gender dan bebas dari kekerasan seksual. Peraturan
tersebut menjadi payung hukum jika terjadi kasus kekerasan seksual di
kampus. Para stakeholder dan civitas academika juga memahami tugas dan
peran masing-masing dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual di
perguruan tinggi. Dalam pelaksanaan kekuasan dan wewenang untuk mengatur
tata tertib dan perilaku kegiatan kampus sering kali terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang dari para petingi kampus yang sering kali
menggunakan kekuasan dan kewenangan sebagai salah satu sarana untuk
melanggar aturan yang sudah di tetapkan oleh pihak kampus. Sekarang ini
sedang marak-maraknya prilaku dari para petinggi kampus (oknum) yang
melakukan tindak kekerasan seksusal.
Tindak kekerasan ini terjadi karena ketimpangan relasi kuasa, relasi
gender dan rape culture. Ketimpangan relasi kuasa terkait dengan pihak
yang memiliki kewenangan dipandang memiliki peluang untuk
menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap
orang yang dipandang lemah atau dibawah pengawasannya. Dalam konteks
perguruan tinggi, dosen mempunyai kekuasaan terhadap mahasiswa
diantaranya dalam bentuk pembimbingan, penugasan, dan evaluasi.
Akibatnya, oknum dosen dapat memanfaatkan kewenangan tersebut
untukmelakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa pada saat
melaksanakan tugasnya Sedangkan ketimpangan relasi gender terjadi
karena konstruksi gender yang patriarkhis dalam masyarakat yang
menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior, dominan, dan
agresif, sedangkan perempuan sebagai orang yang inferior, submisif, dan pasif.
Akibatnya, perempuan dirugikan dan rentan mengalami kekerasan
seksual. Selain itu, kekerasan seksesual juga terjadi karena rape culture
tubuh perempuan dijadikan sebagai objek dan layak dilecehkan, misoginis,
serta tidak memberikan hak dan perlindungan kepada perempua dan hal
tersebut diterima, dijustifikasi oleh media dan budaya popular. Misalnya,

17
blaming victim, membuat joke yang seksis, dan toleran terhadap pelecehan
seksual. Dalam lingkungan yang seksis dan tidak ramah gender,
memungkinkan terjadinya kekerasan seksual berlipat ganda.
Oleh karena itu, potensi terjadinya kekerasan seksual sangat besar,
dapat terjadi dimana dan kapan saja, baik di ruang privat atau publik
termasuk di perguruan tinggi. Berdasarkan penelusuran data melalui media
online, kekerasan seksual terjadi diberbagai kampus di Indonesia, baik
perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama.Pelaku kekerasan
seksual di perguruan tinggi dapat dilakukan oleh civitas academika,
baik dosen, tenaga kependidikan, karyawan, dan mahasiswa. Dilihat dari
karaktersitik pelaku, kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapapun,
termasuk orang yang terlihat “agamis, sopan, dan cerdas”, dosen senior,
pejabat di kampus, dan dosen public figure yang aktif dalam organisasi
sosial keagamaan maupun mahasiswa senior dan seangkatan. Umumnya,
pelaku dikenal dengan baik oleh korban,sehingga korban tidak mencurigai
pelaku. Pelaku cenderung melakukan kekerasan seksual berulang kali
terhadap orang yang berbeda bahkan ada yang sampai melakukannya terhadap
30 orang, sehingga media massa menyebut pelaku kekerasan seksual dengan
“dosen predator”, atau “dosen mesum”. Oleh karena itu, kekerasan seksual
di kampus ibarat gunung es yang baru terungkap jika ada mahasiswi yang
berani melaporkan atau menceritakan kasus yang dialaminya. Satu orang
yang berani bersuara, maka keberanian akan muncul dari korban lain.

Pencegahan Dan Penagananan Kasus Kekerasan Seksual :


A. Pencegahan

Untuk melakukan pencegahan kekerasan seksualdi perguruan tinggi


dapat melakukan berbagai cara, seperti menyebarkan informasi tentang anti
kekerasan seksual melalui berbagai media, meningkatkan pemahaman
melalui kuliah, seminar, diskusi, dan pelatihan; mengembangkan kajian
keilmuan tentang kekerasan seksualdan mengintegrasikan nilai-nilai HAM
dan gender dalam kurikulum, menyediakan tata ruang dan fasilitas yang
aman, nyaman, dan ramahbagi laki-laki dan perempuan, dan menyediakan

18
anggaran untuk penanganan korban. Secara spesifik, rape culturedi kampus
dapat diatasi dengan cara: menghindari bahasa yang menjadikan
perempuan sebagai objek, tegas terhadap orang yang membuat joke seksis
atau percobaan pemerkosaan, mendukung orang-orang yang menjadi korban
kekerasan, berfikir kritis terhadap pesan media yang membahas tentang
perempuan, laki-laki, relasi dankekerasan, menghargai orang lain,
melakukan komuniksi dengan baik terhadap partner, menghindari stereotip,
dan terlibat dalam kelompok untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Dengan demikian, pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh
lembaga dan individu yang bernaung di bawah lembaga pendidikan.
Pemahaman yang baik terhadap kekerasan seksual merupakan langkah awal
untuk membangun kesadaran kritis civitas akademika untuk
mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan dan mencegah terjadinya
kekerasan seksual serta melakukan penanganan terhadap kasus dengan
baik.

B. Penanganan

Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban kepada kampus,


seharusnya mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat. Dalam SK
Rektor UIN Mataram tentang penanganan kasus kekerasan seksual bab
5 pasal 7 dikatakan bahwa sistem pelayanan dilakukan sejak adanya
laporan dengan melakukan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual,
proses pemeriksaaan pelaku, dan pemulihan korban. Pelayanan yang diberikan
dapat berbentuk layanan medis, psikologis, konseling, pendampingan, dan
penyediaan tempat tinggal bekerjasama dengan pihak lain. Adapun proses
pelaporan, dimulai dengan korban melapor ke wakil dekan bidang
kemahasiswaaan yag sekaligus menjaditempat unit layanan terpadu di
fakultas. Dari fakultas dilanjutkan dengan laporan ke wakil rektor bidang
kemahasiswaan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan, persidangan, dan
sanksi oleh Senat Universitas, yang diakhiri dengan adanya keputusan
rektor untuk merespon kasustersebut. Alur pelaporan seharusnya dipahami
dengan baik oleh korban dan dijalankan dengan penuh amanah oleh para

19
stakeholder yang terlibat dalam penanganan tersebut. Kampus berkewajiban
untuk menerapkan aturan tersebut dengan baik dan tegasterhadap pelaku
serta mengikat semua civitas akademika.
Penanganan korban berdasarkan pada prinsip-prinsip a) penanganan sesuai
dengan bentuk dan jenis kekerasan,b) partisipasi korban (menghargai pilihan
dan keputusan korban),c) menjaga kerahasiaan korban, d) tidak
menghakimi,e) berlandaskan teologis, f) non diskriminasi, g) berkeadilan
gender,h) berkelanjutan, I) )empati.
Dengan demikian, penanganan kasus harus berdasarkan pada
perlindungan, keadilan, dan pemenuhan hak-hak korban, termasuk
memberikan hukuman setimpal kepada pelaku agar jerah dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya, serta tidak ada lagi korban dalam kasus
yang sama. Lebih dari itu, penanganan yang tepat akan mewujudkan
kampus yang ramah gender dan terbebas dari kekerasan seksual. Namun
demikian, kenyataan dilapangan terkadang berbeda. Pada beberapa kasus
kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, ada dua bentuk respon
stakeholder kampus dalam menghadapi kasus tersebut. Pertama, menjaga
nama baik kampus dengan melindungi pelaku, tidak memproses laporan
korban atau kasus sengaja ditutupiagar tidak diketahui oleh pihak luar.
Pihak kampus tidak merespon dengan baik karena tidak ada atau kurang
komitmen lembaga terhadap kasus kekerasan seksual. Dalam beberapa
kasus, korban justru dipersalahkan karena membiarkan pelaku beraksi dan
korban disuruh bungkam. Bahkan pelaku mengelak dengan berbagai alasan,
seperti adanya salah paham, memutarbalik fakta dan membuat korban terpojok
dengan mengatakan “bukan mengajak minum kopi tapi hanya mengambil
buku”, “lebih suka chatting daripada mengirim WA”, “bukan memegang
korban tetapi hanya membenarkan seatbelt”, dll. Selain itu, pelaku justru
mendapat dukungan dari teman seprofesi dengan melarang menyebarkan
berita tersebut karena dianggap aib “... ketimbang mikirin itu, masih banyak
tugas yang harus kalian kerjakan. Kalau tugasnya sudah habis, ngaji aja.
Allah melarang kita menyebar aib yang Allah sudah tutupi”.

20
Kedua, kampus merespon dengan memberikan keadilan terhadap korban
dengan cara memberikan sanksi kepada pelaku dan memulihkan nama
baik korban.Respon baik ini dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai
dari memberikan semangat kepada korban karena telah berani melaporkan
kasus tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pelaku dipanggil,
ditegur, dipindahkan tugas, dibatalkan pencalonan sebagai pejabat,
hingga skorsing mengajar selama waktu tertentu. Dalam kasus pelakunya
mahasiswa, kampus memberikan sanksi berupa pencabutan gelar
mahasiswa berpretasi kepada yang bersangkutan. Dalam UU No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, bab VI pasal 77, hukuman bagi guru dan
dosen yang melanggar aturan dikenai sanksi berupa teguran, peringatan
tertulis, penundaan pemberian hak dosen, penurunan pangkat, pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Menurut H.D. Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hukum publik. Kewenangan
adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau
institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga
menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut
kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
hak dan kewajiban. Wewenang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh
seorang pejabat atau institusi yang bertindak menjalankan wewenangnnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan


tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu yang didasarkan atas
kepentingan pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk
orang lain. Aturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
di kampus merupakan bukti komitmen lembaga untuk menciptakan lingkungan
kampus yang ramah gender dan bebas dari kekerasan seksual. Peraturan
tersebut menjadi payung hukum jika terjadi kasus kekerasan seksual di
kampus. Para stakeholder dan civitas academika juga memahami tugas dan
peran masing-masing dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual di
perguruan tinggi. Dalam pelaksanaan kekuasan dan wewenang untuk mengatur
tata tertib dan perilaku kegiatan kampus sering kali terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang dari para petingi kampus yang sering kali
menggunakan kekuasan dan kewenangan sebagai salah satu sarana untuk

22
melanggar aturan yang sudah di tetapkan oleh pihak kampus. Sekarang ini
sedang marak-maraknya prilaku dari para petinggi kampus (oknum) yang
melakukan tindak kekerasan seksusal. Tindak kekerasan ini terjadi karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan rape culture. Ketimpangan
relasi kuasa terkait dengan pihak yang memiliki kewenangan dipandang
memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan
kekerasan seksual terhadap orang yang dipandang lemah atau dibawah
pengawasannya. Maka bentuk pencegahan kekerasasan seksual dalam ruang
lingkup perguruan tinggi dapat berupa menyebarkan informasi tentang anti
kekerasan seksual melalui berbagai media, Meningkatkan pemahaman
melalui kuliah, seminar, diskusi, dan pelatihan, Mengembangkan kajian
keilmuan tentang kekerasan seksual dan mengintegrasikan nilai-nilai HAM
dan gender dalam kurikulum, dan menyediakan tata ruang dan fasilitas
yang aman, nyaman, dan ramahbagi laki-laki dan perempuan, dan
menyediakan anggaran untuk penanganan korban.

B. Saran

Untuk meminimalisir atau mencegah kegiatan penyalahgunaan wewenang


dan kekekuasan khususnya dalam lingkungan kampus sebaiknya perlu dimulai
dari individu itu sendiri karena bila dari individu tersebut memiliki pendirian
yang baik sehingga tidak akan melakukan kegiatan yang melanggar peraturan
dan moral tersebut. Dan juga perlu dipertegas lagi untuk efek jera yang
diberikan kepada pelaku agar dapat menjadi suatu pertimbangan untuk tidak
melakukan perbuatan tercela tersebut.
Kemudian,dalam masalah pelecehan seksual yang terjadi perlu juga
melihat kondisi bagaimana kekerasan seksual dapat meninggalkan dampak
traumatis yang mendalam dan kompleks, memberikan gambaran bahwa
kekerasan seksual merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang serius
dan perlu dihapuskan. Namun nyatanya masyarakat di Indonesia masih
memiliki kecenderungan untuk menyalahkan dan menstigma korban kekerasan
seksual. Kami menyarankan agar masyarakat bersama-sama bergerak aktif
untuk menyuarakan pentingnya menghapus kekerasan seksual dan

23
memperjuangkan hak-hak korban, menghilangkan stigma bahwa “korban
adalah salah” dalam kamus kekerasan seksual dan menumpaskan keheningan
yang selama ini tidak disuarakan oleh korban kekerasan seksual.

24
DAFTAR PUSTAKA

Admosudirjo, P. (1998). Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia.


Afandi, A. K. (2012). Konsep kekuasaan Michael Faucault. Teosofi, 2(1), 131-149.
https://doi.org/10.15642/teosofi.2012.2.1.131-149
Hadjon, P. M. (1997). Tentang wewenang. Yuridika, 5&6.
Indoharto. (2002). Usaha memahami Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar
Harapan.
Suyanto, B. (2021). Pelecehan seksual di kampus, bagaimana menanganinya?
Media Indonesia. https://m.mediaindonesia.com/opini/446090/pelecehan-
seksual-di-kampus-bagaimana-menanganinya
Thalib, A. R. (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan aplikasinya dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Waskito, B. (2019). Wewenang Tentara Nasional Indonesia dalam Pasal 431 Ayat
1 Undang-Undang Terorisme terkait Fungsi Tentara Nasional Indonesia.
WEWENANG-TNI-DALAM-PASAL-43I-AYAT-1-UNDANG-
UNDANG-TERORISME-TERKAIT-FUNGSI-TENTARA-NASIONAL-
INDONESIA-PROPOSAL-SKRIPSI-NORMATIF.pdf (researchgate.net)

25

Anda mungkin juga menyukai