Anda di halaman 1dari 16

PENGANTAR HUKUM BISNIS

HUKUM TRANSAKSI ELEKTRONIK (RPS 11)

KELOMPOK 11:

Ni Luh Putu Ratna Wiantini (1707531125)

Desak Made Yulanda Risdiantari (1707531135)

Luh Asri Eka Dewi (1707531142)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

1
A. Pengertian Transaksi Elektronik dan Dasar Hukumnya
Definisi transaksi elektronik terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang berbunyi:

“Transaksi Elektronik adalah setiap perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”.

Adapun yang dimaksud dengan perbuatan hukum menurut R. Soeroso dalam Pengantar
Ilmu Hukum (hal. 291) adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum)
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Akibat perbuatan ini
diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan
hukum. Perbuatan hukum baru terjadi apabila ada “pernyataan kehendak”. Adanya
pernyataan kehendak diperlukan adanya kehendak orang itu untuk bertindak,
menerbitkan/menimbulkan akibat yang diatur oleh hukum. Masih menurut R. Soeroso dalam
buku yang sama (hal. 292), perbuatan hukum terdiri dari:
1) Perbuatan Hukum Sepihak
Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya: Pembuatan surat wasiat (diatur dalam Pasal 875
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”)) atau pemberian hibah suatu benda
(diatur dalam Pasal 1666 KUHPer).
2) Perbuatan Hukum Dua Pihak
Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik). Misalnya: Perjanjian jual beli (diatur
dalam Pasal 1457 KUHPer) dan Perjanjian sewa menyewa (diatur dalam Pasal 1548
KUHPer).
1. Lingkup Penyelenggaraan Transaksi Elektronik
Perlu dipahami bahwa dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 82/2012”) diatur mengenai
lingkup penyelenggaraan transaksi elektronik :

2
a. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau privat.
b. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi:
1) penyelenggaraan Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang
menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-
Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
2) penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik lainnya sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi Transaksi
Elektronik:
1) antar Pelaku Usaha;
2) antara Pelaku Usaha dengan konsumen;
3) antar pribadi;
4) antar Instansi; dan
5) antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
d. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang menggunakan Sistem Elektronik untuk
pelayanan publik, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Menjadi perhatian bahwa yang dimaksud dengan “Antar-Pelaku Usaha” adalah transaksi
elektronik dengan model transaksi business to business. Sementara yang dimaksud dengan
“antar Pelaku Usaha dengan Konsumen” adalah transaksi elektronik dengan model transaksi
business to consumer. Sedangkan yang dimaksud dengan “antar pribadi” adalah transaksi
elektronik dengan model transaksi consumer to consumer.
B. BISNIS ONLINE DAN ASPEK HUKUMNYA
1. Bisnis Online
Bisnis Online adalah bisnis yang dijalankan secara online di internet (e-commerce).
Prinsipnya sama seperti menjalankan bisnis offline, ada produk, ada jasa, ada nilai tambah
yang perlu dijual agar bisa menghasilkan uang, tapi bedanya, bisnis ini dijalankan secara
online di internet. Pemasarannya dilakukan melalui internet dan pembelinya didapat melalui
internet. Adapun hal-hal yang perlu diketahui dan dipelajari dalam berbisnis online, yaitu:

3
a. Pemasaran Melalui Media Internet
kita akan belajar teknik pemasaran melalui media internet, yang lebih banyak
mendatangkan calon pembeli, orang lain berinvestasi di website (memasang iklan).
b. Melakukan Market Riset
Pelajaran untuk mengetahui dan mempelajari potensi kategori bisnis online yang akan
kita jalankan, apakah nantinya akan menguntungkan atau tidak, bisa dilihat melalui
teknik market riset ini, bila terlihat kurang menguntungkan, tidak perlu dijalankan dan
cari potensi kategori bisnis online lainnya.
c. Menentukan Keyword Market Bisnis
Dalam memasarkan produk di internet baik produk sendiri maupun produk affiliasi, kita
perlu mengetahui keyword market bisnis untuk produk yang akan kita pasarkan, kita
harus cermat dalam menentukan keyword market bisnis, sehingga tidak cuman banyak
pendatang tapi tidak ada pembeli.
d. Mengecek Tingkat Persaingan dan Mempelajari Pesaing
Sebagai pemain baru, kita perlu mengetahui siapa sebenarnya pesaing kita di internet
yang sudah lebih dulu ada, apa keunggulan pesaing kita dan bagaimana agar bisa unggul
bersaing dengannya, Jadi kita harus pintar–pintar dalam mempromosikan produk kita dan
mintalah kritik dan saran pada konsumen agar bisa membangun lebih baik produk yang
kita pasarkan.
e. Membuat Website Komunitas
kita akan diberikan cara membuat website komunitas, dimana membuat website
komunitas tujuan utamanya untuk mendapatkan penghasilan online dari sponsor iklan
dan program affiliasi
f. Internet Marketing
kita harus akan belajar 2 teknik internet marketing yang powerful yaitu search engine
marketing dan community marketing, dalam pemasaran melalui internet, teknik ini yang
paling baik untuk mendatangkan sales.
2. Kelebihan Bisnis Online yaitu:
a. Bisnis online bisa dijalankan dari mana saja, yang penting ada komputer atau laptop
yang terhubung ke internet,dan tidak terfokus pada waktu.Kerja bisa santai,tidak
seperti kerja di perkantoran yang melelahkan

4
b. Modal yang dibutuhkan relatif lebih sedikit
c. Bisnis bisa berjalan otomatis dengan bantuan software tertentu
d. Tidak butuh jumlah karyawan yang banyak
e. Tersedia banyak pilihan bisnis yang ada
3. Di samping banyak keuntungan bisnis online juga punya kelemahan antara lain:
a. Koneksi Internet yang Mahal.
b. Kurva pembelajaran lama, lebih banyak mengandalkan pengalaman pribadi untuk
meraih kesuksesan bisnis online.
c. Awal-awal tahun akan makan banyak waktu daripada kerja biasa dan mengorbankan
banyak waktu bersama keluargan.
d. Kuper is not cool. Jangan lupa terapkan ilmu anti kuper dan anti mati gaya.
e. Terlalu banyak pilihan bisa membuat kita bingung mau milih ikutan yang mana
f. Sulitnya membangun kepercayaan dengan customer
4. Aspek Hukum Bisnis Online
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) yang diambil selama periode Maret hingga 2019 menemukan bahwa
jumlah pengguna Internet di Indonesia meningkat hingga 10,12%. Banyaknya pengguna
Internet di Indonesia ini membuat bisnis e-commerce atau jual beli online semakin
berkembang. Meningkatnya angka jual beli secara online  ini secara tidak langsung juga
berdampak terhadap perkembangan aturan-aturan hukum. Berikut ini merupakan beberapa
aspek hukum e-commerce dan jual beli secara online atau elektronik:
a. Keabsahan Kontrak Online
Jual beli online lahir karena adanya kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara
penjual dan pembeli. Namun, hingga saat ini aturan jual beli elektronik masih belum tertulis
dengan jelas di dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan syarat-syarat
sah perjanjian secara elektronik belum diatur secara khusus. Namun, pada prinsipnya, syarat
sah perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), yang merupakan acuan dalam pembuatan kontrak online. Selama
kontrak online yang dibuat telah memenuhi 4 syarat sah perjanjian yang dimaksud
pada Pasal 1320 KUHPerdata, maka kontrak online tersebut dapat dianggap sah dan
mengikat para pihak.

5
b. Hak & Kewajiban Penjual Barang/Jasa Secara Online
Pada dasarnya, jual beli secara online adalah salah satu media yang digunakan dalam
melakukan transaksi jual beli. Namun, sifat dari transaksi tersebut adalah jual beli sehingga
tetap merujuk pada aturan mengenai jual beli yang diatur dalam KUHPerdata. Dalam
kontrak elektronik atas transaksi jual-beli online  atau bisnis e-commerce, penjual memiliki
hak dan tanggung jawab masing-masing.
Selain kewajiban di atas, Pasal 7 Undang-Undang No.8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) juga mengatur bahwa seorang penjual sebagai
pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada pembeli atau konsumen apabila barang
yang diterima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini dilakukan agar pembeli dapat
menuntut haknya apabila terjadi penipuan atas produk yang dilakukan oleh penjual.
Sedangkan hak penjual berdasarkan Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai
berikut:
1) Menentukan dan menerima harga pembayaran atas penjualan barang sesuai dengan
kesepakatan antara penjual dan pembeli.
2) Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beriktikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum merugikan konsumen
yang tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
c. Hak & Kewajiban Pembeli Barang/Jasa Secara Online
Selain penjual, pembeli sebagai salah satu pihak dalam transaksi jual beli juga memiliki
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pembeli dalam transaksi jual beli
menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
1) Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan dan
atau jasa yang dibelinya.
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa tersebut.
3) Membayar harga pembelian sesuai dengan yang telah disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari
proses jual beli tersebut.

6
Sedangkan untuk melindungi pembeli sebagai konsumen dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen atas perbuatan tidak bertanggung jawab yang dilakukan penjual, Pasal
4 UU Perlindungan Konsumen menjabarkan hak-hak pembeli sebagai berikut:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
atau jasa.
2) Hak memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai
dengan yang diperjanjikan.
3) Mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang atau jasa yang
diperjualbelikan.
4) Mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif.
5) Didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang
dibelinya.
6) Mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut
timbul sengketa.
7) Mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya
tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
8) Mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
d. Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian untuk Hindari Penyalahgunaan
Transaksi Online
Meski dilakukan secara online melalui media Internet, kontrak online juga bisa menjadi
dokumen elektronik yang dapat dijadikan alat bukti untuk menghindari adanya
penyalahgunaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan kerugian.
Meskipun pada prakteknya tidak terdapat perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh
penjual dan pembeli, namun dengan adanya konfirmasi pembayaran yang dilakukan oleh
pembeli dan adanya pemberitahuan dari penjual bahwa barang tersebut akan dikirim, maka
hal tersebut sudah dapat dijadikan bukti adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli
untuk melakukan transaksi jual beli.
Seiring dengan perkembangan teknologi, alat bukti yang sebelumnya hanya terbatas pada
dokumen fisik telah berkembang menjadi informasi elektronik dan dokumen elektronik. Hal
ini secara tegas disebutkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11/2008
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19/2016 tentang Informasi dan

7
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa informasi, dokumen elektronik,
atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya ketentuan
mengenai hal ini, maka memberikan kepastian hukum atas penyelenggaraan transaksi
elektronik di Indonesia.
C. Hubungan Hukum Dalam Kegiatan Bisnis Online
Perkembangan dunia digital, khususnya internet saat ini sudah begitu mengglobal.
Internet bukan lagi suatu hal yang baru dalam fase pertumbuhan dan perkembangan
teknologi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini telah membawa banyak perubahan
bagi pola kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Pola kehidupan tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya,
perdagangan dan bidang lainnya. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak
dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap
efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan
electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu
business to business e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to
consumer e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya
baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun terakhir perdagangan online semakin marak
terjadi di Indonesia. Sebut saja Kaskus, berniaga.com, bahkan online shop yang
menggunakan facebook atau handphone sebagai alat pemasarannya. Orang-orang berlomba
untuk meraup keuntungan dan pendapatan yang lebih dengan memanfaatkan teknologi
informasi ini. Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif yang
paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara fisik.
Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena tidak memerlukan modal yang
besar, pasar yang besar karena internet dapat diakses oleh para konsumen dari seluruh dunia,
dan lainnya. Sedangkan bagi para konsumen, berbelanja di online shop dianggap lebih
menarik karena harga yang ditawarkan biasanya lebih murah daripada berbelanja secara
fisik. Namun dibalik semua kemudahan tersebut, online shop masih menyisakan beberapa
persoalan tertutama dalam perlindungan konsumen seperti permasalahan mengenai
penipuan, atau barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan.

8
Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo menilai bahwa, Indonesia memiliki
potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan e-commerce. Berbagai
kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan
infrastruktur, jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa
diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu .
Bagaimanapun, kompetensi teknologi dan manfaat yang diperoleh memang seringkali
harus melalui proses yang cukup panjang. Namun mengabaikan pengembangan kemampuan
teknologi akan menimbulkan ekses negatif di masa depan. Keterbukaan dan sifat proaktif
serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika
perkembangan teknologi.
Learning by doing adalah alternative terbaik untuk menghadapi fenomena e-commerce
karena mau tak mau Indonesia sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Meski
belum sempurna , segala sarana dan pra-sarana yang tersedia dapat dimanfaatkan sambil
terus direvisi selaras dengan perkembangan mutakhir.
E-commerce telah banyak digunakan seiring dengan meningkatnya pengguna internet di
Indonesia. Menurut data Departemen Telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan
februari 2008 mencapai 25 juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna
pada akhir tahun 2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
e-commerce diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang
nomor 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang
Paten, Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, Undangundang
Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dan lain-lain.
Kekosongan hukum yang mengatur tentang E-commerce menimbulkan masalah-masalah
seperti :
2) Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet.
3) Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
4) Obyek transaksi yang diperjualbelikan.
5) Mekanisme peralihan hak.

9
6) Hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan,
internet service provider (ISP),dan lain-lain.
7) Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat
bukti.
8) Mekanisme penyelesaian sengketa.
9) Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa.
10) Masalah perlindungan konsumen, HAKI dan lain-lain.
Dengan munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi
elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum
pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin dan yang kedua
diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait
penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya
pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan
ecommerce mempunyai basis legalnya.
Walaupun beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan munculnya
UU ITE ini, namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam e-commerce masih
perlu untuk dikaji lebih dalam, apakah UU ITE sudah mampu memberikan perlindungan
hukum bagi konsumen.
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada
era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui promosi, iklan,
maupun penawaran secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen
hanya akan menjadi obyek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Kehadiran e-commerce memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena
konsumen tidak perlu keluar rumah untuk berbelanja disamping itu pilihan barang/jasapun
beragam dengan harga yang relatif lebih murah.

10
Hal ini menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena
kondisi tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas
barang/jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis
dan kualitas barang/jasa sesuai dengan Universitas Sumatera Utarakebutuhannya. Dikatakan
negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah dari
pada posisi pelaku usaha.
Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan
lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya
sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan
penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi.
Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang
berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap
untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif
dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen
sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal ini
terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan UUPK
adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
Berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting.
Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan
kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan
pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Bagaimana isi tentang undang-undang No.8 tahun 2008 ? Pada tahun 2008, pemerintah
Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini diatur mengenai transaksi elektronik
dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. Sebelum membahas lebih

11
lanjut mengenai upaya UU ITE ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada
baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah
“perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya”
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui
komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik. UU
ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar.
Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap
dan benar” adalah meliputi :
1) Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya,
baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
2) Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya
perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama,
alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai
kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan
alamatnya sebagai bentuk informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai
barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap sehingga dapat merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah
masalah mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa
sudah terjadi kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada
saat barang tiba, pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat
bahwa belum terjadi kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
Hal ini pun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa
“kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran
transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini

12
sesuai dengan prinsip hukum perdata dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya
kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan
perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan memiliki
kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya bahwa pernyataan
“sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyatakan
bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan mengenai
hal tersebut.
Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini
adalah baik penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi
menjadi penting dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan
pembeli tidak bertemu secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing
pihak baik itu penjual maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan
melaksanakan kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu
contoh kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan online adalah bahwa penjual tidak
mengirimkan barangnya meskipun  pembayaran telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana perlindungan terhadap konsumen
yang telah dirugikan tersebut ?
Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara
konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara
online, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara
online dapat dikenakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4
tahun.”
UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1)
UU ITE disebutkan bahwa :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

13
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan
secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 1 Milyar.
Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang
mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya
permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat
ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian.
Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan
pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar
menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak
melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma
bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus
secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar
hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan
pihak lain. Dengan cara ini, maka para pelanggan akan semakin merasa aman dan tidak
menimbulkan ke khawatiran akan adanya suatu penipuan dalam perdagangan online atau e-
commerce.
D. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI DAN PENJUAL DALAM
TRANSAKSI BISNIS ONLINE
1. Perlindungan hukum berdasarkan perjanjian
Pada umumnya, setiap transaksi online terdapat dokumen elektronik yang dibuat oleh
pihak penjual yang berisi mengenai aturan dan kondisi yang harus dipatuhi antara lain
jangka waktu pembayaran, serta jangka waktu dan metode pengiriman. Meski seringkali
pada prakteknya penjual dan pembeli tidak menandatangani suatu perjanjian, namun jika
pembeli telah memasukkan pesanan atas barang yang diinginkan dan penjual bersedia untuk
menyerahkan barang tersebut, maka telah terjadi kesepakatan antara para pihak untuk
melakukan transaksi jual beli. Aturan dan kondisi itulah yang dapat digunakan sebagai
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Berikut ini adalah tiga perlindungan hukum
yang ada di dalam perjanjian menurut Edmon Makarim:

14
a. Perlindungan hukum bagi penjual; dalam perjanjian, penjual berhak untuk
memperoleh pembayaran dari pembeli atas produk yang dibeli oleh pembeli. Jika
pembeli tidak melakukan pembayaran dalam waktu yang ditentukan, maka penjual dapat
membatalkan pembelian barang tersebut dan menjualnya kepada calon pembeli lain.
Dengan adanya aturan jelas mengenai jangka waktu pembayaran, maka akan memberikan
perlindungan bagi penjual dimana penjual tidak dapat disalahkan jika penjual
memberikan barang tersebut kepada calon pembeli lain dalam hal pembeli tidak
melakukan pembayaran hingga batas waktu yang ditentukan.
b. Perlindungan hukum bagi pelanggan; sebagai pihak pembeli, maka pembeli berhak
untuk memperoleh barang sesuai dengan jenis dan spesifikasi yang disepakati. Dalam
perjanjian, dapat diatur mengenai hak pembeli untuk memperoleh ganti kerugian dari
penjual jika barang yang dikirimkan tidak sesuai. Misalnya, pembeli dapat melakukan
penukaran barang maupun ganti kerugian berupa uang dari penjual.
c. Perlindungan data pribadi; di era industri saat ini, data merupakan aset penting dan
perolehannya pun semakin mudah. Saat pembeli membuat akun di suatu website
penyelenggara ecommerce, maka pembeli akan diminta untuk memasukkan data pribadi
dan data pribadi tersebut akan masuk ke dalam sistem yang dikelola oleh penyelenggara
bisnis e-commerce atau penjual. Disinilah data pribadi harus dilindungi mulai dari
perolehan, penggunaan, pengolahan, penyebaran, hingga pemusnahan data pribadi.
Aturan-aturan tersebut dapat diakomodir dalam privacy policy atau kebijakan privasi.
Ketika pembeli bertransaksi melalui website atau media elektronik yang dikelola
penyelenggara e-commerce, maka pembeli telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
dengan penyelenggara e-commerce atau penjual dalam kebijakan privasi.
2. Perlindungan hukum berdasarkan UU Perlindungan
Konsumen
Selain perjanjian elektronik atas transaksi jual beli online, perlindungan terhadap pembeli
sebenarnya telah diatur secara umum dalam UU Perlindungan Konsumen, di mana dalam
UU tersebut telah mengatur hak dan kewajiban penjual dan pembeli, larangan bagi penjual,
serta cara penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara penjual dan pembeli.
Sebagai pemilik bisnis online, Anda perlu memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UU

15
Perlindungan Konsumen, antara lain hal-hal apa saja yang dilarang untuk dilakukan agar
transaksi jual beli online Anda tetap aman dan tidak melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Faradilla, Kiki. “makalah Tentang Bisnis Online”. 2015.


https://kikifaradilla.wordpress.com/. (Diakses Pada Tanggal 27 November 2019).

Libera. “Aspek Hukum Binis Ecommerce”. https://libera.id/. (Diakses Pada Tanggal 27


november 2019)

Prastya, Defry. “Aspek Hukum Dalam Bisnis Online”. 2014.


http://defryprastya.blogspot.com/. (Diakses Pada Tanggal 27 November 2019).

Arthaluhur, Made Wahyu. “Perbedaan Perdagangan Elektronik Dengan Transaksi


Elektronik”. 2018. https://www.hukumonline.com/. (diakses Pada Tanggal 27 November
2019).

16

Anda mungkin juga menyukai