PENDAHULUAN
Dasar hukum Notaris dalam melakukan konsep cyber notary tercantum dalam
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
“selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan”.
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan”, dapat ditafsirkan kewenangan untuk
melakukan cyber notary seperti menerapkan tanda tangan elektronik. Sampai saat ini
masih belum adanya pengaturan khusus mengenai cyber notary secara jelas, sehingga
Notaris menjadi ragu untuk menggunakan konsep cyber notary, hal tersebut pun
berdampak pada hambatan perkembangan profesi kenotariatan dalam melayani
kebutuhan masyarakat.1
1
Denny Fernaldy Chastra, “Kepastian Hukum Cyber Notary Dalam Kaidah Pembuatan Akta Autentik
Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris,” Notary Indonesian 3, no.2, 2021, hal
251.
2
Bahtiar Effendi, dkk, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata,
(Bandung:PT.Citra Aditya Bakti), hal.50.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dijelaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud merupakan suatu perluasan alat
bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sedangkan
menurut Yahya Harahap, bertitik tolak dalam praktik maupun Putusan Hoge Raad
(HR), Yahya Harahap sama sekali tidak menyebut tanda tangan digital sebagai tanda
tangan yang dibenarkan oleh hukum. Menurutnya terdapat berbagai bentuk tanda
tangan yang dibenarkan oleh hukum antara lain:3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.2.
5
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi,2014,Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 7.
6
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op. Cit, hlm. 11.
7
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op. Cit, hlm. 90-100.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).
Suatu akta yang dikeluarkan oleh Notaris memerlukan tanda tangan dari
Notaris yang membuatnya guna menjamin orisinalitas atau keaslian dari akta
tersebut. Pembubuhan suatu tanda tangan dianggap sebagai salah satu rangkaian
dari peresmian suatu akta notaris. Pemberian tanda tangan pada akta notaris
dilakukan pada bagian akhir akta. Sehingga pihak-pihak yang diterangkan dalam
akta dan ikut menandatangani akta tersebut dapat memberikan suatu kesaksian,
bahwa segala formalitas yang ditentukan oleh undang-undang baik
penandatanganan telah dipenuhi dilakukan mulai dari para penghadap kemudian
disusul oleh saksi dan paling akhir oleh notaris. 8 Dalam hal penandatanganan akta
otentik diatur dalam Pasal 44 UUJN sedangkan penandatanganan akta otentik secara
elektronik masih belum ada pengaturan khusus yang mengaturnya. Berikut
penjelasan pasal 44 UUJN:
Pasal 44
(1) Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir Akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
8
Dewi Merlyani. 2019. Kewajiban Pembacaan Akta Otentik Oleh Notaris Di Hadapan Penghadap
(Terkait Dengan Konsep Cyber Notary). Tesis. Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas
Sriwijaya
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat
(3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.