Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan teknologi secara signifikan di era 4.0, dunia


sistem kenotariatanpun mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang semakin
maju, berbagai pelayanan berbasis elektronik mulai bermunculan. Perkembangan
dalam bidang teknologi informasi berpengaruh terhadap cara kerja Notaris. Hal
tersebut telah merubah sistem konvensional menjadi sistem digital sehingga secara
tidak langsung dapat memunculkan suatu perbuatan hukum baru yang dilakukan oleh
masyarakat.

Perkembangan teknologi informasi harus diimbangi dengan berkembangnya


peraturan-peraturan yang terkait dan harus diterapkan dalam masyarakat Indonesia.
Maka sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) wacana tentang cyber notary mulai muncul. Dan
salah satu contoh dari munculnya cyber notary , notaries dapat melakukan tanda
tangan secara elektronik. Tanda tangan dalam sebuah akta notaris dalam beberapa
waktu yang lalu menggunakan tanda tangan basah atau disebut konvensional, namun
dengan adanya perkembangan teknologi informasi tersebut banyak sekali notaris
yang menerapkan praktik tanda tangan secara digital atau elektronik yang melekat
pada akta sehingga menjadi akta elektronik. Tanda tangan elektronik adalah tanda
tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait
dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi atau
autentifikasi. Kekuatan hukum tanda tangan elektronik tersebut menimbulkan
perdebatan di dunia kenotariatan.

Dasar hukum Notaris dalam melakukan konsep cyber notary tercantum dalam
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
“selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan”.

Penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan”, dapat ditafsirkan kewenangan untuk
melakukan cyber notary seperti menerapkan tanda tangan elektronik. Sampai saat ini
masih belum adanya pengaturan khusus mengenai cyber notary secara jelas, sehingga
Notaris menjadi ragu untuk menggunakan konsep cyber notary, hal tersebut pun
berdampak pada hambatan perkembangan profesi kenotariatan dalam melayani
kebutuhan masyarakat.1

Tanda tangan elektronik juga dapat dipergunakan sebagai pembuktian dalam


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Yang dimana pembuktian merupakan
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang berperkara
kepada hakim dalam suatu persidangan, yang bertujuan guna memperkuat kebenaran
dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, dengan demikian hakim
memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.2 Akta autentik yang
ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang berbeda
dengan alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dikarenakan tingkat orisinalitas atau keasliannya masih perlu dibuktikan terlebih
dahulu, atau dengan kata lain untuk memiliki beberapa syarat terhadap alat bukti
elektronik tersebut memiliki kekuatan hukum. Permasalahan hukum yang seringkali
muncul ialah pada saat terjadinya suatu penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau
transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait
dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

1
Denny Fernaldy Chastra, “Kepastian Hukum Cyber Notary Dalam Kaidah Pembuatan Akta Autentik
Oleh Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris,” Notary Indonesian 3, no.2, 2021, hal
251.
2
Bahtiar Effendi, dkk, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata,
(Bandung:PT.Citra Aditya Bakti), hal.50.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dijelaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud merupakan suatu perluasan alat
bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sedangkan
menurut Yahya Harahap, bertitik tolak dalam praktik maupun Putusan Hoge Raad
(HR), Yahya Harahap sama sekali tidak menyebut tanda tangan digital sebagai tanda
tangan yang dibenarkan oleh hukum. Menurutnya terdapat berbagai bentuk tanda
tangan yang dibenarkan oleh hukum antara lain:3

1. Menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama


kecil;
2. Tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup;
3. Ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel
huruf cetak;
4. Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penanda tangan dengan
syarat orang yang mencantumkan kopi itu, berwenang untuk itu dalam hal
ini orang itu sendiri, atau orang yang mendapat kuasa atau mandat dari
pemilik tanda tangan;
5. Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan menggunakan karbon.

Berdasarkan Latar Belakang tersebut, maka penulis tertarik mengangkatnya dalam


sebuah penulisan berbentuk makalah yang berjudul “KEABSAHAN TANDA
TANGAN ELEKTRONIK AKTA NOTARIS DALAM HAL PEMBUKTIAN DI
INDONESIA”.

1.2 Rumusan Masalah


3
Sihombing, Lyta Berthalina,”Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Dalam Akta Notaris”,
Vol.8.No.1,2020, hal 134.
Berdasarkan latar belakang diatas terdapat beberapa masalah yang muncul.
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perbandingan tanda tangan basah atau konvensional dengan


tanda tangan elektronik?
2. Bagaimana penerapan tanda tangan elektronik dalam akta otentik?
3. Bagaimana keabsahan akta Notaris yang menggunakan tanda tangan
elektronik dalam hal pembuktian di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Penelitian

Guna memperoleh hasil ilmiah berbentuk tesis sebagaimana tujuan penelitian,


maka penelitian memerlukan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.4 Sedangkan metodologi artinya
cara kerja untuk menemukan sesuatu atau melakukan suatu kegiatan dengan tujuan
untuk mendapatkan suatu hasil yang konkrit dan cara utama untuk mencapai tujuan
tertentu. Penelitian Hukum dilakukan untuk menjawab isu – isu hukum baru yang
berkembang di masyarakat sekaligus sebagai upaya pengembangan hukum itu
sendiri.5
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif (doktrinal) yang
artinya penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan secara terperinci
yang sifatnya sistematis terkait aturan hukum tertentu terhadap bidang hukum
tertentu, analisis hubungan antar aturan hukum, penjelasan terhadap aturan hukum
yang sulit dipahami, maupun prediksi terhadap perkembangan aturan hukum di masa
mendatang.6
Bahan penelitiannya adalah bahan hukum primer yang menjadi bahan hukum
utama yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, risalah resmi, putusan
pengadilan dan dokumen resmi Negara yang terkait dengan permasalahan. Bahan
hukum sekunder ini adalah bahan hukum yang memberikan ulasan terkait bahan
hukum primer. Bahan hukum sekunder ini terdiri dari semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks hukum,
kamus hukum, ensiklopedia hukum, jurnal-jurnal hukum yang relevan dengan isu
hukum.7

4
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.2.
5
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi,2014,Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 7.
6
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op. Cit, hlm. 11.
7
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op. Cit, hlm. 90-100.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).

2.2 Perbandingan Tanda Tangan Konvensional Dengan Tanda Tangan


Elektronik

Suatu akta yang dikeluarkan oleh Notaris memerlukan tanda tangan dari
Notaris yang membuatnya guna menjamin orisinalitas atau keaslian dari akta
tersebut. Pembubuhan suatu tanda tangan dianggap sebagai salah satu rangkaian
dari peresmian suatu akta notaris. Pemberian tanda tangan pada akta notaris
dilakukan pada bagian akhir akta. Sehingga pihak-pihak yang diterangkan dalam
akta dan ikut menandatangani akta tersebut dapat memberikan suatu kesaksian,
bahwa segala formalitas yang ditentukan oleh undang-undang baik
penandatanganan telah dipenuhi dilakukan mulai dari para penghadap kemudian
disusul oleh saksi dan paling akhir oleh notaris. 8 Dalam hal penandatanganan akta
otentik diatur dalam Pasal 44 UUJN sedangkan penandatanganan akta otentik secara
elektronik masih belum ada pengaturan khusus yang mengaturnya. Berikut
penjelasan pasal 44 UUJN:

Pasal 44

(1) Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak
dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada
akhir Akta.

(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh
penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
8
Dewi Merlyani. 2019. Kewajiban Pembacaan Akta Otentik Oleh Notaris Di Hadapan Penghadap
(Terkait Dengan Konsep Cyber Notary). Tesis. Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas
Sriwijaya
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat
(3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Selanjutnya, mengenai keautentikan tanda tangan secara konvensional dan tanda


tangan elektronik mempunyai perbedaan masing-masing. Sehingga dapat dijabarkan
sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan keautentikan di atas media kertas dan keautentikan


secara elektronik.
Kautentikan atas Media Kertas Keautentikan Secara Elektronik
(Paper Based) (Funcitional Equivalent Approach)
a. Tertulis a. Apa yang telah dituliskan/disimpan
b. Bertanda tangan dapat ditemukan dan dibaca kembali
b. Terdapat informasi yang menemukan
subjek hukum yang bertanggung
jawab dari padanya
a. Asli (Original) a. Apa yang telah tersimpan dan
b. Dibubuhi materai yang ditemukan/dibaca tidak ada perubahan
cukup (terjamin keutuhannya)
b. Bukti bermaterai cukup didukung
dengan pencatatan elektronik (e-
registry) dan e-filing yang baik,
namun belum tentu sesuai dengan
efisiensi dalam transaksi.
a. Harus adanya kehadiran fisik a. Didukung oleh adanya suatu rekaman
pihak secara langsung elektronik (video), yang menjadi lebih
penghadap dengan notaris efektif lagi apabila dilengkapi dengan
(Pasal 16 ayat (1) huruf m) sistem penulusuran terhadap identitas
b. Pembacaan akta dihadapan elektronik (contoh e-KTP) penghadap
para pihak dan pihak yang kemudian ditemukan dengan
mengerti, kecuali bila para akses oleh notaris yang bersangkutan
pihak tidak minta untuk kepada data kependudukan terkait
dibacakan (Pasal 16 ayat (7)) b. Terhadap persyaratan dalam
c. Kehadiran dan tanda tangan penjelasan pasal 16 ayat (1) huruf m
para saksi-saksi yang tidak tentang kehadiran fisik maka
mempunyai hubungan darah sesungguhnya kehadiran secara
atau perkawinan, kecuali bila elektronik dapat dikategorikan sebagai
ditentukan lain oleh UU kehadiran secara fisik. Hal ini dapat
(Pasal 39 dan 40) diperkuat dengan adanya fasilitas
d. Paraf para pihak, saksi dan mobile telecommunication yang telah
notaris pada setiap halaman memungkinkan penelusuran letak
sebagai tindakan persetujuan. sesungguhnya dimana orang tersebut
berada.9

2.3 Penerapan Tanda Tangan Elektronik Dalam Akta Otentik

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila


merupakan dasar negara Indonesia sebagai Negara hukum untuk menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakatnya. Disamping itu juga diperlukan
9
Edmon Makarim. (2018) . Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum Tentang Cyber Notary
atau Electronic Notary (Edisi Ke-3). Depok: PT. Raja Grafindo, h. 117.
peraturan perundang-undangan serta pengaturan lainnya agar kepastian hukum dapat
tercapai dengan baik. Sebagaimana menurut Plato bahwa Negara yang baik adalah
Negara yang berdasarkan pada adanya pengaturan hukum yang baik. Sama halnya
dengan dunia kenotariatan telah terdapat peraturan khusus di Indonesia yaitu Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris. Disamping itu, perkembangan teknologi informasi juga
semakin maju maka harus juga diimbangi dengan berkembangnya peraturan-
peraturan yang terkait dan harus diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Sehingga
sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang cyber notary mulai muncul. Cyber notary
merupakan sebuah konsep bagi notaris yang apabila membuat akta autentik sangat
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Anda mungkin juga menyukai