Anda di halaman 1dari 6

Nilai Kekuatan Pembuktian Informasi Elektronik

Mengingat informasi elektronik tersebut juga dapat dikomunikasikan atau dikirimkan

kepada pihak lain melalui suatu sistem komunikasi elektronik, maka pada dasarnya dengan

mempertimbangkan doktrin dari Prof. Smith tentang computer security dan juga kaidah-

kaidah dalam komunikasi yang aman (secured communication) yang meliputi Kerahasiaan,

Integritas, Autentisitas, Otorisasi, Nonrepudisasi, dan Ketersediaan (CIAAANA), maka dapat

dikatakan adanya suatu rentang nilai atau spektrum dalam menentukan bobot nilai kekuatan

pembuktian dari suatu Informasi Elektronik (IE) dan/atau Dokumen Elektronik (DE) yang

akan sangat bergantung kepada sejauhmana reliabilitas sistem keamanan baik dalam sistem

informasi maupun terhadap sistem komunikasi elektronik itu sendiri. Hal tersebut akan

memperlihatkan adanya jenjang tertentu, yakni dari suatu tingkatan yang paling rendah

sampai dengan tingkatan yang paling tinggi, yakni menjadi alat bukti yang berdiri sendiri.

Dalam tingkatan yang paling rendah, keberadaan IE secara objektif tidak terjamin

validitasnya dalam menjelaskan adanya suatu peristiwa hukum yang direkamnya, dan tidak

mampu menjelaskan atau memastikan siapa subjek hukum yang bertanggung jawab

daripadanya. Namun, karena suatu IE tidak dapat ditampik keberadaannya hanya karena

bentuknya yang elektronik, dengan karakteristik seperti ini, terbuka ruang yang lebih bebas

bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan “kesetaraan fungsional". Sementara itu, dalam

tingkatan yang menengah, keberadaan IE dapat salah satunya memenuhi dari kelima unsur

dalam secured communication, namun masih terbuka adanya penampilan dari yang

bersangkutan. Secara objektif IE terjamin validitasnya atau mampu menerangkan siapa

Subjek Hukum yang bertanggung jawab daripadanya, namun akuntabilitas atau reliabilitas

Sistem Elektronik yang dipakai tidak terjamin berjalan dengan baik (tidak terakreditasi)

sehingga dengan sendirinya dapat dengan mudah ditampik oleh orang yang bersangkutan.

Sementara itu, dalam tingkatan yang paling kuat (high level), keberadaan IE secara objektif
terjamin validitasnya dan mampu menerangkan siapa subjek hukum yang bertanggung jawab

serta sistem elektroniknya pun terjamin berjalan dengan baik (terakreditasi) sehingga

sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, maka apa yang dinyatakan oleh sistem

tersebut dapat dianggap valid secara teknis dan hukum. Dalam konteks seperti ini maka

substansi suatu IE telah terjaga dengan baik dan selayaknya secara materiil dapat

dipersamakan dengan akta autentik.

Sementara itu, pada varian yang kedua, jika para pihak berselisih dan salah satu pihak

menampik bukti elektronik tersebut, hakim sesuai kewenangannya harus memeriksa validitas

atas bukti tersebut dengan bantuan ahli pada bidangnya (ahli komputer forensik).

Berdasarkan pemeriksaan tersebut, jika ahli berpendapat atas penelitiannya bahwa bukti

tersebut asli dan valid, seseorang menjadi tidak dapat lagi menampik penerimaan bukti

tersebut di persidangan.

Sementara itu, terhadap varian ketiga, sebagaimana layaknya akta autentik, hakim langsung

dapat menerimanya sebagai bukti yang layak dipercaya karena akibat keberadaan sistem

keamanan yang terjaga dengan baik (teraudit, tersertifikasi atau terakreditasi), maka

keautentikan materiil dan formil yang dimilikinya selayaknya juga mempunyai nilai kekuatan

pembuktian sempurna, kecuali apabila ada pihak yang dapat membuktikan bahwa akta

autentik tersebut tidak memenuhi formalitas sebagaimana mestinya.

Menganalogikan antara informasi elektronik yang terjamin, keautentikannya secara

teknis dengan akta autentik secara hukum maka berlakulah prinsip pembuktian yang sama,

yakni jika terhadan suatu informasi elektronik yang lahir dari suatu sistem elektronik yang

telah tersertifikasi dan terjamin terselenggara dengan baik, maka semua hasil keluarannya
adalah valid dan layak dipercaya kecuali jika ada pihak yang dapat membuktikan bahwa

sistem elektronik tersebur tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Terkait dengan adanya suatu kepentingan untuk memperoleh kepastian subjek hukum

(attribution) terhadap suatu IE/DE, maka pada dasarnya secara hukum akan melihat kepada

prinsip general attribution of e-records, yakni bagaimana sistem hukum menerapkan prinsip

presumption of attribution terhadap suatu IE/DE. Secara umum, setiap orang akan

beranggapan bahwa jika suatu pesan dikirimkan dari email address pengirim atau nomor

telepon tertentu yang memanggil (call), maka dianggap bahwa pihak yang bertanggung jawab

atas pesan tersebut adalah pihak yang diatribusikan terhadap email address atau orang yang

memiliki nomor telepon tersebut. Dikaji secara teknis dua hal tersebut selayaknya tidak dapat

dipersamakan dengan serta-merta karena karakteristik sistem pengamanan dari dua teknologi

tersebut juga berbeda.

Pada varian kedua jika dianalogikan dengan sistem telekomunikasi yang ada, apabila kita

mengacu pada peraturan sebelumnya, yang dapat dijamin identitas hukum terhadap nomor

hanyalah pihak yang berlangganan secara pascabayar bukan prabayar. Namun sejak 2016

kewajiban registrasi telah diterapkan pula kepada pelanggan jasa telekomunikasi prabayar,

walaupun memang dalam penerapannya belum dapat dikatakan efektif dalam menjamin

identitas hukum para pihak.

Sementara itu, dalam varian yang pertama justru tidak dapat diasumsikan dari awal bahwa

orang yang tercantum dalam email address adalah orang yang sebenarnya mengirimkan,

karena dalam medium internet dibangun dengan sistem yang terbuka dan terdistribusi

sehingga sangat mungkin orang menggunakan nama orang lain. Kata kunci dari itu adalah

asumsi tentang siapa subjek hukum yang bertanggung jawab sebenarnya tergantung pada
sistem pengamanan itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan suatu tanda tangan meskipun

tidak wajib hukumnya, namun ia menjadi penentu apakah hukum dapat menerapkan prinsip

atribusi tersebut. Demikian pula halnya secara elektronik, penggunaan Tanda Tangan

Elektronik (TTE) sebagai wujud dari penggunaan suatu metode autentikasi secara elektronik

menjadi suatu kebutuhan dan keniscayaan untuk memperoleh nilai kekuatan pembuktian pada

tingkatan yang tinggi (high-level).

Dalam praktiknya suatu TTE juga memerlukan suatu Sertifikat Elektronik (SE) yang

mendukung keberadaannya, sebagaimana layaknya suatu tanda tangan konvensional yang

melekat pada suatu Kartu Tanda Pengenal (contoh KTP) untuk melakukan verifikasi tanda

tangan yang dibubuhkan. Secara teknis, meskipun dilengkapi dengan sistem yang canggih

untuk menciptakan keyakinan terhadap suatu TTE dan SE pada dasarnya hal tersebut akan

berpulang lagi kepada kaidah hukum nir-sangkal, yakni jika hanya dilakukan oleh kedua

belah pihak yang berkomunikasi tanpa melibatkan pihak ketiga yang layak dipercaya

(Trusted Third Parties, selanjutnya disingkat dengan T3P), maka tetap saja ada peluang bagi

salah satu pihak untuk melakukan penyangkalan di kemudian hari. Oleh karena itu, untuk

memastikan tidak dapat disangkal lagi, maka diperlukan peranan pihak ketiga sebagaimana

layaknya notaris dalam penggunaan tanda tangan elektronik dalam transaksi tersebut

(cybernotary).

Semula paradigma T3P diyakini dapat dijalankan oleh Penyelenggara Jasa Sertifikat

Elektronik (PSE) yang memberikan sarana penelusuran keautentikan secara teknik kepada

para pihak yang berkomunikasi, namun dalam perkembangannya ternyata pihak T3P yang

dirasakan layak untuk mengemban amanat tersebut adalah notaris dalam arti yang

sesungguhnya. Hal tersebut dapat dengan mudah dipahami, karena jika hanya dalam

pendekatan teknis semata, maka tentunya hasil penelusuran identitas subjek hukum yang
dijalankan hanya merupakan keterangan teknis semata, sehingga dianggap masih kurang

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna secara hukum. Oleh karena itu,

pelibatan peran notaris baik sebagai saksi maupun sebagai sub penyelenggara dari

penyelenggaraan sertifikasi elektronik tampaknya telah menjadi suatu kebutuhan dan

keniscayaan untuk transaksi elektronik pada masa mendatang. Sesuai dengan

perkembangannya pada beberapa negara maju, bahkan fungsi dan kemudian difasilitasi oleh

pemerintah dan/atau perhimpunan notarisnya demi menjamin suatu standar penyelenggaraan

yang terbaik demi kepentingan publik. Penjelasan tentang hal ini akan dipaparkan pada bab

berikutnya.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, jika dipertemukan antara spektrum nilai kekuatan

pembuktian informasi elektronik dengan keterhubungan antara suatu Informasi Elektronik

dengan Tanda Tangan Elektronik berikut fungsi dan peran T3P sebagai pendukungnya

(termasuk peranan notaris serta perhimpunannya jika mereka berperan serta sesuai hukum

nasionalnya), maka dapat disampaikan suatu catatan penting berikut :

1. Keberadaan suatu IE yang lemah adalah informasi yang tidak jelas siapa subjek hukum

yang bertanggung jawab padanya dan tidak jelas apakah informasi itu terjaga keutuhannya.

2. Keberadaan suatu IE yang cukup kuat nilai pembuktian hukumnya adalah yang melekat

padanya suatu tanda tangan elektronik sebagai sistem yang mampu mengidentifikasi siapa

subjek hukum yang bertanggung jawab berikut kejelasan pengamanan terhadap informasi itu

sendiri (identification & authentication/integrity). Terhadap hal ini diberlakukan pendekatan

yang minimalis, yakni pendekatan kesetaraan fungsional secara “tertulis" dan “asli".

3. Sementara itu, suatu TTE yang mempunyai nilai pembuktian yang kurang kuat adalah TTE

yang tidak melibatkan peranan suatu pihak ketiga yang layak dipercaya (trusted third parties)

keberadaannya hanya antara para pihak yang membuat dan menerimanya.


4. Suatu TTE yang mempunyai nilai pembuktian yang cukup kuat adalah apabila melibatkan

peranan suatu pihak ketiga yang layak dipercaya (trusted third parties) yang didukung dengan

keberadaan suatu Sertifikat Elektronik di dalamnya (ordinary signature).

Selanjutnya, suatu Sertifikat Elektronik (e-certificate) yang paling kuat adalah apabila

penyelenggara CSP dan sertifikatnya telah memenuhi akreditasi pada suatu negara di mana ia

digunakan (qualified certificate). Sementara peranan pihak T3P yang paling kuat adalah

apabila mereka menyertákan fungsi dan peran notaris di dalamnya, paling tidak sebagai

pemeriksa dan legalisasi identifikasi seseorang dalam proses pendaftaran dan perolehan

sertifikat (RA) di dalamnya. Proses ini akan menjamin bahwa pihak yang mengajukan

sertifikat adalah orang yang benar dan memastikan yang bersangkutan menerimanya secara

langsung.

Sedangkan peranan fungsi notaris yang paling kuat dalam mendukung suatu Transaksi

Elektronik adalah apabila mereka dapat bertindak tidak hanya sebagai RA, melainkan juga

mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta secara elektronik.

Akhirnya, fungsi dan peran Ikatan Notaris yang paling kuat adalah apabila mereka dapat

bertindak menjadi CA atau sub-CA bagi para notaris yang menjadi anggotanya sebagai

contoh adalah Jerman dan Belgia, yaitu di Jerman, sejak tahun 2001, The Federal Chamber of

Civil Law Notaries adalah salah satu otoritas sertifikasi terbesar (CA) di Jerman,

mengeluarkan kartu tanda tangan untuk tanda tangan elektronik yang memenuhi syarat pada

tingkat kualitas tertinggi di bawah hukum Jerman.

Anda mungkin juga menyukai