Abstrak
Arus globalisasi yang saat ini membuat jarak antar negara bukanlah suatu
problematika lagi. Orang semakin mudah berhubungan dengan orang lain melalui
perkembangan teknologi dan komunikasi. Salah satu perkembangan yang signifikan
sekarang adalah transaksi jual beli secara online atau E-Commerce. Penjual dan
pembeli tidak perlu bertatap muka (face to face) untuk melakukan transaksi jual beli,
melainkan hanya perlu memiliki koneksi internet yang akan mempertemukan mereka
di dunia virtual. Eksistensi E-Commerce ini penting untuk dikaji aspek legalitasnya,
agar tidak menjadi sengketa hukum yang dapat merugikan berbagai pihak
secara komersial.
I. Pendahuluan
E-Commerce lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara
penjual dan pembeli. Hingga saat ini masih terjadi kekosongan hukum di Indonesia,
sebab belum mengakomodir tentang syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik
secara khusus.Namun, prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di Indonesia
mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga dapat pula diterapkan pada
kontrak elektronik.
E-Commerce ini secara tertuang dalam kontrak baku dengan prinsip take it or leave
it, sebab seluruh penawaran beserta persyaratan pembelian suatu produk sudah
tercantum dan pembeli dapat menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan
oleh pembeli ini menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga
kesepakatan dalam kontrak elektronik lahir.
Oleh karena kenyataan ini, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) menerbitkan Surat
Edaran DJP tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas TransaksiE-
Commerce Nomor SE-62/PJ/2013 pada tanggal 27 Desember 2013. Pada
prinsipnya, tidak ada pajak yang mengatur secara khusus mengenai E-
Commerce, melainkan menerapkan peraturan pajak yang telah ada.
Ada 2 (dua) macam pajak yang dapat dikenakan atas E-Commerce, yaitu Pajak
Penghasilan (“PPh”) yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Pajak Pertambahan Nilai
(“PPN”) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“PPNBM”) yang diatur dalam UU
Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009. SE-62/PJ/2013 mengklasifikasi E-Commerce ke dalam 4 (empat)
kegiatan besar, antara lain:
1. Online Marketplace
Online marketplace atau biasa disebut marketplace adalah kegiatan
menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet atau Mal Internet sebagai
tempat online Maketplace Merchant menjual barang atau jasa.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang
dan/atau jasa, serta proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchant oleh
penyelenggara.
2. Classified Ads
Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk
memajang content barang dan atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang
ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara
classified Ads.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis penyediaan tempat dan/atau waktu untuk memajang content
baran dan/atau jasa.
3. Daily Deals
Daily deals adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs Daily
Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant menjual barang atau jasa kepada
pembeli dengan menggunakan voucher sebagai alat pembayaran.
Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan
pembeli.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang
dan/atau jasa, serta dalam proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada
merchan oleh penyelenggara.
4. Online Retail
Online retail adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang diselenggarakan
oleh penyelenggara kepada pembeli di situs online retail.
Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM
dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang
dan/atau jasa, serta dalam proses penjualan barang dan/atau jasa.
Menurut Kompas yang mengutip dari Daily Social per Juni 2015, bahwa pemerintah
telah menyusun peraturan ecommerce melalui kegiatan Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP).
Selanjutnya dalam draft rancangan tersebut mengatur tentang transaksi jual beli
online (e-commerce) yang justru dikhawatirkan bakal mematikan pelaku industri
lokal.
Dimana salah satu pasal yang mewajibkan pihak penjual dan pembeli dalam
transaksi online, terverifikasi melalui input nomor KTP dan NPWP. Tahap verifikasi
ini biasa disebut dengan KYC (Know Your Customer).
Daily Social menyebut bahwa proses verifikasi yang harus dilakukan lebih dulu
dalam setiap transaksi online melalui situs e-commerce lokal, seperti Bukalapak,
Tokopedia, Kaskus, atau OLX, bisa merepotkan pengguna.
Jika pengguna merasa repot, maka dikhawatirkan mereka akan pindah ke platform
jual beli lain, seperti Facebook, Instagram, atau eBay yang prosesnya lebih
sederhana.
III. Pembahasan
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE
sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elekronik (“UU ITE”).
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online),
sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
Terkait dengan persoalan diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku
usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian
spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto
penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. data identitas para pihak;
b. objek dan spesifikasi;
c. persyaratan Transaksi Elektronik;
d. harga dan biaya;
e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat
cacat tersembunyi; dan
g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Lalu, bagaimana jika barang yang konsumen terima tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku
Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan
barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat
tersembunyi.
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang di terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran),
konsumen juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual)
secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang di
lakukan dengan penjual.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka konsumen secara
perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya,
barang yang di terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat
dalam display home page/web site).
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau
melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat
juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITEtentang
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.”
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan
transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-
hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli
secara online.
V. Daftar Pustaka
Ainur Rofiq, PENGARUH DIMENSI KEPERCAYAAN (TRUST) TERHADAP
PARTISIPASI PELANGGAN E-COMMERCE (Studi Pada Pelanggan E-Commerce
Di Indonesia), Universitas Brawijaya, Malang, 2007
http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-e-commerce-hukum-jual-beli-online
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-konsumen-
dalam-e-commerce
http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/08/e-commerse-definisi-jenis-tujuan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik