Anda di halaman 1dari 7

Pembuktian Perdata Kekuatan hukum Hukum Tanda Tangan Elektronik Dokumen

Digital Dalam

Author By :
Divi Kusumaningrum
divikusuma@unik-kediri.ac.id
Rizki Yudha Bramantyo
Rizki_bramantyo@unik-kediri.ac.id
Eko Budiono
ekobudiono@unik-kediri.ac.id
Fakultas Hukum Universitas Kadiri

Abstrak

Dokumen digital atau elektronik tersedia sebagai alternatif yang diharapkan oleh kelompok bisnis. Alasan
menerima dokumen elektronik adalah karena mudah diakses, tidak memakan banyak waktu, dan tidak
membutuhkan banyak ruang penyimpanan. Keabsahan dokumen atau pernyataan persetujuan apa pun,
seperti dokumen surat tradisional lainnya, memerlukan persetujuan, atau tanda tangan, oleh para pihak.
Tentu saja, tanda tangan juga tersedia dalam bentuk digital. Hal ini bermasalah ketika dokumen dan surat
berharga lainnya digunakan sebagai bukti dalam perselisihan antara pihak-pihak yang berselisih, terutama
di ranah privat. Hal ini penting untuk memastikan kerjasama yang berkelanjutan antara pihak-pihak yang
terlibat. Apa keabsahan tanda tangan elektronik dan apa interpretasi hakim dalam mengenali alat bukti
digital Tulisan ini berjudul Aksesibilitas Tanda Tangan Elektronik dalam Dokumen Digital dari Perspektif
Alat Bukti Perdata. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum preskriptif dengan
pendekatan dogmatis hukum dan kontinum peraturan tentang hukum tanda tangan elektronik dan alat
bukti. Ini mengumpulkan data sekunder dari buku, majalah, dll, dan menyajikannya dengan cara yang
dikatalogkan dan dijelaskan secara analitis.
Kata Kunci: Tandatangan, Elektronik, Pembuktian, Perdata.

A. PENDAHULUAN

Memang, ini adalah zaman uban dan kita sedang berubah bersamanya (tempora mutur nos et
mutamur in illis) Revolusi Industri 5.0 ditandai dengan transisi ke era masyarakat digital. Adanya
revolusi industri ini disebabkan tuntutan masyarakat pasar global akan pasar bebas dan persaingan
bebas. Akibatnya, persyaratan ini menggantikan posisi surat berharga, waran, dan formulir persetujuan
yang sebelumnya dalam bentuk fisik atau kertas dengan bentuk elektronik atau digital, dan kemampuan
untuk menandatangani atau meratifikasi setiap surat yang terkait dengan formulir persetujuan. tanda
tangan). Untuk itu, Indonesia harus mampu beradaptasi dengan kesenjangan digital, yakni tidak terisolir
dari ekspansi global akibat ketidaktersediaan informasi. Persetujuan penggunaan tanda tangan
elektronik telah dilaksanakan di lingkungan pemerintahan melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 yang mengarahkan pejabat untuk mendukung program e-government.
Kegiatan e-commerce atau transaksi elektronik di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, yang diperbarui dengan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016.Penggunaan tanda tangan Elektronik tidak hanya
diterapkan didalam lingkungan publik antar pejabat negara tetapi juga umum di praktekkan dalam
aspek bisnis dan perdagangan. Efetivitas, Efesiensi, Cepat dan murah menjadi alasan pelaku bisnis dan
pelaku instansi publik untuk mengoptimalkan metode ini. Tetapi praktek ini masih dihadapkan dengan
kedudukan hukum apabila dibutuhkan sebagai alat bukti. Kelemahan dari inovasi digital adalah
kemudahan terjadi peretasan dari berbagai wilayah sehingga tidak mungkin terjadi penyalah gunaan dari
tanda tangan tersebut kedepannya .
Alat bukti adalah keterangan yang dapat memberikan gambaran yang benar tentang peristiwa,
hak dan hubungan hukum yang telah terjadi antara lain antara para pihak dalam prosesnya. Berdasarkan
hal tersebut, konsep tanda tangan elektronik tidak sejalan dengan prinsip hukum bahwa dokumen harus
ditampilkan, dikirimkan, dan disimpan dalam bentuk kertas.
Tetapi demikian, meskipun sudah terdapat UU ITE dan beberapa peraturan lainnya, tidaklah bisa
dikatakan bahwa aturan program Indonesia sudah mengatur tentang indera bukti elektronika pada
pembuktiannya, lantaran pengaturan perindikasi tangan digital/elektronika ini hanya berada pada
lapangan aturan materiil. Dalam tatanan Hukum Perdata kedudukan verifikasi sangatlah krusial dan
peraturan formil Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata hanya mengakui verifikasi tertulis yg
berwujud menggunakan selembaran kertas atau sejenjisnya & hakim mempertimbangkan putusannya
dari indera bukti yg absah diakui pada pada undang-undang. Pernyataan ini dipertegas melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU- XIV/2016 lepas 7 September 2016 mengungkapkan bahwa
ketentuan mengenai indera bukti elektronika misalnya tadi pada atas dipercaya bertentangan
menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kekuatan aturan mengikat, sebagai akibatnya
indera bukti elektronika yg berupa warta elektronika dan data elektronika dan keluaran personal
komputer lainnya keabsahannya sebagai keraguan.
Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik buat menyelidiki duduk perkara bagaimana
pengakuaan dan keberadaan berdasarkan perindikasi tangan digital pada tengah jamaknya praktek usaha
yg memaksimalkan teknologi digital menggunakan judul Akibat aturan perindikasi tangan elektronika
dokumen digital pada verifikasi perdata. Penelitian ini mencoba buat menalaah kedudukan perindikasi
tangan elektrik menjadi indera bukti pada pada tatanan aturan verifikasi Indonesia dan bagaimana hakim
menerapkan aturan verifikasi pada memutus perkara pada pada aturan hukum acara perdata.

B. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunkan adalah pendekatan undang-undang (statue approach) dan


Pendekatan Doctrin Hukum (Doctrin Approch). inventarisasi hukum positif, penemuan asas dan dasar
falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif, dan penemuan hukum yang layak diterapkan untuk
menyelesaikan suatu perkara hukum. Dilakukan inventaris guna untuk mendapatkan landasan teori yang
berupa pendapat para ahli mengenai hal yang terkait dengan objek penelitian yang sedang diteliti
tertentu yang disajikan secara deskriptif-analitis hasil dari pengolahan data secara kualitatif. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, dokumen dan laporan yang terkait dengan masalah yang diteliti .

C. PEMBAHASAN

1. Peraturan Hukum di Indonesia tentang Tanda tangan Elektronik


Tanda tangan adalah karakter sebagai lambang nama yang umum digunakan, termasuk inisial,
stempel tanda tangan, atau stempel inisial sebagai pengganti tanda tangan. Tanda tangan elektronik
adalah tanda tangan yang terdiri dari informasi elektronik yang dilampirkan, dihubungkan, atau
ditautkan dengan informasi elektronik lainnya sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Teknologi
Informasi 2016 (selanjutnya disebut ITE). Ayat 13 menyatakan bahwa penandatangan adalah badan
hukum yang terkait dengan atau terkait dengan tanda tangan elektronik.Untuk dapat memiliki kekuatan
hukum dan akibat hukum yang sah maka tanda tangan elektronik harus memenuhi persyaratan dalam
Pasal 11 ayat (1) UU ITE yaitu:
1) Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;
2) Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam
kuasa penandatangan;
3) Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatangganan
dapat diketahui;
4) Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terakit dengan tanda tangan elektronik tersebut
setelah waktu penandatangganan dapat diketahui;
5) Terdapat cara tertentu yang dapat diapakai untuk mengindetifikasi siapa penandatangganannya; dan
6) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangganan telah memberikan persetujuan
terhadap informasi elektronik yang terkait.
Tanda tangan elektronik dibagi menjadi dua jenis: tanda tangan notaris dan tanda tangan non-
sertifikasi. Tanda tangan tidak bersertifikat lebih lemah dari tanda tangan bersertifikat. Sertifikat tanda
tangan digital dikeluarkan oleh layanan penyedia sertifikat digital dan dibuktikan dengan sertifikat
digital. Penyelenggara e-sertifikat terdiri dari penyelenggara e-sertifikat Indonesia dan penyelenggara e-
sertifikat asing. Penyedia e-otentikasi harus disetujui oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di
sisi pemerintah, saat ini ada beberapa kementerian/lembaga yang menerbitkan sertifikat digital.
Khususnya Ditjen Pajak, Badan Kriptografi Nasional. (BSSN), dan IPTEKnet BPPT.

2. Alat Bukti yang Tertulis


Pembuktian dalam hukum acara merupakan pokok bahasan pembuktian di pengadilan dan pemeriksaan
alat bukti oleh hakim untuk memutus suatu perkara. Bukti memungkinkan kita untuk menyimpulkan
bahwa hakim memainkan peran penting dalam memutuskan kasus dan membangun kebenaran dalam
proses pengadilan swasta dan publik.Terikat oleh bukti yang sah, ketika membuat keputusan atau
membuat keputusan, hakim harus mempertimbangkan hanya bukti yang ditentukan oleh hukum.
Pembuktian dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam undang-undang diatur dalam pasal 164
HIR/284 RBg mengatur tentang terbatasnya alat bukti yang masuk akal yang diterima dalam perkara
perdata.:
1. Alat bukti tertulis
2. Saksi-saksi
3. Persangkaan
4.Pengakuan
5. Sumpah.

Bukti tertulis atau surat adalah yang mengandung tanda baca dan digunakan sebagai alat bukti
untuk mencurahkan isi pikiran atau pikiran seseorang.Untuk dijadikan alat bukti, surat yang berisi
kontrak atau pernyataan harus ditandatangani.
Alat bukti tertulis atau surat dimana alat bukti itu hanya terbagi dalam dua bentuk, akta dan
bukan akta. Pasal 1867 menyatakan bahwa bukti tertulis harus berupa dokumen tertulis atau tulisan
tangan yang sebenarnya. Signifikansi Penandatanganan dalam Verifikasi Peraturan Daerah Pasal 1869 .
Setiap dokumen yang tidak dapat diperlakukan sebagai dokumen resmi karena kurangnya wewenang
atau ketidakmampuan pejabat yang bersangkutan, atau karena cacat dalam bentuk, memiliki otoritas
tulisan tangan. Surat kuasa yang ditandatangani oleh para pihak. Pasal 1874 juga berlaku sebagai
dokumen tulisan tangan, surat, daftar, surat anggaran dan dokumen lainnya yang dibuat tanpa
perantaraan pejabat publik, atau pejabat lain yang ditunjuk secara sah dengan pernyataan bertanggal
yang menunjukkan bahwa Anda mengetahui bahwa cap jempol dibuat atau bahwa Anda telah
diberitahukan bahwa perbuatan itu telah dijelaskan kepada orang lain, sama halnya dengan menciptakan
Sebuah cap jempol kemudian diterapkan pada huruf di depan petugas yang terlibat.

3. Hukum acara dalam pembuktian


Secara hukum, Undang-Undang Pembuktian Indonesia (baik HIR maupun KUHPerdata) tidak
menganggap dokumen elektronik sebagai alat bukti, tetapi beberapa undang-undang baru mengatur dan
mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. , UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UU Terkait No. 31 Tahun 1999, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Ada beberapa peraturan seperti UU Dokumen Perusahaan dan UU ITE, tetapi
karena regulasi elektronik adalah hak substantif, hukum acara Indonesia, baik perdata maupun pidana,
secara jelas mengatur alat bukti elektronik dalam alat bukti perdata, saya tidak bisa mengatakan ada. 15
Dalam arti kata tanda tangan, tanda tangan berkaitan erat dengan keabsahan alat bukti tertulis. Sebuah
tanda tangan disediakan. Akta yang tidak dianggap sebagai akta asli memerlukan tanda tangan yang
bersangkutan untuk memperoleh surat kuasa sebagai bukti pengesahan.
Keberadaan tanda tangan digital diatur dalam Pasal 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan
yang terdiri dari informasi elektronik yang dilampirkan, dihubungkan atau dikaitkan dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan otentikasi”. Pasal 5(2) Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah. dan
tunduk pada Pasal 5(2) informasi elektronik dan/atau yang diakui secara elektronik. Dokumen dan/atau
barang cetakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 merupakan perpanjangan dari alat bukti yang sah.
Pasal 5(3) Undang-Undang Transaksi Informasi Elektronik secara tegas menyatakan bahwa “Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah apabila diolah dengan sistem elektronik sesuai
dengan ketentuan Undang-undang ini”. Gunakan hukum ini.
Pengecualian adalah perjanjian damai (lihat 1851 BW), kontrak hadiah (lihat 1682 BW) dan akta
penjualan barang tidak bergerak, akta penjualan barang tidak bergerak (lihat Keputusan No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah) UU ITE Sesuai dengan ketentuan dari Bagian 5.4, itu dianggap sah
jika ditulis tangan, baik dalam bentuk akta di bawah tangan atau diaktakan. Meskipun aturan substantif
untuk dokumen elektronik diakui dalam undang-undang ITE, baik hukum formal perdata, pidana dan
administrasi masih menghadapi dilema dalam produksi bukti elektronik. Sejauh ini, tidak ada kewajiban
yang jelas bagi hakim untuk memastikan otentikasi alat bukti elektronik dengan mekanisme tertentu.
Padahal, tidak ada ketentuan untuk memberikan pembinaan kepada hakim, baik secara langsung melalui
bukti elektronik maupun hasil data citra. Dalam konteks ini, hakim wajib menerapkan mekanisme yang
benar dalam mengkaji pembuktian pembuktian elektronik berdasarkan asas ius curia novit.

4. Teori dalam pembuktian


Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Pembuktian
dalam proses pidana (KUHAP) berkaitan dengan penyidikan kebenaran materiil, yaitu kebenaran atau
kebenaran faktual, sedangkan pembuktian dalam proses perdata (KUHP) berkaitan dengan penyelidikan
kebenaran formil. hakim tidak dapat melakukannya. Melebihi batas yang diajukan oleh penggugat.
Dengan demikian, dalam mencari kebenaran formil, hakim cukup membuktikannya dalam“dominasi alat
bukti”, tetapi dalam mencari kebenaran substantif, hakim pidana harus memutuskan perkara (tanpa
keraguan). ) harus dibuktikan. Bukti memainkan peran yang sangat penting dalam memutuskan apakah
akan menolak atau menerima klaim. Eddy OS Hiariej (2012:15) menyatakan bahwa ada empat teori
pembuktian, yaitu :
1).Positief wettelijk bewijstheorie, yaitu Keputusan hakim didasarkan pada ada tiadanya alat-alat bukti
sah menurut undangundang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem positif
wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim
2).Convinction intime,penilaian keyakinan hakim semata-mata
3).Conviction rasionee,merupakan penilaian keyakinan hakim yang disertai pertimbangan hakim sebagai
dasar satu-satunya alasan dalam mengambil keputusan yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran
yang sehat.
4) .Negatief wettelijk bewijstheorie, yaitu penjatuhan pidana apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang
telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya
alat-alat bukti itu. Praktek hukum formil perdata lebih condong Positief wettelijk bewijstheorie dan
hukum acara pidana lebih condong mengunakan teori. Hukum acara pidana hakim lebih umum
menerapkan Convinction intime,Conviction rasionee, dan Negatief wettelijk bewijstheorie.
Penalaran hakim dalam putusan perdata terdiri dari dua bagian: perkara atau feitelijkgronden,
yaitu alat bukti yang diajukan para pihak, alat bukti para pihak yang mencapai batas minimal
pembuktian, dan gugatan dan bantahan mana yang terbukti. terdiri dari. Rentang Nilai Nilai pembuktian
para pihak. Kedua, pertimbangan hukum dalam konteks peraturan hukum dan ketentuan tidak tertulis
sebagai dasar pengambilan keputusan.

D. PENUTUP
Karena perkara perdata pada dasarnya mengikuti teori Positief Wettelijk Bewijstheorie, maka
prosedur pembuktian menjadi sangat penting dalam pemeriksaan perkara perdata. Karena hakim terikat
dengan alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam putusan, maka jika alat bukti itu membenarkan
atau menyangkal tuduhan gugatan, maka hakim membuat putusan menurut fakta yang ditetapkan dalam
persidangan pembuktian. Sertifikat tanda tangan digital dibagikan. Dua teratas ditentukan dengan
mensertifikasi tanda tangan mereka secara digital. Oleh karena itu, pada suatu dokumen yang
ditandatangani, jika tanda tangan tersebut belum disahkan oleh badan hukum yang diakui di Indonesia,
tidak dianggap sebagai alat bukti yang mutlak, dan yang tidak disahkan itu hanya sebagai pedoman.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 Menangguhkan Keabsahan Bukti Berdokumen
Elektronik Menurut isi permohonan ke MK, putusan tersebut mengarah pada proses pidana daripada
perdata.

Kebutuhan tanda tangan digital dalam konsep Revolusi Industri 4.0 sangat tinggi. Kemudahan
dan keterbukaan akses digital telah meningkatkan akses untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hampir
setiap sektor industri sekarang menawarkan layanan informasi teknis untuk mencapai kesederhanaan,
efektivitas, efisiensi dan biaya rendah melalui media digital. Untuk itu, perlu adanya peningkatan
kesadaran masyarakat dan kesadaran masyarakat akan nilai penting sertifikat tanda tangan digital jika
terjadi litigasi di kemudian hari terkait transaksi elektronik. Karena jika tidak didaftarkan, dokumen
elektronik yang ditandatangani tersebut dianggap sebagai alat bukti hanya dari sudut alat bukti yang sah
dan memerlukan langkah-langkah tambahan untuk meyakinkan melalui pemaparan saksi forensik.
DAFTAR PUSTAKA

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, Jakarta
Daulat Nathanael Banjarnahor et al.,2020, Aspek Hukum Bisnis, Widina Bhakti Persada 2022, Bandung
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. Ketiga Sinar Grafika,2005, Jakarta
Hiariej, Eddy OS, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga,2012, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Cahaya Atma Pustaka, 2013, Yogyakarta
Wardah,Sri dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
Gama Media,2007,Yogyakarta.
Eka Fitri Hidayati, Artikel Pengadilan Agama Kotabumi di dalam : Keabsahan Pembuktian
elektronik dalam persidangan perdata di pengadilan agama.Diakses https://pa-
kotabumi.go.id/hubungi-kami/artikel makalah/1037-keabsahan-pembuktian-

Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
Gama Media, Yogyakarta. 217
Kitab Undang-Undang Hukum PerdataPerdata Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik,Peraturan Pemerintah, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012
Nomor189, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5348.

Anda mungkin juga menyukai