Anda di halaman 1dari 26

TUGAS 1 HUKUM PERSAINGAN USAHA & PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama: Muhamad Hasya Ghani


NIM: 010002100483

JURNAL 1
Judul: Persaingan Usaha pada Era Digital Menurut Perspektif Hukum Persaingan
Usaha

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana persaingan usaha pada era digital menurut perspektif hukum
persaingan usaha?
2. Bagaimana proses pemasaran produk barang dan jasa dalam menghadapi
persaingan usaha pada era digital sekarang?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. Sebagai hasil dari Internet, kegiatan ekonomi telah berubah. Dengan
mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk menemukan barang atau jasa
yang mereka inginkan, Internet dapat membantu konsumen menghemat waktu
dan uang. Internet juga memberikan kontribusi yang signifikan untuk perluasan
pasokan dan penciptaan pasar yang dinamis. Platform ekonomi mampu
menjangkau beberapa pasar (pasar multi-sisi) melalui jangkauan
jaringan. Karakteristik tersebut memberikan kesulitan yang signifikan dalam
hal hukum persaingan, terutama bagi regulator persaingan perusahaan.

Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi ekonomi digital


memperoleh keuntungan atas efek jaringan (network effects). Data yang ada
(big data) dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut untuk
memperoleh keunggulan kompetitif atas para pesaingnya. Di sisi lain,
pelaku usaha baru (new entrant) mengalami kesulitan untuk dapat bersaing
dengan mereka. Oleh karena itu perlindungan terhadap tingkat persaingan di
dunia maya menjadi sangat penting untuk menjaga pasar tetap terbuka
bagi pelaku usaha pesaing, pelaku usaha baru dan berbagai model bisnis
baru.”Dalam praktik hukum persaingan usaha, kompleksitas Dalam industri
digital, model bisnis dan hubungan ekonomi membawa tantangan baru.
Raksasa internet seperti Google, Amazon, dan Facebook memiliki metode
dan perilaku bisnis yang berbeda, memunculkan perdebatan sengit tentang
apakah mereka harus dianggap tindakan hukum dan sejauh mana perilaku
mereka harus dipantau secara khusus serta bagaimana mereka akan
membahayakan persaingan.

Otoritas persaingan usaha dengan kondisi perubahan dan inovasi pasar digital
dalam menilai kekuasaan pasar selain memperhatikan pangsa pasar harus juga
melihat elemen kunci lainnya juga yaitu:
1) Network Effects
2) Tingkat Return on scale
3) Single-homing, Multi-homing, serta derajat diferensiasi
4) Kemampuan mengakses informasi (customer, users, dan pihak ketiga)
5) Potensi inovasi dalam digital market
Pihak-pihak yang terlibat dalam operasi digital saat menerapkan E-Commerce
akan menghadapi banyak tantangan, antara lain:
1) Kepercayaan
kepercayaan menjadi penghalang paling signifikan dalam perdagangan
elektronik karena Indonesia lebih nyaman dengan transaksi tatap
muka.

2) Keamanan
Orang tidak nyaman dengan transaksi online karena banyaknya cerita
criminal di internet yang cukup disebarluaskan

3) Dalam transaksi online diperlukan penambahan biaya pengiriman


sehingga harga barang yang dibeli secara online akan jauh lebih mahal
dari pada membeli secara face to face

Penyusunan kontrak online adalah bentuk penerimaan yang paling sesuai.


Karena email dikirim dari server ISP ke server lokal sebelum dikirim ke terminal
komputer penerima, waktu penerimaan pesan tidak dapat dijamin. Penerima
pesan mungkin terlambat karena berbagai alasan, termasuk
ketidakmampuan untuk membaca pesan tepat waktu. Akhirnya, pertukaran dua
orang itu sulit untuk dibayangkan bahwa pertukaran itu akan terwujud sesuai
dengan tujuan atau harapan mereka. Bahkan jika salah satu pihak menjamin
bahwa pesan akan tiba tepat waktu, ini tidak membantu menentukan apakah
para pihak telah menandatangani kontrak yang mereka inginkan.

Persaingan usaha memiliki ciri-ciri tersendiri, tentu saja berbeda antara


persaingan sempurna dengan persaingan tidak sehat.
Ciri persaingan sempurna antara lain :
1) jumlah pembeli banyak
2) jumlah penjual banyak
3) barang yang diperjualbelikan homogen dalam anggapan konsumen, ada
kebebasan untuk mendirikan dan membubarkan perusahaan
4) sumber produksi bebas bergerak kemanapun
5) pembeli dan penjual mengetahui satu sama lain dan mengetahui barang-
barang yang diperjualbelikan

sedangkan persaingan tidak sehat memiliki ciri antara lain:


1) jumlah pembeli sedikit,
2) jumlah penjual sedikit,
3) barang yang diperjualbelikan heterogen dalam anggapan konsumen,
4) tidak ada kebebasan untuk mendirikan dan membubarkan perusahaan
5) sumber produksi tidak bebas bergerak kemanapun
6) pembeli dan penjual tidak mengetahui satu sama lain dan tidak
mengetahui barang-barang yang diperjualbelikan.
2. Sebagaimana diatur dalam “Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik” pihak yang melakukan transaksi elektronik
harus menggunakan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum dan dapat digunakan di pengadilan jika memenuhi kriteria
berikut :
a. Segala perubahan konsumen tanda tangan Elektronik yang terjadi
setelah konsumen tanda tangan dapat diketahui,
b. serta segala perubahan Informasi Elektronik yang berkaitan dengan
konsumen Hands, sepenuhnya berada di bawah kendali tanda tangan
elektronik konsumen pada saat tanda tangan elektronik

Pada kenyataannya transaksi jual beli melalui internet tidak dapat dihentikan
namun perlindungan dan kepastian hukum yang diberikan kepada
pengguna internet belum memadai oleh karena itu, harus dilakukan beberapa
upaya untuk menjaga keseimbangan hukum dalam keadaan ini. Hubungan
hukum dalam operasi pembelian dan penjualan elektronik dapat dibangun , tidak
hanya antara pengusaha dan konsumen, tetapi juga antara pihak-pihak yang
tercantum di bawah ini:
a. Transaksi bisnis-ke-bisnis terjadi ketika pembeli dan penjual keduanya
bisnis daripada individuuntuk melakukan kerjasama.
b. Transaksi antar pembeli;
c. Transaksipenjual ke pembeli.

Segala aspek yang berkaitan dengan perikatan di Indonesia harus sesuai


dengan Pasal 1320 KUHPerdata, walaupun premis utama konvensi UNCITRAL
adalah para pihak bebas untuk tidak menggunakan substansi konvensi,
termasuk kebebasan para pihak untuk membuat standar baru dalam peraturan
nasiona mereka, seperti yang ditunjukkan dalam Pasal 3 UNCITRAL tentang
Perdagangan Elektronik.

Transaksi jual beli E-commerce pada intinya hamper sama dengan jual beli
secara konvensional. Tahapan yang dilakukan dalam melakuakn penjualan dan
pembelian secara online antara lain:
1) Untuk melakukan pemesanan secara online, gunakan Formulir
Pemesanan elektronik yang diberikan oleh penjual. Saat mengisi
formulir pemesanan, pembeli/pelanggan harus memberikan informasi
pembayaran (billing) serta tujuan pengiriman (shipping).
2) konfirmasi pembayaran penerimaan pembayaran akan dikonfirmasi oleh
vendor setelah pembeli/pelanggan melakukan pembayaran
3) Konfirmasi ketersediaan produk dalam kebanyakan situasi, vendor akan,
memastikan ketersediaan produk
4) Pengaturan pengiriman barang, Transaksi e-commerce dapat mencakup
produk fisik dan online. Jika produk berbentuk digital, seperti perangkat
lunak, sangat penting untuk memeriksa terlebih dahulu untuk menentukan
apakah produk telah diperbarui atau diubah.
5) Pengembalian, Dalam hal ini, penjual harus dapat menjamin bahwa
jika produk yang dikirimkan kepada pembeli tidak sesuai, maka akan
dikembalikan kepada penjual.

KESIMPULAN:
1. Konsep bisnis rintisan yang kreatif mungkin memiliki keuntungan ekonomi yang
besar dalam hal merger dan akuisisi. Hal ini dinilai cukup menarik bagi investor
(acquirer) walaupun omset yang dihasilkan oleh perusahaan rintisan ini sangat
minim. Untuk dapat menilai jenis transaksi M&A ini, tugas untuk memberi tahu
otoritas persaingan tidak lagi terbatas pada serangkaian ambang batas,
tetapi juga harus mencakup nilai transaksi yang tinggi
2. Dalam transaksi jual beli berbasis internet, para pihak dalam transaksi tersebut
identic dengan transaksi jual beli konvensi. Factor pembeda antara kedua
transkasi jual beli tersebut adalah dalam jual beli konvensi penjual dan pembeli
bertemu secara lansung sedangkan dalam transaksi jual beli elektronik penjual
dan pembeli berkomunikasi melalui media internet

JURNAL 2
Judul: Kepastian Hukum Penerapan Indirect Evidence dalam Penanganan Kasus
Kartel di Indonesia

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana kepastian hukum penerapan Indirect Evidence menggunakan bukti
ekonomi dan bukti komunikasi pada pembuktian pelanggaran persaingan usaha
khususnya kartel?
2. Bagaimana kedudukan Indirect Evidenceapabila dapat berdiri sendiri atau
digabungkan dengan bukti lainsebagai bukti telah terjadinya pelanggaran
persaingan usaha khususnya kartel?
Jawaban dari Rumusan Masalah:
1. Bukti tidak langsung adalah jenis alat bukti yang tidak dapat secara
langsung menggambarkan terjadinya peristiwa hukum atau perbuatan hukum
yang ditentukan oleh undang-undang. Indirect evidence adalah suatu jenis alat
bukti, di mana hubungan antara fakta dan bukti baru dapat ditarik setelah
diambil kesimpulan tertentu. Dengan kata lain, bukti tidak langsung
(indirect evidence) adalah fakta yang bukan satu-satunya fakta yang terkait
dengan kasus tersebut, tetapi dari fakta tersebut, apakah terkait dengan kasus
atau tidak, maka sebuah kesimpulan dapat ditarik.

Ada 2 macam tipe pembuktian tidak langsung yaitu


1) Bukti Komunikasi
Bukti komunikasi adalah bukti para pelaku kartel bertemu atau
berkomunikasi, tetapi tidak menggambarkan esensi komunikasinya.
Misalnya, catatan ini mencakup percakapan telepon antara pelaku
kartel yang mencurigakan, catatan perjalanan ke tujuan mereka, dan
catatan pertemuan yang mereka hadiri. Pertukaran bukti sangat
membantu dalam mencapai kesepakatan. Mayoritas kasus kartel
dijelaskan secara tidak langsung melalui pertukaran bukti antar pelaku
usaha.

2) Bukti Ekonomi
Bukti ekonomi digunakan untuk menunjuk alasan khusus dalam upaya
membuktikan kartel dan dapat digunakan untuk menganalisis apakah
bisnis operator untuk kepentingannya sendiri atua dapat didasarkan pada
kesakisan seorang ekonom yang akan bersaksi berdasarkan teori dan
menampilkan data survey dan data statistic

Dalam menentukan penggunaan dan analisis bukti semacam itu, perhatian


harus diberikan pada peran komite dalam situasi ini. Dewan pengawas
memiliki kewenangan yang cukup untuk menentukan apakah bukti tersebut
valid. Kekuatan pertimbangan juga berlaku untuk menentukan sejauh mana
bukti itu bisa diklasifikasikan dalam bukti yang digunakan pada persidangan.

Alat bukti seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen,
serta keterangan pelakuusaha mempunyai kekuatan yang sama dengan alat
bukti lainnya, menurut Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebagaimana dibuktikan oleh
"UU Acara Perdata", artinya ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang larangan perilaku monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat tidak bersifat hierarkis.Hal ini karena, dibandingkan dengan
kerangka pembuktian yang diberikan oleh UU Acara Perdata yang
menggunakan bukti tertulis yang nyata, maka bukti dalam UU Larangan
Perilaku Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat pada dasarnya dapat
eksis secara independen dan memiliki kewenangan yang berbeda dari
kerangka tersebut.

2. Perhatian harus diberikan pada peran komite dalam menentukan


penggunaan dan analisis bukti. Dewan Komisaris memiliki kewenangan penuh
untuk menentukan apakah alat bukti tersebut sah dan untuk menentukan
sejauh mana bukti dapat dikualifikasikan sebagai bukti untuk digunakan
dalam sidang. Kewenangan untuk memutuskan apakah bukti dapat
digunakan sebagai bukti dimiliki oleh Panitia. Pasal 72 ayat (3) Peraturan
KPPU Nomor 1 Tahun 2010, bahwa:“alat bukti petunjuk merupakan
pengetahuan Majelis komisi yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.” Yang kemudian diubah dalam Pasal 57 Peraturan KPPUNomor
1 Tahun 2019 penjelasan alat bukti petunjuk dijabarkan dalam pasal tersebut
sebagai:
1) “Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau
penyalahgunaan posisi dominan menurut ketentuanundang-undang,
menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian dan/atau kegiatan
yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa
pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bukti
ekonomi dan/atau bukti komunikasi yang oleh majelis komisi diyakini
kebenarannya.
3) Bukti ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
penggunaan dalil-dalil ilmu ekonomi yang ditunjang oleh metode
analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif serta hasil analisis ahli,
yang semuanya bertujuan untuk memperkuat dugaan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
4) Bukti komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
pemanfaatan data dan/atau dokumen yang menunjukkan adanya
tukar menukar informasi antar pihak yang diduga melakukan
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemisahan indirect evidence dari jenis Alat Bukti yang dikenal di Indonesia sulit
untuk dilakukan berdasarkan system pembuktian di Indonesia seperti contoh
Pasal 42 UU 5/1999 menyatakan bahwa alat bukti terdiri dari saksi, ahli,
surat/dokumen, petunjuk, dan pernyataan pelaku usaha

Maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti tidak langsung dapat digunakan dalam
proses pembuktian praktek kartel tetapi harus didukung dengan alat bukti
langsung atau dengan kata lain bukti tidak langsung tidak dapat dijadikan bukti
satu-satunya dalam proses pembuktian praktek kartel oleh KPPU karena
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan komisi mengenai penanganan
perkara, paling tidak harus terdapat dua bukti dalam memutuskan suatu kasus
sehingga dapat diajukan sebagai perkara

Kesimpulan:
1. Persaingan Usaha yang mengatur segala ketentuan hal yang berkaitan dengan
persaingan usaha. Dasar keberadaan hukum persaingan usaha untuk
menciptakan persaingan usaha yang sehat serta mampu mendorong
pelaku usaha bersaing secara sehat. Untuk mencegah terjadinya persaingan
usaha tidak sehat maka KPPU mengeluarkan peraturan Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Dalam praktik pembuktian perkara kartel, pengadilan
mulai mengakui keberadaan indirect evidence, bahkan beberapa kali Putusan
MA di tingkat Kasasi menguatkan Putusan KPPU yang menggunakan indirect
evidencedalam Perkara-perkara Kartel dan Persekongkolan Tender. Hal ini
karena penggunaan indirect evidencesudah banyak dilakukandi negara lain
dan diakui keberadaannya di PBB bahkan di Organisation for Economic
Cooperationand Development(OECD), namunpembuktian tidak langsung
menuai kritikan dalam pandangan hukum di Indonesia. Pakar hukum di
Indonesia melihat bahwa pembuktian dengan indirect evidencekhususnya
pada kasus kartel dapat secara otomatis dapat dipakai di dalam hukum di
Indonesia. Akan tetapi indirect evidenceharus dimasukkan ke dalam salah
satu unsur/jenis Alat Bukti tersebut, sehingga indirect evidencemasuk
kategori “Petunjuk”.

2. Status bukti tidak langsung dalam kasus kartel dalam UU Antitrust hanya
digunakan sebagai bukti pelengkap. Dalam penanganan kasus kartel oleh
KPPU bukti tidak langsung tidak bisa dijadikan satu-satunya alat bukti. Untuk
menyelesaikan masalah karteldi Indonesia, KPPU tidak bisa hanya
mengandalkan bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan bagian dari alat bukti,
sehingga alat bukti tersebut termasuk alat bukti, sedangkan alat bukti tidak
langsungmuncul berupa bukti pertukaran atau hasil analisis ekonomi, dan
digunakan sebagai alat bukti pelengkap untuk memperkuat alat bukti lainnya

Saran:
1. Walaupun pengaturan tentang persaingan usaha di Indonesia yang ditetapkan
dalam UU 5/1999 sudah baik namun karena perkembangan zaman perlu
dilakukan amandemen terkhusus pada ketentuan kartel untuk memudahkam
dalam proses identifikasi kriteria kartel sesuai dengan pengertian kartel tidak
hanya pada penjelasan unsur tentang kartel.
2. sebaiknya dibentuk suatu peraturan baru yang memberikan ketentuan yang lebih
jelas dalam menggunakan bukti tidak langsung untuk dapat membuktikan
terjadinya kartel.
3. Amandemen perlu dilakukan dengan memasukkan pengaturan mengenai
pembuktian kartel menggunakan Indirect Evidence di dalam Undang-undang Anti
Monopoli, sehingga dalam pembuktian kasus kartel dapat diberikan kepastian.

JURNAL 3
Judul: Dampak Ekosistem Digital terhadap Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
serta Optimalisasi Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Era Ekonomi
Digital

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana dampak ekosistem digital terhadap hukum persaingan usaha di
Indonesia?
2. Bagaimana optimalisasi peran KPPU di era ekonomi digital dalam kemungkinan
terjadi persaingan usaha tidak sehat?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. Ekosistem digital berpengaruh terhadap hukum persaingan di Indonesia dan
keberadaan platform digital menimbulkan pengaruh terhadap perlindungan data
pribadi dan juga terhadap persaingan bisnis. Atas ekosistem tersebut muncul
pasar digital hadir untuk kenyamanan masyarkat. Selain memberikan manfaat
bagi masyarakat pasar digital juga memiliki kontrol signifikan atas data
konsumen.
Persaingan di pasar digital utama membuat masalah persaingan usaha menjadi
semakin kompleks berbeda dari persaingan di pasar yang lebih tradisional dalam
beberapa hal. Dengan semakin meningkatnya keterkaitan ekonomi digital,
beberapa koordinasi dan kerja sama antar perusahaan tidak dapat dihindari dan
bahkan menjadi kompetitif. Perkembangan keuntungan ekonomi digital menjadi
perhatian Pemerintah dan otoritas persaingan, karena persaingan di pasar digital
sangat berbeda dengan persaingan di pasar tradisional (offline).

Oleh karena itu, sebelum melakukan analisis hukum proses penting yang harus
dikakukan adalah menentukan pasar. Pasar bersangkutan mengacu pada
spektrum/area komersialisasi tertentu oleh pelaku ekonomi untuk barang/jasa
yang sama, serupa dan substitusi.

Di era digital, definisi pelaku ekonomi harus diperluas terlebih dahulu; sekarang
Diatur dengan cukup tegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Saat
mendefinisikan pasar bersangkutan, selain perhitungan transaksi moneter, aliran
data yang terjadi juga diperhatikan. Kriteria tambahan sudah mulai dipakai oleh
Otoritas Pengawasan dalam menentukan pelanggaran persaingan usaha tidak
sehat di sektor digital. Misalnya, untuk menangkap fitur baru ekonomi digital
negara Jerman merevisi undang-undang persaingannya pada tahun 2017
dengan mengubah produk/layanan gratis yang disediakan oleh platform menjadi
pasar tunggal.

Berbagai pelanggaran bisnsi dapat terjadi di era digital sekarang ini, dan terdapat
kemungkinan kondisi dominan, pelaku ekonom diasumsikan memiliki kekuatan
pasar yang cukup besar. Beberapa bentuk penyalahgunaan posisi dominan pada
platform digital adalah penolakan bisnis, penetapan harga predator, penawaran
eksklusif, dan loyalitas, dan diskon bundel. Ada juga kemungkinan kartel atau
penawaran. kemunculan platform digital telah membuat harga menjadi
transparan di antara para pesaing pasar. Perusahaan dimungkinkan
memungkinkan untuk memprediksi tren pasar, memetakan konsumen, dan
menyesuaikan strategi penetapan harga dengan data dan algoritme.

Tantangan muncul dalam membedakan antara tangapan independent dari


operator ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan atau praktik yang
dihasilkan dari berurusan dengan pesaing. Kolusi antara pelaku ekonomi dapat
difasilitasi ioleh penetapan harga algoritmik karena mudah dikendalikan dan
pelaku ekonomi yang menyimpang dari kesepakatan diberikan sanksi. Selain itu
pengendalian merger, akuisisi, dan konsolidasi (merger). Merger yang memenuhi
kriteria tertentu harus dilaprokan kepada otoritas persaingan. Pasal 8 sampai
Pasal 18 mengatur megenai perbuatan yang dilarang dan Pasal 19 hingga Pasal
28 mengatur mengenai aspek tanggung jawab.
Sangat penting untuk memprediksi perkembangan perusahaan target yang akan
diakuisisi, saat menganalisis merger perusahaan digital yang sudah mapan.
Analisis dampak keragaman perusahaan digital perlu dilakukan. Model bisnis
mengalami perubahan berdasarkan industry akibat era digital. Di era digital
setidaknya ada tiga transaksi bisnis dasar yang berubah yaitu transaksi
komoditas, transaksi informasi, dan transaksi keuangan. Digital market power di
era digital dikembangkan melalui net-work effect, pemanfaatan teknologi
informasi, dapat terjadi di semua sector atau di beberapa sektor yang ada pada
pasar bilateral dan lintas batas

2. KPPU berperan penting untuk menegakan hukum di era ekonomi digital. KPPU
merupakan badan independent yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak
manapun, pemerintah atau pihak lain yang memiliki benturan kepentingan,
dalam memproses, memutus atau melakukan penyidikan suatu perkara. Pasal
36 ayat (6) dan Pasal 36 ayat (7) UU No. 5/1999 mengatur mengenai
kewenangan KPPU.

KPPU memiliki kewenangan untuk menegakkan Undang-undang Persaingan


Usaha, dan bertanggung jawab kepada Presiden dalam menjalankan wewenang
dan tugasnya. Pada kenyataannya, persaingan usaha tidak sehat di era ekonomi
digital muncul karena regulasi yang belum adil terhadap permasalahan di era
ekonomi digital. Maka dari itu peran KPPU perlu dioptimalkan dalam bekerja
sama dengan pemerintah untuk mengimplementasikan UU 5/1999 dalam
mengatur ekonomi digital

Menurut penulis, KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha yang sehat
harus bersinergi dengan perusahaan dan Pemerintah. iklim persaingan yang
sehat di Indonesia dapat tercipta jika kedua hal tersebut dapat
diimplementasikan, diharapkan dapat Persaingan usaha yang sehat akan
berdampak positif bagi pelaku ekonomi, karena dapat menimbulkan motivasi
atau stimulus untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi dan kualitas
produk yang dihasilkan.

Oleh karena itu, KPPU harus segera mengkaji lebih detail undang-undang
sebelumnya, yakni UU No. 5/1999 dan merevisinya untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat terutama pada Pasal 8 sampai 18 terkait
perbuatan
yang dilarang dan pada Pasal 19 sampai Pasal 28 tentang aspek
Pertanggungjawaban. Demikian, manfaat persaingan komersial yang sehat
menguntungkan pelaku ekonomi, konsumen secara alami akan mendapatkan
keuntungan dari persaingan komersial yang sehat.

Kesimpulan:
1. Dampak dari ekonomi digital pada sisi hukum persaingan usaha tidak sehata
akan mempersulit KPPU dalam proses mengetahui atau membedakan
persaingan usaha tidak sehat, karena tidak ada pengaturan yang jelas dan rinci
mengenai pelaku ekonomi yang menjalankan usahanya secara digital dan
pelanggarannya dalam UU No. 5/1999. Karena hal tersebut KPPU harus lebih
peka lagi dalam menginvestigasi para pelaku usaha yang melanggar ketentuan
UU No. 5/1999 serta mencari solusi atas peluang yang muncul pada perusahaan
digital yang melakuan persaingan usaha tidak sehat di era digital saat ini.
2. Atas hal tersebut harus dilakukan revisi terhadap perbuatan yang dilarang yang
tercantum dalam Pasal 8 sampai Pasal 18 dan aspek tanggung jawab yang
daitur dalam Pasal 19 hingga Pasal 28 untuk mengantisipasi praktik persaingan
tidak sehat di era digital saat ini dalam menghadapi ekonomi digital yang sehat
sehingga tidak timbul kerugian terhadap para pelaku usaha.

JURNAL 4
Judul: Pengawasan Praktek Monopoli Sebagai Bentuk Persaingan Usaha Tidak Sehat

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum terkait dengan praktek monopoli sebagai bentuk
persaingan usaha tidak sehat?
2. Bagaimana Peran dan Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terkait
dengan praktek monopoli sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Praktik monopoli adalah penguasaan produk dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu yang diakibatkan pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Undang-undang memberikan arti dari pemusatan kegiatan ekonomi sebagai


suatu penguasaan pyang nyata atas suatu pasar oleh satu atau lebih pelaku
usaha sehingga dapt menentukan harga barang atau jasa. maka, istilah posisi
dominan yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan yang berkaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan
barang dan atau jasa.

Ada 3 pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan ada Tindakan posisi
dominan yaitu dengan mengukut kinerja perusahaan, persaingan, dan struktur
perusahaan, yakni antara lain bahwa “Pendekatan pertama adalah pendekatan
yang dilakukan dengan mengukur tingkat devisanya terhadap norma-norma
persaingan yang sehat dengan mengukur seberapa jauh devisi harga penjualan
barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan itu melenceng dari biaya
marjinalnya, atau berapa selisih laba perusahaan tersebut dengan laba rata-rata
perusahaan sejenis.
Pendekatan kedua adalah dengan melakukan pengujian perilaku perusahaan
dalam persaingan, tes ini dilaksanakan dengan mempelajarai sesitivitas
penjualan perusahaan tersebut terhadap perubahan harga dan jumlah penjualan
yang dilakukan oleh pesaingnya. Pendekatan ketiga adalah tes dengan
pendekatan structural Tes ini dilakukan dengan perbandingan jumlah
perusahaan yang bergerak disuatu pasar tertentu dengan volume penjualan
(pangsa pasar) yang dikuasai masing-masing perusahaan. Perusahaan dengan
pangsa pasar terbesar dianggap memiliki posisi paling dominan dan memiliki
posisi paling dominan dan memiliki kekuatan monopoli.
Banyak pelaku usaha yang berpendapat bahwa BUMN boleh melakukan praktek
monopoli berdasarkan Pasal 25 UU 5/1999. Bentuk monopoli yang dilakukan
oleh BUMN adalah monopoli yang dikecualikan sebab monopoli tersebut
dilakukan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Kategori monopoli BUMN adalah monopoli undang-undang, hal itu dikarenakan
monopoli dipegang oleh ketetapan undang-undang, yaitu Bank Indonesia, PT
PLN (Persero), Pertamina dan lain sebagainya.

Pasal 50 UU 5/1999 memberikan pengecualian dari ketentuan-ketentuan yang


ada pada undang-undang tersebut yaitu:
1) Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2) Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian
elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan
dengan waralaba;
3) Perjanjian penetapan standart teknis produk barang dan atau jasa yang
tidak mengekang dan menghalangi persaingan;
4) Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketantuan
untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5) Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan
standart hidup masyarakat luas;
6) Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik
Indonesia;
7) Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8) Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
9) Kegiatan usaha koprasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.

2. Definisi KPPU dinyatakan secara jelas di Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,


Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Menurut Pasal 35 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tugas Komisi Pengawas
Persaingan Usaha adalah melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Undang-
undang tersebut lalumelakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17
sampai dengan Pasal 24

Tugas KPPU berikutnya yaitu melakukan penilaian terhadap ada atau tidakya
penyalahgunaan posisi dominan yang bisa menimbulkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 28, selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Komisi
mengambil Tindakan, KPPU dapat memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.

KPPU dapat ikut andil dalam melahirkan sebuah kebijakan yang dapat memberi
dampak positif kepada iklim persaingan usaha di Indonesia. Menurut Pasal 35
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 wewenang Komisi meliputi, menerima
laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, melakukan penelitian
tentang dugaan adanya kegiatna usaha dan atau Tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadina praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat lalu melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil
penelitiannya.

KPPU juga berwenang untuk mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat,
dokumen, atau alat bukti lain untuk kebutuhan penyelidikan dan atau
pemeriksaan setelah itu memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat lalu memberitahukan
putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang
ini.

Kesimpulan:
1. yang dimaksud monopoli dalam UU 5/1999 adalah penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktik monopoli adalah
penguasaan produk dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu
yang diakibatkan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum
2. KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya agar tidak adanya unsur praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Pasal 35 UU 5/1999 menjelaskan bahwa tugas
KPPU adalah melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat menimbulkan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak ehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 sampai Pasal 16 undang-undang terebut lalu melakukan penilaian
terhadpa kegiatan usaha dan atau Tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 24

Saran:
Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas perlu dilakukan oleh penegak hukum
dalam hal ini adalah KPPU agar persaingan usaha yang sehat dan aman di Indonesia
dapat tercipta

JURNAL 5
Judul: Tugas dan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam
Penanganan Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha Menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam penanganan
pelanggaran hukum persaingan usaha ?
2. Bagaimana wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam penanganan
pelanggaran hukum persaingan usaha ?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. Tugas komisi pengawas persaingan usaha dijelaskan dalam Pasal 35 yaitu:
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 16
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau Tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya rpraktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 24
c. Melakukan penilaian terhadpa ada atau tidaknya penyalahgunaan posisii
dominan yang dapat menga kibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25
sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-
undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut dengan KPPU) pada
awal pendiriannya mengemban tugas untuk menghadapi dinamisnya dunia
usaha di tengah situasi krisis multidimensi yang menyelimuti Indonesia waktu itu.
Arus konflik dunia usaha Indonesia pada saat itu sangat kuat. Praktik persaingan
usaha yang tidak sehat dianggap jamak ‘lumrah’, ditambah lagi dengan adanya
persekongkolan antara pelaku usaha dengan pemegang kekuasaan. Untuk
menjalankan tugasnya dengan baik, undang-undang memberikan amunisi
berupa kewenangan yang luas kepada KPPU.

KPPU dapat menangani perkara berdasarkan dua mekanisme yaitu


didasarkanlaporan yang masuk ke KPPU ataupun atas inisiatif KPPU sendiri.
Keputusan yang dihasilkan oleh KPPU bersifat mengikat tapi tidak final, karena
pihak terlapor dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU kepada
Pengadilan Negeri tempat terlapor berdomisili sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 44 ayat (2) UULPM, proses hukum ini bahkan dapat berlangsung hinggga
ke Mahkamah Agung

KPPU berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UULPM bertugas mengawasi pelaksanaan


UULPM; (2) menentukan bahwa KPPU merupakan lembaa independent yang
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah serta pihak lain; (3) menentukan
bahwa dalam pelaksanaan tugasnya KPPU bertanggung jawab kepada presiden

2. Wewenang Komisi berdasarkan Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang


Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat meliputi:
a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan
atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus
dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang
ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e
dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang
diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
l. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Kesimpulan:
1. tugas KPPU dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan usaha seperti
melakukan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha dan atau Tindakan
pelaku usaha, penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan
terjaidnya praktek monopoli dan atau persaingan usha tidak sehat. KPPU dapat
memberikan saran terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat serta memberikan
laporan secara berkala atas hasil kerja kepada Presiden dan DPR
2. KPPU dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan usaha berwenang
menerima lapran dari masyarakat, melakukan penelitian dan atau meniai surat,
dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan pemeriksaan serta
menyimpulkan hasil penyelidikan dan memanggil pelaku usaha, saksi dan saksi
ahli serta meminta bantuan penyidikan dan memutuskan atau menetapkan ada
atau tidak adanya pelaku usha yang telah melanggar ketentuan perundang-
undangan

Saran:
1. Dalam pelaksanaan tugas KPPU dalam penanganan pelanggaran hukum
persaingan usaha perlu disesuaikan dengan Menyusun pedoman yang sudah
disusun atau publikasi yang berkaitan dengan UU 5/1999. KPPU perlu
menyerahkan laporan kepada Presiden dan DPR atas hasil kerja komisi
2. Wewenang KPPU dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan usaha
dalam pelaksanaannya perlu meminta bantuan penyidik untuk menghadiran
pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi
panggilan KPPU dan meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam
kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.

JURNAL 6
Judul: Predatory Pricing Dalam E-Commerce Menurut Perspektif Hukum Persaingan
Usaha

Rumusan Masalah:
1. Bagaimana pengaturan larangan praktik jual rugi (predatory pricing) berdasarkan
hukum persaingan usaha di Indonesia?
2. Apakah penjualan barang impor dengan harga sangat murah dalam e-commerce
termasuk kategori predatory pricing yang dilarang dalam hukum persaingan
usaha di Indonesia?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. Pasal 20 UU 5/1999 mengatur larangan praktek jual rugi, disebutkan dalam
pasal tersebut bahwa “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan
atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat
rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya
di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Unsur-Unsur dari Predatory Pricing antara lain adalah:


a. Unsur Pelaku Usaha (Pasal 1 angka 15 UU 5/1999)
Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badna
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun Bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi

b. Unsur Pemasokan (Pasal 15 ayat (1) UU 5/1999)


Menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual
beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing)

c. Unsur Barang (Pasal 1 angka 16 UU 5/1999)


Setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

d. Unsur Jasa (Pasal 1 angka 17 UU 5/1999)


setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha

e. Unsur Jual Rugi (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009)


Dalam memberikan harga jual, Pelaku Usaha menetapkannya dibawah
biaya produksi

f. Unsur Harga yang sangat rendah (Komisi Pengawas Persaingan Usaha,


2009)
Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha yang tidak masuk akal
rendahnya.

g. Dengan Maksud (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009)


bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan suatu keinginan atau tujuan

h. Unsur Menyingkirkan atau mematikan


mengeluarkan atau menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar
bersangkutan atau menjadi tutup usahanya

i. Unsur Usaha Pesaing


usaha pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.

j. Unsur Pasar
lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang
dan atau jasa

k. Unsur Pasar Bersangkutan (Pasal 1 angka 10 UU 5/1999)


pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan atau jasa tersebut

l. Unsur Praktek Monopoli (Pasal 1 angka 10 UU 5/1999)


pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikan kepentingan umum

m. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pasal 1 angka 6 UU 5/1999)


persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak
jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha

Untuk mengkategorikan suatu perbuatan pelaku usaha termasuk dalam


Predatory Pricing, harus dibuktikan bahwa Tindakan tersebut memenuhi semua
unsur-unsur Pasal 20 UU 5/1999 sebagaimana diuraikan di atas

2. E-commerce membawa beberapa keuntungan abgi berbagai pihak baik bagi


penjual, maupun bagi pembeli. Bagi pelaku usaha berupa efisiensi biaya,
perluasan pangsa pasar, perluasan jarignan mitra usaha dan kemudahan untuk
memberikan pelayanan yang lebih responsif. Bagi pembeli berupa kemudahan
memperoleh alternatif pilihan belanja (Dian Wirdasari, 2009).

Namun terdapat potensi permasalahan kehadiran e-commerce dalam dunia


bisnis yaitu:
a. Timbulnya monopoli digital dimana provider besar dengan market power
yang lebih kuat mempunyai potensi melakukan control pasar dan
memberikan hambatan masuk bagi provider lain yang lebih kecil
b. Adanyab peluang predatory pricing dalam memasarkan barang ke dalam
pasar. Strategi yang dilakukan oleh penjual adalah dengan menjual
produknya di bawah ongkos produksi
c. Peluang timbulnya kekuatan lock-in oleh platform e-commerce yang
mempunyai skala lebih besar. Kekuatan pengendalian pasar dan
konsumen ini berpotensi memberikan hambatan platform e-commerce lain
masuk ke dalam pasar.
d. Adanya potensi integrasi vertical

Walaupun barang impor yang dipasarkan di platform e-commerce dengan harga


yang jauh lebih murah namun kondisi tersebut tidak serta merta mengindiksaikan
adanya praktek predatory pricing perdagangan melalui e-commerce. Untuk
mengkategorikan jual murah tersebut termasuk praktik jual rugi, maka harus
secara kumulatif memenuhi unsur-unsur Pasal 20 UU No. 5/1999

Beberapa unsur yang tidak memenuhi Pasal 20 antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Unsur jual rugi dan harga yang sangat rendah
Nailul Huda berpendapat bawha harga barang impor menjadi lebih murah
karena factor efisiensi dalam produksi barang tersebut. Factor yang
membuat harga menjadi murah adalah tenaga kerja yang murah, produksi
barang dalam jumlah yang massif, dan banyaknya pilihan level kualitas
produk yang beragam

b. Unsur praktek monopoli


Pembeli dalam perdagangan e-commerce dapat dengan udah
menemukan barang yang sejenis atau setidaknya barang yang memiliki
fungsi yang serupa. Maka pelaku usaha yang memasarkan harga barang
dengan sangat murah akan kesulitan melakukan pemusatan kekuatan
ekonomi.

c. Unsur Menyingkirkan atau Mematikan Usaha Pesaing


Penjual yang menawarkan harga murah untuk sementara waktu dapat
memperoleh pembeli dari barang murah yang ditawrkan. Hal ini membuat
pelaku usaha lain yang menawarkan barang sejenis menjadi tidak diminati
pembeli. Namun pelaku usaha lain dapat dengan mudah masuk kembali
kedalam pasar e-commerce akibat sifat pasar yang borderless

Pemerintah berupaya melindungi pelaku usaha local khususnya bagi pelaku


usaha yang terjun ke dunia e-commerce dengan memberikan perlindungan
berupa antisipasi terhadap banyaknya barang impor yang dapat mempengaruhi
penjualan pelaku usaha domestic dengan menetapkan Peraturan Menteri Nomor
119/PMK.010/2019 yang mengatur mengenai kepabean, cukai dan pajak bagi
barang impor. Perlindungan yang diberikan berupa penurunan nilai de minimis
bea masuk impor barang yang semula sebesar USD 75 menjadi USD 3.
Sebelumnya produk yang harganya di atas USD 75 akan dikenakan bea masuk
impor barang, namun dengan peraturan baru tersebut barang yang harganya di
atas USD 3 akan dikenakan bea masuk

Kesimpulan:
1. Pasal 20 UU 5/1999 mengatur mengenai larangan praktik jual rugi di Indonesia
yang dirumuskan secara rule of reason. Sehingga harus dibuktikan sejumlah
unsur yang mengarah pada adanya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat
2. Banyaknya produk impor dari laur negeri yang ditawarkan dengan harga murah
di platform e-commerce yang berpotensi merugika UMKM local tidak serta merta
dikategorikan pratkik predatory pricing yang melanggar UU 5/1999 karena Pasal
20 UU 5/1999 dirumuskan secara rule of reason

Saran:
Sebaiknya dilakukan penyempurnaan terhadap UU 5/1999 untuk menyesuaikan
dengan perkembangan perdagangan secara elektronik serta mengakomodir kebutuhan
pengaturan yang semakin kompleks terkait hukum anti monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat

JURNAL 7
Judul: Perlindungan bagi UMKM terhadap Persaingan Usaha Tidak Sehat

Rumusan Masalah:
1. Mengapa UMKM harus dilindungi oleh KPPU dalam persaingan usaha tidak
sehat di Indonesia?
2. Apa perlindungan yang diberikan oleh KPPU terhadpa UMKM pada persaingan
usaha tidak sehat

Jawaban dari Rumusan Masalah:


1. Persaingan usaha yang dilakukan dengan sehat akan menciptakan efektifitas
serta efisiensi usaha yang nantinya akan bermanfaat bagi masyarakat konsumen
ataupun perusahaan yang menerapkannya. Sector usaha kecil yang biasa
disebut UMKM juga terpengaruh dengan adanya persaingan usaha yang sehat.
Saat ini UMKM dan Usaha Besar banyak yang melaksanakan kemitraan, namun
sulit tercapai persaingan usaha yang sehat di antara mereka. Hal ini diakibatkan
oleh posisi tawar usaha besar yang lebih tinggi mendomiasi pasar sehingga
UMKM sering dirugikan dengna posisi tawar yang lebih rendah. Karena hal
tersebut oengawasan pemerintah diperlukan untuk mengatasi permasalahan
yang rentan dihadapi UMKM khususnya dalam hal pelaksanaan kemitraan
dengan usaha besar.

Dalam UU 5/1999 tidak diatur secara implies mengenai kriteria suatu


perusahaan dikatakan menyalahgunakan posisi tawar. Namun dalam Pasal 2 UU
5/1999 diatur mengenai asas dan tujuan hukum persaingan usaha dengan
mengedepankan asas demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Menurut Bahasa asas kepentingan adalah dasar dari aturan hukum yang
memberikan porsi sama antar kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat sehingga kepentingan individu dan masyarakat tersebut dapat
berjalan seimbang. Hal tersebut menguntungkan bagi usaha besar dan usaha
kecil menengah untuk mendpatkan kesempatan berusaha yang sama dari
perspektif UU 5/1999

Salah satu perjanjian yang dilarang dalam Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011
adalah Tying Agreement. Bentuk perjanjian tying agreement ialah dalam hal
menjual suatu produknya, si penjual si penjual menetapkan syarat bahwa
pembeli akan membeli produk lain dari penjual. Produk yang dibeli oleh pembeli
adalah produk pengikat. Oleh karena perjanjian ini ditetapkan secara sepihak,
pembeli tidak dapat menghindari karena tidak ada pilihan penjual lainnya, hal ini
akan membuat penjual memiliki posisi tawar yang dominan dan menjadikan
perjanjian berat sebelah.

Salah satu keputusan KPPU yang disorot adalah seperti kasus Industri atau toko
retail besar dan pemasok barang. Bahwa Komisi menyatakan bahwa fakta
dilapangan menunjukan bahwa syarat dagang minus margin antara Industri retail
besar dan pemasok barang yang diterapkan merupakan persaingan usaha tidak
sehat. Fakta bahwa pemasok barang menghentikan pasokan barangnya kepada
pelaku usaha pesaing menunjang syarat dagang minus margin yang telah
disepakati dengan industry atau toko retail besar.

Substansi pasal yang secara khusus mengatur tentang penyalahgunaan posisi


tawar yang dominan sebaiknya diatur dalam UU 5/1999 karena hal ini akan
memperkuat kewenangan dari KPPU untuk melakukan pengawasan tentang isi
kontrak yang dilakukan oleh pelaku usaha yang cenderung melanggar ketentuan
hukum persaingan usaha.

2. Perlindungan terhadap UMKM diatur dalam Pasal 50 huruf h UU 5/1999 yang


menjelaskan bahwa pelaku usaha kecil dikecualikan dari ketentuan undang-
undang ini. Hal tersebut diatur karena dengan modal dan asset UMKM yang
tergolong kecil, maka UMKM memiliki kemampuan terbatas untuk melakukan
monopoli pasar dan untuk memperjeas krtieria UMKM yang diberikan
pengecualian sesuai dengan UU 20/2008. Dalam Pasal 50 huruf h dijelaskan
mengenai pengertian dari pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil,
adalah sebagaimana dimaksud dalam UU 9/1995. Namun pasal tersebut sudah
dicabut dan diganti dengan Pasal 6 ayat (2) UU 20/2008 yang menjelaskan
tentang pelaku usaha kecil yaitu:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50 Juta sampai dengan paling
banyak Rp. 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan
paling banyak Rp. 2,5 Miliar
Meskipun UU 5/1999 tidak secara eksplisit mengatur bentuk perlindungan
UMKM dalam pelaksanaan kemitraan, berdasarkan asas keseimbangan
kepentingan pada Pasal 2 UU 5/1999 pelaksanaan kemitraan UMKM dan Usaha
Besar memiliki kesempatan berusaha yang sama hingga seharusnya tidak
mengakibtakn timbulnya persaingan usah tidak sehat. KPPU mengeluarkan
Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Pelaksanaan Kemitraan. Tujuan pengawasan terhadap pelaksanaan kemitraan
adalah untuk mencegah penyalahgunaan posisi tawar, yang dapat
mengakibatkan kemampuan UMKM untuk bersaing lebih rendah. Selain itu,
pengawasan ini juga bertujuan untuk mencegah eksploitasi UMKM, yang dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar produk.

Adapun tugas dari Direktorat Pengawas Kemitraan yang bertanggung jawab


untuk memastikan bahwa prinsip saling membutuhkan telah diterapkan dengan
baik antara usaha besar dan UMKM selama pelaksanaan kemitraan. Direktorat
juga berfungsi sebagai pusat pemantauan, penelitian, dan pengelolaan basis
data usaha besar dan UMKM. Ini membantu meningkatkan posisi tawar UMKM
dalam pelaksanaan kemitraan dengan usaha besar.

Kesimpulan
1. Tidak ada aturan eksplisit dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang jenis perusahaan
yang dianggap menyalahgunakan posisi tawar. Tetapi, Pasal 2 UU No. 5 Tahun
1999 mengatur asas dan tujuan hukum persaingan usaha dengan
mengutamakan demokrasi ekonomi dan mengimbangi kepentingan pelaku
usaha dengan kepentingan umum.
2. Tidak ada undang-undang khusus yang mengatur perlindungan hukum terhadap
UMKM dalam pelaksanaan kemitraan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Namun,
Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Kemitraan dan pembentukan direktorat pengawas kemitraan sebagai direktorat
baru dalam Peraturan Komisi No. 5 Tahun 2016 menunjukkan pengawasan yang
efektif terhadap pelaksanaan kemitraan antara UMKM dan usaha besar.

JURNAL 8
Judul: Kewenangan KPPU Menjatuhkan Sanksi Daftar Hitam dalam Penegakan
Hukum Persaingan Usaha

Rumusan Masalah:
Bagaimanakah kewenangan KPPU dalam menjatuhkan sanksi daftar hitam?

Jawaban dari Rumusan Masalah:


Terkait dengan kewenangan penjatuhan sanksi daftar hitam pada persekongkolan
dalam tender pengadaan barang atau jasa, dalam UU 5/1999 tidak diatur bahwa KPPU
dapat menjatuhkan sanksi daftar hitam. Namun dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c UU
5/1999 secara tersirat dinyatakan bahwa KPPU dapat menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum persaingan
usaha dengan cara memerintahkan pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang
terbukti menimbukkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Dengan demikian KPPU pada prinsipnya
memiliki kewenangan untuk dapat menjatuhkan sanksi daftar hitam terhadpa pelaku
usaha yang terbukti melanggar hukum persaingan usaha.

Salah satu contoh implementasi penerapan sanksi daftar hitam pengadaan barang/jasa
oleh KPPU termuat dalam Putusan KPPU No. 21/KPPU-I/2018 tentang Dugaan
Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Terkait Pelelangan
Pembangunan Rumah Sakit Pada Satuan Kerja Dinas Kesehatan Kota Makassar
Tahun Anggaran 2017-APBD.

Melihat kembali Pasal 47 ayat (2) huruf c UU 5/1999 pada pokoknya tindakan
administratif yang dimaksud hanya mencakup menghentikan kegiatan tender yang
terbukti menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan sedang berjalan tersebut,
bukan secara tegas menyatakan melarang pelaku usaha untuk mengikuti kegiatan
tender selama waktu tertentu. Namun demikian, apabila merujuk pada Peraturan KPPU
No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat khususnya Pasal 67 ayat (4), Sanksi daftar hitam
adalah turunan dari sanksi administratif dan dianggap sebagai "bentuk tindakan lain"
dalam kasus di mana Terlapor tidak mengikuti putusan Komisi, Pengadilan Negeri, atau
Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap..

Sanksi daftar hitam ini menjadi suatu sanksi yang “abu-abu” dalam konteks penjatuhan
sanksi terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan kegiatan persekongkolan
tender. Hal ini dikarenakan, di satu sisi, penjatuhan sanksi daftar hitam tidak jelas dan
tegas pengaturannya dalam peraturan hukum persaingan usaha, namun di lain sisi,
dalam praktiknya, Majelis Komisi kerap menjatuhkan sanksi larangan mengikuti
kegiatan tender selama waktu tertentu kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan
kegiatan persekongkolan tender yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Kesimpulan:
KPPU berwenang menjatuhkan sanksi daftar hitam sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 36 huruf I jo. Pasal 47 ayat (2) huruf c UU 5/1999 sebagai sanksi administrative
yang pada pokoknya menyatakan bahwa KPPU dapat memberi perintah untuk
menghentikan kegiatan pelaku usaha yang terbukti menimbulkan praktek monopoli
dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat
yang salah satunya adalah praktik persekongkolan dalam tender yang diatur dalam
Pasal 22 UU 5/1999

Saran:
Optimalisasi penerapan sanksi daftar hitam yang dijatuhkan kepada pelaku usaha oleh
hitam perlu dilakukan optimalisasi dengan cara menerapkan sanksi daftaer hitam
secara akumulatif dengan sanksi administratif lainnya dan harus dilakukan secara
konsisten agar tercipta tender pengadaan barnag/jasa yang efektif dan transparan serta
meminimalisisr terjadinya persekongkolan kembali antar pelaku usaha pada tender
paket pekerjaan yang sama
JURNAL 9
Judul: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anti Monopoli dan Persaingan Bisnis Tidak
Sehat: Globalisasi Ekonomi, Persaingan usaha, dan Pelaku Usaha

Rumusan masalah:
1. Apakah Globalisasi Ekonomi memiliki hubungan dan berpengaruh terhadap Anti
Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
2. Apakah Persainan Usaha memiliki hubungan dan berpengaruh terhadap Anti
Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
3. Apakah Pelaku usaha memiliki hubungan dan berpengaruh terhadap Anti
Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?

Jawaban dari rumusan masalah:


1. Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka, yang mengakibatkan lebih
mudah dipengaruhi oleh prinsip ekonomi global dan liberalisasi
perdagangan, Dalam hal ini, perekonomian Indonesia berhadapan langsung
dan terbuka lebar dengan perekonomian negara lain terutama melalui kerja
sama ekonomi dengan mitra dagang Indonesia di luar negeri seperti
hubungan perdagangan di bidang ekspor-impor, investasi baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung, pinjam meminjam, dan bentuk-bentuk kerja
sama lainnya

Para pelaku usaha merasa cemas karena perkonomian Indonesia yang belum
stabil karena mereka khawatir akan terjadinya gejolak moneter yang akan
menimbulkan kesulitan besar dalam dunia usaha antara lain berdampak pada
pelaku usaha yang tidak dapat atu diperkirakan tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada kreditur asing maupun domestik. Krisis ini berdampak
negative kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia yang tidak dapat
mengembangkan kegiatannya karena terbatasnya sumber dana yang dimiliki
dan system manajemen perusahaan yang belum memenuhi prinsip good
corporate governance, dimana penerapannya bertujuan untuk memberikan
pengaturan internal yang memuat filsadat bisnis perusahaan, panduan nilai-nilai
yang mengatur cara mengelola perusahaan dalam mencapai tujuan bisnis.

Keterpurukan dalam sector ekonomi dan financial di Indonesia terjadi karena


persaingan usaha yang semakin kompetitif dan ditambah lagi lemahnya
penerapan Good Corporate Governance. Kondisi tersebut mewajibkan
perusahaan untuk mengembangkan strategi perusahaan agar dapat bertahan
atau bahkan lebih dapat berkembang dengan cara memperbaiki eksistensi dan
kinerjanya.

2. Monopoli akan lahir dengan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Bagi
para ekonom monopoli didefinisikan sebagai suatu struktur pasar yang hanya
terdapat satu produsen atau penjual. Bagi masyarakat pengertian dari monopoli
adalah adanya satu produsen atau penjual yang memiliki kekuatan jika produsen
atau penjual tersebut punya kemampuan untuk menguasai pasar bagi barang
atau jasa yang dijual olehnya. Maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari
monopoli adalah
a. Hanya ada satu produsen atau penjual
b. Tidak ada produsen lain menghasilkan produk yang dapat mengganti
secara baik produk yang dihasilkan pelaku usaha monopoli
c. Adanya suatu hambatan baik secara alamiah, teknis atau hukum

Ada beberpa factor yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di
antaranya adalah:
a. Kebijaksanaan perdagangan
b. Pemberian hak monopoli oleh pemerintah
c. Kebijakan investasi
d. Kebijaksanaan pajak
e. Pengaturan harga oleh pemerintah

3. isu perilaku mendukung persaingan atau tidak mendukung persaingan dari


para pelaku usaha nasional, serta isu kebijakan persaingan usaha nasional.
Dalam isu pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk isu yang
kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari perilaku
tersebut dan sudut pandang hukum akan membahas ada atau tidaknya turan
dari perilaku tersebut, sedangkan isu yang ketiga, sangat menonjol
perspektif hukumnya.

Raha berpendapat bahwa jila ditinjau dari UU:PM & PUTS Tindakan pelaku
usaha dalam melakikan praktek penguasaan pasar tersebut akan sangat
merugikan tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi pelaku usaha yang
lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam pasar yang sama. Ia juga berpendapat
dengan mengacu pada Pasal 19 UULPM & PUTS tentang penguasaan pasar,
pelaku usaah dilarang untuk melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri
maupun Bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

Ditegaskan kembali dalam Pasal 3 UULPM & PUTS bahwa UU mengambil


landasan kepada suatu demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Perwujudan berupa penjagaan keseimbangan antara kepentingan si
pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan tujuan untuk:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi serta
melindungi konsumen
b. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan
usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi semua orang
c. Mencegah pelaku usaha menimbulkan praktek-praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
d. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat

Kesimpulan:
Anti Monopoli dan Persaingan Bisnis tidak sehat dipengaruhi oleh Globalisasi Ekonomi,
Persaingan Usaha dan Pelaku Usaha.

Saran:
Pengkajian lebih lanjut diperlukan untuk melengkapi factor-faktor lain apa sajakah yang
dapat mempengaruhi Kinerja seperti Pembangunan, Hukum Praktik, dan
Perkembangan Ekonomi

JURNAL 10
Judul: Aspek Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat Pada Pedagang Ritel

Rumusan masalah:
1. Bagaimana bentuk persaingan usaha pada pedagang ritel?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen?

Jawaban dari Rumusan masalah:


1. Di daerah Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi terdapat kasus bahwa
Sebagian besar dari 129 pelaku usaha kecil menyatakan berdirinya alfamart
berpengaruh negative terhadap usaha mereka. Penelitian yang dilakukan penulis
terhadap salah seorang pemilik usaha kecil di daerah Jalan Letda Sujono Kota
Medan juga menyatakan bahwa Alfamart menimbulkan ekses terhadpa
kelangusngan usaha miliknya yakni penghasilan atua omset penjuaan menjadi
menurun drastic, kehilangan konsumen, dan biaya kehidupan rumah tangga
mereka terancam, karena sebelumnya usaha tersebut merupakan mata
pencaharian untuk kehidupan sehari-hari.

Kerugian berupa penurunan kesejahteraan pelaku usaha berpotensi terjadi


akibat gangguan keseimbangan karena kemunduran usaha dan karena kalah
bersaing dengan pelaku usaha besar dengan kelebihan pelaku usaha besar dari
beberapa aspek seperti dukungan permodalan, manajemen, dan akses kepada
sumber barang yang lebih baik.

UU 5/1999 memberikan mandate kepada KPPU untuk melakukan pengawasan


terhadap kelangsungan kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha
baik pelaku usaha kecil maupun pelaku usaha besar serta. KPPU juga diberikan
wewenang untuk memberikan sanksi hukum kepadapelaku usaha yang benar-
benar telah melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU 5/1999

2. UU 5/1999 memberikan perlindungan terhadap kelangsungan pelaku usaha kecil


di pasar tradisional sehubungan dengan semakin maraknya pelaku usaha di
pasar modern didasarkan pada asas dan tujuan dari Pasal 2 dan 3 UU 5/1999
yaitu dengan menerapkan asas demokrasi ekonomi

Kesimpulan:
1. Bentuk persaingan usaha pada pedagang ritel adalah pelaku usaha menetapkan
harga di bawah harga pasar yang seharusnya. Hal tersebut dapat menimbulkan
dampak negative bagi pelaku usaha tradisional yang berada di sekitar lokasi
tersebut yakni pedagang tradisional yang kehilangan konsumen
2. UU 5/1999 memberikan perlindungan terhadap kelangsungan pelaku usaha kecil
di pasar tradisional sehubungan dengan semakin maraknya pelaku usaha di
pasar modern didasarkan pada asas dan tujuan dari Pasal 2 dan 3 UU 5/1999
yaitu dengan menerapkan asas demokrasi ekonomi. KPPU dapat menghentikan
pelaksanaan kegiatan usaha dari pelaku usaha di pasar modern dan
memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang ada berdasarkan laporan dari
setiap masyarakat atau atas inisiatif KPPU sendiri.

Anda mungkin juga menyukai