Anda di halaman 1dari 6

1.

Jelaskan konsep dan pemikiran penerapan pemikiran ekonomi Islam Al-Ghazali Asy-Syaibani dan
Zaid bin Ali

2. Jelaskan konsep, kategori dan praktik dari pada riba

Konsep Riba

a menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan

pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan atau nilai lebih atau tambahan. Riba berarti nilai
tambahan

yang diharamkan dalam urusan pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi.

Riba ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Hukum riba adalah haram.

Pendapat Ulama tentang ‘Illat Riba, Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti

terdapat para nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-

benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.

Illat riba fadzl menurut ulama’ hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta

barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Illat

diharamkanya riba menurut ulama’ Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan

mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubunganya dengan riba
nasi’ah

dan riba fadhl. Illat diharamkanya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja
(makanan

selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan
pokok)

dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut. Illat diharamkanya riba fadhl pada

makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.

Menurut Imam Syafi’i Makanan adalah Illat pada segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi

tiga. Pertama, sesuatu yang biasa kriteria berikut ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok;

kedua, Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan
dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering; dan ketiga, makanan

yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama

Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan
badan.

Adapun menurut Madzhab Hambali, terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur
adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah. Hanya saja, ulama hanafiyah mengharamkan pada setiap

jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma. Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang

dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap

makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba

walaupun ada tambahan. Menurut Madzhab Zhahiri, riba tidak dapat di-illatkan, sebab ditetapkan

dengan nash saja. Dengan demikian, Riba hanya terjadi pada barang-barang yang telah ditetapkan

pada fiqih di atas, yaitu enam macam sebab golongan ini mengingkari adanya qiyas.

Kategori Riba

Macam-macam riba dalam Islam ada lima, yakni riba fadhl, nasi’ah, al yad, al qard, dan jahiliyah.
Pahami macam-macam riba ini agar lebih mudah menghindarinya. Allah SWT menegaskan bahwa
riba adalah haram.

Macam-macam riba dalam Islam ini berbeda dengan perdagangan. Dalam Al-Qur’an surat Al
Baqarah ayat 276 dijelaskan bahwa Allah SWT memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Periba
itu hanya mencari keuntungan dengan jalan riba dan pembangkang sedekah mencari keuntungan
dengan jalan tidak mau membayar sedekah.

Hukum riba ini haram dan ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 130 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imron ayat 130)

Selain istilah, ada lima macam-macam Riba, Riba Nasi’ah, Riba Fadhl, Riba Al Yad, Riba Qard, dan
Riba Jahiliyah Berikut penjelasan lima macam riba menurut Islam:

1. Riba Nasi’ah

Riba yang pertama ini ialah seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang
dengan batas tertentu, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan
tersebut Misalnya, seseorang yang berhutang Rp1.000 yang mesti dibayar dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan tetapi tidak terbayar olehnya pada waktu itu. Maka, bertambah besarlah jumlah
hutangnya. Misalnya, seseorang yang berhutang Rp1.000 yang mesti dibayar dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan tetapi tidak terbayar olehnya pada waktu itu. Maka, bertambah besarlah
jumlah hutangnya.
2. Riba Fadhl

Macam Riba selanjutnya yakni Riba Fadhl, merupakan tambahan yang disyaratkan dalam tukar
menukar barang yang sejenis. Jual beli ini juga disebut sebagai barter tanpa adanya imbalan untuk
tambahan tersebut.

3. Ribah Al Yad

Ribah Al Yad adalah riba dalam jual beli atau yang terjadi dalam penukaran. Penukaran tersebut
terjadi tanpa adanya kelebihan, namun salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum
terjadi penyerahan barang atau harga

4. Ribah Qard

Ribah ini adalah Riba dalam utang piutang yaitu dengan mengambil manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang diisyaratkan kepada penerima utang atau muqtaridh.

5. Riba Jahiliyah

Macam-macam Riba menurut Islam yang terakhir adalah Riba Jahiliyah yaitu penambahan utang
lebih dari nilai pokok dalam utang piutang karena penerima utang tidak mampu membayar utangnya
secara tepat waktu.

Praktik Riba

Posisi emas dan perak saat ini digantikan dengan uang tunai. Oleh karena itu, transaksi mata uang
dalam kurs, sejatinya juga masuk kategori transaksi ribawi disebabkan peran pengganti emas dan
perak tersebut. Seandainya suatu saat ada alat transaksi lain yang menggantikan peran uang emas
dan perak, atau mata uang, misalnya dalam bentuk mata uang virtual, bitcoin atau sejenisnya, maka
ia juga bisa digolongkan sebagai transaksi barang ribawi karena peran yang dimilikinya sebagai alat
tukar dan alat ukur nilai barang. Dan sebagai alat transaksi barang ribawi, maka ia bisa terkenal pasal
riba apabila tidak memperhatikan berbagai pedoman yang sudah diatur oleh syara’. Semua macam
transaksi riba, hukumnya adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’. Dengan
demikian, penting kiranya kita mengenali transaksi riba dalam jual beli. Dalam praktik jual beli, ada
tiga praktik transaksi riba yang terkenal, yaitu riba al-fadl, riba al-yad dan riba al-nasa’. Karena butuh
ruang khusus untuk membahas riba al-nasa’ (riba yang terjadi akibat jual beli tempo), dalam
kesempatan ini hanya akan dijelaskan dua riba jual beli, yaitu riba al-fadl dan riba al-yad.

Pertama, riba al-fadl, yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang
disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya melebihkan di salah satu barang yang
dipertukarkan. Karena adanya unsur melebihkan (fudlul) ini maka riba ini diberi nama sebagai riba
al-fadl (riba kelebihan). Suatu misal Bu Eko memiliki beras bagus seberat 1 kilogram. Bu Hasan
memiliki beras jelek seberat 2 kilogram. Bu Eko bermaksud memiliki beras kualitas jelek milik Bu
Hasan tersebut untuk campuran pakan ternaknya. Sementara itu Bu Hasan membutuhkan beras
bagus untuk konsumsi keluarganya. Akhirnya, terjadilah transaksi keduanya untuk saling
menukarkan beras tersebut. Bu Eko membawa beras bagus seberat 1 kilogram dan Bu Hasan
membawa beras kualitas buruk seberat 2 kilogram. Transaksi terjadi dengan penukaran beras 1 kg
ditukar dengan beras 2 kg. Transaksi sebagaimana dimaksud dalam contoh ini adalah termasuk
transaksi riba, disebabkan ada kelebihan timbangan dari beras miliknya Bu Hasan, dengan selisih 1
kilogram. Pasal yang dilanggar dalam hal ini adalah karena ketiadaan sama timbangannya,
sebagaimana syarat sah transaksi barang ribawi, yaitu harus kontan, saling menyerahkan, dan sama
timbangannya.

Sebagai solusinya, agar terhindar dari transaksi riba, yaitu seharusnya Bu Eko membeli beras yang
dimiliki Bu Hasan dengan tunai. Demikian pula, Bu Hasan membeli berasnya Bu Eko dengan tunai.
Selanjutnya, dari uang yang diterima, dibelikan beras yang dikehendaki oleh masing-masing. Uang
Bu Eko dibelikan beras milik Bu Hasan. Demikian pula, uang yang didapat Bu Hasan dibelikan beras
milik Bu Eko. Kedua, transaksi riba al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi
(emas, perak dan bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang
ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Karena ada unsur penundaan
inilah, maka riba ini disebut sebagai riba al-yad (riba kontan).

Demikian logikanya: Emas, perak dan bahan makanan merupakan bahan yang
cenderung mengalami perubahan (fluktuasi) harga. Harga emas saat ini bisa jadi
berbeda dengan harga emas untuk esok hari. Harga cabe hari ini juga
memungkinkan berbeda dengan harga cabe esok hari. Karena kondisi inilah, maka
diperlukan syarat mutlak “penetapan harga” yang disepakati oleh kedua belah pihak
apabila terjadi transaksi barang ribawi.   Ambil contoh, misalnya transaksi jual beli
barang ribawi antara Pak Ahmad (pedagang jagung) dengan Pak Hasan (pedagang
beras). Pak Ahmad hendak membeli beras milik Pak Hasan dengan standart 1 kg
beras untuk 4 kg jagung. Standart ini dibangun, karena kebetulan harga beras saat
itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram. Sementara jagung memiliki harga 2.500
rupiah per kilogram. Keduanya sudah sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad
menerima beras milik Pak Ahmad, ternyata Pak Ahmad tidak segera menyerahkan
jagung yang dimilikinya kepada Pak Hasan di majelis akad dan saat itu juga.
Transaksi inilah yang disebut sebagai riba al-yad disebabkan ada kemungkinan
harga 1 kg beras di kemudian hari berbeda dengan harga 4 kg jagung. Bahkan
adakalanya harga 1 kg beras sama dengan harga 5 kg jagung.    Muncul pertanyaan,
bagaimana caranya akad transaksi tukar-menukar barang seperti di atas agar
hukumnya tetap boleh?    Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam kesempatan
ini, antara lain:  

1. Harus ada ketetapan harga barang untuk masing-masing pihak yang


berakad. Misalnya: harga beras dihitung 10 ribu rupiah per kilogram dan
harga jagung dihitung 2.500 rupiah per kilogram.   
2. Setelah ditetapkan harga masing-masing barang, selanjutnya Pak Ahmad
membeli beras milik Pak Hasan dengan standart harga yang ditetapkan
tersebut. Misalnya, 1 juta rupiah untuk 1 kuintal beras. Demikian juga dengan
Pak Hasan, membeli jagung milik Pak Ahmad dengan ketetapan harga yang
sudah disepakati, yaitu 1 juta rupiah untuk 4 kuintal jagung.   
3. Dalam kondisi sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas,
maka boleh dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang
hendak dipertukarkan oleh masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang
yang menjembatani di antara keduanya.   
4. Bila terjadi penundaan penyerahan barang, maka pada dasarnya salah satu
pihak yang bertransaksi adalah sama dengan sedang hutang uang, dan
bukan hutang komoditas. Oleh karena itu pendapat yang melemahkan akan
kebolehan dari transaksi ini adalah unsur taqabudl-nya, yaitu saling
menerima barang saat transaksi di majelis transaksi
6. Bila ternyata harga beras atau harga jagung di satu bulan kemudian
mengalami kenaikan, maka akad dikembalikan pada asalnya, yaitu bahwa
pada dasarnya akad tersebut bukan akad jual beli.
7. Keberadaan uang yang menjadi alat ukur nilai komoditas berubah haluan
menjadi uang yang dihutang. Dengan demikian, pihak yang menunda
dihukumi sebagai pihak yang berhutang uang sebesar 1 juta rupiah, dan
bukan hutang komoditas beras seberat 1 kuintal atau hutang jagung seberat
4 kuintal.
8. Karena adanya unsur taqabudl yang melemahkan kekuatan dari pendapat
ini, maka diperlukan unsur saling ridha/saling menyadari di antara kedua
pihak yang saling berakad, bahwa akad terjadi dengan standart uang
sehingga yang wajib dikembalikan adalah dalam bentuk uang.

Lemahnya pendapat ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam hati
kedua orang yang berakad. Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad: “1 bulan
yang lalu, harga beras masih 10 ribu rupiah. Uang 1 juta yang aku serahkan, saat itu
bisa mendapatkan beras 1 kuintal. Namun, karena saat ini beras naik menjadi
10.500 rupiah per kilogram, uang sebesar 1 juta rupiah itu tidak lagi mendapat 1
kuintal beras. Ia hanya mendapatkan 95,2 kg beras.”

Timbulnya rasa ini merupakan hal yang manusiawi dan bisa terjadi kapan saja dan
bisa menyasar siapa saja yang melakukan transaksi ribawi sebagaimana di atas.
Itulah sebabnya, agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks fiqih
bahwa riba al yad, merupakan riba jual beli barang ribawi, akibat “pertukaran”
barang sejenis atau tidak sejenis, namun salah satu dari kedua belah pihak ada
yang melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa “pertukaran” ini merupakan
batas fiqih yang harus dipatuhi. “Pertukaran antara jagung dengan beras”, akan
sangat berbeda pengertiannya dengan “menjual jagung, kemudian uang yang
didapat digunakan untuk membeli beras.” Untuk kasus terakhir, ada uang yang
menjadi timbangan harga di antara komoditas yang ditawarkan oleh dua orang
yang bertransaksi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Anda mungkin juga menyukai