Anda di halaman 1dari 135

BUKTI ELEKTRONIK DALAM PRAKTIK PERADILAN

Bab 1
PENDAHULUAN
Di era saat ini teknologi berkembang dengan sangat cepat, termasuk dalam hal terjadinya suatu
kesepakatan atau transasksi antara dua pihakk atau lebih. Teknologi diciptakan seiring dengan kebutuhan
manusia untuk memudahkan hidup dari yang sebelumnya. Hal ini juga terjadi dalam dunia bisnis
khususnya transasksi yang dilakukan antara dua belah pihak atau lebih. Mereka tidak lagi perlu bertemu
secara langsung melainkan dapat melakukan sebuah transaksi atau membuat kesepakatan dan
mendatanginya dengan menggunakan media elektronik.
Era globalisasi yang telah berlangsung ditandai dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan berakibat adanya
konvergensi dari keduanya berupa revolusi industri. Selanjutnya konvergensi teknologi dan ilmu
pengetahuan pada akhirnya membawa dunia ini kepada era yang dikenal dengan konvergensi teknologi
telekomunikasi, media, dan informatika. Konvergensi ini menyatukan fungsi-fungsi dari ketiga teknologi
information transferring, information broadcasting, dan information processing, ke dalam suatu sistem
informasi dan sistem komunikasi yang terpadu atau yang disingkat dengan telematika, sebagai sebuah
sistem elektronik yang berbasis jaringan computer. Pada masa ini ditandai dengan lahirnya revolusi
digital, dan di era sekarang inilah sarana teknologi memiliki peranan yang vital terutama teknologi yang
berkaitan dengan penyebaran informasi (teknologi informasi).
Teknologi informasi sendiri memiliki pengertian sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan,
meyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi.
Dampak dari teknologi informasi pada saat ini hampir sama dengan dampak dari revolusi industri pada
masa lampau, di mana seluruh aktifitas manusia khususnya dalam bisnis tidak lepas dari pengaruh
teknologi informasi.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi di tengah era globalisasi
saat ini telah menciptakan media internet yang merupakan suatu jaringan internasional yang digunakan
oleh berjuta-juta menusia dengan penghubung melalui computer. Perkembangan teknologi informasi
mengubah cara-cara bertransaksi dan membuka peluang-peluang baru dalam melakukan transaksi bisnis.
Perkembangan teknologi informasi menyebabkan secara tidak langsung perubahan sosial yang sangat
cepat dan mengakibatkan dunia menjadi tanpa batas. Kemajuan dan perkembangan teknologi ini secara
tidak disadari menjadi sarana efektif yang menimbulkan perbuatan melawan hukum.
Penggunaan media elektronik yang lebih dikenal dengan istilah internet telah banyak dipilih
orang karena berbagai manfaat dan kemudahaan fasilitas yang dapat diberikannya, di antaranya
perusahaan maupun individu dapat melakukan transaksi bisnis di dalam ruang cyberspace tanpa harus
melakukan pertemuan atau tatap muka secara langsung. Transaksi yang terjadi dengan kemungkinan
subjek hukum atau para pihak yang tidak saling mengenal dan bentuk perjanjian dagang yang tidak lagi
mengandalkan media kertas dengan fasilitas pengiriman yang lama, tetapi sekarang dapat dilakukan
dalam hitungan detik secara online.
Internet merupakan suatu revolusi besar dalam dunia teknologi, sebuah mekanisme penyebaran
informasi dan media untuk berkolaborasi dan berinteraksi antar individu dengan menggunakan computer
tanpa terhalang batas geografis. Internet adalah sebuah contoh yang sukses dari sebuah investasi,
dedikasi, dan komitmen untuk sebuah riset dan pengembangan infrastruktur informasi. Secara tegas,
kemunculan internet dapat diakui dan menjadi dukungan baru yang memperlancar dunia
perdagangan.kenyataan ini semakin mendorong dan menyadarkan para pelaku bisnis akan pentingnya
efektifitas dan efisiensi, sehingga mereka mulai bergerak mengembangkan aktifitas ekonominya kea rah
model perdagangan baru yang lebih mudah dan praktis, yaitu transaksi secara elektronik atau electronic
commerce (e-commerce).
Jika melihat definisi e-commerce dari ECEG Australia (Ekectronic Commerce Expert Group)
adalah sebagai berikut:
“Electronic commerce is a broad concept that covers any commercial transaction that is effected
via electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, Internet, and the
telephone”.
Perdagangan elektronik itu sendiri adalah suatu konsep yang luas meliputi setiap transaksi
komersil via elektronik seperti reproduksi, telex, EDI, internet dan telepon. Secara singkat e-commerce
dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik barang maupun jasa lewat media elektronik.
Perkembangan transaksi e-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet. Karena e-commerce
berjalan melalui jaringan internet.
Pada umumnya transaksi yang didasarkan pada paper based transaction mudah untuk diatasi
karena bukti-bukti dari terjadinya transaksi (paper documents) tersebut tidak dapat dimodifikasi tanpa
meninggalkan jejas atau bukti yang dapat dipakai untuk menunjukkan telah terjadinya modifikasi
tersebut. Hal ini berbeda dengan transaksi elektronik. Transaksi elektronik adalah bagian perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan computer dan/atau media elektronik
lainnya. Transaksi elektronik mencakup juga kontrak digital, dokumen-dokumen yang memiliki
implikasi hukum dalam hard disk atau floopy disk, perintah transfer data elektronik (misalnya pada
EFT/Electronic Fund Transfer) pesan-pesan (data messages) EDI/Electrinic Data Interchange, informasi
pada website internet, electronic mail dan sebagainya, termasuk juga transaksi e-commerce yang pada
dasarnya adalah salah satu bentuk dari perjanjian dalam bentuk elektronik.
Transaksi elektronik berbeda dengan transaksi yang dilakukan pada umumnya, sebab transaksi
yang didasarkan pada kesepakatan tersebut pada umumnya menggunakan paper document sebagai bukti
adanya suatu transaksi atau perjanjian atau kontrak. Namun dalam transaksi elektronik, menggunakan
dokumen elektronik (electronic document) sebagai dasar dan bukti adanya suatu transaksi atau perjanjian
atau kontrak di antara para pihak.
Demikian juga dalam hal tanda tangan, di mana dalam transaksi pada umumnya tanda tangan
dilakukan secara langsung dan terdapat goretan (biasanya dikenal sebagai tanda tangan basah). Hal ini
berbeda dengan dokumen elektronik yang mana tanda tangan sebagai wujud persetujuan para pihak
tersebut meskipun sama dengan tanda tangan asli tetapi merupakan hasil print dan tidak terdapat goretan
pada tanda tangan tersebut.
Pada dasarnya tujuan utama dari pembubuhan tanda tangan adalah bukti bahwa dokumen-
dokumen tersebut adalah betul-betul berasal dari dan atau telah disetujui oleh pihak yang membubuhkan
tanda tangan tersebut. Namun setelah adanya computer dan internet kemudian menjadi permasalahan
tentang keotentikan dari dokumen-dokumen elektronik yang dibuat dan ditandatangani para pihak, sebab
dokumen elektronik yang telah ditandatangani secara elektronik (digital signature) tersebut pada
prinsipnya merupakan bukti adanya kesepakatan yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak.
Digital signature ini merupakan tanda tangan elektronik yang berkenaan dengan jaminan
keamanan untuk message integrity yang menjamin bahwa si pengirim pesan (sender) adalah orang yang
benar-benar berhak bertanggung jawab untuk itu. Hal ini berbeda dengan tanda tangan konvensional yang
berfungsi sebagai pengakuan dan penerimaan atas isi pesan atau dokumen tersebut.” Tanda tangan digital
bukanlah tanda tangan dari seorang yang di-scan atau dimasukkan ke computer menggunakan stylus atau
mouse tapi merupakan kumpulan dari kalkulasi-kalkulasi matematis untuk menjadikan data, yakni dengan
kriptografi. Pada era e-commerce, kehadiran digital signature diperkirakan akan menggeser fungsi dan
kedudukan dari adanya tanda tangan konvensional.
Apabila dilihat dari sudut pandang fungsi, digital signature akan dapat menggeser fungsi tanda
tangan konvensinal. Namun yang menjadi masalah juga adalah kedudukan dan keabsahan digital
signature sebagai bukti yang menyatakan bukan hanya hak dan tanggung jawab tetapi juga sebagai
pengakuan dan permintaat atas isi pesan atau dokumen. Selain ini juga pengakuan digital signature dalam
setiap surat atau akta yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan di pengadilan menjadi
permasalahan yang menarik apabila dibahas dalam buku ini.
Sebagaimana diketahui bahwa peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep
pembangunan hukum di Indonesia, yang harus dilakukan dengan jalan :
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan
pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Menumpuk kesadaran hukum masyarakat.
5. Membina penguasa dan para pejabat pemerintah/Negara ke arah komitmen yang kuat dalam
penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Seiring dengan perlunya perubahan hukum sebagaimana dikemukakan di atas, Mariam Darus
Badrulzaman mengatakan bahwa :
Hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak masyarakat berjalan
dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi. Jika kepentingan masyarakat berubah, hukum
harus diperbarui dan hukum yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang, ditinggalkan.
Perubahan yang teratur sedemikian tersebut, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau
keputusan pengadilan, atau kombinasi dari kedua-duanya, mengingat putusan pengadilan juga merupakan
hukum, karena yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo :
Hakim dalam menunaikan tugasnya memutus perkara selalu mendasarkan putusannya atas
hukum yang ada (hukum yang berlaku penulis). Hukum yang berlaku yang dijadikan dasar itu terutama
ialah peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kadang-kadang juga putusannya itu
didasarkan atas putusan pengadilan yang sudah ada, terutama putusan-putusan pengadilan atasannya.
Bahkan, kalau ia (Hakim-penulis) tidak dapat menemukan hukumnya dalam peraturan-peraturan hukum
atau yurisprudensi untuk dijadikan dasar putusannya, maka hakim membentuknya sendiri terlepas dari
putusan-putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Ia (Hakim-penulis)
menetapkan sendiri apa hukumnya. Putusan pengadilan itu, di samping peraturan-peraturan hukum
lainnya, adalah hukum juga (judge made law).
Pengembangan yang terjadi dalam bidang perundang-undangan antara lain ditandai cengan
terbentuknya, berbagai perundang-undangan baru, seperti di antaranya undang-undang tentang
Perbankan, tentang Perseroan Terbatas, tentang Pasar Modal, tentang Kepailitan, tentang Lingkungan
Hidup, tentang Perlindungan Konsumen, tentang Kesehatan, tentang Dokumen Perusahaan, tentang
Telekomunikasi, tentang Hak Milik Intelektual (HAKI), tentang Kekuasaan Kehakiman, tentang
Mahkamah Agung, tentang Mahkamah Konstitusi, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan
juga tentang Hukum Acara Pidana yang sampai saat ini masih dalam bentuk rancangan undang-undang
(RUU), serta berbagai peraturan perundangan lainnya. Pembentukan perundang-undangan itu dilakukan
berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam era globalisasi saat ini.
Pembangunan hukum sebagaimana telah ditemukan di atas, tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait
dengan munculnya berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan
informasi. Perkembangan saat ini yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakar global adalah
perkembangan teknologi dan informasi, yang antara lain ditandai dengan era teknologi informatika yang
memperkenalkan dunia maya (cyber space) dengan hadirnya interconnected network (unternet) yang
mempergunakan komunikasi tanpa kertas (paperless document), sebagaimana yang telah dibahas
sebelumnya.
Kemajuan teknologi akhir-akhir ini menimbulkan banyak kemajuan di segala bidangm termasuk
dalam kontak seseorang dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya merupakan salah satu contoh dari
perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Sebenarnya aktivitas dunia maya sangat luas mencakup
banyak hal dan di berbagai bidang. Melalui media elektronik masyarakat memasuki dunia maya yang
bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu.
Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan antara
masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial Negara (borderless).
Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertai, seperti email, chatting video,
video teleconference, dan situs website (www), telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global
tanpa mengenal batas Negara. Fenomena ini merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda
dunia.
Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi elektronik,
seperti layanan ATM (Anjungan Tunai Mandiri), transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking,
internet banking, e-commerce, dan lain-lain, ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang
dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, diperlukan
kehadiran hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan/sengketa yang terjadi di dunia maya, karena
hukum positif yang ada belum cukup dapat menjangkaunya.
Perkembangan teknologi yang menimbulkan kemajuan di bidang komunikasi dan informasi
sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya harus ditunjang oleh perangkat hukum materil saja
(cyber law), akan tetapi juga harus didukung oleh perangkat hukum formal, dalam hal ini Hukum Acara
Pidana.
Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, secara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk
membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak,
yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui tahap
pembuktian, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu
perkara.
Terjadinya berbagai perubahan yang disebabkan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat dan
hukum ini, mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa sistem
hukum di Indonesia awalnya berkiblat pada Negara-negara Eropa Kontinental dengan sistem hukum civil
law. Hal ini disebabkan sebagai Negara bekas jajahan Belandam hukum tertulis di Indonesia banyak
diadopsi dari hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi, yang sampai saat ini masih banyak yang
berlaku (hukum positif). Namun dalam perkembangannya, sesuai dengan kebutuhan dalam masyarakat,
telah terjadi pergeseran kiblat sistem hukum Indonesia yang tidak lagi secara penuh mengarah semata-
mata pada Eropa Kontinential dengan sistem hukum civil law, melainkan kombinasi dengan sistem
hukum common law dari Negara-negara Anglo Saxon.
Dalam era perdagangan bebas dewasa ini yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan
perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, termasuk di bidang
perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkret, kontan
dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Hal ini
juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam era globalisasi. Sebagaimana dikatakan,
bahwa interaksi antara ketentuan hukum nasional denga kaidah-kaidah hukum internasional akan semakin
bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup internasional.
Terdapat pengaruh sistem hukum common law terhadap pembangunan hukum di Indonesia, yang
mana hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilakukan secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Perubahan juga terjadi dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam
penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik
di masyarakat. Dalam tataran hukum formal, baik HIR/Rbg maupun peraturan lainnya tentang acara
perdata sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data elektronik sebagai salah satu alat bukti,
dengan kata lain hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi keberasaan dokumen/data
elektronik sebagai alat bukti. Sementara, dalam perkembangan sekarang dikenal adanya bukti elektronik
(dianggap sebagai alat bukti) misalnya data/dokumen elektronik yang dikaitkan dengan tanda tangan
digital dan peraturan bea materai yang harus dipenuhi oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan
menggunakan teleconference, di samping bukti-bukti lain seperti misalnya rekaman radio kaset,
VCD/DVD, foto, faximili, CCTV, bahkan sistem layanan pesan singkat SMS (short massage system).
Pengakuan terhadap Informasi Elektronik sebagai alat bukti di pengadilan masih dipertanyakan
validitasnya. Dalam praktikperadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang
sah baru saja diperkenankan dalam beberapa tahun belakangan ini. Padahal ini beberapa Negara,
Informasi Elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik sudah menjadi pertimbangan Hakim dalam
memutus suatu perkara perdata maupun pidana.
Secara yudiris formal, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi dokumen
elektronik sebagai alat bukti, sementara dalam praktiknya di masyarakat melalui transaksi perdagangan
secara elektronik (e-commerce), alat bukti elektronik sudah banyak digunakan terutama dalam transaksi
bisnis modern, salah satunya dalam electronic banking, misalnya saja ketika seorang nasabah melakukan
transaksi melalui mesin ATM, semua transaksi yang dilakukan akan dicatat secara elektronik oleh
institusi keuangan atau bank yang bersangkutan. Pembuktian dalam penggunaan ATM sampai sat ini
masih menjadi masalah penting karena tidak ada bukti tertulis selain secarik kertas (resi).
Apabila mundur beberapa tahun ke belakang, sebenarnya alat bukti elektronik, tanpa kita sadari,
telah diakui dalam praktik persidangan di Indonesia. Hal ini dapat ditelusuri pada surat Mahkamah Agung
yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman (saat itu Pengadilan Negeri berada dalam dua atap, yaitu
secara teknis yudisial di bawah Mahkamah Agung, akan tetapi secara organisatoris, termasuk personil dan
pengaturannya berada di bawah Departemen Kehakiman) No. 39/TU/88/102/Pid, tanggal 14 Januari
1988, di mana dalam surat edaran tersebut Mahkamah Agung mengemukakan pendapatnya bahwa
microfilm atau microficbe dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di
pengadilan menggantikan alat bukti surat, catatan microfilm itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang
dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara, dan demikian pula terhadap perkara perdata
berlaku pula pendapat yang sama. dengan demikian dapat kita lihat bahwa Mahkama Agung sebenarnya
telah menyadari akan terjadinya perkembangan teknologi informatika di masa mendatang yang akan
berkembang secara pesat, sehingga secara responsive Mahkamah Agung mengambil sikap dalam
mengakomodir bukti elektronik di masa depan akan menjadi suatu hal penting dalam perkembangan
hukum pembuktian di Indonesia.
Kasus lainnya mengenai penggunaan bukti elektronik dalam praktik adalah bahwa kenyataannya
hakim-hakim di Pengadilan Niaga dalam menangani kasus kapailitan pada umumnya mulai menerima
dokumen elektronik sebagai alat bukti, seperti dokumen perusahaan yang sudah berbentuk microfilm
berdasarkan pada Undang-Undang Dokumen Perusahaan. Selain itu juga, Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan melalui Penetapannya Nomor 1751/P/1989 tertanggal 18 Mei 1990, telah memutuskan
bahwa surat/akta nikah yang dikeluarkan /dibuat oleh Kantor Urusan Agama atas perkawinan yang ijab
qobulnya dilakukan dengan menggunakan media elektronik adalah sah dan mempunyai keabsahan
hukum. Selain itu penggunaan media elektronik yaitu teleconference untuk pemeriksaan saksi juga telah
dilakukan dalam praktik peradilan di Indonesia pada beberapa kasus pidana.
Isi dari buku ini bermaksud untuk menelaah secara filosofis dengan menggunakan teori-teori
yang ada dalam rangka memahami pendekatan dalam kutipan di atas. Yaitu suatu pendekatan baru atau
spesius baru dalam bidang hukum, termasuk pula barangkali pendekatan yang digunakan dalam hukum
pembuktian pada sistemm hukum pidana di Indonesia.
Hakitat hukum seperti diuraitan diatas pada prinsipnya terkait dengan kehidupan bersama
manusia sehingga keberadan hukum berdampingan dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Hukum
dengan daya pemaksa dan daya pengikatnya akan mendorong perilaku warga masyarakat ke arah tujuan
yang dikehendali bersama. Manusia dalam kebersamaannya dengan yang lain di samping dihadapkan
pada pertentangan atau konflik kepentingan juga mendambakan ketertiban dan kedamaian serta
keseimbangan. Konflik dan ketertiban merupakan 2 (dua) sisi yang berbeda dalam kehidupan sosial
manusia. Konflik mengarahkan kehidupan bersama pada persaingan, pertikaian, dan bahkan peperangan
yang berdampak pada keretakan sosial atau instabilitas sosial, Sebaliknya ketertiban mengarahkan
kehidupan manusia pada penciptaan hubungan sosial yang harmonis dan damai. Untuk meminimalkan
konflik dan memperbesar ketertiban hukum memberikan peranannya yang penting melalui skenario
perilaku yang harus atau tidak boleh dilakukan dan pembagian hak dan kewajiban diantara warga
masyarakat.
Minimalisasi konflik dan optimalisasi ketertiban dapatlah dinyatakan sebagai tujuan akhir dari
penggunaan hukum sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Untuk menjamin terujudnya tujuan akhir
tersebut, norma hukum harus dibentuk dan dilaksanakan dengan mendasarkan nilai-nilai dasar tertentu.
Nilai dasar tersebut menjadi pengarah dan acuan dalam berperilaku serta sekaligus berfungsi sebagai
ukuran untuk menilai potensi dan realita keberhasilan hukum mencapai tujuan akhirnya. Terjabarkannya
atau teraktualisasikannya nilai dasar dalam substansi hukum atau dalam perilaku hukum merupakan
tujuan antara yang menentukan peranan hukum menciptakan ketertiban dan meminimalkan konflik.
Artinya tujuan akhir dari hukum akan dapat diwujudkan jika nilai dasar hukum dapat dijabarkan dengan
tepat.
Kepastian hukum dimaknai sebagai adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan
mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum
dalam pengertian yang demikian dapat diciptakan baik dalam hukum kebiasaan maupun hukum
perundang-undangan negara. Dalam kelompok primer atau tradisional dengan hukum tidak tertulisnya,
kepastian hukum diperoleh melalui pitutur atau wejangan dan kontrol informal yang menjadi sarana
sosialisasi dan internalisasi norma hukum pada setiap warga masyarakat serta sekaligus menjadi cerminan
tentang keberadaan norma hukum itu sendiri. Tokoh penyampai pitutur atau wejangan dan kontrol dari
setiap orang merupakan penjamin kepastian hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam
perkembangannya, siring dengan meluasnya keanggotaan kelompok dan terstrukturnya kekuasaan yang
memuncak pada terbentuknya organisasi negara, tuntutan akan kepastian hukum mengalami perubahan
bentuknya ke arah yang lebih kongkret tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Adanya kejelasan skenario perilaku yang berlaku mum dan mengikat semua orang termasuk
konsekuensi hukumnya memberikan arahan mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan dalam
hubungannya dengan warga masyarakat yang lain dan hak-hak yang dapat diperolehnya. Dengan
kejelasan tersebut, setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan perilaku antara
memenuhi kewajiban dan menjauhi perilaku yang dilarang atau mengingkari kewajiban dan menabrak
larangan. Pilihan-pilihan tersebut mempunyai konsekuensinya yang berbeda yaitu terpenuhinya hak-hak
tertentu sebagai imbangan pemenuhan kewajiban atau diterimanya sanksi sebagai imbalan terhadap
pengingkaran kewajibannya. Dengan kejelasan itu, norma hukum merupakan instrumen yang potensial
untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.
Perkembangan teknologi akan menyebabkan perubahan dalam kegiatan produksi karena adanya
beberapa implikasi, yaitu sebagai berikut.
Teknologi telah memberikan kemampuan bagi manusia bukan hanya beradaptasi terhadap
lingkungan fisik alam namun juga untuk menguasai dan memanipulasinya melalui penggunaan peralatan
tertentu yang semakin maju. Kondisi fisik alam seperti apapun yang selama periode sebelumnya
ditempatkan sebagai hambatan dapat diatasi oleh kemampuan manusia melalui teknologi yang
dikuasainya. Dengan menggunakan peralatan besar kegiatan industri pertambangan batu bara misalnya
dapat dilakukan sampai tingkat kedalaman puluhan meter di bawah permukaan bumi. Konsekuensinya
tingkat produktivitas kerja manusia mengalami peningkatan dan produksi yang dihasilkannya pun akan
meningkat pula. Penggunaan peralatan tertentu yang tidak hanya sekedar menggunakan tangan semata,
industri rokok dapat menghasilkan produksi ribuan batang rokok setiap harinya.
Teknologi telah memberikan kemampuan kepada pimpinan suatu perusahaan melakukan kontrol
sosial terhadap manusia atau kelompok yang lain dalam rangka mengarahkan agar kegiatan produksi tetep
berjalan sesuai dengan rencana. Melalui penggunaan kamera kontrol atau mesin pencatat kehadiran,
pimpinan dapat melakukan kontrol terhadap kinerja dan ketepatan waktu dari para pekerja sehingga
proses produksi tetap efektif.
Teknologi memberikan kemudahan, kecepatan, dan ketetapan dalam pengambilan keputusan
untuk mengatasi permasalahan atau bambatan yang terjadi pada proses produksi. Dengan menggunakan
keterampilan yang dimiliki oleh seorang ahli untuk menganalisis dan memberikan cara untuk mengatasi
problem yang dihadapi, seorang pimpinan perusahaan akan dapat dengan segera dan tepat mengambil
keputusan sehingga proses produksi dapat berlangsung secara normal kembali.
Namun demikian, penemuan dan penggunaan teknologi yang telah mendorong perubahan dalam
kegiatan ekonomi menuntut adanya perubahan nilai-nilai sosial yang harus dihayati oleh para
penggunanya. Dalam teknologi itu terkandung sejumlah nilai sosial yang harus juga digunakan sebagai
acuan berperilaku dalam penggunaan teknologi yang bersangkutan. Dalam penggunaan peralatan “ani-
ani” dalam proses panenan hasil pertanian dalam masyarakat tradisional terkandung nilai kebersamaan
dan ujudnya adalah pengikutsertaan sebanyak mungkin warga masyarakat dalam proses tersebut. Dalam
teknologi yang lebih maju dan efektif cara kerjanya terkandung nilai-nilai sosial, yaitu sebagai berikut.
1. Rasionalitas yang memberikan arahan agar kinerja dari setiap orang diorientasikan untuk
memaksimalkan hasil yang diperoleh. Untuk itu pengguna dituntut untuk mengidentifikasi
dan merinci faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi pencapaian maksimalisasi hasil
serta menemukan cara mengatasinya dan menghitung dampak dari cara yang akan digunakan
itu terhadap hasil produksinya.
2. Efisiensi yang memberi arahan untuk melakukan kalkulasi perbandingan antara besarnya
hasil atau output yang diperoleh dengan masukan atau input yang diperlukan seperti jumlah
tenaga kerja, modal investasi, mesin-mesin, dan waktu produksi yang diperlukan untuk
menghasilkan output. Dengan tuntunan dan berperilaku yang demikian, output yang
dihasilkan akan lebih besar dari input yang digunakan.
3. Nilai yang menempatkan sumberdaya alam sebagai objek yang harus digunakan dan
dimanipulasi untuk memaksimalkan hasil yang diperoleh.
Revolusi teknologi dan informasi sejak lahir abad ke-20 melahirkan banyak perbuatan hukum
baru di seluruh dunia, termasuk di wilayah hukum Negara Indonesia. Di bidang bisnis berkembang
praktik electronic business (e-business), misalnya, penerapan teknologi komunikasi dan informasi guna
mendukung kegiatan-kegiatan bisnis seseorang, kelompok orang atau suatu badan usaha. Perdagangan
elektronik (electronic commerce) menciptakan tukar-menukar produk dan jasa antara para pedagang,
orang per orang, kelompok atau maupun badan usaha.
Perdagangan elektronik menggunakan teknologi komunikasi dan informasi di bidang kegiatan-
kegiatan usaha dan relasi bisnis dengan pelaku usaha, baik orang per orang, kelompok orang, maupun
badan usaha tertentu. Navid Nikakthar menggambarkan e-commerce sebagai cara baru perusahaan dan
seseorang melakukan kegiatan bisnis setiap hari melalui internet atau teknologi informasi:
“E-commerce is a new method for perfoming commercial activities. Daily-in-crease access to
internet from one side and low level of cost for commercial activities through internet on the
other could make it the most acceptable method for commercial transaction. With a glance to
short-term history of e-commerce, we may notice that this phenomenon has a wide growth due to
the simultaneous and great welcome of companies and customers. E-commerce is a tradition
which is applicable by the use of IT and focusing on electronic data transfer and through value
added networks. It is electronic data transfer by the use of information system amongdifferent
organizations”
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21
menciptakan peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru di berbagai sektor usaha rakyat, khususnya
industri-industri kreatif (creative industries) dan produk-produk budaya (curtural goods) yang lazim
dilabel soft economy yang berbasis imajinasi, keahlian, pengetahuan, inovasi, kreasi dan tradisi sumber
daya manusia berbagai negara.
Menyangkut permasalahan pembuktian elektronik, Amerika Serikat pada tahun 1949 telah
melakukan terobosan dengan memperkuat pembuktian elektronik sehingga pada tahun 1999 diterima oleh
Mahkamah Agung sebagai dari alat bukti.
Menurut Prof. Stephen N.S., beliau merinci penerapan ketentuan discredit Pemerintah Federal
(Federal Rule of Civil Procedure) mengenai ketentuan media komunikasi seperti internet, faximilie,
computer, harus segera direvisi. Guna penanganan penelitian di Amerika terhadap suatu kasus, harus
diperhatikan adalah penggunaan laboratorium forensic sehingga penanganannya lebih valid, khususnya
mengenai alat bukti seperti halnya mengenai computer beserta CDRom-nya. Literature mengenai digital
forensic juga perlu disesuaikan dengan setiap tindakan-tindakan yang harus dieperhatikan khususnya
dalam hal perawatannya sehingga dapat dipergunakan lagi pada kasus-kasus tertentu.
Sepengetahuan penulis, sudah banyak buku yang membahas menfenai bukti elektronik, sehingga
dalam buku ini penulis mencoba untuk menyajikan pembahsan yang berbeda dibandingkan dengan
tulisan dalam buku lainnya. Adapun perbandingan dengan tulisan dalam buku yang telah ada, antara lain
sebagai berikut.
1. Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrime Law: Telaah Teoretik dan
Bedah Kasus, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013

Adapun materi pembahasan dari tulisan beliau mengenai beberapa ketentuan sebagai berikut:

Cyber crime law Indonesia masih tersebar di dalam dan di luar KUHP. Kehadiran UU ITE tidak
secara otomatis mengakhiri keragaman cyber crime law di Indonesia. Bahkan, ketika ada kasus
pornografi (misalnya) penegak hukum dapat menggunakan UU ITE atau UU Anti Pornografi
untuk memproses pelaku. Begitu pula jika terjadi penghinaan melalui facebook, penegak hukum
masih dapat menggunakan ketentuan KUHP atau UU ITE sebagaimana terjadi saat ini.
Akibatnya, banyak kasus cyber crime yang belum dapat tertangani secara optimal sehingga belum
menunjukkan “unsur keadilan” sebagai inti dari tujuan hukum. Berdasarkan pemikiran tentang
upaya pemberantasan cybercrime melalui kebijakan hukum pidana (penal policy), penulis
berpendapat bahwa untuk memudahkan penegakan hukum, dan untuk memberikan kepastian
hukum kepada semua pihak, serta mewujudkan keadilan, maka perlu ada UU baru yang mengatur
secara lengkap cyber crime di Indonesia, melalui proses kriminalisasi, deskriminalisasi dan
harmonisasi hukum. Ketentuan hukum tersebut dapat dimasukkan dalam KUHP baru
(sebagaimana dirancang dalam RUU KUHP tahun 20150 atau diatur tersendiri dalam RUU
tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi sebagaimana yang tersusun saat ini.
2. Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara terhadap Tata Kelola yang Baik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance), Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2009.

Tulisan ini membahas bagaimana tanggung jawab hukum penyelenggara sistem elektronik
terhadap penerapan prinsip tata kelola yang baik dalam pemanfaatan teknologi informasi menjadi
suatu sistem elektronik. Penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian yuridis normative
normative dengan pendekatan kwalitiatif yang melakukan analisis deskriptif.

Tulisan ini menerapkan teori keadilan interaktif (interactive justice) yang mengamatkan setiap
orang untuk bertanggung jawab terhadap setiap risiko yang berpotensi merugikan pihak lain.
Penelitian ini menemukan bahwa penerapan tata kelola yang baik, yang didasarkan atas prinsip
best practices atau good practive, dalam pemanfaatan Teknologi Informasi (Information
Technology Governance) adalah suatu kebutuhan dan keniscayaan. Hal tersebut menjadi ukuran
untuk menentukan bagaimana pertanggung jawaban hukum penyelenggara terhadap kerugian
yang diderita oleh pihak lain. Meskipun pada dasarnya prinsip pertanggungjawaban hukum yang
berlaku adalah prinsip praduga bersalah (presumed liability) atau pertanggungjawaban atas dasar
kelalaian (negligence), namun tetap terbuka kemungkinan memberlakukan prinsip
pertanggungjawaban hukum secara ketat (strict liability) atau secara mutlak (absolute liability),
demi keadilan untuk melindungi kepentingan umum. Oleh karena itu, diusulkan suatu formulasi
standar pemeriksaan hukum untuk memeriksa penerapan tata kelola yang baik, kemudian
dilakukan uji coba penerapannya dalam proyek pengembangan Indonesian National Single
Windows (INSW). Tulisan ini menyarankan perbaikan peraturan menteri tentang pedoman tata
kelola teknologi informasi nasional yang belum memuat aspek kepatuhan hukum (legal
compliance). Pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kompetensi dan
kinerja profesional hukum dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi agar dapat
menjalankan standar pemeriksaan hukum tersebut sebagaimana mestinya.
3. Danrivanto Budhujanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi &
Konvergensi, Bandung: PT Refika Aditama, 2010.

Adapun materi pembahasan dari tulisan beliau mengenai beberapa ketentuan sebagai berikut:

Konvergensi menjadi perhatian yang luar biasa dalam industri media dan badan regulator di
Negara-negara Eropa Barat terutama dampak yang dimunculkan oleh konvergensi. Sebagai
contoh European Commission telah menerbitkan beberapa tulisan tentang kebijakan dan
melakukan konsultasi public terhadap hal dimaksud. Semenjak munculnya manfaat secara
ekonomis yang sangat besar, daya saing dan kesempatan penciptaan profesi baru dari kegiatan
konvergensi, maka European Commission berupaya untuk melakukan penyesuaian kerangka
pengaturannya (regulasi) untuk memberikan dukungan atas proses yang sedang berjalan dari
konvergensi.

Meskipun dalam Green Paper dimaksud dimuat beberapa potensi yang berdampak negatif dari
kebijakan penerapan konvergensi, namun European Commission tetap memiliki keyakinan
bahwa pemanfaatan teknologi dan ekspektasi “utopia” dari masyarakat informasi dapat
diwujudkan dalam suatu refleksi atas fenomena konvergensi. Di banyak Negara maju di mana
konvergensi media telah terjadi dan dilakukan melalui berbagai tingkatan konvergensi yang
mencakup infrastruktur, transportasi, manajemen, layanan, dan jenis-jenis data.

Negara-negara dimaksud terbagi berdasarkan persepsi dan pengkajian mereka untuk memperluas
dan meningkatkan kecepatan perubahan di mana konvergensi media akan berlangsung. Mereka
juga memiliki pandangan berbeda terhadap dampak konvergensi terhadap aspek ekonomi dan
sosial yang akan mereka hadapi. Inggris dan Amerika Serikat adalah contoh dari Negara yang
meyakini bahwa konvergensi media menjanjikan peningkatan perekonomian mereka, karenanya
mereka begitu aktif memberlakukan kebijakan-kebijakan dan kerang pengaturan baru agar lebih
kompatibel dengan fenomena konvergensi.

Era konvergensi communication, computer, contents and community (4C) mendorong proses
globalisasi layanan telekomunikasi dan informasi. Ini akan mempercepat borderss world (dunia
tanpa batas). Era konvergensi akan mendorong ketanpabatasan dalam informasi, industri,
investasi dan individual customers. Akan terjadi tarik-menarik dalam hal ini antara kepentingan
nasional dan kepentingan pihak-pihak lain dalam dunia global. Kepentingan nasional meliputi
hal-hal yang diamanatkan oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) seperti kesejahteraan dan
keadilan, kecerdasan masyarakat, pertahanan, keamanan, dan lain-lain serta juga harus melihat
kondisi ekonomi di Indonesia yang masih memprihatinkan saat ini. Kepentingan global diwakili
oleh korporasi-korporasi yang akan memasuki pasar Indonesia, seperti pelanggan-pelanggan
layanan 4C dari dunia global yang : menjadi pelanggan operator 4C di Indonesia, kepentingan
politik pemerintahan Negara-negara asing.

Dalam bidang informasi misalnya, kepentingan asing dalam industri telekomunikasi nasional
memungkinkan pihak-pihak asing mengetahui; aliran informasi, aliran uang (dalam transaksin
perbankang dan financial), aliran barang (yang terdata dalam sistem informasi pelabuhan, sistem
informasi pelabuhan, sistem informasi pelabuhan udara), perpindahan orang-orang dari satu kota
ke kota lain. Kepemilikan asing dalam industri 4C juga memingkinkan mereka mengetahui hal-
hal yang menjadi rahasia Negara. Pemerintah semestinya memiliki klasifikasi informasi apa yang
harus diproteksi, dan apa yang tidak perlu diproteksi dan bagaimana tingkatan proteksinya.
Undang-undang semestinya melindungi ketahanan Negara dan bangsa serta privasi para
penduduknya agar tidak diketahui dengan mudah oleh pihak asing.

Dalam bidang industri misalnya, industri global akan berhadapan langsung dengan industri
nasional, baik untuk skala korporasi besar maupun perusahaan-perusahaan kecil. Bila deregulasi
diarahkan ke persaingan bebas global, maka Indonesia sebagai salah satu market place akan
dikuasai oleh keabsahan korporasi global. Undang-undang semestinya menjaga kaidah fair trade,
sehingga industri nasional dalam 4C juga maju, juga small medium and micro enterprises
(SMME) dalam 4C. Perlunya dicarikan upaya untuk mengatur suasana persaingan yang kondusif,
win-win dan tidak saling mematikan antara industri nasional dan para pemain asing yang masuk
menjadi suatu pertimbangan utama.

Perlu pula diupayakan perlindungan pelanggan individual (individual customers) dalam negeri
yang akan menjadi pelanggan operator asing dalam berbagai layanan 4C dan sebaliknya juga
dalam perlindungan individual customers luar negeri yang akan menjadi pelanggan operator
nasional menjadi substansi yang perlu juga diperhatikan dan diatur dalam undang-undang.
Ketiga tulisan di atas menjadi acuan bagi penulis dalam membahas mengenai pembuktian
elektronik yang akan penulisan jabarkan di dalam pembahasan buku ini, oleh karena bukti elektronik
(electronic evidence) yang akan dijadikan sebagai alat bukti pada suatu persidangan harus dapat
dibuktikan keabsahan menurut kaidah hukum pidana yang berlaku, sehingga tidak akan kesalahan dalam
penerapan hukum pembuktian terhadap perkara-perkara yang menggunakan bukti elektronik, sehingga
harus diketahui tahapan yang harus dilalui agar bukti elektronik tersebut dikatakan valid dan sah menurut
hukum untuk membuktikan salah atau tidaknya seorang pelaku tindak pidana yang dihadapkan ke
persidangan.
Bab 2
TINJAUAN UMUM TEORI DAN SISTEM PEMBUKTIAN DALAM KONSEP HUKUM DAN
KEADILAN
A. Konsep tentang Hukum dan Keadilan
Secara filosofis historis, penegakan hukum yang berorientasi pada tercapainya nilai kepastian
hukum cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan praktik hukum yang berbasis positivistic.
Pemikiran positivistic pada mulanya diilhami oleh gagasan Auguste Comte dan John Austin
sebagai pemikir awal corak positivism hukum. Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan
dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis
unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan
dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.
Dalam pandangan positivis yuridis, hukum hanya berlaku oleh karena mendapat bentuk
positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya,
dengan ini bentuk yudiris hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. Kaidah-kaidah hukum
material atau disebut juga isi hukum, tergantung dari situasi etis dan politik suatu Negara, maka harus
dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan/ajaran lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum. Hukum
positif dianggap tetap berlaku walaupun bertentangan dengan hukum kodrat asal saja berguna demi
kepentingan Negara. Positivis yudiris ide-idenya tentang kedaulatan rakyat, yang satu-satunya sumber
hukum adalah pembentukannya oleh Negara.
Dalam kajian teori tujuan hukum, penegakan hukum yang berorientasi kepastian hukum
dikategorikan dalam kelompok yudiris dogmatic. Teori ini bersumber dari pemikiran positivistis yang
cenderung melihat hukum sebagai suatu yang otonom dan mandiri. Menurut pemikiran mereka hukum
tidak lain hanya kumpulan aturan dan tujuan hukum tidak laindari sekedar menjamin terwujudnya
kepastian hukum. Bagi penganut teori ini kepastian hukum merupakan sesuatu yang penting, dan tidak
menjadi persoalan apakah dalam penerapannya dirasakan tidak adil atau tidak memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi menguatnya orientasi kepastian hukum adalah terkait
dengan sistem hukum kita yang lebih dominan berbasis civil law, yakni sistem hukum yang berbasis pada
ketentuan perundang-undangan. Kultur civil law system mendasarkan diri pada filsafat positivisme
hukum. Dengan demikian, dalam civil law system terdapat konsep bahwa tujuan utama yang disasar oleh
hukum bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena filsafat positivism mengutamakan hal yang
sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja
yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.
Indonesia sebagai bekas Negara jajahan Belanda yang menganut sistem civil law, sistem
hukumnya sangat dipengaruhi oleh sistem hukum tersebut, sehingga aliran legisme positivisme masih
tetap eksis dalam praktik, meskipun diakui dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami sedikit
pergeseran menuju ke arah common law. Akibat masih kentalnya faham tersebut, seringkali dijumpai
sikap hakim yang bersikap yudiris dogmatic dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang saja (la
buche de la loa), tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Namun kepastian hukum bagi sebagian besar penegak hukum menjadi penting sebagai acuan
dasar bekerjanya hukum. Tanpa kepastian hukum, secara operasional keadilan dan kemanfaatan hukum
tidak dapat tercapai. Secara sistematis kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan
sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan
atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya
kepastian hukum setiap orang dapat memperikirakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan
hukum tertentu. kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa
diskriminasi.
Absennya nilai-nilai keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini mendorong sebagian
masyarakat merasa frustasi dan pesimis dengan keberadaan hukum. Logika public secara umum
memahami bahwa hukum itu harus adil. Keadilan dalam bahasa public adalah adanya tatanan yang
mampu melindungi dan mengayomi kaum lemah sekaligus berani secara tegas memberi sanksi pada
kepentingan yang kuat.
Hukum adalah satu pilar berbangsa yang bertanggung jawab menghadirkan nilai-nilai keadilan di
tengah masyarakat. Di tengah keterpurukan kehidupan berbangsa dalam segala lini terutama dalam
penegakan hukum, maka tidak semua orang mampu merasakan dan mengakses nilai hukum secara adil.
Terkadang hukum lebih memihak pada yang kuat dan berkuasa. Dua kasus pencurian randu oleh Nenek
Minah dan pencurian sandal jepit oleh AAL menunjukkan bahwa penegak hukum terhadap keduanya
masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks Negara kita yang menganut sistem
demokrasi, fakta kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa ketidakadilan itu akan senantiasa hadir dalam
bentuk sistem Negara manapun, termasuk Negara yang mengklaim dirinya sebagai Negara demokratis.
Bagi Plato, ketika situasi sebuah bangsa lemah, fungsi Negara tidak maksimal, maka nilai
keadilan memang menjadi sesuatu yang sulit didapatkan. Dalam posisi ini, maka hukum dibutuhkan
sebagai sarana keadilan. Dalam teori Plato, hukum adalah instrument untuk meghadirkan keadilan di
tengah situasi ketidakadilan. Plato menggambarkan situasi ketidakadilan dalam 4 (empat) wajah.
Pertama, pada sistem Negara yang berbasis timokrasi, maka wajah ketidakadilan berwujud dalam bentuk
ambisi para pemimpin mengejar kemewahan, kehormatan dan kekayaan bagi diri sendiri. Kedua, dalam
sistem oligarki, ketidakadilan itu berwajah monopili penguasaaan sumber daya dari orang kaya yang
serakah, Ketiga, dalam sistem demokrasi, ketidakadilan dalam bentuk kepemimpinan orang-orang yang
tidak terdidik (bukan aristocrat) dan kecenderungan penonjilan interes pribadi para wakil di lembaga
perwakilan. Keempat dalam bentuk Negara tirani, maka ketidakadilan berwujud dalam bentuk
kesewenang-wenangan dalam semua lini kehidupan.
Namun secara umum masyarakat yang paling awam hukum sampai para pemikir hukum
bersepakat bahwa keadilan semestinya menjadi tujuan utama hukum di sampai yang lainnya termasuk
kepastian hukum dan kemanfaatan. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang
beradap. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggata Negara
melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan
bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika
tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu
karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus
ditegakkan. Setiap pelanggatan akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan
terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas
proposionallitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah
karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfor sosial
yang dipengaruhi oelh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu, keadilan juga
memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.
Dengan demikian, keadilan tidak bisa hanya sekadar lahir dari proses-proses hukum formal,
yakni putusan hakim dan hasil penyelidikan polisi. Bahwa hukum harus bernafaskan dan melahirkan nilai
keadilan, maka hal itu menjadi komitmen tertinggi dalam penegakan hukum. Namun karena hukum tidak
berada dalam ruang yang hampa, maka seperti yang ditengarai oleh Mahfud, kehadiran keadilan tidak
hanya sekadar dari rasionalitas kepastian hukum, namun faktor sosial, budaya, dan politik yang
mempengaruhi hukum juga berpengaruh terhadap lahirnya keadilan. Dengan demikian, kepastian hukum
yang berbasis keadilan harus dimaknai dalam berbagai dimensi, tidak sekadar dari kaca mata hukum
perundang-undangan dan hal-hal yang formil, namum hukum yang berkeadilan harus dilihat dari
perspektif moral rasional. Kontruksi moral rasional menjadi pilihan lain ketika mengharapkan hukum
melahirkan keadilan. Alasannya sederhana, karena hukum yang berbasis moral rasional akan
mengendalikan dinamika kehidupan manusia, maka hukum harus adil.
Keadilan hukum menurut Aristoteles harus identic dengan keadilan umum. Bagi Aristoteles,
keadilan bertumpu pada tiga sari hukum, dalam hal ini yang menjadi prinsip keadilan utama. Prinsip itu
adalah honeste vivere, alterum non leadere, suum quique tribute, yaitu hidup secara terhormat, tidak
menganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya. Pada prinsipnya konsepsi dan teori
keadilan memiliki berbagai macam modernism, baik dari pemikir hukum klasik dan neo klasik sampai
post modernism. Dalam konteks saat ini perlu mendorong proses penegakan hukum yang senantiasa
mengutamakan nilai-nilai keadilan.
Dalam kehidupan saat ini yang serba modern dan pragmatis, maka terkadang nilai-nilai keadilan
yang lahir dari kepastian hukum atau proses hukum akan menjadi bias. Dialektika manusia dengan
problem kehidupannya menuntut nilai hukum dan keadilan harus menyesuaikan dengan nilai-nilai
kemanfaatan untuk masyarakat. Dalam konteks ini keadilan hukum jangan sampai terjerembab pada
keadilan formil namun tidak membumi terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga kadilan
hukum yang autentik adalah hukum yang adil dan mampu hadir serta mendorong kehidupan manusia
yang lebih beradab.
Dalam konteks kebangsaan misalnya, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau
mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping untuk menegakkan
keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrument yang mengarahkan perilaku warga Negara dan
pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Dalam
konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Idealnya, perkembangan masyarakat serta nilai-nilai keadaban masyarakat harus diikuti oleh
perkembangan hukum. Hukum harus bergumul dengan dinamika perkembangan masyarakat, termasuk
nilai-nilai kemanfaatan atas hadirnya hukum. Dari kasus Nenek Minah dan AAL di atas, penggunaan
pranata hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak mecerminkan nilai-nilai
keadilan di tengah masyarakat hanya memicu ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Di tambah lagi
dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum
adalah hasil ciptaan masyarakat, tetapi sekaligus ia juga mendapatkan masyarakat, sehingga konsep
dalam berhukum seyogiannya sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Salah satu upaya untuk menghadirkan nilai kemanfaatan hukum adalah dengan memastikan baha
penegakan hukum harus mampu melindungi kepentingan masyarakat secara umum, hukum harus mampu
memelihara nilai kedamaian dan ketentraman bersama. Sebaliknya, hukum akan dianggap semakin tidak
adil ketika hukum justru memicu lahirnya kekacauan dan kesengsaraan di masyarakat. Oleh karena itu,
menarik konsep tujuan hukum yang dikemukakan oleh Van Apeldorm di mana tujuan hukum adalah
untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan,
jiwa, harta benda, dan sebagainya, terhadap yang merugikan. Kepentingan individu dan kepentingan
golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain.
Pertentangan kepentingan-kepentingan selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu
sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Kedamaian merupakan suatu
yang meliputi dua hal yaitu ketertiban dan ketentraman. Ketertiban tertuju pada hubungan lahiriah dengan
melihat pada proses interaksi antarpribadi dalam masyarakat, sedangkan ketentraman tertuju pada
keadaaan batik yaitu melihat pada kehidupan batiniah masing-masing pribadi dalam masyarakat.
B. Asas Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan
Pasal 1 UUD NRI Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum,
sehingga konsekuensi yang timbul menyebabkan Indonesia memiliki aturan-aturan tertulis yang
digunakan untuk mengatur dan menciptakan ketertiban bagi masyarakatnya. Aturan-aturan yang
dirumuskan kedalam bentuk peraturan dalam penegakannya diharapkan dapat memberikan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis dalam penegakan hukum (law enforcement). Fenomena tersebut dapat dilihat
ketika dalam penegakan hukum, kepastian hukum lebih diutamakan dari pada keadilan atau
kemanfaatan hukum itu sendiri.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu unsur keadilan,
unsur kepastian hukum dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan
kepastianhukumnya saja, maka unsur lain harus di korbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan
unsur keadilan makan unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus dikorbankan dan begitu
selanjutnya. Itulah yang disebut antinomy, yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipidahkan
satu sama lainnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski
dalam praktiknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara ketiga unsur
tersebut.
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan
harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan
kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum
menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling
atas di antara tujuan yang lain. Namun setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di
Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik tidak berperikemanusiaaan selama masa
Perang Dunia II dengan membuat hukum yang mensahkan praktik-praktik kekejaman perang pada masa
itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teori tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan
menempati posisi di atas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi di atas tujuan hukum
yang lain.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam kenyataan sering kali kepastian hukum terjadi benturan
dengan kemanfaatan, atau keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan
kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusan
yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau
tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi orang tertentu terpaksa
harus dikorbankan.
Hukum adalah suatu sistem, yang berarti tatanan, yakni suatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas
bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum adalah satu
kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk
mencapai tujuan kesatuan tersebut. Sebagai suatu sistem, Laerence M. Friedman, membagi sistem hukum
atau sub-sub sistem yang terdiri atas struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),
dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum merupakan institusi pelaksana (penegak) hukum atau bagian-bagian yang
bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Substansi
hukum adalah norma-norma hukum yang berlaku, yang mengatur bagaimana seharusnya masyarakat
berperilaku, atau hasil aktual yang diterbitkan oleh suatu sistem, sedangkan budaya hukum adalah nilai-
nilai individualism atau masyarakat yang mendorong bekerjanya sistem hukum. Ketiga elemen tersebut
merupakan unsur sistem hukum, maka semua itu mau tidak mau menjadi areal garapan serentak wilayah
pengembangan teori tentang hukum. Jelasnya teori hukum dapat dikembangkan baik pada wilayah
substansi hukum maupun pada wilayah struktur dan budaya hukum itu sendiri.
C. Unsur Keadilan dalam Hukum
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang mengandung kebenaran, tidak
memihak, dapat dipertanggungjawabkan dan memperlakukan setiap manusia pada kedudukan
yang sama di depan hukum. Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup
kehidupan masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui
sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang
menjadi haknya. Keadilan dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada
norma-norma, baik norma agama maupun norma hukum.
Menurut L.J. van Apeldorn bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan
memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Asas keadilan tidak menjadikan
persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk
perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.
Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian
adil itu dengan tidak berat sebelah (tidak memihak). Dapat diuraikan lebih rinci lagi bahwa adil itu
dengan tidak berat sebelah. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan
kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya kita harus
mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang kita lakukan tidak
pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak
untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada kita.
Sedangkan menurut Kahar Mansur mengemukakan ada 3 (tiga) hal yang dinamakan adil, yaitu
sebagai berikut :
1. Adil ialah meletakan sesuatu pada tempatnya.
2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dah memberikan orang lain tanpa kurang.
3. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa lebih tanpa
kurang antara sesame yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahar atau
yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.
Menurut Aristoteles bahwa keadilan disini adalah memberikan kepada setiap orang apa yang
menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere). Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan
perdebatan seputar keadilan. Menurutnya bahwa keadilan dibagi menjadi 2 (dua) yakni keadilan korektif
yaitu keadilan yang didasarkan pada transaksi, baik sukarela maupun tidak, dan berfokus pada
pembetulan sesuatu yang salah. Sedangkan keadilan distributive yaitu keadilan yang membutuhkan
distribusi atau penghargaan yang berfokus pada distribusi, honor, kekayaan dan barang-barang lain yang
sama-sama didapatkan dalam masyarakat. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan
yang sudah mapan atau telah terbentuk. Sedangkan keadilan distributive ini menekankan pada studi
keseimbangan antara bagian yang diterima seseorang dituangkan dalam bentuk putusan dan penemuan
tersebut merupakan sumber hukum. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaskan bahwa
apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai
yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan
nilai kebaikannya yakni nilainya bagi masyarakat.
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara
vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum
dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu.
pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam
undang-undang dari hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir
itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan
keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan
hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.
Teori-teori Hukum Alam, sejak Socrates hingga Franscois Geny, tetap mempertahankan keadilan
sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice. Pedoman-pedoman
yang objektif berasal dari groundnorm (norma dasar).
Groundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam
hidup bersama (dalam hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis
berlaku seluruh tata hukum dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara heirarki pada
groundnormss.
Keadilan sosial ala John Rawl dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai
the difference principle dan the principle of fair equaliny of opportuniry. Inti the difference principle,
adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar
bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial ekonomi dalam prinsip perbedaan
menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan,
pendapatan dan otoritas.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga
paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini akan terjadi apabila dua syarat
dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maksimum minimum bagi golongan orang yang
paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling
tinggi yang. mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan dikat pada
jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan
peluang yang sama bear dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang
berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Jadi apabila Teori Keadilan menurut John Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut.
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan
kemerdekaan itu sendiri.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam
bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat
dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan
kelahiran dan kekayaan.
John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan 2 (dua) prinsip keadilan, yaitu pertama, memberikan hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu
mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang- terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang
bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung maupun bagi yang kurang beruntung.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh
hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang
memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka mum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah-ketika hukum tersebut memuat
nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun
masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ketiganya
mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai
tersebut.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak
adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.
Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi
landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif
berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai
hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum
Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan, Hal ini dikarenakan, di
dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan.
Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian
hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum
tersebut berguna bagi masyarakat. Demikan juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka
akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada
keseimbangan antara ketiga nilai tersebut,
D. Unsur Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan
sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian a menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain schingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma
yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma
atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,
konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
yang sifatnya subjektif.
Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkret, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh
menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti
kepastian hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Nepara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ketiga bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.
Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar di dalam KUHAP ternyata lebih
menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa dari penegak keadilan itu
sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim
lebih peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya
bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi
hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan
hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum,
tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apa
pun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya
hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini tampak bahwa bagi kaum positivistik adalah
kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa, Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang
resmi diperundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap
orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi,
Namun demikian, pada paradigma positivistik bahwa sistem hukum tidak diadakan untuk
memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan hanya sekadar melindungi kemerdekaan individu,
Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistic
berpandangan, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.
Pandangan positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi sesuatu yang
sederhana, linear, mekanistik, dan deterministic maka apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai
pranata manusia melainkan hanya sekadar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang determistik,
maka aliran in memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat
hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang merupakan
suatu keharusan. Karena tapa kepastian hukum, setiap orang tidak akan mengetahui apa yang harus
diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat 2 (dua) macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian
hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum., Hukum yang berhasil menjamin
banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena
hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna.
Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam
undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan
(undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis), undang-undang dibuat berdasarkan
rechtswerkelfikheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Menurut Friedrich Julius Stahl, scorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara
hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van
bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep negara hukum di samping mencakup
perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan
hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut negara di samping
bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka negara juga harus
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam Pasal 28 I ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum
yang Demokratis.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya
kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tampa adanya
kepastian hukum dan ketertiban.
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan negara hukum memerlukan suatu proses yang
panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun
dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa
dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif yang dilaksanakan oleh
sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema
yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan. Hukum
bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan
sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara
pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguraguan (multi-
tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain shingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidalpastian aturan dapat
berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada
pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum akan tercapai apabila hukum
tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-
ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-
undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
E. Unsur Kemanfaatan Hukum
Secara etimologi, kata “kemanfaatan” berasal dari kata dasar “manfaat” yang menurut Kamus
Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna. Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu-
bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu
sendiri adalah suatu sollens kategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori
faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal in yang dipersoalkan oleh
hukum bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya (what the law ought to be) melainkan apa
hukumnya (what is the law).
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum sangat berkorelasi dengan tujuan
pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan
perbuatan melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum
karena akan dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia
petadilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya
dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham bahwa alam telah menempatkan umat
manusia dibawah pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk dua raja itu juga
menentukan apa yang akan kita lakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga menentukan apa
yang akan kita lakukan, apa yang akan kita katakan dan apa yang kita pikirkan. Hukum sebagai tatanan
hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong si raja suka, dan serentak mengekang si raja duka.
Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Jeremy Bentham, sebagai
penganut aliran utilistik, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan
yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang.
Hukum bertujuan untuk "the greatest happiness of the greatest number". Tujuan perundang-
undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:
1. to provide subsistence (untuk member nafkah hidup);
2. to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah);
3. to provide security (untuk memberikan perlindungan);
4. to attain equility (untuk mencapai persamaan).
John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian
kebahagian, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagian
dengan kalimat lain yaitu:
"Action are right in proportion as thry tend to promote man's happiness, and wrong as thry tend
to promote the reverse of happimess"
F. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang
apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Menurut Gustar Radbruch, hukum harus mengandung. 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut.
1. Asas Iepastian hukum (rechtmatigbeid), di mana asas ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), di mana asas ini meninjau dari sudut fliosofis, di mana
keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum
Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa
leas, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat
menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh°atau tidak boleh dilakukan,
dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh negara terhadap individu.
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis Dogmatik yang didasarkan pada aliran
pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom,
yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut
aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian
hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum
seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu,
masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun
demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang
dirasakan adil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam
menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum
progresif yang dikemukakan Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum-merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-
ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan- keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu,
tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tapa meng- abaikan
aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang
penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan
implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan
menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun
Satipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata,
melainkan lebih merupakan urusan perilako manusia.: Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak
hulkum it dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka
kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan.
Menurut Satipto Rahardio, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum
untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik otientasi hukum.
Fukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, bukum itu bukan merupakan
institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang betsifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi
bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari
segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat "hukum untuk manusia" bermakna juga
"hukum untuk keadilan". Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah
penekanan pada penegakan hukum bereadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahtetaan
masyarakat atau yang sering disebut dengan "masyatakat yang adil dan makmur". Oleh karena itu,
pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh
memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan
bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang
disebut “hukum untuk manusia”.
G. Konsep Prioritas dalam Mencapai Tujuan Hukum
Dalam konteks teori Gustav Radbruch, posisi konsep kegunaan atau kemanfaatan hukum cukup
urgen dalam menghadirkan hukum menjadi bagian yang hidup dan integral di tengah masyarakat.
Ketika penegakan hukum hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan
menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada
kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil
belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.
Dengan demikian penulis menilai bahwa gagasan Gustav Radbruch tentang tujuan hukum yang
harus mencapai kepastian hukum, keadilan dan kegunaan hukum dengan menjadikan keadilan sebagai
arus utama masih cukup relevan dan memungkinkan dimplementasikan dalam konteks kekinian. Inilah
pilihan yang moderat daripada menafikan salah satu di antara ketiganya, seperti aliran positivistik yang
lebih mengutamakan kepastian hukum. Kemoderatan Gustav Radbruch terlihat ketika keadilan,
kemanfaatan dam kepastian hukum saling berhadapan, maka harus mengutamakan keadilan, barulah
kemanfatan dan terakhir kepastian hukum. Begitu juga ketika dihadapkan kepada kemanfatan dan
kepastian hukum, maka yang diutamakan adalah kemanfaatan.
Pada perkembangan selanjutnya, gagasan Gustav Radbruch mengalami revitalisasi. Teori Gustav
Radbruch yang semula dipandang sebagai teori yang maju dan arif, ternyata dalam kasus tertentu tidak
sesuai dengan kebutuhan hukum. Dalam kasus tertentu, keadilan dipandang lebih tepat untuk
mendapatkan prioritas, namun tidak demikian dalam kasus lain. Adakalanya kemanfaatan justru harus
lebih diutamakan daripada keadilan dan kepastian hukum, atau kepastian hukum lebih diutamakan
daripada keadilan dan kemanfaatan, Melihat kenyataan semacam itu timbullah teori prioritas kasuistik
yang mengajarkan penerapan prioritas tersebut tergantung kepada kasus yang dihadapi.
Hakim dalam memutuskan suatu perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan pada ketiga asas
tersebut yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno
Mertokusumo, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi yaitu dengan cara menerapkan
ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional, sehingga tidak perlu mengikuti asas prioritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Radbruch, akan tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang
kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi, dan penulis pun sangat menyetujui pendapat dari
Sudikno Mertokusumo tersebut di atas.
Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengalomodir ketiga asas
tersebut di dalam satu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari
ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat
tercakup sekaligus dalam satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Jika diibaratkan dalam sebuah garis,
hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada (bergerak) di antara 2 (dua) titik
pembatas dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum,
sedangkan titik kemanfaatan itu sendiri berada di antara keduanya.
Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum,
maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya kalau hakim menjatuhkan
putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik
kepastian hukum. Di sinilah letak batas-batas kebebasan hakim, di mana hakim hanya dapat bergerak di
antara 2 (dua) titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan
menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di dekat titik
keadilan. Jadi tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu
perkara bersifat bebas dan tanpa batas.
Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi negara, di mana dikatakan bahwa
walaupun adminsitrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, akan tetapi
sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Pertanggungjawaban secara moral itu kepada Than Yang Maha Esa, dan secara hukum itu harus
memperhatikan pertanggungjawaban pada batas atas yaitu Undang-Undang Dasar 1945 jo. TAP MPRS
No.XX/MPR/1966 serta TAP MPR No. V/MP/1973, sedangkan pertanggungjawaban pada batas bawah
pada Undang-Undang Dasar 1945 jo. TAP MPR No. IL/MPR/1983 pada bidang hukum butir 3.e. dan
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukurnya.
Dengan mengadopsi konsep teori pertanggungjawaban batas atas dan batas bawah tersebut di
atas, maka menurut penulis, putusan yang dijatuhkan hakim harus dapat dipertanggungjawabakan secara
moral yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana terdapat dalam irah-irah suatu putusan, dan
dipertanggungjawabkan kepada konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai batas atasnya dan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagai batas bawahnya.
Kemudian asas kemanfaatan bergerak di antara 2 (dua) asas keadilan dan kepastian hukum, dan
asas kemanfaatan ini lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu kepada masyarakat. Oleh
karena hakikat sesungguhnya dari pada hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia dan bukan
manusia ada untuk hukum, sebagaimana dikemukakan dalam konsep hukum progresif.
Dalam fakta empiris, ada 2 (dua) putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan kurung waktu
kurang lebih 3 (tiga) bulan yang berbeda pertimbangan hukumnya, di mana satu putusan menekankan
pada asas kepastian hukum sebagai dasar pertimbangannya, sedangkan putusan yang lainnya
mengesampingkan asas kepastian hukum tetapi lebih menekankan pada asas kemanfaatan. Dalam putusan
No. 03P/HUM/2000, tanggal 23 Maret 2001 tentang, judicial review terhadap Peraturan Pemerintah No.
19 Tahun 2000 tentang: Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), pendirian
hakim Mahkamah Agung lebih mendekat pada arah kepastian hukum, di mana TGPTPK bukanlah
sebagai suatu instansi yang dapat melakukan penyelidikan maupun penyidikan sebagaimana ketentuan
alam hukum pidana formil, sehingga TGPTPK dinyatakan dibubarkan. Sedangkan dalarn putusan No.
01P/HUM/1999, tanggal 1 Desember 1999 dalam perkara gugatan BPPN (Badan Penychatan Perbankan
Nasional), hakim Mahkamah Agung mengesampingkan asas kepastian hukum, dan pertimbangannya
lebih mendekat pada ass kemanfaatan, dengan alasan lembaga BPPN pada waktu itu mash diperlukan
untuk mengatasi keadaan perekonomian yang sedang mengalami keterpurukan.
Dari kedua contoh tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seorang hakim dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja. Pada setiap perkara
yang diajukan kepadanya atau secara kasuistis, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat saja berubah-
ubah dari asas yang satu ke asas yang lainnya. Yang terpenting hakim harus mempertimbangkan dengan
nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu dipilih asas tersebut.
Penekanan pada asas kepastian hukum, lebih cenderung untuk mempertahankan norma-norma
hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan demi kepastian
hukum. Cara berpikir normatif tersebut, akan mengalami masalah pada saat ketentuan-ketentuan tertulis
tidak dapat menjawab persoalan yang ada, sehingga dalam situasi yang demikian hakim harus
menemukan hukum untuk mengisi kelengkapan ketentuan tersebut.
Penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam
masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini harus
dibedakan rasa keadilan menurut individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu keadilan dari suatu
masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan masyarakat tertentu yang lainnya. Jadi dalam
pertimbangan putusannya, hakim harus mampu menggambarkan hal itu semua, manakala hakim memilih
asas keadilan, misalnya, sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Penekanan pada asas kemanfaatan
lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasar pemikiran bahwa hukum itu ada untuk manusia,
sehingga tujuan hukum itu harus berguna bagi masyarakat banyak. Sedangkan penekanan pada asas
kepastian hukum lebih bernuansa pada terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.
H. Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau dikenal dengan Criminal Justice System pada hakikatnya
identik dengan sistem penegakan hukum pidana (SPHIP). Sistem penegakan hukum pada
dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan
menegakkan hukum ini dapat didentikkan pula dengan istilah kekuasaan kehakiman, oleh karena
itu, SPP atau SPHIP pada hakikatnya juga identik dengan Sistem Kekuasaan Kehakiman di
bidang Hukum Pidana (SKKHP).
Sistem peradilan pidana menjadi komponen penting dalam pencapaian tujuan hukum. Karena
begitu pentingnya kedudukan SPP, Daniel S. Lev menyebutkan:
Di mana nilai-nilai dan mitos-mitos kultural menekankan pada cara-cara pengaturan serta
hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum otonom, maka sebagai akibatnya
disitu lembaga-lembaga hukum akan kurang dapat mengembangkan kekuasaannya yang mandiri
seperti yang dimilikinya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Tampilnya kekuasaan-
kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur-unsur esensial bagi adanya
sistem hukum yang kuat, tak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap
bekerjanya hukum, terutama apabila misalnya nilai-nilai patrimonial juga tetap bercokol dengan
kuat.
Pendekatan SPP tidak menggunakan perspektif normatif, melainkan perspektif manajemen dalam
peradilan pidana, yang menekankan hubungan dari masing-masing unsur lembaga penegak hukum,
bagaimana mekanisme bekerjanya dan pengaruh dari masing-masing yang berperan dalam menegakan
hukum tersebut sekaligus dampak dari keseluruhan hasil penegakan hukum itu, dengan demikian
pendekatan sistem lebih diutamakan. Hal ini sejalan dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang “The Prevention of the Crime and the Treatment of Offenders” ke-8 yang diselenggarakan di
Havana, Cuba tahun 1990. Resolusi butir 19 tentang manajemen peradilan pidana dan pengembangan
kebijakan pidana (management of criminal justice and development of sentencing policies) sebagai
berikut:
a. Only if the criminal justice system is well managed can rational change be made to improve the
situation.
b. In-adequate management of the crimimal justice system can result in certain practices, such as
long delays before trial, that may create injustice for person whese cases are being proceesed by
the system.
c. Satisfactory relations between different agencies of the criminal justice system can contribute to
effective alocation of resaurces.
Pendekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut.
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan).
2. Pengawasan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice.
Sistem peradilan pidama pada dasarnya juga disusun atas dasar prinsip birokrasi modern
sebagaimana dikemukakan oleh Weber, yang dipertalikan dengan hukum acara pidana yang dienal
dengan KUMAP (Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981). Bekerjanya subsistem peradilan pidana dalam
penanganan tindak pidana korupsi, sudah barang tentu juga harus dapat dikembalikan pada tujuan dan
fungi hukum. Namun demikian hukum acara pidana tidak mengatur bagaimana mekanisme internal
birokrasi subsistem peradilan pidana tersebut bekerja.
Masing-masing subsistem peradilan pidana memiliki aturan tersendiri. Kepolisian memiliki
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kejaksaan
memiliki Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pengadilan
memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Demikian juga dengan advokat yang diatur oleh Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diatur dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kejaksaan sebagai bagian dari subsistem peradilan pidana, dalam penanganan tindak pidana
korupsi memiliki kekhususan yaitu tidak hanya sebagai lembaga penuntutan tetapi juga sebagai lembaga
penyidik. Bagaimana struktur organisasi, bagaimana bekerjanya masing-masing struktur organisasi
kejaksaan, tidak diatur secara detail dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, tetapi diatur dalam peraturan yang lain baik berupa Keputusan Presiden maupun
peraturan internal kejaksaan yaitu Keputusan Jaksa Agung dan Surat Edaran Jaksa Agung.
Menurut Barda Nawawi Arief, sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem
kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana divujudkan/dimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem,
berikut ini.
1. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik).
2. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum)
3. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan pengadilan).
4. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi).
Keempat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem penuntutan,
subsistem pengadilan dan subsistem pelaksana putusan sebagaimana tersebut di atas, merupakan satu
kesatuan sistem penegalan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah Sistem
Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Namun demikian sangat disayangkan,
konsep sistem peradilan pidana terpadu belum tercermin dalam bekerjanya masing-masing subsistem
peradilan.
Dalam konteks sistem peradilan pidana yang terpadu, terdapat 2 (dua) persoalan mendasar dan
sangat krusial tetapi belum mendapatkan perhatian yang serius, yaitu
1. kecenderungan terjadinya fragmentasi di antara subsistem-subsistem peradilan pidana;
2. tidak semua subsistem peradilan memiliki independensi.
Identifikasi terhadap penyebab timbulnya persoalan tersebut setidaknya bersumber pada 2 (dua)
hal, yaitu
1. belum adanya undang-undang payung yang mengintegrasikan masing-masing subsistem
peradilan ke dalam satu sistem tertentu;
2. pemaknaan kekuasaan kehakiman yang hanya terbatas pada kekuasaan kehakiman dalam arti
sempit.
Sebagaimana yang terjadi sat ini, masing-masing subsistem peradilan pidana diatur dalam
undang-undang tersendiri. Setiap kali lahir undang-undang yang mengatur salah satu subsistem peradilan
pidana, lebih berorientasi pada kemantapan eksistensi subsistem peradilan tersebut, dan pada saat yang
bersamaan seolah-olah terjadi fragmentasi karena tidak berorientasi pada bekerjanya sistem peradilan
pidana yang terintegrasi, sehingga dalam sistem peradilan pidana tidak dijumpai adanya otoritas yang
terintegrasi antara satu subsistem dengan subsistem yang lain. Oleh sebab itu perl adanya ketentuan yang
mengatur tentang bekerjanya sistem peradilan pidana yang terintegrasi mulai dari subsistem penyidikan,
penuntutan, pengadilan dan pelaksana pidana, atau yang disebut dengan undang-undang payung
(umbrella act).
Untuk dapat memahami kekuasaan kehakiman secara komprehensif, perlu ditelusuri mulai dari
ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Namun demikian perl mendapatkan catatan tersendiri bahwa
pengertian kekuasaan kehakiman dilihat dari konstitusi, menampakkan adanya kemunduran atau
penyempitan makna. Penyempitan makna ini dapat dilihat dari pengertian kekuasaan kehakiman sebelum
amandemen dan sesudah terjadinya aman-demen.
I. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian terdiri atas dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”. Secara
etimologis, kata “sistem” merupakan hasi adopsi dari kata asing “system” (Bahasa Inggris) atau
“systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara
bagian-bagian kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat
komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.
Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa sarjana hukum
mengemukakan definisi yang berbedabeda. Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian sebagai upaya
mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya
kesalahan pada diri terdakwa.% Lain lagi dengan M. Yahya Harahap, dia beranggapan bahwa yang
dimaksud dengan pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya
mencari dan mempertahankan kebenaran.
Berdasarkan pada pembahasan tersebut di atas maka sistem pembuktian dalam konteks hukum
acara pidana adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya
untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada
tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Maksud kebenaran dalam hukum pidana berbeda dengan
kebenaran dalam konteks hukum perdata. Jika pada hukum perdata pembuktian dimaksudkan untuk
mencari kebenaran formil maka pada hukum pidana kebenaran yang dicari adalah kebenaran materil.
Hukum pidana yang berpotensi untuk “merampas” hak asasi seseorang mengharuskan ditemukannya
kebenaran tersebut.
Untuk mengetahui bagian-bagian yang menyusun sistem pembuktian maka haruslah menganalisis
hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka
membuktikan kebenaran terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.
Sebagai contoh kita lihat didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Di dalam Pasal 1 KUHAP dapat diketahui bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-
elemen yang menjadi bagian dalam usaha pencarian kebenaran materil, yaitu;
1) Penyidik;
2) Penuntut Umum;
3) Penasihat Fukum;
4) Majelis Hakim;
5) Terdakwa;
6) Alat Bukti.
Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem pembuktian, artinya elemen-
elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran
terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri
terdakwa.
J. Teori Pembuktian
Lembaga peradilan mempunyai kedudukan dan peraman yang sangat penting di dalam menerima,
mengadili dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perkara yang diajukan
kepadanya terdiri atas perkara perdata, perkara pidana, tata usaha negara maupun perkara
lainnya. Di dalam memutuskan perkara, pengadilan harus memperhatikan alat-alat bukti yang
diajukan oleh para pihak maupun tersangka. Alat-alat bukti itu tidak hanya tercantum dalam
gugatan tetapi juga memperhatikan juga alat-alat bukti lainnya, seperti saki, bukti tertulis dan
lainnya. Alat-alat bukti itu harus dinilai oleh hakim dalam memutus setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Di dalam menilai alat-alat bukti itu, hakim terikat pada norma- norma hukum dan
berbagai tori yang berkaitan dengan pembuktian.
Teori-teori yang menganalisis, tentang alat bukti ini disebut dengan teori pembuktian. Teori
pembuktian yang dalam bahasa Inggris disebut dengan evidence theory, sedangkan dalam bahasa
Belanda, disebut dengan bewijstheorie merupakan salah satu tori yang sering digunakan, baik oleh hakim,
pengacara, jaksa maupun oleh para pencari keadilan dalam rangka mencari kebenaran dan keadilan.
Teori dalam konsep ini diartikan sebagai pendapat ahli tentang pembuktian. Secara gramatikal
pembuktian diartikan sebagai, yang pertama: proses, perbuatan, cara membuktikan, dan yang kedua:
usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya terdakwa.
Sedangkan membuktikan dapat diartikan sebagai, kesatu: memperlihatkan dengan bukti,
meyakinkan dengan bukti, kedua: menandakan, menyatakan kebenaran dengan alat suatu alat bukti, dan
ketiga: menyaksikan.
Subekti menyajikan konsep membuktikan. Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Meyakinkan hakim artinya
bahwa pihak penggugat atau tergugat atau terdakwa dapat memberikan kepercayaan kepada hakim bahwa
alat-alat bukti yang diajukan kepadanya merupakan alat-alat bukti yang benar dan sesuai dengan
faktanya.
Sementara itu, Sudikno Mertokusumo mengemukakan pengertian membuktikan. Ia
mengemukakan bahwa membuktikan secara yuridis adalah:
“Tidak lain memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan”
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pengertian teori pembuktian merupakan pendapat
ahli yang mengkaji dan menganalisis tentang cara-cara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
dalil yang disampaikan oleh pihak penggugat, tergugat maupun terdakwa sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki oleh mereka.
Dalam teori pembuktian ini, ada empat unsur utama yang harus diketahui agar apa yang ingin
dibuktikan dalam suatu persidangan memenuhi kriteria suatu pembuktian, yaitu sebagai berikut.
1. Adanya pendapat ahli.
2. Adanya cara-cara.
3. Adanya subjek.
4. Adanya tujuan.
Pendapat ahli merupakan unsur yang pertama, di mana pendapat ahli ini dalam bahasa Inggris
disebut dengan the expert opinion, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan deskundig advies
adalah pikiran atau kesimpulan dari orang yang mempunyai pengetahuan atau keahlian di bidang tertentu
tentang suatu hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Unsur yang kedua dalam teori pembuktian adalah cara, yaitu usaha dari pihak penggugat, atau
pihak tergugat maupun penuntut umum atau terdakwa (penasihat hukum terdakwa) agar hakim dapat
mempercayai atau meyakini alat-alat bukti yang disampaikannya kepada hakim di depan persidangan.
Jadi subjek yang dianalisis dalam teori pembuktian ini adalah penggugat, tergugat, terdakwa maupun
hakim.
Penggugat adalah orang yang menggugat suatu perkara di persidangan oleh karena adanya
sesuatu hal yang merugikan penggugat. Gugatan penggugat in diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
suatu keadilan oleh karena adanya hak keperdataan penggugat yang dilanggar oleh tergugat. Jadi dalam
hal ini penggugat menggugat pihak tergugat yang menurut versi penggugat telah merugikan kepentingan
hukum penggugat. Sedangkan tergugat adalah orang yang digugat oleh penggugat, di mana pengertian
digugat itu berarti ada pihakk tergugat yang dituntut untuk melakukan sesuatu oleh penggugat, seperti
ganti rugi, mengembalikan hak kepemilikan tanah, atau memenuhi prestasi tertentu.
Pelaku tindak pidana yang sudah dihadapkan pada proses persidangan biasanya disebut dengan
terdakwa, yaitu seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Sebelum
menjadi terdakwa, seorang pelaku tindak pidana disebut dengan tersangka, yang merupakan seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
Yang memeriksa dan memutus suatu perkara di persidangan adalah seorang hakim, di mana
pengertian hakim itu adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sudah barang tentu tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pembuktian itu adalah agar pihak
penggugat atau tergugat dimenangkan atau terdakwanya dibebaskan dari hukuman atau diringankan
hukumannya.
Teori pembuktian dalam bahasa Inggris disebut evidence theory, sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan bewijstheorie. mempunyai tujuan atau fungsi yang sangat penting di dalam
proses peradilan.
Michael S. Pardo mengemukakan balwa ada 4 (empat) fungsi dalam teori pembuktian itu yaitu:
a. Descriptive or an explanatory function, in which case its success depends on how well it
captures the underlying phenomena.
b. An evidence theory may also serve normative functions.
c. An evaluative function by providing criteria for justifying or critiquing partieular judgments.
d. A regulative function by providing considerations for guiding and constraining particular
judgments.
Adapun penjelasan terhadap keempat fungsi dalam tori pembuktian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Fungsi deskriptif, artinya bahwa teori pembuktian memberikan penjelasan tentang seberapa baik
di dalam menangkap fenomena-fenomena yang terjadi dalam suatu perkara.
2. Fungi normatif, yang berarti bahwa teori pembuktian bertujuan menyediakan ukuran-ukuran
normatif yang berkaitan dengan pembuktian sebagaimana yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Fungsi evaluatif, mempunyai arti bahwa teori pembuktian bertujuan untuk memberikan penilaian,
apakah membenarkan atau mengkritisi terhadap setiap alat bukti.
4. Fungsi regulatif, berarti bahwa tori pembuktian menyatakan bahwa setiap perbuatan atau perilaku
yang berkaitan dengan masalah norma atau kaidah selalu bersangkutan dengan peraturan.
Apabila kita berbicara mengenai, apakah suatu teori itu berhasil ataukah tidak, maka ada 2 (dua)
indikator untuk menentukan keberhasilan dari suatu teori tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Harus menyediakan, atau bergantung pada relevansi dan nilai pembuktian dari setiap item alat
bukti.
2. Harus menyediakan, atau bergantung pada perhitungan-perhitungan yang masuk akal dari standar
pembuktian.

K. Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis tentang Pembuktian


Ada beberapa landasan yang mendasari teori pembuktian itu dapat dipergunakan ataukah tidak
dalam suatu permasalahan, yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis,
pembuktian adalah dalam rangka membantu hakim di dalam memutus setiap perkara, baik itu
perkara perdata maupun perkara pidana, sehingga putusan yang dijatuhkan oleh Hakim kepada
para pencari keadilan (justitiabelen) dapat memberikan rasa keadilan (justice), kepastian hukum
(rechtzakerheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid) bagi para pencari keadilan tersebut.
Secara yuridis, pengaturan tentang pembuktian telah diatur di dalam peraturan perundang-
undangan, baik yang berkaitan dengan hukum materil maupun hukum formal. Peraturan perundang-
undangan dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Kitab Undang-Undang Fukum Perdata (KUII Perdata).
Pengaturan tentang pembuktian dalam KUH Perdata tercantum dalam Pasal 1865 sampai dengan
Pasal 1945 KUH Perdata.
Secara eksplisit ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata berbunyi:
Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan
adanya hak itu tau kejadian yang dikemukakan itu.
Dalam Pasal 1865 KUH Perdata ini dikonstruksikan bahwa setiap orang yang mengaku
mempunyai hak tertentu maka orang tersebut harus dapat membuktikan. Jadi jangan hanya bicara
saja kalau ia mempunyai hak atas sesuatu barang tertentu, tetapi terlebih dari itu maka ia pun
harus dapat memberikan bukti bahwa barang tersebut adalah miliknya, sehingga akan
memberikan keyakinan pada orang lain bahwa ia adalah pemilik atas barang yang dikatakan
sebagai miliknya tersebut. Sedangkan membuktikan itu artinya bahwa orang yang menyatakan
bahwa ia sebagai pemilik barang tersebut harus dapat meyakinkan hakim di persidangan dengan
mengunakan alat bukti sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
b. Pasal 184 Undang-Undang Nomor & Tahun 1981 tentang Flukum Acara Pidana atau yang
biasanya disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana dalam
ketentuan tersebut mengatur mengenai alat bukti dalam perkara pidana, yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
c. Pasal 164 Reglemen Indonesiayang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR
ini adalah reglement tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan
penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.
Ada 5 (lima) macam alat bukti yang diatur dalam HIR yaitu bukti tertulis, bukti saki,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Dalam pembuktian, secara sosiologis telah banyak pencari keadilan, baik pihak yang
dimenangkan (dalam perkara pidana) maupun terdakwa yang dibebaskan dari hukuman (dalam perkara
pidana) yang didasarkan pada alat-alat bukti yang disampaikan ole mereka di persidangan. Namun
banyak juga para pencari keadilan yang dikalahkan maupun yang dijatuhkan hukuman oleh karena tidak
dimilikinya alat bukti yang lengkap yang dapat mendukung dalil-dalil gugatannya atau alat bukti yang
dapat membantah dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.
L. Jenis Alat Bukti
Dari aspek hukum yang mengaturnya, alat bukti dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu alat
bukti yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUII Perdata) dan Kitab
Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), di mana alat bukti yang dikenal di dalam KUH
Perdata, sebagaimana telah dijelaskan di atas, telah diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu
bukti tertulis, bukti salsi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan bukti tertulis itu
sendiri merupakan alat bukti yang berupa tulisan, sehingga lat bukti tertulis meliputi akta autentik
maupun akta di bawah tangan (vide Pasal 1987 KUH Perdata).
Sementara itu, pengertian saksi itu adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu
perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Kemudian saksi dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu saksi ahli
dan saksi fakta. Pengertian saksi ahli adalah merupakan orang yang memberikan keterangan berdasarkan
keahliannya, sedangkan saki fakta merupakan saksi yang mengetahui tentang fakta-fakta yang terjadi
dalam melakukan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diletahui umum (vide Pasal 1915 KUH
Perdata). Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan
persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang. Persangkaan yang berdasarkan undang-undang
adalah persangkaan yang di- hubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiva tertentu berdasarkan
ketentuan undang-undang (vide Pasal 1916 KUH Perdata).
Kemudian ada 4 (empat) macam jenis persangkaan yang didasarkan pada undang-undang, yaitu
sebagai berikut.
1. Perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, arena perbuatan itu semata-mata
berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu
ketentuan undang-undang.
2. Pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak, milik atau pembebasan utang
dari keadaan tertentu.
3. Keabsahan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan hakim yang
memperoleh keabsahan hukum yang pasti.
4. Keabsahan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah salah
satu pihak.
Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan
kewaspadaan hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain.
Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan apabila:
1. Undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi.
2. Adanya perbuatan atau pembuatan akta diajukan suatu bantalan dengan alasan-alasan adanya
iktikad tidak baik atau penipuan (vide Pasal 1922 KUH Perdata).
Sumpah, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the oath, sedangkan dalam bahasa Belanda
disebut dengan eed van, merupakan pernyataan dari seseorang berdasarkan hati nuraninya dan
menyatakan apa yang disampaikan itu adalah benar. Ada 2 (dua) macam sumpah di hadapan hakim, yang
meliputi:
1. Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan
suatu perkara, dan sumpah tersebut disebut sumpah pemutus.
2. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak (vide Pasal
1929 KUH Perdata).
Sementara alat bukti yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP terdiri atas: keterangan saki, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Keterangan saki adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saki mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (vide Pasal 1 angka 27 KUHAP). Sedangkan menurut Pasal 1
angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri.
Keterangan ahli, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP, adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana gun kepentingan pemeriksaan.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa (vide Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP).
Pengertian surat, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 187 KUHIAP, adalah sebagai berikut.
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan tau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.

M. Beberapa Teori yang Menganalisis tentang Pembuktian


Teori yang mengka)i dan menganalisis tentang pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu tori pembuktian dalam hukum acara perdata dan teori pembuktian dalam hukum
acara pidana.
Teori pembuktian dalam hukum acara perdata merupakan teori yang menganalisis tentang alat-
alat bukti yang diajukan oleh pihak penggugat maupun tergugat di dalam proses beracara pada
pengadilan, khususnya dalam perkara perdata.
Dalam hukum acara perdata, teori pembuktian dapat dibedakan menjadi 4 (empat) teori.
1. Teori tentang Isi Gugatan
Teori-teori tentang isi gugatan merupakan tori yang mengkaji dan meng analisis tentang hal-
hal yang dimuat dalam sebuah gugatan. Sudikno Mertokusumo mengemukakan dua tori yang
menganalisis tentang hal-hal yang harus dimuat dalam gugatan yang dibuat oleh pihak
penggugat. Kedua teori itu, meliputi: substantierings theorie dan individualisering theorie.

Substantierings theorie merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis bahwa di dalam
gugatan tidak cukup disebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, akan
tetapi harus disebutkan:
a. kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan
itu;
b. yang menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Bagi penggugat yang menuntut miliknya, misalnya, tidak cukup disebutkan dalam gugatannya
bahwa ia adalah memilikinya, harus disebutkan juga bahwa ia menjadi pemiliknya karena barang
itu telah dibelinya.
Sedangkan individualisering theorie atau disebut juga teori individualisasi merupakan teori yang
menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam gugatan harus cukup menunjukkan
adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, tapa disebutkan dasar terjadinya atau
sejarah terjadinya, karena hal itu dapat dikemukakan dalam persidangan pengadilan dengan
disertai pembuktian.
2. Teori-Teori tentang Penilaian Hakim terhadap Alat Bukti
Hakim mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam kerangka memutuskan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Di dalam memutuskan perkara, hakim terikat pada alat-alat
bukti yang disampaikan oleh para pihak. Namun demikian, hakim juga bebas menilai
kesaksian dari saksi. Yang menjadi pertanyaan, sampai seberapa jauhkah hukum positif boleh
mengikat hakim atau para pihak di dalam pembuktian peristiwa di dalam persidangan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, ada 3 (tiga) tori tentang penilaian hakim terhadap alat bukti,
yaitu:
a. Teori pembuktian bebas.
Teori pembuktian bebas merupakan teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-
ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat
diserahkan kepada hakim.
b. Teori pembuktian negatif.
Teori pembuktian negatif merupakan teori yang hanya menghendaki adanya yang
mengikat, yang bersifat negatif yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi
hakim di sini dilarang dengan pengecualian.
c. Teori pembuktian positif.
Teori pembuktian positif merupakan teori yang menghendaki adanya perintah kepada
hakim. Di sini hakim diwajibkan tetapi dengan syarat.
Dari ketiga teori itu, maka pandangan yang paling dominan, yaitu menghendaki teori
pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini
dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
3. Teori Beban Pembuktian
Teori beban pembuktian merupakan teori yang menganalisis tentang siapa-siapa yang harus
membuktikan tentang peristiwa yang diajukan kepada hakim.

Ada 5 (lima) tori yang mengkaji tentang beban pembuktian yang dapat dijadikan pedoman
oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu sebagai berikut.
a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (blot affirmatief).
Dalam teori ini menganalisis bahwa siapa yang mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah
ditinggalkan.
b. Teori hukum subjektif.
Teori ini menganalisis suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum
subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c. Tori hukum objektif. Teori hukum objektif menganalisis bahwa mengajukan gugatan hak
atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada halim agar menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat
harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari
hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d. Teori hukum publik.
Teori ini menganalisis bahwa mencari kebenaran suatu peristiwa dalam peradilan
merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, hakim harus diberi wewenang yang
lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu, para pihak ada kewajiban yang
sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban
ini harus disertai sanksi pidana.
e. Teori hukum acara.
Teori hukum acara menganalisis bahwa asas audi et alteram partem atau juga asas
kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak di muka hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian. Hakim harus membagi bean pembuktian berdasarkan
kesamaan kedudukan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak
adalah sama.

4. Teori Kekuatan Mengikatnya Putusan


Teori ini menganalisis tentang dasar mengikat dari suatu putusan hakim. Putusan hakim
adalah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidangan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan
juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim
di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda
dengan yang tertulis (vonnis).

Ada 3 (tiga) teori yang membahas kekuatan mengikat suatu putusan yaitu sebagai berikut.
a. Teori hukum materiil.
Teori ini lazim disebut gezag van gewijsde, mempunyai sifat hukum materiil karena
melakukan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan dalam hal
menetapkan, menghapuskan, atau mengubah. Mengingat bahwa putusan itu hanya
mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya tori ini tidaklah tepat.
b. Teori hukum acara.
Teori ini menyatakan bahwa putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan
sumber dari wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu
diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil. Teori hukum
pembuktian menyatakan bahwa putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di
dalamnya, sehingga mempunyai keabsahan mengikat. Menurut teori ini pembuktian
lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh keabsahan hukum yang pasti
tidak diperkenankan terikatnya para pihak pada putusan. Teori ini merupakan teori yang
tidak banyak pengikutnya.
c. Teori hukum pembuktian.
Teori ini tidak hanya dikenal di dalam hukum acara perdata, tetapi juga di dalam hukum
acara pidana. Hukum acara pidana merupakan ketentuan hukum yang menganalisis cara-
cara beracara di muka pengadilan, yang berkaitan dengan perkara pidana.

Ilmu pengetahuan hukum acara pidana, mengenal 3 (tiga) teori tentang sistem
pembuktian, yaitu sebagai berikut.
1) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelike bewijs
theorie).
Tolok ukur sistem pembuktian ini tergantung kepada eksistensi alat-alat bukti yang
secara limitatif disebutkan dalam undang-undang. Dalam hal ini, undang-undang
menentukan alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, bagaimana cara hakim
mempergunakannya dan harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang
diadili.
2) Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim.
Polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka
dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.
3) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs
theorie). Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti
tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan didukung pula adanya
keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan.
Di samping ketiga tori di atas, dikenal juga teori lainnya, yakni teori keempat, yaitu tori
pembuktian terbalik. Teori pembuktian terbalik adalah menempatkan seseorang dalam
posisi sebelum yang bersangkutan memperoleh harta kekayaannya yang diduga kuat hasil
korupsi. Sejatinya tori pembuktian terbalik ini bertujuan untuk memudahkan proses
pembuktian asal usul harta kekayaannya (asset) yang dihasilkan dari korupsi, sehingga
apabila yang bersangkutan tidak dapat membuktikan keabsahan kepemilikannya, maka
asset atau kekayaan yang dimilikinya dikembalikan menjadi asset negara (asset
recovery).
Teori pembuktian terbalik telah dipraktikan secara umum di beberapa negara, seperti
Hongkong, Inggris, Malaysia, dan Singapura. Penggunaan model ini harus memiliki 2
(dua) fungsi, yaitu sebagai berikut.
1) Model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal usul harta kekayaan
(asset) dari suatu kejahatan, tetapi di sisi lain, tidak dapat dipergunakan karena
bertentangan dengan hakk asasi seseorang tersangka.
2) Model ini tidak memiliki tujuan yang bersifat represif melalui proses kepidanaan
melainkan harus bertujuan yang bersifat reha bilitatif dan semata-mata untuk
memulihkan aset hasil dari kejahatan tertentu (recovery) dengan melalui jalur
keperdataan.
Konsekuensi penggunaan model pembuktian terbalik dengan kedua fungsi di atas adalah
bahwa pemerintah harus menetapkan dua strategi baru dalam pencegahan dan
pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, yaitu strategi pertama, dengan
pembuktian melalui jalur kepidanaan, yaitu proses pembekuan, perampasan dan
penyitaan, kemudian dengan strategi kedua, melalui jalur keperdataan dengan proses
pembuktian terbalik, dan jika berhasil dibuktikan kebenaran mengenai harta kekayaan
berasal dari hasil kejahatan (non-criminal based conviction) maka setelah penyitaan,
tidak dapat dilakukan proses penuntutan pidana (criminal based conviction). Pilihan atas
strategi tersebut berdampak terhadap perubahan mendasar dalam hukum pembuktian
yang telah diatur di dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana khusus
yang berlaku di Indonesia.
Dari keempat teori pembuktian dijelaskan sebelumnya, ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia
mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 183
KUHAP yang menyatakan bahwa
Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Ketentuan ini mengharuskan hakim di dalam memutuskan perkara didasarkan pada minimal dua
alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Jadi dari 5 (lima) alat bukti yang sah dalam hukum acara
pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, maka harus
terpenuhi minimal dua alat bukti untuk menentukan bersalahnya seorang pelaku tindak pidana yang
dihadapkan ke persidangan dan ditambah dengan adanya keyakinan hakim akan kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut.
Apabila dalam suatu perkara terdapat dua alat bukti atau lebih yang dapat membuktikan bahwa si
pelaku bersalah melakukan tindak pidana, tetapi hakim tidak memiliki keyakinan akan kesalahan yang
diperbuat oleh pelaku tersebut, maka dapat saja si pelaku tindak pidana itu dibebaskan dari segala
dakwaan penuntut umum.
Tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil
pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, bilamana keabsahan pembuktian
tersebut dapat dianggap cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti
dan keyakinan hakim.
Dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian berikut ini.
1. Conviction in Time (Keyakinan Hakim)
Sistem yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata oleh penilaian keyakinan hakim
dengan menarik kesimpulan dari alat bukti yang diperiksa dalam sidang pengadilan. lat bukti
dapat saja diabaikan olehnya dan menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa.

Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Dalam hal ini hakim memiliki
andil yang sangat besar, jika telah merasa yakin bahwa terdakwa melakukan yang
didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana dan sebaliknya. Persoalan dari
mana hakim mendapatkan keyakinan tidak menjadi permasalahan. Dengan sistem ini,
pemidanaan dimungkinkan tapa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.

Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time, yaitu jika alat-alat bukti yang
diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan terhadap terdakwa, namun hakim
tidak yakin akan hal itu semua, maka tetap saja terdakwa bisa bebas. Sebaliknya, jika alat-alat
bukti yang dihadirkan di persidangan tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap
terdakwa namun hakim meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa yang didakwakan
oleh Penuntut Umum maka pidana dapat dijatuhkan.

Bila bertumpu pada keyakinan semata tapa didukung alat bukti yang sah, maka telah cukup
untuk membuktikan kasus sebenarnya terhadap terdakwa, sehingga dapat menyerahkan
sepenuhnya kepada hakim atas nasib terdakwa. Oleh sebab itu, keyakinan hakimlah yang
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian. Andi Hamzah menyebutkan
bahwa teori ini dapat berhadap-hadapan dengan tori pembuktian menurut undang-undang
secara positif, yakni disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak
selalu membuktikan kebenaran. Terkadang pengakuan pun tidak menjamin terdakwa benar-
benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh sebab itu, diperlukan keyakinan
dari hakim itu sendiri.

Berkaitan dengan hal di atas, tori ini berdasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri, lalu
ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini,
pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Hal
ini dianut pada pengadilan juri di Prancis, serta pengadilan adat dan swapraja, selaras dengan
pernayataannya bahwa pengadilan dipimpin oteh hakim-hakim yang bukan ahli yang
berpendidikan hukum.

Sistem itu memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, Schingga sulit diawasi. Bagi
terdakwa, maupun penasihat hukumnya, sulit untuk melakukan pembelaan. Di Prancis,
pertimbangan praktik peradilan berdasarkan sistem tersebut yang mengakibatkan banyaknya
putusan-putusan bebas yang sangat anch. Dalam praktik peradilan di Indonesia, sistem ini
pernah berlaku pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten schingga sangat
memungkinkan hakim dapat menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya misalnya
keterangan medium atau dukun.

Menurut sejarah hukum acara pidana di Belanda, sistem pembuktian menurut undang-
undang yang bersifat negatif, dapat menggantikan sistem conviction in time yang mereka
kenal dalam perundang-undangan Prancis yang pernah diperlakukan di Belanda.

2. Conviction La Raisonee (Keyakiman Hakim Atas Alasan yang Logis)


Sistem ini dikenal juga sebagai sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis. Hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya
terdakwa, tetapi faktor keyakinan hakim dibatasi dengan dukungan-dukungan dan alasan
yang jelas. Hakim berkewajiban untuk menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang
mendasari keyakinannya yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis.

Jadi dalam sistem inipun dapat dikatakan "keyakinan hakim" tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian
ini, faktor keyakinan hakim "dibatasi". Memang pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak
terbuktinya dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim tapi dalam
memberikan putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan reasoning itu harus "reasonable",
yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Arti diterima di sini hakim dituntut untuk
menguraikan alasan-alasan yang logis dan masuk akal.

Sistem ini disebut oleh Andi Hamzah sebagai sistem yang bebas karena hakim dapat
menyebut alasan-alasan keyakinannya secara bebas (vrije bewijstheorie), atau disebut juga
sebagai jalan tengah berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu.

Sistem tersebut terpecah menjadi dua jurusan, yang pertama adalah berdasarkan atas
keyakinan hakim (conviction in time) dan yang kedua adalah teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaan dari keduanya
adalah sama-sama berdasarkan atas keyakinan hakim. Dengan kata lain, terdakwa tidak
mungkin dipidana tapa adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa dinyatakan bersalah.
Menurut undang-undang, keyakinan hakim harus berdasarkan suatu ketentuan dan
kesimpulan (conclusive) yang logis, yakni berdasarkan ilmu pengetahuan hakim terhadap alat
bukti yang dipergunakannya sehingga dapat ditentukan secara limitatif. Sistem ini berpangkal
tolak pada keyakinan hakim terhadap sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari lat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh
penuntut umm sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. Penilaian itu adalah wajar. Oleh
sebab itu, hakim harus berpikir logis, berusaha untuk menjelaskan, dan memberikan arti
mengenai sejumlah gejala yang mereka jumpai, yakni dengan cara menghubungkan secara
timbal balik dari gejala yang satu dengan gejala yang lain. Dengan demikian, dalam
keputusan hakim harus menjelaskan cara berpikir yang telah mereka tempuh sehingga
membuat mereka sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dijadikan dasar bagi putusan
hakim. Para hakim harus menjelaskan mengenai kenyataan dan keadaan yang telah dijadikan
dasar bagi keputusannya. Namun, dalam keputusan tersebut tidak diperlukan penjelasan
secara lengkap mengenai cara berpikirnya sehingga setiap orang akan mudah untuk membaca
keputusan tersebut dan mampu untuk

3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wetteliike Bewijs)


Pembuktian ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim
semata-mata (conviction in time). Keyakinan hakim tidak berarti berpedoman pada alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak lagi berpedoman pada hati nuraninya, seolah-
olah hakim adalah robot dari pelaksanaan undang-undang yang tidak berhati nurani.

Jadi pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah untuk membuktikan


terdakwa itu bersalah atau tidak, harus tunduk kepada undang-undang. Sistem ini sangat
berbeda dengan sistem pembuktian conviction-in time dan convictionraisonee. Dalam sistem
ini tidak ada tempat bagi "keyakinan hakim". Seseorang dinyatakan bersalah jika proses pem-
buktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan telah menunjukkan bahwa terdakwa
bersalah. Perlu dingat bahwa proses pembuktian serta alat bukti yang diajukan telah diatur
secara tegas dan jelas dalam undang-undang.

Kelebihan sistem ini adalah hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran
sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dari berbagai alat bukti yang sah oleh undang-
undang. Dengan demikian, hakim dapat mengenyampingkan faktor keyakinan semata-mata
dan menegakkan nilai pembuktian objektif tapa memperhatikan subjektivitas sejak awal
persidangan. Sistem ini lebih pantas disebut sebagai penghukuman berdasar hukum.

Penghukuman dengan sistem in berdasarkan asas kewenangan undang-undang bahwa


terdakwa akan dijatuhkan hukuman dengan bukti unsur-unsur yang sah menurut undang-
undang, And Hamzah mengutip pernyataan D. Simons yang mengemukakan bahwa sistem
atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif dan sistem tersebut berusaha
untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat
menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Sistem in dianut di Eropa pada waktu
berlakunya asas inkisitor (inquisitor) dalam acara peradilan pidana. Namun, teori ini sudah
tidak dianut lagi karena mengandalkan pembuktian berdasarkan undang-undang. Hal ini telah
ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro karena keyakinan hakim yang mungkin jujur dan sangat
berpengalaman adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.

Sistem pembuktian menurut Positefwettelijk adalah tersedianya jenis dan banyaknya alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang, yang akan memaksa hakim untuk menyatakan
suatu dakwaan sebagai bukti yang sah.

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs)


Sistem ini berdasarkan pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, yakni
dari sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). Sistem pembuktian
ini, adalah suatu keseimbangan antara kedua sistem yang bertolak belakang secara ekstrem.
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan secara terpadu dengan
rumusan yang telah dikenal. Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim yang didasari oleh cara menilai alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembuktian harus
dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keyakinan hakim
tersebut harus juga didasari oleh hal demikian sehingga terjadi keterpaduan unsur subjektif
dan objektif dalam menentukan kesalahan.

Jadi dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif disyaratkan adanya
keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah ataukah tidak. Dalam sistem
pembuktian ini alat-alat bukti diatur secara tegas oleh undang-undang, dan demikian pula
dengan mekanisme pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung
benarnya dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa maka haruslah timbul keyakinan pada
diri hakim aka kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alat-alat bukti telah mendukung
kebenaran bahwa terdakwa bersalah namun belum timbul keyakinan pada diri hakim maka
picana tidak dapat dijatuhkan.

Dalam praktik peradilan, sistem in akan mudah mengalami penyimpangan, terurama pada
hakim yang tidak tegar, tidak terpuji, demi keuntungan pribadi, atau terselubung unsur
keyakinan belaka dalam keputusannya. Hal tersebut akan mempengaruhi faktor keteguhan
dan kesempurnaan prinsip diri hakim mash berperan dalam tugasnya sebagai pemutus hukum
berdasarkan keadilan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Andi Hamzah, mengemukakan dengan mengutip pernyataan Wirjono Prodjodikoro bahwa
sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettehijk) sebailnya
dipertahankan berdasarkan dua alasan yaitu:
1. Memang sudah seharusnya ada keyakinan hakim yang kuat dalam menentukan kesalahan
terdakwa untuk dapat menjatuhkan pemidanaan. Janganlah hakim menjatuhkan pidana
karena ketidakyakinannya terhadap kesalahan terdakwa.
2. Berfaidah jika ada aturan hukum yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya.
Hal tersebut bertujuan agar ada patokan-patokan tertentuyang harus dituruti oleh hakim
dalam melaksanakan peradilan.
Sistem pembuktian berdasarkan KUHIAP in dapat diketahui dari ketentuan hakim sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP, yakni kesalahan terdakwa harus berdasarkan pada kesalahan yang
terbukti dengan sekurang-kurangmya dua alat bukti yang sah. Hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Sistem in ditujukan untuk
membuktikan suatu ketentuan yang setidaknya dapat menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan
kepastian hukum. Dengan demikian, sistem in telah dianggap tepat dalam penegakan hukum, yakni
penerapan dan kecenderungan sistem pembuktian berdasarkan KUHAP. Beberapa kealpaan dan
kekeliruan hakim dalam menerapkan putusannya dapat diperbaiki sehingga terjadi sling kontrol oleh
hakim pada tingkatan peradilan berikutnya. Hakim ditentukan secara normatif mengenai prinsip batas
minimum pembuktian, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
Selanjutnya menurut sistem pembuktian yang berdasarkan pada KUHAP, penilaian atas
keabsahan pembuktian yang dianut adalah keabsahan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke
sidang pengadilan oleh penuntut umum dan sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim. Oleh karena
itu, penilaian itu harus berdasarkan pola pikir yang logis dan wajar. Alat bukti dalam sistem pembuktian
ini dimaknai sebagai alat bukti yang sah, yalni memperoleh keyakinan bahwa unsur tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum telah dipenuhi oleh terdakwa dan ternyata telah dipenuhi oleh terdakwa
dengan benar.
Dalam menjatuhkan pemidanaan, keputusan hakim harus didukung setidaknya oleh dua alat bukti
yang sah. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli, surat,
maupun petunjuk dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut, maka harus “saling
menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Penjumlahan dua lat bukti
itu juga dapat dijadikan keterangan dari dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan,
atau penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa selama keterangan saki
dengan keterangan terdakwa jelas dapat saling menyesuaikan.
Selain itu apabila dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana maka dikenal adanya 3
(tiga) tori tentang beban pembuktian.
1. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Penuntut umum tidak mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang kepada
terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut
pandang penuntut umum dalam requisitor-nya.

Konsekuensi logs tori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan
alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah
meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada
pada Penuntut umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak
mempersalahkan diri sendiri. Teori beban pembuktian in dikenal di Indonesia, bahwa
ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti in dapat dikategorisasikan
bean pembuktian “biasa” atau “konvensional”.

2. Beban Pembuktian pada Terdakwa]


Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban
pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) ini
dinamakan teori "Pembalikan Beban Pembuktian" (Omkering van het Bewijslast atau
Reversal Burden of Proof/Onus of Proof').

Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden of Proof
berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai "Pergeseran Beban Pembuktian”
maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”.
Perbedaan dari kedua pengertian tersebut, jika pada shifting burden of proof pada umumnya
diterapkan sebagai pembalikan beban pembuktian yang terbatas atau tidak murni, sedangkan
pada reversal burden of proof menggunakan pembalikan beban pembuktian yang murni atau
mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji ”Pembalikan Beban Pembuktian yang Total atau
Absolut”.

Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik tori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan
lagi menjadi pembalikan bean pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas
(limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut
merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar
biasa terhadap tindak pidana korupsi.

3. Beban Pembuktian Berimbang


Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasihat Hukumnya
saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan
kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan
membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas
pembalikan beban pembuktian berimbang”.

Di Indonesia, beban pembuktian yang digunakan, yaitu beban pembuktian umum atau
konvensional di mana beban untuk membuktikan terdapat pada Penuntut Umum. Hal tersebut
dapat kita lihat pada Pasal 66 KUHAP yang isinya “tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”.

Namun dalam tindak pidana tertentu (misalnya korupsi) menggunakan beban pembuktian
terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, yang isinya “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi”.
Maksud terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan pengadilan,
namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa mengajukan dakwaan tersebut ke
pengadilan.

Martian Prodjohamidjojo menjelaskan dalam pembuktian tindak pidana korupsi dianut dua
teori pembuktian, yakni:
a. Teori Bebas, yang diikuti oleh terdakwa.
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berwujud
dalam hal-hal sebagai tercantum dalam Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagai
berikut.
1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi.
2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa a tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
b. Teori Negatif Menurut Undang-Undang, yang dikuti oleh Penuntut Umum.
Sedangkan tori negatif menurut undang-undang tersirat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah
sistem di mana beban pembuktian berada pada terdalwa dan proses pembuktian ini hanya
berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan
pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan
harta benda milk terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal
tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milk terpidana yang diduga
berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap
terpidana atau ahli warisnya.

N. Beberapa Asas Terkait Pembuktian


Asas-asas yang dimaksud tidak hanya yang secara langsung terkait dengan pembuktian, tetapi
juga asas-asas yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pembuktian, termasuk pula
beberapa prinsip dalam hukum acara yang penting untuk dibahas.
Berikut ini adalah sejumlah asas yang terkait dengan hukum acara termasuk pembuktian.
1. Asas Due Process of Law
Due process of law diartikan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai
standar beracara yang berlaku universal. Due process lahir dari amendemen ke-5 dan ke-14
Konstitusi Amerika Serikat untuk mencegah penghilangan atas kehidupan, kebebasan, dan ha
milk oleh negara tampa suatu proses hukum. Due process menghasilkan prosedur dan
substansi perlindungan terhadap individu. Setiap prosedur dalam due process menguji dua
hal, yaitu: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak
milik tersangka tanpa prosedur; (b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang
ditempuh sudah sesuai dengan due process.

Dalam sistem peradilan pidana, Hebert L. Packer, selain memperkenalkan die praces made,
jupa memperkenalkan crime control model. Kedua model tersebut memiliki karakteristik
tersendiri. Crime control model memiliki karakteristik efsiensi, mongutamakan kecepatan dan
presumption of guilt schingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangika
dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Model ini dibaratkan seperti sebuah
bola yang sedang digelinding dan tampa penghalang.

Sementara itu, due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan
kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan
tujuan menghindari penjatuhan hukuman kepada orang yang tidak bersalah. Model ini
dibaratkan seperti orang yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut memiliki
nilai-nilai yang bersaing, tetapi tidak berlawanan.

Dalam kaitannya dengan pembuktian, due process of law memiliki hubungan yang erat
dengan masalah bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan
bukti sampai ke pengadilan. Tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan
kebenaran materil. Di negara-negara yang menjunjung tinggi due process of law, dalam
hukum acaranya, perlindungan terhadap individu dari tindakan sewenangwenang apaart
negara mendapat perhatian khusus.

Amerika sebagai suatu negara yang menjunjung tinggi due process of law seorang tersangka
yang ketika ditangkap tidak diseburkan hak-haknya oleh penyidik dapat mengakibatkan
tersangka tersebut dibebaskan. Hal ini dikenal dengan istilah Miranda Warning atau The
Four Miranda Warnings, yang berbunyi:

"You have the right to remain silent. Anything you say can be used against you in a court of
law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any
questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be. provide for you at government
expense”.

(Anda mempunyai hak untuk diam. Segala sesuatu yang Anda katakana dapat digunakan
untuk melawan Anda di pengadilan, Anda berhak berkonsultasi dengan pengacara dan
mendapatkan pendampingan pada saat pemeriksaan. Jika Ada tidak punya pengacara, akan
disediakan oleh negara).
Kendatipun demikian, di Amerika tidak ada aturan yang baku bagaimana seorang polisi
memberikan peringatan kepada tersangka, namun Supreme Court di sana memberikan
petunjuk yang harus dikuti sebagai berikut.

“The person in custody must, prior to interrogation, be clearly informed that he or she has
the right to remain silent, and that anything the person says may be used against the person
in court, the person must be clearly informed that he or she has the right to consult with an
attorney and to have that attorney present during questioning, and that, if he or she is
indigent, an attorney will be provided at no cost to represent him or her".

(Tersangka sebelum dinterogasi harus diberikan informasi secara jelas bahwa ia berhak untuk
diam, dan segala hal yang dikatakannya bisa digunakan untuk melawannya
(memberatkannya) di pengadilan, tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan dari
penasihat hukum, dan jika tersangka tidak mampu, akan disediakan penasihat hukum secara
gratis).

Prinsip-prinsip Miranda Rule ditetapkan di Amerika pada tahun 1966 dan dikuti oleh
negara-negara di dunia. Miranda Rule atau lebih populer dengan istilah Miranda Rights
meliputi:
a. Hak untuk diam dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi atau yang menangkap
sebelum diperiksa oleh penyidik;
b. Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari
penasihat hukum/advokat yang bersangkutan;
c. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukum/advokat;
d. Hak untuk disediakan penasihat hukum jika tersangka tidak mampu menyediakan
penasihat hukum/ advokat sendiri.
Miranda Rights atau Miranda Rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak
seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana/kriminal, sebelum diperiksa
oleh penyidik atau instansi yang berwenang.
2. Asas Presumption of Innocent
Presumption of innocent diartikan sebagai asas praduga tidak bersalah. Artinya, seseorang
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan telah
mempunyai kekuatan hukum. Di sisi lain dikenal juga asas presumption of guilt yang
diartikan sebagai asas praduga bersalah. Artinya, seseorang sudah dianggap bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah. Khusus mengenai asas praduga
bersalah dan asas praduga tidak bersalah perlu dipahami bahwa Kedua asas tersebut tidaklah
bertentangan antara satu dengan yang lain. Bahkan Packer dengan tegas mengatakan bahwa
keliru jika memikirkan asas praduga bersalah sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime
control model sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang
menempati posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub dari proses
kriminal, asas praduga tidak bersalah bukanlah lawannya. Asas tersebut tidak relevan dengan
asas praduga bersalah. Dua konsep tersebut berbeda, tetapi tidak bertentangan.

Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang
bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan ass praduga bersalah
dalam tingkah lakunya terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal
normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Sementara itu, asas praduga bersalah
bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, si tersangka pada
akhirnya akan dinyatakan bersalah. Oleh sebab itu, terhadapnya harus dilakukan proses
hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada tahap pengadilan.

Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, kendatipun secara universal asas praduga
tidak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, secara legal formal KUHAP kita juga menganut
asas praduga bersalah. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang
menyebutkan:

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”

Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasarkan deskriptif faktual
dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang tersebut telah
melakukan suatu perbuatan pidana vang dimaksud.

Berkaitan dengan pembuktian asas presumption of innocent, hal tersebut merujuk pada bean
pembagian pembuktian. Karena seseorang dianggap tidak bersalah, beban pembuktian
tersebut ada pada jaksa penuntut umum yang mendakwa bahwa seseorang telah bersalah
melakukan kejahatan. Sementara itu, dalam pembuktian terbalik yang bersifat absolut
sebagaimana telah diuraikan di atas, asas yang digunakan adalah praduga bersalah dan bukan
asas praduga tidak bersalah.

3. Asas Legalitas
Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang berarti tidak ada perbuatan
pidana atau tidak ada pidana tapa undang-undang pidana sebelumnya adalah salah satu
primsipat dalam hukum pidana yang dikenal dengan asas legalitas. Asas ini merupakan
produk aliran klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan individu
dari kesewenang wenangan negara dan bukan untuk melindungi masyarakat dan Negara dari
kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana modern.

Paling tidak ada empat makna asas legalitas. Pertama, terhadap ketentuan pidana, tidak
boleh berlaku surut (nonretroakrif atau nullum crimen mulla poena sine lege praevia atau lex
praevia). Kedua, ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum
kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta atau lex scripta). Ketiga, rumusan
ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa atau lex certa).
Keempat, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum
crimen nuilla poena sine lege stricta atau lex stricta).

Hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah asas legalitas dalam hukum
pidana hanya berlaku dalam hukum pidana materil ataukah juga dalam hukum pidana formil?
Kiranya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembalikan kepada rumusan awal
sebagaimana yang dikemukakan Anselm von Feuerbach. Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali, bila diuraikan dalam tiga frasa yang dikemukakan Feuerbach, akan
menjadi:
a. nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang;
b. nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c. nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Berdasarkan ketiga frasa tersebut, asas ini mempunyai dua fungsi, yaitu: (a) fungsi
melindungi yang berarti undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan negara
yang sewenang-wenang; (b) fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan
undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi
melindungi lebih pada hukum pidana materil yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena
sine lege) dan kedua (nulla poena sime crimine). Sementara itu, fungsi intrumentasi lebih
pada hukum pidana formil yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crime sine poena legali).
Bila dicermati, frasa ketiga nullum crimen sine poena legali yang berarti “tidak ada
perbuatan pidana tapa pidana menurut undang-undang” adalah suatu kalimat negatif. Jika
kalimat tersebut dipositifkan, bunyinya, “semua perbuatan pidana harus dipidana menurut
undang-undang” Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum pidana meliputi hukum
pidana materiil dan formil. Dalam hukum pidana materiil, asas legalitas berarti tidak ada
yang dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sementara itu, dalam hukum pidana formil
asas legalitas berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut.
Asas legalitas dalam hukum acara pidana hanya mengandung tiga makna, yaitu: (a) lex
scripta yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana harus bersifat tertulis; (b)
lex certa yang berarti hukum acara pidana harus memuat ketentuan yang jelas; (c) lex stricta
yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, kalaupun
dilakukan penafsiran dalam hukum acara pidana, penafsiran tersebut bersifat restriktif, yaitu
penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Artinya, materi tidak dapat diperluas
atau ditafsirkan lain selain yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan.
Hal ini dapat dipahami mengingat sifat keresmian dalam hukum acara pidana dan karakter
hukum acara pidana yang sedikit lebih banyak mengekang hak asasi manusia. Legalisme
yang berarti berpegang teguh pada peraturan, tata cara atau penalaran hukum131 menjadi
sangat penting dalam hukum acara pidana, kendatipun legalisme itu sendiri menurut Phillippe
Nonet cenderung membuat frustasi pada tujuan hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum
acara pidana, legalisme itu sendiri cenderung mengesampingkan kebenaran materiil suatu
tindak pidana.
Dalam konteks pembuktian, rumusan delik dalam suatu undang-undang, slain merupakan
perwujudan asas legalitas, juga memiliki fungsi unjuk bukti. Artinya, yang harus dibuktikan
oleh jaksa penuntut umum di pengadilan adalah unsur-unsur dalam suatu rumusan delik yang
didakwakan kepada tersangka. Misalnya, sescorang dikatakan mencuri jika perbuatannya
memenuhi kualifikasi sebagaimana termaktub dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut.
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”
Berdasarkan konstruksi pasal yang demikian, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya
bersifat kumulatif. Artinya, agar seseorang dikatakan telah relakukan tindak pidana
pencurian, harus memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik tersebut.
Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan sehingga seseorang dikatakan telah melakukan
tindak pidana pencurian adalah sebagai berikut.
a. Unsur "barang siapa" yang berarti bahwa pelaku pencurian adalah orang sebagai subjek
hukum yang diembani hak dan kewajiban menurut hukum. Orang tersebut harus mampu
bertanggung jawab secara hukum. Dalam sidang pengadilan, membuktikan unsur
"barangsiapa" ini merupakan syarat formil dakwaan yang antara lain berisi nama lengkap,
alamat, tempat tanggal lahir, dan agama.
b. Unsur "mengambil barang". Pengertian barang di sini tidak hanya barang berwujud,
tetapi juga barang tidak berwujud.
c. Unsur "seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain". Artinya, barang yang diambil
tersebut merupakan milik orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan.
d. Unsur "dengan maksud memiliki. Adanya kata-kata "dengan maksud" menandakan
bahwa bentuk kesalahan tindak pidana pencurian ini adalah kesengajaan. Artinya, si
pelaku dengan sengaja mengambil barang tersebut dengan tujuan untuk dimiliki. Dalam
hukum pidana bentuk kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan
didasarkan pada weten en wilen (kehendak dan pengetahuan), sedangkan kealpaan adalah
kurang penghatian-hatian atau penduga-dugaan dari si pelaku atas persitiwa yang
mungkin terjadi.
e. Unsur "'melawan hukum". Artinya, perbuatan mengambil barang tersebut dilakukan
dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum atau melawan hukum.
Berbicara mengenai sifat melawan hukum, maka dalam hukum pidana memiliki 4 makna,
yaitu sebagai berikut.
a. Sifat melawan hukum umum.
b. Sifat melawan hukum khusus.
c. Sifat melawan hukum formal.
d. Sifat melawan hukum materiil.
Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan. Sifat melawan hukum khusus, biasanya kata "melawan hukum" dicantumkan
dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian (unsur-unsur) rumusan delik
telah dipenuhi. Sementara itu, mengenai sifat melawan hukum materiil, terdapat dua
pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini
mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Kedua, sifat
melawan hukum materiil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal in mengandung makna
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-
asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Perkembangan selanjutnya, sifat melawan hukum materiil ini masih dibagi lagi menjadi sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum materil
dalam fungsinya yang positif.
Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berarti meskipun perbuatan
memenuhi unsur delik, tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, perbuatan
tersebut tidak dipidana. Sementara itu, sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
positif, mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan
tersebut dapat dipidana
Terkait bentuk kesalahan yang harus dibuktikan biasanya tertuang dalam rumusan delik.
Sebagai contoh, “Barangsiapa dengan sengaja…” atau “Barangsiapa karena kealpaannya…”.
Ada kalanya bentuk kesalahan dalam suatu rumusan delik terdiri atas kesengajaan dan
kealpaan. Misalnya, “Barangsiapa dengan sengaja atau karena kealpaannya…”. Jika suatu
rumusan pasal memuat kedua bentuk kesalahan, dikenal dengan istilah pro parte dolus pro
parte culpa.
Masih terkait bentuk kesalahan, sangat mungkin suatu rumusan delik tidak menyebutkan
bentuk kesalahan apakah kesengajaan ataukah kealpaan. Dalam hal demikian, maka bentuk
kesalahan dalam delik tersebut adalah kesengajaan, namun tidak perlu dibuktikan. Terdapat
unsur atau elemen yang tertulis ataupun tidak tertulis dalam suatu perbuatan pidana. Istilah
element ini harus dibedakan dengan istilah bestandeel yang juga berarti unsur-unsur
perbuatan pidana. Perbedaannya adalah bestandeel mengandung arti unsur-unsur perbuatan
pidana yang secara expressis verbis tertuang dalam suatu rumusan delik atau perbuatan
pidana. Dengan kata lain, elemen perbuatan pidana meliputi unsur-unsur yang tertulis dan
unsur-unsur yang tidak tertulis. Bestandeel hanya meliputi unsur-unsur perbuatan pidana
yang tertulis saja. Konsekuensi lebih lanjut adalah hal yang harus dibuktikan oleh jaksa
penuntut umum di pengadilan hanyalah bestandeel.
Tidak selamanya suatu unsur delik, meskipun tertulis secara e-xpressis verbs, dalam
rumusan delik harus dibuktikan. Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 363 ayat (1) ke-2
yang berbunyi sebagai berikut.
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: pencurian pada waktu ada
kebakaran, letusan banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang”.
Adanya salah satu keadaan seperti banjir, gempa bumi, atau gunung meletus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-2, meskipun secara eksplisit tertuang dalam rumusan
delik, tidak perlu dibuktikan. Keadaan-keadaan yang demikian dikenal dengan istilah notoir
feiten atau peristiwa yang sudah diketahui mum atau publik sehingga tidak perlu dibuktikan,
meskipun keadaan-keadaan itu memperberat ancaman pidana terhadap delik pencurian.
4. Asas Adversary System
Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan di mana pihak-pihak yang berseberangan
mengajukan bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang
menguntungkan pihaknya. Di Amerika Serikat, persidangan adalah proses adversial karena
para pengacara (yang berseberangan) berusaha memenangkan putusan yang menguntungkan
pihaknya masing-masing. Sistem hukum Amerika berasumsi bahwa kebenaran akan muncul
melalui pertentangan di antara pihak-pihak yang berseberangan yang memberikan interpretasi
berlawanan terhadap bukti-bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta.
Dalam konteks model-model beracara yang dikemukakan oleh Packer, baik crime control
model maupun due process model, pada dasarnya hanyalah satu model, yakni adversial
system. Oleh karena itu, John Griffiths dalam The Third Model menyatakan bahwa kedua
model yang dikemukakan Packer sebenarnya hanyalah satu model, yaitu the battle model
yang berisi pertarungan antara penasihat hukum dan penuntut umum. Griffiths kemudian
memperkenalkan family model. Dalam family model yang dikemukakannya harus ada
perubahan mendasar terkait tiga hal, yaitu: (a) berubahnya konsepsi tentang pidana dan
penjahat; (b) berubahnya para pihak dalam proses pidana; (c) berubahnya fungsi-fungsi
substantif dalam proses pidana. Masih menurut Griffiths, family model ini tidak hanya
membas mi perilaku manusia yang jahat seperti dalam the battle model, tetapi lebih
menekankan pada fungsi edukatif untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Berkaitan dengan pembuktian, adversial system bertalian dengan beban pembagian


pembuktian. Dalam konteks persidangan perdata, pembuktian tidal selamanya menjadi
kewajiban penggugat, namun dapat saja menjadi kewajiban tergugat jika dalam persidangan
timbul klaim: dari tergugat atas suatu hak. Demikian pula dalam persidangan pidana, baik
jaksa penuntut umum maupun terdakwa dapat saling mengajukan bukti dalam rangka
memberatkan atau meringankan dakwaan. Tegasnya, para pihak yang beperkara di
pengadilan dalam mengajukan bukti yang saling berlawanan atau tegen bewijs.

5. Asas Clear and Convincing Evidence


Dalam parameter pembuktian, clear and convincing evidence sangat berkaitan dengan
minimum bukti dan keabsahan pembuktian. Clear and convincing evidence diartikan sebagai
standar pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a reasonable
doubt. Prepoderance of evidence, yakni kecukupan bukti yang biasanya digunakan dalam
perkara perdata. Di sini, yang akan diputuskan menang adalah pihak yang bisa membuktikan
lebih banyak. Sementara itu, standar beyond a reasonable doubt (di luar tingkat keraguan
yang masuk akal) digunakan dalam perkara pidana. Di sini alat bukti saja tidaklah cukup
menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa keyakinan dari hakim.

6. Asas Beyond a Resonable Doubt


Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa beyond a resonable doubt adalah standar
pembuktian yang digunakan di dalam pengadilan pidana. Dalam pengambilan putusan yang
menyatakan bahwa terdakwa bersalah, juri atau hakim harus dapat diyakinkan (tapa keraguan
yang masuk akal) bahwa terdakwa bersalah untuk tindak kejahatan yang dituduhkan
kepadanya. Di sini jaksa penuntut umum harus membuktikan dan tapa keraguan yang masuk
akal kepada juri atau hakim mengenai kesalahan terdakwa. Dengan demikian, beban
pembuktian berada di tangan jaksa penuntut umum.

Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang berlaku di Jerman. Dalam rangka mencari
kebenaran materiil, jaksa penuntut umum harus mengumpulkan bukti termasuk bukti-bukti
yang dapat meringankan, bahkan membebaskan terdakwa. Apabila dalam persaingan bukti
yang lebih dominan adalah yang meringankan terdakwa, jaksa penuntut umum dapat
mengajukan requisitoir bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum kepada terdakwa.
7. Asas Actori In Cumbit Probatio
Asas actori in cumbit probatio secara harfiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib
membuktikan. Asas in dikenal dalam hukum acara perdata dan secara eksplisit diatur dalam
Pasal 163 Herzine Indische Reglement, Pasal 283 Reglement op de Burgeligke dan Pasal 1865
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa yang diembani kewajiban untuk membuktikan
adalah pihak yang mendalihkan bahwa ja mempunyai sesuatu hak atau untuk mengukuhkan
haknya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.

8. Asas Actori Incumbit Onus Probandi


Kalau dalam hukum acara perdata dikenal asas actori in cumbit probation sebagaimana
diutarakan di atas, dalam hukum acara pidana dikenal asas actori incumbit onus probandi.
Artinya, siapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan. Dalam konteks hukum
pidana, yang melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga jaksa penuntut
umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.

Kelanjutan asas actori incumbit onus probandi adalah asas actore non probate, reus
absolvitur yang berarti jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan. Tegasnya,
juka jaksa penuntut umum dalam perkara pidana tidak dapat membuktikan kesalahan
terdakwa (actore non probante), terdakwa harus diputus bebas (reus absolvitur). Berkaitan
dengan pembuktian, putusan hakim dalam perkara pidana terdapat tiga kemungkinan.
Pertama, terdakwa diputus bersalah dan dijatuhi pidana jika dakwaan jaksa penuntut umum
terbukti secara sah dan meyakinkan.

Kedua, terdakwa akan diputus bebas (urijspraak) jika jaksa penuntut umum tidak berhasil
membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak
pidana. Di sini unsur-unsur suatu tindak pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Ketiga, terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) jika perbuatan yang didakwakan
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana. Dalam hal putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, terdapat alasan penghapus pidana, apakah alasan pembenar ataukah
alasan pemaaf. Alasan pembenar berarti sifat melawan hukumnya perbuatan ditiadakan,
sedangkan alasan pemaaf berarti sifat dapat dicelanya pelaku yang diabaikan.

9. Asas Secundum Allegat Indicare


Asas secundum allegat iudicare berarti hakim tutwuri terhadap peristiwa-peristiwa yang
diajukan oleh para pihak. Asas ini dikenal dalam hukum acara perdata yang menandakan
bahwa- hakim dalam perkara perdata bersifat pasif. Dalam kaitannya dengan hukum
pembuktian, sangat terkait ass pembagian beban pembuktian. Berdasarkan peristiwa-
peristiwa yang diajukan oleh para pihak kemudian ditentukan peristiwa mana yang harus
dibuktikan.

Tidak selamanya penggugat yang harus membuktikan suatu peristiwa yang diajukan dalam
persidangan. Dapat saja berdasarkan persitiwa yang diajukan kemudian ditentukan yang
harus membuktikan adalah tergugat. Intinya siapa yang membuktikan atas peristiwa yang
diajukan di persidangan adalah pihak yang mengaku mempunyai suatu hak atau
mengukuhkan hak sendiri atau membantah hak orang lain.
10. Asas Judex Ne Procedat Ex Officio
Judex me procedat ex officio berarti di mana tidak ada penggugat, di sama tidak ada hakim.
Asas ini dikenal dalam hukum acara perdata yang menandakan bahwa hakim perdata bersifat
menunggu gugatan dari para pihak. Adagium yang sama juga dikenal dalam perkara pidana
yang dalam bahasa Jerman dikenal dengan asas wo kein klager ist, ist kein richter yang
berarti tidak ada pengaduan, maka tidak ada hakim.

Dalam perkembangannya, asas ini dalam hukum acara pidana ditinggalkan karena tidak
semua perkara pidana bersifat delik aduan yang berarti bahwa pengaduan merupakan syarat
mutlak diprosesnya suatu perkara pidana. Dalam konteks hukum pembuktian, judex ne
procedat ex officio berkaitan dengan kewaliban membuktikan dalam persidangan perkara per-
data sebagaimana yang telah disinggung dalam asas actori in cumbit probation dan asas
secundum allegat indicare.

11. Asas Actus Dei Nemini Facit Injuriam


Asas actus de nemini facit injuriam berarti tidak seorang pun dapat dipertanggungiawabkan
atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat dihindari. Asas ini tidak berkaitan langsung
dengan hukum pembuktian. Akan tetapi, jika suatu kerugian yang ditimbulkan akibat
kecelakaan yang tidak dapat dihindari seperti adanya bencana alam seperti banjir, gempa
bumi, gunung meletus, keadaan-keadaan yang demikian tidak perlu dibuktikan. Bencana
alam yang demikian dianggap sebagai notoir feiten atau peristiwa alamiah yang tidak perlu
dibuktikan.

12. Asas Negativa Non Sunt Probanda


Negativa non sunt probanda diartikan membuktikan sesuatu yang negatif sangatlah sulit.
Asas ini berkaitan dengan beban pembuktian. Misalnya, ketika si A dituduh melakukan suatu
kejahatan, yang harus membuktikan adalah jaksa penuntut umum. Tidak sebaliknya, si A
yang harus membuktikan bahwa dia tidak melakukan kejahatan yang dituduh. Hal ini
dianggap lebih sulit karena si A harus membuktikan sesuatu yang negatif, dalam pengertian
sesuatu yang tidak dilakukannya.

13. Asas Unus Testis Nullus Testis\


Secara harfiah unus testis mullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi. Tegasnya untuk
membuktikan suatu peristiwa hukum, baik dalam konteks pidana maupun perdata,
dibutuhkan minimal dua orang saksi. Keharusan pembuktian dengan minimal dua orang saki
didasarkan antara lain pada firman Allah Swt., Q.S.Al-Bagarah (2): 282, yang berbunyi
sebagai berikut.

“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu jika tak
ada dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-
saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”

Demikian pula sebagaimana yang terdapat dalam Alkitab, Deuternomion Kitab Ulangan
XIX, 15 perihal saksi yang berbunyi:
“Satu orang salsi saja tidal dapat menggugat sescorang mengenai perkara kesalahan apa pun
atau dosa apa pun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang
saksi, perkara itu tidak disangsikan”.

Dalam konteks parameter pembuktian, asas unnus testis nullus testis ini berkaitan dengan
bewijs minimum atau bukti minimum yang dibutuhkan untuk memproses suatu perkara.

14. Asas Persona Standi Injudicio


Asas persona standi injudicio dalam beberapa literatur dikenal dengan asas locus stand atau
legal standing yang berarti orang yang berwenang dan cakap hukum beperkara di pengadilan.
Asas in tidak secara langsung berkaitan dengan pembuktian, tetapi dalam beperkara
seseorang harus mengajukan dalil-dalil yang membuktikan bahwa orang tersebut mempunyai
kewenangan atau, kepentingan untuk mengajukan gugatan atau beperkara di pengadilan.

Dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar


di Mahkamah Konstitusi, seseorang harus mengajukan dalil-dalil bahwa dia mempunyai
kepentingan atau kewenangan untuk mengajukan permohonan tersebut. Di Mahkamah
Internasional (internatonal court of justice), individu bukanlah locus standi atau legal
standing dari Mahkamah, melainkan hanya negara dan organisasi internasional publik.

15. Asas Plaintiff


Plaintiff diartikan pihak yang mengajukan perkara perdata karena menderita kerugian. Pihak
tersebut mendapat beban pembuktian terkait dengan kerugian yang diderita olehnya. Pada
dasarnya plaintiff ini sesuai dengan asas actori in cumbit probatio, yaitu bahwa ketika
seseorang menggugat karena menderita kerugian, dialah yang diembani kewajiban untuk
membuktikan. Dalam konteks hukum perdata, gugatan ganti kerugian ini biasanya didasarkan
pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

16. Asas Discovery


Discovery diartikan prosedur untuk mengungkapkan informasi di antara pihak-pihak yang
beperkara. Penggugat diharuskan mengungkapkan dokumen-dokumen dan falta-falkta yang
relevan dengan kasusnya kepada pihak lawan sesuai aturan dan prosedur yang ditetapkan. Di
sini beban pembuktian berada pada penggugat. Hanya fakta-fakta yang relevan dengan kasus
yang harus dibuktikan yang dikenal dengan istilah factum probandum.

17. Asas Directed Verdict


Directed verdict berarti putusan dalam persidangan yang dijatuhkan hakim karena
ketidakmampuan salah sat pihak untuk menyodorkan bukti-bukti yang cukup untuk
mendukung posisinya. Berdasarkan fakta dalam persidangan, tidak selamanya yang harus
membuktikan suatu peristiva hukum adalah penggugat. Ada kalanya yang harus
membuktikan fakta tersebut adalah tergugat. Ketika hakim memerintahkan untuk
membuktikan sesuatu dan ternyata pihak tersebut tidak mampu menyodorkan bukti-bukti
yang cukup untuk mendukung posisinya, hakim harus menjatuhkan putusan.

18. Asas Unlawful Legal Evidence


Sebagaimana yang telah diutarakan dalam bab sebelumnya, unlawful legal evidence secara
harfiah berarti perolehan bukti yang tidak sah. Konsekuensi lebih lanjut adalah bila bukti
diperoleh dengan jalan yang tidak sah, hal tersebut akan menggugurkan perkara. Unlawful
legal evidence ini sangat berkaitan erat dengan parameter pembuktian, khususnya perihal
bewijsvoering, yaitu cara mengumpulkan dan memperoleh serta menyampailan bukti di
depan persidangan.

19. Asas Audi Et Alteram Partem


Audi et alteram partem berarti dalam mengadili hakim harus mendengar kedua belah pihak.
Hal ini dimaksud agar ada keseimbangan antara penggugat dengan tergugat atau antara jaksa
penuntut umum dengan terdalwa demi terciptanya suatu peradilan yang objektif. Ketika
hakim mendengar kedua belah pihak, kemudian akan ditentukan siapa harus membuktikan
berdasarkan fakta-falkta dalam persidangan, Dengan demikian, meskipun asas audi et
alteram partem ini tidak secara langsung berkaitan dengan pembuktian, asas ini akan terkait
dengan pembagian beban pembuktian.

20. Asas Probatio Plena


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dalam ranah hukum acara perdata yang menganut
Positief Wettelik Bewijstheorie, berdasarkan pula pada Pasal 1865 mengenai alat bukti, alat
bukti yang memiliki keabsahan pembuktian yang paling kuat adalah bukti tulisan atau alat
bukti tertulis. Salah satu bentuk bukti tulisan yang memiliki keabsahan pembuktian yans
paling kuat adalah akta autentik. Kata autentik secara harfiah diartikan sebagai asli; benar,
bersifat umum; bersifat jabatan.

Berdasarkan substansi Pasal 1868 KUHI Perdata, terdapat tiga syarat suatu akta autentik itu,
yaitu: pertama, dibuat oleh atau di depan pegawai-pegawai umum yang berkuasa (pejabat
publik yang berwenang). Contohnya akta yang dibuat oleh notaris, pejabat lelang, pejabat
pembuat akta catatan sipil, dan sebagainya. Hal yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang
yang dimaksud tersebut haruslah dipercaya dan diakui telah sesuai hukum (rechtmatig).
Kedua, format atau bentuk akta tersebut telah ditentukan oleh undang-undang. Ketiga, alta itu
dibuat di tempat pejabat publik itu berwenang atau di tempt kedudukan hukum pejabat publik
tersebut. Ketiga, syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Apabila salah satu saja tidak
terpenuhi, kekuatan pembuktian akta tersebut tidaklah autentik dan hanya memiliki kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Mengapa syarat suatu akta autentik itu menjadi sangat penting dalam ranah hukum
pembuktian? Karena suatu akta autentik itu memiliki kekuatan pembuktian yang penuh dan
sempurna (probatio plena), pembuktian terhadap akta autentik itu tidak lagi memerlukan alat
bukti lain, selain akta autentik itu sendiri, serta akta autentik itu harus tetap dianggap benar
selama belum ada pembuiktian yang dapat membuktikan autentisitas akta tersebut.

Hal ini tidak lepas dari adanya sejarah notaris sebagai salah satu jabatan yang pada aktanya
melekat sifat probatio plena pada raman belum adanya suatu alat bukti tertulis dan hanya
mengandalkan alat bukti saksi. Notariat lahir di Italia sejak abad Ke-12. Kctika itu notaris
merupakan jabatan yang sangat terhormat karena diangkat oleh kaisar atau paus dan sebagai
orang kepercayaan paus untuk membuat akta-akta tanah dan akta lainnya di daerah Romawi
yang cukup luas. Mereka bekerja di kota-kota dengan pelabuhan besar seperti Genoa, Pisa,
dan Milan. Notaris yang membuat akta-akta dianggap sebagai instrumenta publica atau alat
publik dan akta yang dibuatnya ditetapkan oleh paus sebagai probatio plea yang berarti
memiliki beban pembuktian yang penuh dan sempurna.

Karena beban pembuktian penuh dan sempurna ini diberikan oleh paus yang dianggap
sebagai orang suci, tugas notaris pun dianggap sebagai officium nobile (profesi yang mulia
dan terhormat). Kemudian, dilanjutkan di wilayah Eropa lainnya, yang awalnya hanya
mengatur mengenai masalah keberadaan notariat saja, sampai kemudian pada abad ke-15
masehi, juga mengakui aka yang dibuat oleh notaris itu sebagai akta yang bersifat umum dan
mempunyai kekuatan pembuktian.

Mengenai kekuatan pembuktian akta autentik notaris ini terbagi menjadi tiga. Pertama,
kekuatan pembuktian lahir pada akta autentik terkait asas acta publica probant sese ipsa.
Artinya, akta yang secara nyata memang merupakan alta autentik dan memenuhi syarat aka
autentik. Kedua, kekuatan pembuktian formil, yaitu mengenai kebenaran apa yang dilihat,
didengar, dan dilakukan pejabat. Ketiga, kekuatan pembuktian materiil, tidak lain hanya
terkait kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh notaris, serta mengenai kepastian
materi tentang akta itu sendiri, kecuali ada pembuktian sebaliknya.

Dalam konteks Indonesia, dasar hukum mengenai kekuatan pembuktian akta autentik
sebagai suatu alat bukti yang penuh dan sempurna (probatio plena) terdapat pada tiga
yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 702
K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3199
K/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1140
K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998, yang kemudian diakui sebagai yurisprudensi. Pada poin
keempat dikatakan bahwa akta notaris (yang merupakan akta autentik) mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna (probatio plena) bagi para pihak, ahli warisnya, dan siapa saja
yang mendapat hak atas akta tersebut.

Hal ini tidak lepas dari adanya sejarah notaris sebagai salah satu jabatan yang pada aktanya
melekat sifat probation plena pada zaman belum adanya suatu alat bukti tertulis dan hanya
mengandalkan alat bukti saksi. Notariat lahir di Italia sejak abad ke-12. Ketika itu notaris
merupakan jabatan yang terhormat karena diangkat oleh kaisar atau paus dan sebagai orang
kepercayaan paus untuk membuat akta-akta tanah dan akta lainnya di daerah Romawi yang
cukup luas. Mereka bekerja di kota-kota dengan pelabuhan besar seperti Genoa, Pisa, dan
Milan. Notaris yang membuat akta-akta dianggap sebagai instrumenta publica atau alat
public dan akta yang dibuatnya ditetapkan oleh paus sebagai probation plena yang berarti
memiliki beban pembuktian yang penuh dan sempurna.

Karena beban pembuktian penuh dan sempurna ini diberikan oleh paus yang dianggap
sebagai orang suci, tugas notaris pun dianggap sebagai officium nobile (profesi yang mulia
dan terhormat). Kemudian, dilanjutkan di wilayah Eropa lainnya, yang awalnya hanya
mengatur mengenai masalah keberadaan notariat saja, sampai kemudian pada abad ke-15
masehi, juga mengakui akta yang dibuat oleh notaris itu sebagai akta yang bersifat umum dan
mempunyai kekuatan pembuktian.

Mengenai kekuatan pembuktian akta autentik notaris ini terbagi menjadi tiga. Pertama,
kekuatan pembuktian lahir pada akta autentik terkait asas acta publica probant sese ipsa.
Artinya, akta yang secara nyata memang merupakan akta autentik dan memenuhi syarat akta
autentik. Kedua, kekuatan pembuktian formil, yaitu mengenai kebenaran apa yang dilihat,
didengar, dan dilakukan pejabat. Ketiga, kekuatan pembuktian materiil, tidak lain hanya
terkait kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh notaris, serta mengenai kepastian
materi tentang akta itu sendiri kecuali ada pembuktian sebaliknya.

Dalam konteks Indonesia, dasar hukum mengenai kekuatan pembuktian akta autentik
sebagai suatu alat bukti yang penuh dan sempurna sebagai suatu alat bukti yang penuh dan
sempurna (probation plena) terdapat pada tiga yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung,
yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973,
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3799 K/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994, dan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1140 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998, yang
kemudian diakui sebagai yurisprudensi. Pada poin keempat dikatakan bahwa akta notaris
(yang merupakan akta autentik) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (probation
plena) bagi para pihak, ahli warisnya, dan siapa saja yang mendapat ha katas akta tersebut.
Bab 3
BUKTI ELEKTRONIK DALAM TEORI DAN PRAKTIK PERADILAN
A. Pengertian Bukti Elektronik
Sebagaimana diketahui bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Prinsip pembuktian
dalam perkara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Yang menyatakan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari bunyi ketentuan tersebu, dapat diatakan bahwa keberadaan alat bukti dalam proses
persidangan merupakan hal pokok dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu Majelis Hakim harus
mendapatkan keyakinan apakah perbuatan pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum kepada terdakwa memiliki dasar hukum yang kuat atau tidak.
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan diperlukan adanya suatu bukti, di mana
dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia, bukti itu terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu, yang
pertama adalah barang bukti, dan yang kedua adalah alat bukti yang sah. Secara eksplisit, pembagian 2
(dua) jenis bukti tersebut memang tidak diatur dalam hukum acara pidana, namun pembagian ini
mengadopsi dari sistem hukum acara yang berlaku di Negeri Belanda, baik itu yang berasal dari hukum
acara pada masa colonial yaitu Herzeine Inlands Reglement (HIR) maupun dari hukum acara yang
berlaku di Negeri Belanda saat ini yaitu Wetbook van Strafvoordering (WvS)
Dalam KUHAP secara eksplisit sudah diatur mengenai apa yang dimaksud dengan alat bukti
yang sah, hal mana diatur dalam Pasal 184 KUMAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Namun demikian KUHAP tidak mendefinisikan secara eksplisit apa
yang dimaksud dengan barang bukti, walaupun istilah barang bukti sering disebut dalam KUHAP.
Meskipun KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit definisi dari barang bukti, tetapi dalam
doktrin hukum acara pidana dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan barang bukti itu adalah benda-
benda yang dapat dikenakan penyitaan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan
bahwa barang bukti itu adalah sebagai berikut.
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari
tindakan pidana atau sebagai hasil tindak pidana atau benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
2. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
3. Benda yang khusus dibuat dan diperuntukan melakukan tindak pidana.
4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dalam proses pembuktian di persidangan walaupun tidak disebut secara ek‹splist sebagai alat
bukti yang sah, barang bukti memiliki kedudukan yang sangat penting. Hal in terlihat pada Pasal 181 ayat
(1) KUHAP yang mengatur kewajiban hakim ketua sidang untuk memperlihatkan semua barang bukti
kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa mengenal barang-barang bukti tersebut ataukah tidak.
Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa ini menunjukkan kedudukan barang bukti memiliki fungsi yang
penting dalam sistem pembuktian di persidangan.
Dalam doktrin hukum acara pidana, perbedaan antra barang bukti dan alat bukti distilahkan
dengan stille getuigen (bukti bisu) dan sprekende gerisen (bukti yang berbicara), Barang bukti dipandang-
sebagai bukti bisu karena ia tidak dapat menclaskan dirinya sendiri, schingga membutuhkan dukungan
bukti-bukti lain untut menjelaskannya. Pihak-pihak yang dapat menjelaskan bukti tersebut yaitu saksi,
ahli, terdakwa dan alat bukti surat dalam bentuk keterangan tertulis dari ahli atau pejabat yang
berwenang.
Pada prinsipnya untuk dapat diakui sebagai barang bukti yang sah di pengadilan, maka barang
bukti tersebut diperoleh secara sah dan perolehannya dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Untuk itu
terdapat Pengaturan terkait kewenangan penyidik agar dapat memperoleh barang bukti beserta
prosedurnya.
Terkait dengan bukti elektronik, secara umum terdapat 2 (dua) pengaturan umum yang mengatur
mengenai bukti elektronik pada berbagai peraturan, baik pengaturan secara internasional maupun
pengaturan secara nasional, Pengaturan pertama, mengenai masalah definisi bukti elektronik, sedangkan
pengaturan yang kedua mengenai asmissibility atau penerimaan bukti elektronik di pengadilan.
The Council of Europe Convention on Cybercrime atau dikenal dengan Budapest Convention
merumuskan mengenai bukti elektronik sebagai bukti yang dapat dikumpulkan secara elektronik dari
suatu tindak pidana. Sedangkan menurut ISO/IEC 27073:2012 Information techmology-Security
technology-Guidelinesfor Indentification, Collection, Acquaisition, and Preservation of Digital Evidence
yang sudah menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) memberikan definisi mengenai digital evidence
sebagai informasi atau data, disimpan atau dikirim dalam bentuk biner (binary form) yang diandalkan
sebagai bukti.
Dengan demikian, pengertian bukti elektronik adalah data tersimpan yang ditransmisikan melalui
sebuah perangkat elektronik, jaringan atau system komunikasi. Jadi data-data yang tersimpan inilah yang
dibutuhkan untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana yang terjadi, yang pem- buktiannya akan
diuji kebenarannya di depan persidangan.
Dari bentuk yang ada, karakteristik bukti elektronik ini berbeda dengan bukti fisik sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam KUHAP. Dalam hal ini menyebutkan bahwa alat bukti menurut KUHAP
bentuknya jelas seperti keterangan saki, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, tidak
mudah untuk diubah, atau mudah dilihat dan didengar.
Sedangkan bukti elektronik mempunyai karakteristik yang khas yaitu tidak terlihat, sangat rapuh
karena mudah berubah, mudah rusak karena sensitif terhadap waktu, dan mudah dimusnahkan atau
mudah dimodifikasi (rekayasa). Di samping itu, bukti elektronik itu dapat berpindah dengan mudah, serta
jika akan melihat atau membacanya memerlukan bantuan alat, baik itu alat yang berupa perangkat keras
(hardware) maupun perangkat lunak (software).
B. Jenis-Jenis Bukti Elektronik
Keberadaan bukti elektronik dalam pembuktian di persidangan, baik itu dalam perkara pidana
maupun perdata mulai diperkenalkan di sistem peradilan pidana di Indonesia dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana dalam
ketentuan Pasal 26A menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
Lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only
Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM1). Sedangkan yang dimaksud dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu, dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik
(electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.
Setelah bukti elektronik diperkenalkan di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, maka
setelah itu hampir semua undang-undang yang dibentuk setelah tahun 2001 yang didalamnya mengatur
mengenai hukum acara memuat juga aturan yang mengakui bukti elektronik sebagai bukti yang dapat
digunakan dalam persidangan, terlebih dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (U ITE), yang kemudian mengalami perubahan dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dinyatakan
bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data eletktronik, termasuk, tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Elektronic Data Interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Sedangkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, mengatur mengenai Dokumen Elektronik, yaitu
setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidakk terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau art atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dari hal-hal yang sering mencuat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sering
melibatkan Informasi Elektronik, maka penggunaan Informasi Elektronik sebagai alat bukti dalam
persidangan dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyebutkan:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat
bukti yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk Akta
Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta.
Dengan semakin berkembangnya teknologi pada saat ini, telah memberikan nuansa baru di bidang
pembuktian di persidangan, sehingga alat bukti yang diajukan di persidangan pada saat ini, tidak hanya
terbatas pada alat bukti fisik sebagaimana diatur dalam KUHAP, yang diantaranya berupa bukti surat
ataupun bukti saksi, namun juga telah merambah kepada penggunaan alat bukti berupa dokumen digital,
bail berupa cakram (CD, CD, DVD) maupun dalam bukti lain berupa tulisan-tulisan di media sosial dan
bukti elektronik lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggolongkan beberapa jenis bukti
elektronik, yang mana penggolongan tersebut mengacu kepada Scientific Working Group on Digital
Evidence tahun 1999. Jenis-jenis bukti elektronik tersebut adalah:
1. E-mail, alamat E-mail (surat elektronik).
2. File Word Processor/Spreedsheet.
3. Source Code perangkat lunak.
4. File berbentuk Image (peg, tip, dan lain-lain).
5. Web Browser Bookmarks, Cookies.
6. Kalender, to-do list.
Adapun Muhammad Neil El Himam menggolongkan bukti elektronik tersebut dengan menyebutkan
bahwa bukti elektronik dapat bersumber pada:
1. Komputer, yang terdiri atas:
a. E-mail.
b. Gambar digital.
c. Dokumen elektronik.
d. Spreadsheets.
e. Log chat.
f. Software illegal dan materi HaKI lainnya.
2. Hard Disk, yang terdiri atas:
a. Files, baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen.
b. Metadata File.
c. Slack File.
d. Swap File.
e. Informasi Sistem, yang terdiri atas Registry, Log, dan Data Konfigurasi.
3. Sumber lain, yang terdiri atas:
a. Telepon Seluler, yaitu berupa SMS, Nomor yang dipanggil, Panggilan Masuk, Nomor Kartu
Kredit/Debit, Alamat E-mail, Nomor Call Forwarding.
b. PDAs/Smart Phones, yang terdiri atas semua yang tercantum dalam Telepon Seller ditambah
kontak, eta, gambar, password, dokumen, dan lain-lain.
4. Video Game.
a. GPS Device yang berisikan Rutes/Rute.
b. Kamera Digital, yang berisikan Foto, Video, dan Informasi lain yang mungkin tersimpan
dalam memory card (SD, CF, dan lain-lain).
ISO/IEC 27073:2012 Information techmology-Security techmiques Guidelines for Identification,
Collection, Acquisition and Praservation of Digital Evidence memberikan 3 (tiga) jenis dalam kategori
bukti elektronik, yaitu:
1. Computers, peripheral devices, and digital storage media.
2. Network devices.
3. Closed Gircuit Television (CCTV).
Association of Chief Police (ACPO), dalam Good Practice, Guide for Computer Based
Electronic Evidence, mengkatagorikan jenis-jenis bukti elektronik yaitu:
1. Computers.
2. Network.
3. Video & Closed Circuit Television (CCTV).
4. Mobile phone.
Walau demikian, karena menurut sifat alamiahnya bukti elektronik sangat tidak konsisten, maka
tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk proses persidangan, sehingga dibutuhkan standar agar
bukti digital dapat sebagai alat bukti di persidangan.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) telah mengalami kemajuan yang sangat
pesat, terutama sekali setelah diketemukannya teknologi yang menghubungkan antar computer
(networking) dan internet. Penggunaan interner yang semakin meningkat, memberikan dampak positif
dan negatif bagi pihak yang menggunakannya. Dari sisi positif, internet dapat menembus batas ruang dan
waktu, di mana antara pengguna dan penyedia layanan dapat melakukan berbagai hal di internet, tanpa
mengenal jarak dan perbedaan waktu. Sedangkan sisi negatif, pengaruh budaya luar yang dapat
mempengaruhi budaya pengguna internet itu sendiri. Selain itu, kejahatan di dunia maya juga tidak
terelakkan lagi.
Berbagai tindakan kejahatan dan criminal melibatkan secara langsung maupun tidak langsung
teknologi informasi dan komunikasi. Pemanfaatan computer, telepon genggam, email, internet, website,
dan lain-lain secara luas dan masif telah mengundang berbagai pihak jahat untuk melakukan kejahatan
berbasis teknologi elektronik dan digital. Oleh karena itu, belakangan ini dikenal adanya ilmu computer
forensic atau forensik komputer, yang dibutuhkan dan digunakan para penegak hukum dalam usahanya
untuk mengungkapkan peristiwa kejahatan melalui pengungkapan bukti-bukti berbasis entitas atau piranti
digital dan elektronik.
Dari perpektif perkembangan kejatan yang terkait dengan jaringan komputer ke depan semakin
meningkat. Baik secara kuantitas (jumlah) maupun secara kualitas (tingkat kesulitan modus kejahatan).
Tentunya hal ini harus diimbangi dengan bangaimana penyelesaian suatu kasus tindak pidana yang terkait
dengan jaringan komputer dalam ruang criminal justice system secara baik dan benar. Dengan harapan
masyarakat sebagai subjek dan sekaligus menjadi objek hukum dapat lebih merasakan keadilan dan
kepastian hukum.
Terkait dengan masalah tersebut, menarik untuk menganalisis tentang legalitas pembuktian
digital forensic dalam sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana menurut Resa Raditio
membagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
1. Digital Forensik
Pengertian digital forensik secara sederhana adalah keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan,
menyimpan, memeriksa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat dalam sistem elektronik atau
media penyimpanan, berdasarkan cara dan dengan alat yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
untuk kepentingan pembuktian.
Dalam investigasi digital forensik kemungkinan yang akan diperoleh adalah data yang telah
terhapus, informasi mengenai waktu modifikasi penciptaan dan penghapusan files. Hal in dapat
menentukan perangkat penyimpan mana saja yang terkoneksi dengan sebuah komputer, aplikasi apa saja
yang distal, meskipun aplikasi tersebut telah di uninstall oleh pengguna, dan website mana yang telah
dikunjungi.
Sedangkan proses dalam digital forensik secara umum terdiri atas kegiatan-kegiatan yaitu
indentifikasi atau administrasi penerimaan yang adalah pencatatan terhadap bukti-bukti yang akan diteliti
seperti merek, model, serial. Akuisisi adalah kegiatan memisahkan harddisk untuk dilakukan imaging.
Analisis adalah kegiatan menganalisis dengan cara menghubungkankan keterkaitan jenis kejahatan
dengan bukti-bukti, pelaporan adalah keseluruhan hail kegiatan dalam bentuk tertulis.
Informasi Elektronik (IE) dan Data Elektronik (DE) yang tersimpan dalam CPU (Central
Processing Unit) atau tepatnya pada harddisk merupakan bukti yang sangat penting yang dapat membuka
tabir suatu perkara kejahatan, namun IE dan DE tersebut tidak mempunyai arti apa-apa bila tidak
dimengerti "isi dalamnya". Untuk mengetahui "ada apa" dalam harddisk tersebut dilakukan uji digital
forensik. Tentunya dalam hal in yang harus diperhatikan adalah pengamanan IE dan DE sehingga masih
tetap utuh sebagaimana aslinya serta perangkat uji digital forensik, termasuk sumber daya manusia
pengujinya harus benar-benar sudah diakui legalitasnya didunia internasional.
2. Cabang-Cabang Digital Forensik
Digital forensik meliputi beberapa subcabang yang berkaitan dengan penyelidikan berbagai jenis
perangkat, media atau artefak. Adapun cabang-cabang dari digital forensik antara lain sebagai berikut.
a. Komputer Forensik
Tujuan dari komputer forensik adalah untuk menjelaskan keadaan saat ini artefak digital, seperti
sistem komputer, media penyimpanan atau doktumen elektronik. Disiplin biasanya meliputi
komputer, embedded system (perangkat digital dengan daya komputasi dasar dan memori
onboard) dan statis memori (seperti pen drive USB). Forensik komputer dapat menangani
berbagai informasi, mulai dari log (seperti sejarah internet) melalui file yang sebenarnya di drive.
b. Forensik Perangkat Mobile
Forensik perangkat mobile merupakan cabang sub-forensik digital yang berkaitan dengan
pemulihan bukti digital atau data dari perangkat mobile. Ini berbeda dari komputer forensik
dalam perangkat mobile akan memiliki sistem komunikasi inbuilt (misalnya GSM) dan biasanya,
mekanisme penyimpanan proprietary. Investigasi biasanya fokus pada data sederhana seperti data
panggilan dan komunikasi (SMS/email) daripada mendalam pemulihan data yang dihapus.
Perangkat mobile juga berguna untuk memberikan informasi lokasi, baik dari gps inbuilt/lokasi
pelacakan atau melalui situs sel log, yang melacak perangkat dalam jangkauan mereka.
c. Jaringan Forensik
Jaringan forensik berkaitan dengan pemantauan dan analisis jaringan komputer lalu lintas, baik
lokal dan WAN/internet, untuk tujuan pengumpulan informasi, pengumpulan bukti, atau deteksi
intrusi. Lalu lintas biasanya dicegat pada paket tingkat, dan baik disimpan untuk analisis
kemudian atau disaring secara real-time. Tidak seperti daerah lain jaringan data digital forensik
sering stabil dan jarang login, membuat disiplin sering reaksioner.
d. Forensik Database
Forensik database adalah cabang dari forensik digital yang berkaitan dengan studi forensik
database dan metadata mereka. Investigasi menggunakan isi database, file log dan RAM data
untuk membangun waktu-line atau memulihkan informasi yang relevan.

3. Barang Bukti Digital


Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-kasus computer crime maupun computer
related crime karena dengan barang bukti inilah investigator dan forensic analyst dapat mengungkap
kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian melacak keberadaan pelaku dan
menangkapnya. Oleh karena posisi barang bukti ini sangat strategis, investigator dan forensic analyst
harus paham jenis-jenis barang bukti. Diharapkan ketika ia datang ke tempat kejadian perkara (TKP) yang
berhubungan dengan kasus computer crime dan computer related crime, ia dapat mengenali keberadaan
barang bukti tersebut untuk kemudian diperiksa dan dianalisis lebih lanjut.
Berikut klasifikasi barang bukti digital forensik,
a. Barang Bukti Elektronik
Barang bukti in bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual, oleh karena itu investigator dan forensic
analyst harus sudah memahami untuk kemudian dapat mengenali masing-masing barang bukti elektronik
ini ketika sedang melakukan proses searching (pencarian) barang bukti di TKP. Jenis-jenis barang bukti
elektronik adalah sebagai berikut.
1) Komputer PC, laptop/notebook, netbook, tablet.
2) Handphone, smartphone.
3) Flashdisk/thumb drive.
4) Floppydisk.
5) Harddisk.
6) CD/DVD.
7) Router, switch, hub,
8) Kamera video, cctv.
9) Kamera digital.
10) Digital recorder.
11) Music/video player.

b. Barang Bukti Digital


Barang bukti ini bersifat digital yang diekstrak atau di-recover dari barang bukti elektronik. Barang bukti
ini di dalam U ITE dikenal dengan istilah Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Jenis barang
bukti inilah yang harus dicari oleh forensic analyst untuk kemudian dianalisis secara teliti keterkaitan
masing-masing file dalam rangka mengungkap kasus kejahatan yang berkaitan dengan barang bukti
elektronik.
Berikut adalah contoh-contoh barang bukti digital.
1) Logical file, yaitu file yang masih ada dan tercatat di file system yang sedang berjalan (running)
di suatu partisi. File tersebut bisa berupa file aplikasi, library, office, logs, multi media, dan lain-
lain.
2) Deleted file, dikenal juga dengan istilah unallocated cluster yang merujuk kepada cluster dan
sektor tempat penyimpanan file yang sudah terhapus dan tidak teralokasikan lagi untuk file
tersebut dengan ditandai di file system sebagai area yang dapat digunakan lagi untuk
penyimpanan file yang baru. Artinya file yang sudah terhapus tersebut mash tetap berada di
cluster atau sektor tempat penyimpanannya sampai tertimpa (overwritten) oleh file yang baru
pada cluster atau sektor tersebut. Pada kondisi di mana deleted file tersebut belum tertimpa, maka
proses recover/secara utuh terhadap file tersebut sangat memungkinkan terjadi.
3) Lost file, yaitu file yang sudah tidak tercatat lagi di file sistem yang sedang berjalan (running)
dari suatu partisi, namun file tersebut masih ada di sektor penyimpanannya. Ini bisa terjadi ketika
misalnya suatu flashdisk atau harddisk maupun partisinya dilakukan proses re-format yang
menghasilkan file system yang baru, sehingga file-file yang sudah ada sebelumnya menjadi tidak
tercatat lagi di file system yang baru. Untuk proses recovery-nya didasarkan pada signature dari
header maupun footer yang tergantung pada jenis format file tersebut.
4) File slack, yaitu sektor penyimpanan yang berada di antara End of File (EoF) dengan, End of
Cluster (EoC). Wilayah ini sangat memungkinkan terdapat informasi yang mungkin penting dari
file yang sebelumnya sudah dihapus (deleted).
5) Log, file, yaitu file yang merekam aktivitas (logging) dari suatu keadaan tertentu misalnya log
dari sistem operasi, internet browser, aplikasi internet traffic, dan lain-lain.
6) Encrypted file, yaitu file yang isinya sudah dilakukan enkripsi dengan menggunakan algoritma
cryptography yang kompleks, schingga tidak bisa dibaca atau dilihat secara normal. Satu-satunya
cara untuk membaca tau melihatnya kembali adalah dengan melakukan dekripsi terhadap file
tersebut dengan menggunakan algoritma yang sama. Ini biasa digunakan dalam dunia digital
information security untuk mengamankan informasi yang penting. Ini juga merupakan salah satu
bentuk dari anti-forensic, yaitu suatu metode untuk mempersulit forensic analyst atau investigator
mendapatkan informasi mengenai jejak-jejak kejahatan.
7) Steganography file, yaitu file yang berisikan informasi rahasia yang disisipkan ke file lain,
biasanya berbentuk file gambar, video atau audio, sehingga file-file yang bersifat carrier
(pembawa pesan rahasia) tersebut terlihat normal dan wajar bagi orang lain, namun bai orang
yang tahu metodologinya, file-file tersebut memiliki makna yang dalam dari informasi rahasianya
tersebut. In juga dianggap sebagai salah satu bentuk dari anti-forensic.
8) Office file, yaitu file yang merupakan produk dari aplikasi office, seperti microsoft office, open
office dan sebagainya. Ini biasanya berbentuk file dokumen, spreadsheet, database, teks, dan
presentasi.
9) Audio file, yaitu file yang berisikan suara, musik dan lain-lain, yang biasanya berformat wav,
mp3 dan lain-lain. File audio yang berisikan rekaman suara percakapan orang ini biasanya
menjadi penting dalam investigasi ketika suara di dalam file audio tersebut perlu diperiksa dan
dianalisis secara audio forensik untuk memastikan suara tersebut gn. apakah sama dengan suara
pelaku kejahatan.
10) Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari kamera digital, handphone,
handycam maupun CCTV. File video ini sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan
sehingga file ini perlu dianalisis secara detil untuk memastikan bahwa yang ada di file tersebut
adalah pelaku kejahatan.
11) Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan memuat informasi-informasi
penting yang berkaitan dengan kamera dan waktu pembuatannya (time stamps). Data-data ini
dikenal dengan istilah metadata exif (exchangeable image file). Meskipun begitu metadata excif
ini bisa dimanipulasi, schingga forensic analyst atau, investigator harus hati-hati ketika
memeriksa dan menganalisis metadata dari file tersebut.
12) Email merupakan singkatan dari electronic mail, yaitu surat berbasis sistem elektronik yang
menggunakan sistem jaringan online untuk mengirimkannya atau menerimanya. Email menjadi
penting di dalam investigasi khususnya phishing (yaitu kejahatan yang menggunakan email palsu
dilengkapi dengan identitas palsu untuk menipu si penerima). Email berisikan header yang
memuat informasi penting jalur distribusi pengiriman email mulai dari sender (pengirim) sampai
di recipient (penerima), oleh karena itu data di header inilah yang sering dianalisis secara teliti
untuk memastikan lokasi si pengirim yang didasarkan pada alamat IP. Meskipun begitu, data-data
di header juga sangat dimungkinkan untuk dimanipulasi. Untuk itu pemeriksaan header dari
email harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif.
13) User ID dan password, merupakan syarat untuk masuk ke suatu account secara online. Jika salah
satunya salah, maka akses untuk masuk ke account tersebut akan ditolak.
14) SMS (Short Message Service), yaitu pelayanan pengiriman dan penerimaan pesan pendek yang
diberikan oleh operator seller terhadap pelanggannya. SMS-SMS yang bisa berupa SMS inbox
(masuk), sent (keluar), dan draft (rancangan) dapat menjadi petunjuk dalam investigasi untuk
mengetahui keterkaitan antra pelaku yang satu dengan yang lain.
15) MMS (Multimedia Message Service), merupakan jasa layanan yang diberikan oleh operator seller
berupa pengiriman dan penerimaan pesan multimedia yang bisa berbentuk suara, gambar atau
video.
16) Call logs, dan lain-lain, yaitu catatan pangilan yang terekam pada suatu nomor panggilan seluler.
Panggilan ini bisa berupa incoming (panggilan masuk), outgoing (panggilan keluar), dan missed
(panggilan tak terjawab)

C. Validasi Bukti Elektronik


Sama halnya dengan persyaratan dan ketentuan alat bukti yang diatur dalam KUHAP maka bukti
elektronik harus memenuhi persyaratan baik secara formil dan materil sebagai suatu alat bukti yang akan
dapat dinyatakan sah dan dipergunakan di persidangan. Ketentuan dan persyaratan tersebut adalah untuk
menjamin kepastian hukum dan berfungsi sebagai alat penguiji dalam menentukan keabsahan alat bukti
schingga hakim dapat akin dengan fakta-fakta hukum yang dihadirkan melalui bukti elektronik.
Bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam, seperti email, wibsites,
short message service (SMS), video, dan electronically stored information (ESI), foto digital, computer-
generated documents and data files, termasuk hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik
lainnya. Tiap jenis bukti elektronik memiliki karakteristik yang secara teknis memerlukan penanganan
tersendiri dalam menentukan keabsahannya secara hukum. Oleh karena itu, perlu adanya kesepahaman di
antara kalangan apart penegak hukum mengenai prinsip-prinsip pengumpulan, penganalisisan, serta
penyajian bukti elektronik yang beragam. Dalam hal diperlukan, dapat ditetapkan peraturan dan putusan
yang lebih spesifik yang dijadikan pedoman dalam memeriksa bukti elektronik baik di tingkat
penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan.
Pengaturan atau patokan tersebut dapat melalui pembentukan per- aturan dibawah undang-
undang, penafsiran hukum (wet intepretatie) dan penemuan hukum (rechtswinding) oleh hakim. Peraturan
yang dimaksud juga dapat berupa peraturan bersama antara instansi aparat penegak hukum yang
digunakan sebagai pedoman baik di pusat maupun di daerah di seluruh Indonesia. Pedoman atau
pengaturan yang dimaksud harusnya didasarkan pada best practices yang berlaku, yaitu metode digital
forensik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa salah satu syarat bukti elektronik dapat diterima di
pengadilan dengan terpenuhinya syarat formil dan materil. Dalam hal ini dengan dipenuhinya syarat
formil dan materil tersebut, maka alat bukti elektronik dalam bentuk original maupun hasil cetak dari
memiliki nilai yang sama, Dengan demikian sehingga untuk menjamin terpenuhinya persyaratan
dimaksud diperlukan suatu, metode ilmiah yang didukung teknologi khusus untuk memeriksa alat bukti
elektronik.
Persyaratan formil mengenai bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa:
1. Informasi tau Dokumen Elektronik tersebut bukanlah surat yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk alta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
2. Penggeledahan atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik harus dilakukan atas izin ketua
pengadilan negeri setempat.
3. Penggeledahan atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik harus tetap menjaga terpeliharanya
kepentingan pelayanan umum.

Persyaratan materil bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (3) U ITE, vaitu informasi atau
dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam UU ITE. Selanjutnya diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 U ITE yang dapat diperoleh
persyaratan lebih rinci, yaitu bahwa Sistem Elektronik itu haruslah:
1. Andal, aman, dan bertanggung jawab.
2. Dapat menampilkan kembali Informasi tau Dokumen Elektronik secara utuh.
3. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi
Elektronik.
4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dan dapat beroperasi sesuai prosedur tau petunjuk
yang telah ditetapkan tersebut.
Selain itu, Pasal 6 U ITE juga memberikan persyaratan materil mengenai keabsahan bukti elektronik,
yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
UU ITE tidak mengatur perihal cara atau metode yang digunakan untuk mengumpulkan,
mengamankan, menampilkan atau menjamin keutuhan informasi bukti elektronik. Karena pada dasarnya
UU ITE menganut asas netral teknologi, yang berarti bahwa cara atau metode pengumpulan dan
pengamanan bukti elektronik dapat menggunakan teknologi yang tersedia sepanjang dapat memenuhi
persyaratan keabsahan bukti elektronik.
Dalam hal Sistem Elektronik yang digunakan telah memenuhi persyaratan tersebut, maka kualitas alat
bukti elektronik dalam bentuk originalnya (Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik) dan hasil
cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik adalah sama. Dengan kata lain, polisi, jaksa, dan hakim
dapat menggunakan keduanya atau salah satunya. Akan tetapi, perlu dingat pula bahwa dalam kasus-
kasus tertentu, ada kalanya penggunaan bukti elektronik lebih tepat dibandingkan penggunaan hasil cetak
dari Informasi tau Dokumen Elektronik karena Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut dapat
memberikan informasi yang tidak dapat diberikan apabila Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut
dicetak.
Dalam permasalahan selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai bukti elektronik yang mana yang
digunakan di persidangan, apakah yang dalam bentuk originalnya ataukah yang telah dicetak? Hal ini
tentunya dapat dilihat kasus per kasus. Salah satu contoh dalam kasus perampokan yang terekam dalam
CCTV, maka dokumen elektronik yang terekam oleh CCTV sebailnya disajikan dalam bentuk
originalnya. Video dapat berisi gambar bergerak dan bersuara. Penggunaan bukti elektronik dalam bentuk
originalnya ini akan memudahkan aparat penegak hukum dalam memahami fakta hukum yang terekam
dalam video tersebut. Aparat penegak hukum juga dapat mencetak setiap gerakan pelaku pada saat
melakukan aksi perampokan yang terekam, tetapi ini tentunya akan membutuhkan kertas yang sangat
banyak sehingga tidak efektif.
Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu penggunaan hasil cetak dari Informasi atau Dokumen
Elektronik lebih memudahkan apart penegak hukum dalam menyajikannya di persidangan. Salah satu
contohnya dalam tindak pidana pemerasan yang dikirimkan lewat SMS atau email. Dalam kasus seperti
ini, penggunaan dan penyajian hasil cetak dan SMS atau email yang diperoleh dari suatu telepon
genggam (handphone) atau komputer lebih memudahkan apart penegak hukum dalam menilai fakta
hukum. Pada prinsipnya SMS atau email sama dengan tulisan, tetapi dalam bentuk elektronik. Oleh
karena itu, sepanjang SMS dalam handphone yang dimaksud sudah diperiksa integritas, ketersediaan, dan
keotentikan atau keoriginalan serta relevansinya dengan kasus yang diperkarakan, maka hasil cetak SMS
itupun sudah cukup sebagai alat bukti., Polisi atau jaksa tidak perlu membawa, memperagakan serta
menunjukkan SMS dalam handphone tersebut di persidangan karena akan membutuhkan waktu dan biaya
yang lebih besar.
Dengan demikian, suatu bukti elektronik agar dapat dijadikan sebagai bukti di persidangan maka
harus memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
yaitu persyaratan formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau Dokumen
Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.
Sedangkan persyaratan materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 U ITE, yang pada intinya
Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan
ketersediaannya.
Dalam satu transalsi elektronik akan ada begitu banyak informasi yang tercatat atau terekam di
banyak alat dan perangkat. Semakin banyak transaksi maka akan semakin banyak informasi. Apabila
seseorang melakukan hacking terhadap wibsite satu instansi pemerintah melalui laptop dengan
menggunakan mobile modem, aktivitas pelaku sebenarnya tercatat di banyak tempat mulai laptop pelaku,
SIM card modem yang digunakannya, penyelenggara telekomunikasi yang menyediakan layanan jasa
internet, dan server wibsite yang diserang bersama dengan catatan aktivitas-aktivitas lainnya. Oleh karena
itu, seperti mencari jarum ditumpukan jerami, aparat penegak hukum harus mencari informasi yang
relevan dengan tindak pidana di antara informasi yang terekam, informasi yang menunjukkan adanya
tindak pidana dan menunjukkan pelaku tindak pidana.
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, bila tidak ditangani dengan benar, dapat berubah,
rusak, atau hilang. Jika informasi tersebut hilang dan tidak dapat ditemukan kembali maka aparat penegak
hukum tidak dapat memperoleh alat bukti elektronik, jika informasi tersebut berubah atau rusak maka
informasi yang dimaksud tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Oleh karena itu, aparat penegak
hukum harus mencari, mengumpulkan, dan menganalisis informasi dengan cepat dan tepat.
Association of Chief Police Officers (ACPO) memberikan empat prinsip dalam penanganan bukti
elektronik, Pertama, semua penanganan terhadap bukti elektronik (yaitu data yang diperoleh dari
komputer atau media penyimpanan, atau alat dan perangkat elektroniklain) yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum tidak boleh mengakibatkan adanya perubahan atau kerusakan terhadap data agar dapat
diterima di pengadilan. Dengan demikian, data yang diperoleh pada waktu penyidikan sama dengan data
yang dihadirkan di persidangan. Penanganan yang tidak tepat terhadap data dapat merusal,
menghilangkan, ataupun mengubah data. Sama seperti dalam penyidikan tindak pidana konvensional,
ketika memasuki tempat kejadian perkara (TKP), penyidik perlu, misalnya, menggunakan sarung tangan
agar sidik jarinya tidak menempel pada gelas atau kaca yang berada di TKP. Penyidik juga perlu
memasukkan barang bukti yang mudah pecah dalam tempat yang aman schingga tidak rusak. Demikian
juga dengan data, ketika komputer dalam keadaan hidup, penyidik perlu melakukan forensic dalam
keadaan hidup karena apabila komputer dimatikan, data-data yang bersifat volatile dapat hilang.
Kedua, dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengakses data original yang terdapat dalam
komputer atau media penyimpanan, orang yang dimaksud harus memiliki kompetensi untuk
melakukannya, dan harus mampu memberikan penjelasan mengenai relevansi tindakannya terhadap data
dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam penyidikan konvensional, tidak semua penyidik dapat masuk ke
dalam TKP dan memeriksa serta mengumpulkan barang bukti, hanya orang yang memiliki kompetensi
yang dapat melakukan tindakan-tindakan tersebut. Misalnya, ketika ditemukan mayat dalam keadaan
telungkup, penyidik yang tidak memiliki kompetensi di bidang kedokteran forensik seharusnya tidak
memindahkan mayat, tetapi menunggu ahli kedokteran forensik untuk memeriksanya, termasuk
menentukan waktu dan penyebab kematian.
Prinsip ketiga adalah bahwa harus ada prosedur dan proses yang jelas yang diterapkan untuk
mengumpulkan dan menganalisis alat bukti elektronik. Prosedur yang dimaksud memuat penanganan alat
bukti elektronik mulai dari penemuan barang bukti (komputer, telepon genggam, USB, router, atau
laptop) yang mengandung alat bukti elektronik, pembungkusan barang bukti, pemeriksaan, analisis, dan
pelaporan. Dengan demikian, setiap pihak yang berkepentingan dapat memeriksa proses dan prosedur
yang dimaksud dan memperoleh hasil yang sama. Terakhir, harus ada pihak atau pejabat yang
bertanggung jawab untuk memastikan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan serta keseluruhan proses dan prosedur yang dimaksud.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan barang bukti yang menyimpan alat bukti
elektronik ialah bahwa ada begitu banyak jenis alat dan media yang menyimpan informasi. Tidak hanya
komputer, laptop, handphone, atau USB, tetapi juga router, modem, kamera digital, hard disk eksternal,
CD atau DVD, serta PDA. Mengingat ada begita banyak jenis media penyimpanan informasi dan
teknologi, penanganannya pun memiliki karakteristiknya masing-masing.
Metode pembuktian terhadap bukti, elektronik memerlukan peranan digital forensik yang secara
singkat diterapkan untuk mengumpulkan, mengolah, serta menyajikan alat bukti elektronik untuk
kepentingan penegakan hukum. Mengingat luasnya pembahasan digital forensik dalam penyidikan, dalam
bagian ini hanya dibatasi pada prinsip-prinsip dalam digital forensik.
Secara umum, digital forensik in dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut.
1. Komputer forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap komputer, laptop, atau hard disk dan
media penyimpanan sejenis.
2. Mobile forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap telepon genggam.
3. Network forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap jaringan komputer.
4. Audio forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap suara.
5. Image forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap gambar.
6. Video forensik, yaitu forensik yang dilakukan terhadap video dan CCTV.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa bukan tujuan membahas masing-masing karakteristik
forensik. Akan tetapi, untuk memberikan gambaran umm dalam bagian ini dijelaskan secara ringkas
tahap-tahap digital forensik. Berdasarkan prinsip ACPO yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan
prinsip ini, prosedur digital forensik terbagi tiga tahap besar, yaitu sebagai berikut.
1. Pengambilan (Acquisition)
Mengingat sifatnya yang dapat diubah, dirusak, atau dihilangkan apabila tidak ditangani dengan
tepat, pengambilan Informasi atau Dokumen Elektronik harus dilakukan dengan menjaga dan
melindungi keutuhan atau integritasnya. Tahap in dimaksudkan untuk mengambil dan
mengamankan alat bukti elektronik asli (original). Cara atau prosedur pengambilan alat bukti
elektronik original dapat didasarkan pada kondisi awl ditemukannya alat bukti elektronik atau
alat/perangkat yang menyimpan alat bukti elektronik tersebut. Untuk memberikan gambaran,
sebagai contoh, ACPO memberikan prosedur penanganan terhadap komputer yang ditemukan
dalam keadaan menyala dan dalam keadaan mati, antara lain sebagai berikut.

Terhadap komputer yang ditemukan dalam Terhadap komputer yang ditemukan dalam
keadaan menyala: keadaan mati:
1. mengamankan area tempat komputer 1. memastikan bahwa komputer dalam
berada; keadaan mati (bukan dalam keadaan
2. memindahkan orang-orang dari komputer standby atau sleep), ada kemungkinan
dan dari lokasi power supply; laptop dalam keadaan mati, jika laptop
3. mengambil gambar atau video dari sisrem dibuka, proses akan berjalan kembali;
komputer dan semua komponen- 2. mengamankan area tempat komputer
komponennya; jika tidak ada kamera, berada;
dapat membuat sketsa komputer dan 3. memindahkan orang-orang dari komputer
sistem; dan dari lokasi power supply;
4. memeriksa adanya cacatan mengenai 4. mengambil gambar atau video dari sistem
password disekitar komputer; komputer dan semua komponen-
5. dapat bertanya kepada pengguna komputer komponennya; jika tidak ada kamera,
mengenai sistem komputer termasuk dapat membuat sketsa komputer dan
password dan mencatat semua sistem;
keterangannya; 5. memberikan label terhadap semua
6. mencatat tampilan yang ada di layar komponen, termasuk port dan kabel;
monitor komputer; 6. jangan menyalakan komputer, apapun
7. jangan menekan tombol keyboard atau kondisinya;
mouse; jika komputer terlihat mati, dapat 7. memindahkan baterai (sumber listrik) dari
menggerak-gerakkan mouse, setelah itu komputer;
dicatat tindakan menggerakkan mouse; 8. cabut sumber listrik serta alat dan
8. selama dimungkinkan, kumpulkan data perangkat lain dari soket komputer;
yang dapat hilang ketika sumber listrik 9. memeriksa adanya cacatan mengenai
dicabut; terhadap tindakan ini harus password disekitar komputer;
dilakukan pencatatan; 10. memberikan label terhadap port dan kabel
9. membiarkan printer menyelesaikan sehingga komputer dapat dikontruksikan
pencetakan terhadap dokumen yang di kemudian hari baik oleh ahli forensic
diperintah komputer; maupun berdasarkan kebutuhan
10. mencatat seluruh proses dan tindakan pengadilan;
secara detail. 11. mencatat seluruh proses dan tindakan
secara detail.
2. Pemeriksaan dan Analisis
Pemeriksaan terhadap alat bukti elektronik original umumnya menggunakan perangkat keras dan
perangkat lunak yang khusus dibuat untuk kepentingan digital forensic. Pada tahap ini,
pemeriksaan melakukan ekstraksi, yaitu mengambil seluruh data dari media di mana data tersebut
tersimpan, termasuk data yang telah terhapus sebelumnya. Pemeriksa juga perlu menggunakan
write blocker, yaitu alat yang digunakan untuk mencegah penulisan terhadap data original. Selain
itu, dalam melakukan pengambilan data, pemeriksa juga perlu menentukan nilai dari keseluruhan
data yang diambil (hash). Nilai (hash) dari data original akan sama dengan nilai dari hasil
ekstraksi. Sehingga, apabila diperlukan pemeriksaan ulang oleh pemeriksa yang berbeda
(misalnya pemeriksa dari advokat tersangka), nilai dari alat bukti elektronik tersebut akan sama.
Setelah alat bukti elektronik original diperoleh, pemeriksaan terhadap alat bukti elektronik harus
dilakukan dengan membuat salinan (copy) dari informasi atau dokumen elektronik yang asil
(original).

Setelah pengambilan informasi tau dokumen elektronik dilakukan, tahap selanjutnya ialah
pemeriksaan dan analisis terhadap alat bukti elektronik. Pemeriksaan dilakukan terhadap salinan
dari alat bukti elektronik yang asli. Pemeriksa juga dapat membuat salinan dari salinan alat bukti
elektronik sebagai bahan kerja. Pada tahap ini, pemeriksa juga melakukan analisis, yaitu adalah
mengintepretasikan informasi yang telah diekstraksi dan menentukan informasi atau data yang
relevan dengan tindak pidana. Tergantung dari jenis tindak pidana, dalam tahap ini, pemeriksa
mencari informasi elektronik atau dokumen elektronik yang menunjukkan adanya tindak pidana
atau menunjukkan pelaku tindak pidana. Misalnya, dalam tindak pidana penyebaran pornografi,
pemeriksa harus menemukan adanya file-file pornografi dalam komputer, laptop, atau USB
pelaku. Untuk membuktikan adanya penyebaran, pemeriksa dapat mencari rekaman email yang
masih tersimpan dalam komputer pelaku, Dari rekaman email tersebut, pemeriksa dapat
mengetahui penerima email. Dalam tindak pidana akses ilegal, pemeriksa harus menemukan
adanya rekaman aktivitas transaksi elektronik (log file) yang menunjukkan bahwa pelaku, dengan
menggunakan IP tertentu, berhasil mengakses suatu wibsite secara illegal.

3. Dokumentasi dan Presentasi


Setiap tindakan yang dilakukan dalam pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik harus
didokumentasikan secara akurat dan menyeluruh. Tidak hanya tindakan dalam melakukan digital
forensik, tetapi juga tindakan yang terkait dengannya, misalnya serah terima komputer dari
petugas yang mengambil barang di tempat kejadian perkara kepada pemeriksa forensik.

Laporan dapat memuat proses dan tahapan yang dilakukan dalam pemeriksaan, termasuk alat
dan perangkat yang digunakan. Selain itu, laporan juga perlu memuat informasi mengenai
keseluruhan data yang diperoleh serta data yang relevan dengan tindak pidana.

Penanganan yang tidak teat terhadap komputer yang menyala dapat menghilangkan Informasi
Elektronik yang sifatnya volatil. Tidak diberinya label terhadap komponen serta kabel atau port
dari alat dan perangkat yang telah dipreteli di tempat kejadian perkara dapat menyulitkan analis
digital forensik untuk menyusun kembali perangkat tersebut di laboratorium forensik. Demikian
juga pencatatan yang tidak lengkap dapat menimbulkan keraguan bagi para pihak di persidangan
terhadap hasil foresik yang dilakukan.
Dalam pengumpulan bukti elektronik, penyidik akan menemukan berbagai informasi, bail yang
relevan dengan tindak pidana, maupun yang tidak relevan. Terkait dengan hal ini, penyidik harus
menjaga kerahasiaan informasi, khususnya informasi terkait privasi seseorang yang tidak relevan
dengan tindak pidana. Semua informasi yang tidak relevan tidak boleh diungkap di pengadilan.

Dalam pengumpulan dan pemeriksaan bukti elektronik, dalam banyak kasus di Indonesia,
penyidik memerlukan karjasama dengan penyelenggara telekomunikasi. Kembali kepada contoh
yang disebutkan sebelumnya tentang hacking terhadap wibsite satu instansi pemerintah melalui
laptop dengan menggunakan mobile modem. Penyidik mungkin mash dapat menemukan jejak-
jejak pelaku, seperti Internet Protocol (IP) yang digunakan pelaku untuk mengakses wibsite dan
waktu pengaksesan wibsite. IP pelaku yang tercatat adalah IP publik. Pengguna IP publik dapat
dicari melalui layanan whois dan dari layanan tersebut penyidik dapat mengetahui pemilik IP
publik. Mengingat pelaku menggunakan mobile modem, penyidik hanya dapat mengetahui dari
layanan whois penyelenggara telekomunikasi yang menggunakan IP publik tersebut. Berdasarkan
informasi yang ia peroleh, penyidik. harus menghubungi penyelenggara telekomunikasi yang
dimaksud untuk memperoleh rekaman transaksi elektronik (log file) dari modem yang digunakan.
Selain itu, penyelenggara juga dapat memberikan informasi mengenai identitas yang diberikan
oleh pengguna layanan telekomunikasi pada waktu mendaftar SIM card untuk kali pertama.

Sebagaimana dikatakan bahwa keberadaan Dokumen Elektronik dalam proses persidangan


haruslah valid. Hal in disebabkan oleh karena:
a. Suatu dokumen elektronik menjadi akurat dan terpercaya bila sistem yang digunakan dalam
operasional dikeluarkan oleh sebuah sistem elektronik yang akurat dan terpercaya pula.
b. Di dalam pelaksanaan sebuah sistem elektronik haruslah tersertifikasi sehingga dokumen
elektronik yang dikeluarkan darinya dapat dipercaya keberadaannya.
c. Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa dokumen elektronik juga menyangkut aspek
validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus
dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang
disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah
direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.
Menurut penulis tahapan yang harus dilalui untuk menentukan kevalidan suatu bukti elektronik
adalah sebagai berikut.
a. Dokumen elektronik atau alat perekam harus sesuai dengan standarisasi.
b. Harus dibaca oleh ahlinya.
c. Ahli tersebut harus bersertifikasi.
d. Alat yang digunakan untuk membaca bukti elektronik tersebut sesuai dengan standar.
e. Proses pembacaan bukti elektronik harus benar.
f. Laboratorium atau tempat fasilitas pembacaan bukti elektronik sesuai dengan standarisasi.
Kevalidan suatu bukti elektronik sangat menentukan proses pembuktian untuk menentukan salah
tidaknya seorang pelaku tindak pidana. Jadi dengan demilian valid tidaknya bukti elektronik yang akan
diajukan di depan persidangan akan menentukan tingkat keabsahan suatu bukti dalam pembuktian di
depan persidangan. Untuk menentukan kevalidan bukti alektronik di depan persidangan: Dongan
demikjan, ada beberapa tahapan yang harus dilalui schingsa bulkti elektronik tersebut dapat dikatakan
valid dan tidak meragukan hakim di persidangan dalam proses penjaruhan pi- dana terhadap pelalu yang
bersalah melakukan suaru rindak pidana.
D. Keabsahan Bukti Elektronik
Alat bukti merupakan salah satu variabel dalam sistem pembuktian, sehingga perkembangan yang terjadi
dalam lalu lintas hukum keperdataan dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik dalam
masyarakat khususnya di bidang perdagangan dan perbankan akan mempengaruhi sistem pembuktian.
Dalam sistem pembuktian dikenal 2 (dua) macam pembuktian, yaitu pembuktian secara formil
dan pembuktian secara materil. Selama ini pembuktian yang dianut dalam proses penyelesaian perkara
perdata adalah pembuktian formal yang hanya mencari kebenaran secara formal semata.
Ada pandangan bahwa hukum pembuktian, termasuk hukum pembuktian dalam setiap sistem
hukum pidana, merupakan suatu pokok kajian yang sulit dan kompleks. “The law of evidence is a subject
which presents considerable difficulty and complexity”. Pandangan tersebut mengandung kebenaran. Di
dalam sistem hukum pidana misalnya pembuat Undang-Undang ITE, mengakui pandangan mengenai
hukum pembuktian sebagaimana dikemukakan di atas.
Dalam Penjelasan Umum Paragraf Kedua Undang-Undang ITE, diketengahkan permasalahan
pokok yang dihadapi dunia hukum mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer
dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan pemanfaatan teknologi
informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.
Persoalan dimaksud seringkali dihadapi oleh hakim di pengadilan, untuk dapat memiliki mengenai alat
bukti elektronik sebagai alat bukti yang akan digunakan dalam proses peradilan pidana, ketika terkait
dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transalsi secara elektronik, khususnya hal
pembuktian, alat bukti dan keabsahan pembuktian perbuatan hukum yang sudah barang tentu meliputi
pula perbuatan dalam bidang hukum pidana yaitu antara lain tindak pidana yang dilakukan melalui sistem
elektronik, baik yang offline maupun yang terhubungan dengan sistem jaringan teknologi telekomunikasi
(online).
Yang dimaksudkan dengan Sistem Elektronik menurut Paragraf Ketiga Penjelasan Umum
Undang-Undang ITE adalah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak komputer tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem
komunikasi elektronik. Kompleksitas yang dihadapi oleh hukum pembuktian itu terlihat dari kecanggihan
objek yang harus diatur oleh hukum, termasuk, sudah barang tentu objek yang harus diatur oleh hukum
pembuktian. Manakala terjadi suatu tindak pidana, maka dalam Undang-Undang TE ditentukan bahwa
tindak pidana itu berkaitan dengan perangkat lunak atau program komputer. Penjelasan Undang-Undang
ITE tersebut berisi rumusan bahwa perangkat lunak yang tidak dapat ditinggalkan oleh hukum dalam
persoalan hukum pembuktian itu adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa,
kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungi khusus atau untuk mencapai
hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Ada pengakuan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang ITE bahwa selama in dunia hukum,
termasuk dunia hukum pembuktian atau the law of evidence yang dipergunakan dalam sistem hukum
pidana menghadapi kerumitan dan kompleksitas aktifitas manusia dan masyarakat dalam pemanfaatan
teknologi yang didominasi sifat virtual yaitu dengan jalan penafsiran.
Dalam Penjelasan Umum Paragraf Kelima Undang-Undang ITE dikemukakan pula bahwa dunia
hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan norma, termasuk asas-asas dan
norma-norma atau kaidah dalam pembuktian ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak
berwajud, misalnya dalam kasus peneurian listrik sebagai perbuatan pidana.
Aliran listrik itu ditafsirkan dengan jalan perluasan menjadi benda. Namun demikian, seperti
diakui sendiri di dalam Undang-Undang ITE, bahwa jalan ponatsiran seperti itu barangkali masil
menin/bulkan persoalan dan memiliki banyalk: kelerahan, jika dihubungkan dengan kenyataan kegiatan
siber (cyber). Dicontohkan di dalam Penelasan Umum Undang-Undang ITE tersebut balwa pencurian
dana kart kredit melalui pembeanjaan di internet, tidak sama dan tidak semudah apa. yang dipergunakan
dalam memahami pencurian listrik. Kegiatan siber, termasuk kejahatan tau tindak pidananya, tidak lagi
dibatasi oleh teritori atau wilayah suatu negara. Dunia siber saat in mudah dikunjungi dan diakses oleh
siapa pun dan dari, manapun. Kerugian atau korban tindak pidana dapat terjadi baik pada pelaku transalsi
elektronik misalnya, demiktian pula dapat menimpa orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi.
Oleh karena itu, tapa meninggalkan aspek hukum lainnya, Undang-Undang IT menaruh perhatian
dan priotiras yang terbesar kepada issue hukum pembuktian (the law of evidence). Di dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang ITE dikemukakan secara khusus bahwa pembuktian merupakan faktor yang
sangat penting. Penjelasan Umum tersebut menekankan bahwa pentingnya pembuktian dan pemberian
prioritas terhadap aspek tersebut mengingat Informasi Elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam
sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan.
Secara sangat eksplisit, Undang-Undang ITE justru merumuskan bahwa saat ini telah lahir suatu
rezim hukum baru. Dalam alinea kedua, Penjelasan Umum Undang-Undang ITE, ada semacam arahan
oleh Undang-Undang ITE untuk mencari dan menemukan apa yang disebut dengan rezim hukum
pembuktian dalam sistem hukum pidana Indonesia baru itu.
Kerumitan dan kompleksitas hukum pembuktian atau the law of evidence, lebih-lebih lagi
menyangkut issue keabsahan bukti elektronik (electronic evidence) dalam sistem hukum pidana di
Indonesia semakin terasa manakala diperhatikan pula kemuktahiran sifat virtual dari ruang siber atau
cyber space, seperti keterkaitan yang sepintas telah dikemukakan di atas.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Undang-Undang ITE Paragraf Keenam dikemukakan
bahwa kegiatan melalui media sistem elektronik yang disebut juga rang siber atau syber space, meskipun
bersifat virtual tetapi dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Jadi
menurut penulis, isyarat dibalik rumusan ketentuan Undang-Undang ITE itu sesungguhnya adalah
"pengumuman" tentang kemunculan, jikalau tidak mau dikatakan sebagai kelahiran spesies baru yang
lama sudah ada, namun muncul ke permukaan dalam dunia hukum, termasuk pula ke permukaan dalam
bidang hukum pembuktian atau the law of evidence.
Tidaklah keliru apabila orang mulai meragukan atau menyangsikan keabsahan hukum, termasuk
keabsahan hukum pembuktian dalam menopang, mengatur dan mengendalikan aktifitas manusia dan
masyarakat dalam dunia siber dimaksud. Transisi demikian itu, telah melahirkan banyak pemikiran
mengenai hukum dan keadilan, tidak terkecuali filsafat hukum, yaitu keadilan dalam pembuktian dan
keabsahan hukum pembuktian atau the philosophy of the law of ewidence, khususnya keabsahan hukum
pembuktian dari alat bukti bar dalam sistem hukum positif Indonesia, yang dalam buku ini dikatakan
sebagai bukti elektronik (electronic evidence), yang menjadi latar belakang yang perlu diungkap secara
tuntas. Perkembangan pemikiran tentang hukum, dalam hal ini hukum pembuktian, dan lebih khusus lagi
hukum pembuktian yang berkaitan dengan alat-alat bukti dan nilai tau keabsahan pembuktian
konvensional dalam sistem hukum pidana Indonesia dibandingkan (comparative analysis of law) dengan
bukti elektronik dan nilai tau keabsahan pembuktian merupakan suatu keniscayaan.
M. Yahya Harahap, mengemukakan pandangan hukumnya sebagai berikut:
“Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidama (KUHAP) telah menentukan
secara "limitatif" alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan dengan demikian di luar alat
bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa", makka
muncul persoalan, dengan adanya kehadiran alat bukti elektronik atau electronic evidence, sudah
barang tentu menurut logika konvensional hal itu berarti bahwa alat bukti electronic evidence
tidak diperkenankan sebagai alat bukti dan juga tidak mempunyai nila atau memiliki keabsahan
hukum pembuktian. Soalnya, menurut Harahap "Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang
dibenarkan mempunyai "keabsahan pembuktian", hanya terbatas pada alat-alat bukti pada Pasal
184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saja. Pembuktian dengan alat bukti di
luar jenis alat bukti konvensional yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), menurut Yahya Harahap
tidak mempunyai nilai, serta tidak mempunyai keabsahan pembuktian yang mengikat."
Oleh sebab itu, seperti apakah wujud perkembangan pemikiran dari hukum pembuktian yang
konvensional dalam hukum pidana menyangkut pembuktian siber itu, maka hal inilah yang menjadi
pembahasan dalam buku ini.
Mendukung hal itu, perlu pula dikemukakan kembali di sini bahwa apa yang sudah dikemukakan
dalam Penjelasan mum Undang-Undang ITE, tentang pendekatan dan ukuran yang harus digunakan oleh
hukum dalam menghadapi perkembangan di atas, sebagai berikut:
"Secara yuridis kegiatan pada rang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi
hukum konvensional saja sebab jika cara ini, atau jika cara konvensional yang ditempuh akan
terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang
siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat
elektronik. ... adanya dokumen elektronik yang kedudukkannya diserarakan dengan dokumen
yang dibuat di atas kertas"
Undang-Undang ITE telah mengatur bahwa upaya paksa yang dapat digunakan aparat penegak
hukum untuk memperoleh bukti elektronik ialah melalui penggeledahan dan penyitaan sistem
elektroniklos atau melalui intersepsi atau penyadapan. 1 Penyidik menggunakan cara penggeledahan dan
penyitaan apabila sudah mengetahui secara jelas sumber bukti elektronik tersebut (lokasi komputer,
laptop, USB, server milk tersangka, korban, atau saksi). Sedangkan berdasarkan batasan-batasan yang
diatur dalam perundang-undangan, intersepsi atau penyadapan dapat digunakan oleh aparat penegak
hukum sebagai cara mengumpulkan informasi dan keterangan terkait dengan suatu tindak pidana
(tersangka, tindak pidana yang dipersangkakan, saksi, lokasi tindak pidana), informasi tersebut dapat
dijadikan alat bukti.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pembuktian di Indonesia,
kesalahan terdakwa ditentukan oleh minimal dua alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan
hakim. Keabsahan alat bukti didasarkan pada pemenuhan syarat dan ketentuan baik segi formil maupun
materil. Prinsip ini juga berlaku terhadap pengumpulan dan penyajian bukti elektronik baik yang dalam
bentuk original maupun hasil cetaknya, yang diperoleh baik melalui penyitaan maupun intersepsi.
KUHAP telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai upaya paksa penggeledahan dan penyitaan
secara umum, tetapi belum terhadap Sistem Elektronik.
Lahirnya Undang-Undang ITE merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan
menanggulangi maraknya cyber crime saat ini, terutama dalam proses penegakan hukumnya/ proses
beracaranya. Dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang ITE, disebutkan bahwa Informasi Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic main), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan mengenai Dokumen Elektronik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir (4)
Undang-Undang ITE, adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol
atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami aleh orang yang mampu memahaminya.
Dari pengertian mengenai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut di atas terlihat
perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya, yaitu sebagai berikut.
1. Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan
Dokumen Elektronik.
2. Informasi Elektronik jalah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk.
3. Dokumen Elektronik jalah wadah atau "bungkus" dari Informasi Elektronik.
4. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua
informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan
Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.
Keberadaan Dokumen Elektronik menjadi akurat dan terpercaya bila sistem yang digunakan
dalam operasional dikeluarkan oleh sebuah sistem elektronik yang akurat dan terpercaya pula. Di dalam
pelaksanaan sebuah sistem elektronik haruslah tersertifikasi shingga dokumen elektronik yang
dikeluarkan darinya dapat dipercaya keberadaannya. Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa
dokumen elektronik juga menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik
mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena
bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah
direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.
Dari ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 5 UU ITE, maka dapat dikelompokan sebagai
berikut.
1. Adanya bentuk bukti elektronik berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
2. Adanya hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik.
3. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut akan menjadi alat bukti elektronik.
4. Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.
Alat bukti yang selama ini dikenal sebagai bukti fisik telah diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan berlakunya Undang-
Undang ITE maka terdapat perluasan alat bukti berupa bukti elektronik yang dapat dipergunakan dalam
pembuktian di persidangan.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia. Adapun maksud dari perluasan alat bukti tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Menambah alat bukti sebagaimana yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia,
misalnya dalam Pasal 184 KUHAP sudah dijelaskan secara jelas alat-alat bukti dalam perkara
pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, sehingga
dengan adanya pengaturan bahwa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti elektronik (electronic evidence) maka
menambah jenis alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia,
misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat
bukti surat yang diatur dalam KUHAP.

Dengan demikian Undang-Undang ITE telah menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan suatu alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai
dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di
muka persidangan. Hal ini berarti bahwa bukti élektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
apabila diajukan di depan persidangan.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai
perundang-undangan secara tersebar, misalnya dalam Undang-Undang Dokumen Perusahaan, Undang-
Undang Terorisme, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang, Selain itu Undang-Undang ITE secara tegas menegaskan bahwa dalam seluruh
hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat
dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan
alat bukti hukum yang sah di persidangan?
Sejatinya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Informasi dan Dokumen Elektronik
memenuhi ketentuan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum yaitu dipenuhinya 2 (dua) syarat yaitu
sebagai berikut.
1. Dipenuhinya syarat formil sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE
yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut
perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.
2. Dipenuhinya syarat materil yaitu sebagaimana diatur di dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-Undang ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin
keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya.
Oleh karena itu ketentuan dan persyaratan formil dan materil mengenai alat bukti elektronik harus
mengacu kepada KUHAP, Undang-Undang ITE, dan undang-undang lain yang mengatur secara spesifik
mengenai alat bukti elektronik tersebut, sehingga buku ini membatasi hanya kepada ketentuan dan
persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang IT saja.
Yang dimaksud dengan persyaratan materil ialah ketentuan dan persyaratan yang dimaksudkan untuk
menjamin keutuhan data (integrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan
(authenticity). dan keteraksesan (accessibility) informasi atau dokumen elektronik dalam proses
pengumpulan dan penyimpanan dalam proses penyidikan dan penuntutan, serta penyampaianna anti di
sidang pengadilan.
Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital
forensik. Berkaitan dengan digital forensik, merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan supaya
Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan persidangan, maupun dalam proses persidangan perdata. Tanpa melalu digital forensic, maka suatu
Dokumen Elektronik tidak dapat digunakan sebagai alat bukti karena tidak dapat dijamin kesahihan dari
Dokumen Elektronik tersebut.
Walaupun hakim tidak harus menguasai secara mendalam mengenai digital forensils, namun
setidatinya mengetahui pengertian, fungsi dan cara kerija dari digital forensil:. Harus dipahami pula,
bahwa sebayaimana manusia, sistem komputerisasi di dunia juga tidak ada yang sempurna (no system is
perfect), yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang komputer, maka akan semakin mudah pelalau kejahatan mencari kelemahan-kelemahan dari
suatu sistem elektronik maupun non-elektronik
Digital forensik dapat diartikan sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi
komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan investigasi kasus-kasus computer crime
dan/atau computer related crime.
Computer crime dan computer related crime, merupakan istilah yang serupa namun tidak
menggunakan komputer sebagai alat utama untuk melakukan aksi kejahatannya, misalnya defacement
(pengubahan halaman-halaman suatu situs secara ilegal), denial distributed of service (membuat suatu
sistem tidak berjalan atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibanjiri data oleh sekian banyak
komputer yang telah terinfeksi dan menjadi reboot network), keylogging (merekam setiap aktivitas
pengetikan di keyboard dan aplikasi yang tertampil di layar), identity theft (pencurian data-data penting
dari orang-orang yang menjadi target), intrusion (masuk secara ilegal ke dalam suatu sistem) dan mash
banyak lainnya. Sedangkan computer related crime (kejahatan terkait komputer) adalah segala macam
kejahatan tradisional seperti pencurian, pornografi, perampokan, pembunuhan, korupsi, narkotika, dan
sebagainya yang dalam kejahatan tersebut terdapat barang bukti berupa alat elektronik seperti handphone
dan komputer yang digunakan oleh pelaku untuk saling berkomunikasi atau menyimpan data yang
berkaitan dengan perencanaan, proses dan hasil kejahatannya.
Oleh karena itu digital forensik diperlukan sebagai sarana mengaplikasikan ketentuan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan
bahwa:
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa
suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas
semata, padahal pada hakilkatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja,
termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya
tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara
penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dengan aslinya. Oleh
sebab itu perlu pemahaman mengenai dasar-dasar di dalam melakukan digital forensik sehingga dapat
diperoleh keyakinan bahwa suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik benar-benar dapat
dipercaya sebagai alat bukti, dan yang utamanya dapat dipercaya sebagai alat bukti di persidangan.
Salah satu tugas dari hakim adalah menilai alat bukti yang diajukan di persidangan, baik itu
persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian di dalam
menilai alat bukti yang diajukan di persidangan, terutama alat bukti yang berupa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik, sehingga kita mendapatkan keyakinan bahwa alat bukti berupa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diajukan di persidangan merupakan alat bukti yang dapat
dipergunakan untuk membuktikan suatu keadaan dari suatu perkara.
Pada dasarnya untuk melakukan digital forensik dibutuhkan suatu pendidikan dan pelatihan khusus
yang menghasilkan sertifikasi dari setiap orang yang mengikuti pendidikan dan pelatihan digital forensik
tersebut. Tidak setiap orang yang mengerti dan ahli di bidang komputer dapat diandalkan atau dapat
melakukan digital forensik dan di dalam persidangan pun, apabila diajukan ahli yang akan menerangkan
mengenai digital forensik, harus terlebih dahulu ditanyakan mengenai catatan akademiknya yang harus
berkaitan dengan ilmu komputer dan sertifikasi dari ahli yang bersangkutan. Apabila ahli tersebut tidak
memiliki catatan akademik yang berkaitan dengan ilmu komputer dan memiliki sertifikasi tentang digital
forensik, maka pendapat yang disampaikan di persidangan patut untuk dikesampingkan.
Harus pula dipahami, meskipun aplikasi tools mengenai digital forensic dapat diperoleh dengan
melakukan download dari situs-situs di internet, akan tetapi terhadap seseorang yang akan dijadikan ahli
di persidangan, tetap haruslah orang yang memiliki sertifikasi tentang digital forensik. Mengenai
sertifikasi tentang digital forensik sendiri, untuk di Indonesia sampai sat ini bar dapat diperoleh dari
pelatihan digital forensik yang dilakukan oleh Mabes Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo), selain itu hanya bisa didapatkan dari pelatihan yang diadakan di luar negeri seperti di
Inggris atau Amerika Serikat.
Di dalam digital forensik terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang harus dilakukan oleh orang yang
melakukan kegiatan digital forensik. Ketiga tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Write Protect, yang dapat diartikan sebagai mengunci data asal dari Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik sebelum melakukan digital forensic. Write Protect dilakukan agar
data asal yang akan dilakukan digital forensic tidak mengalami perubahan, baik itu penambahan,
pengurangan maupun penghapusan data.
2. Forensic Imaging, yang dapat diartikan sebagai tindakan untuk mendapatkan data yang serupa
dari data asal atau dikenal dengan istilah conning. Forensic Imaging ini dilakukan terhadap data
asal yang sudah di Write Protect, dari Forensic Imaging ini akan didapatkan data yang identik
dengan data asal yang disebut Image File. Di Kepolisian RI sendiri terdapat Peraturan
Kapuslabfor Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Operating Procedure (SOP) dalam
melakukan Forensic Imaging.
3. Verifying, yang dapat diartikan sebagai tahapan untuk menilai hasil dari Forensic Imaging, yaitu
data yang di Conning harus identik dengan data asal. Untuk mengetahui identik atau tidak
identik, dapat dilihat dari nilai hasil dari Image File.
Dari ketiga tahapan tersebut, maka di dalam persidangan, hakim dapat menanyakan kepada ahli
mengenai tahapan dari digital forensic yang dilakukan selama proses penyelidkan dan penyidikan.
Apabila ahli yang dihadirkan di dalam menjalankan digital forensik tidak melalui ketiga tahapan tersebut,
maka keterangan ahli tersebut harus dikesampingkan, karena pelaksanaan digital forensik tidak sesuai
dengan tahapan yang seharusnya karena apabila digital forensik tidak dilakukan dengan mengikuti ketiga
tahapan di atas, hasil data image file yang tidak identik dengan data asal karena dimungkinkan terjadi
penambahan, pengurangan atau penghapusan data asal. Apabila dalam persidangan terungkap fakta
bahwa data asli sudah terhapus, maka perlu dipertanyakan pula apakah ahli digital forensik telah
melakukan tahapan mencari data asal yang sudah terhapus tersebut atau dikenal dengan istilah data file
recovery, sebelum melakukan 3 (tiga) tahapan digital forensik sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Ketika di dalam persidangan terdapat alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan digital forensik namun ternyata data image file yang
diajukan tidak identik dengan data asal, maka di persidangan hakim harus mengesampingkan alat bukti
tersebut.
Beberapa bukti elektronik seperti e-mail, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik
lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Ada beberapa proses atau tahapan
untuk menilai apakah suatu alat bukti itu sah secara hukum ataukah tidak
Begitu pula halnya dengan bukti elektronik mempunyai tahapan pula agar dapat dikatakan sebagai
alat bukti yang valid, yaitu sebagai berikut.
1. Dokumen Elektronik/alat perekamnya harus sesuai dengan standarisasi yang telah ditentukan.
2. Bukti elektronik tersebut harus dibaca oleh orang yang memang ahlinya.
3. Ahli yang membaca bukti elektronik tersebut harus bersertifikasi.
4. Alat yang digunakan untuk membaca bukti elektronik tersebut sesuai dengan standarisasi untuk
pembacaan alat bukti elektronik
5. Proses pembacaan bukti elektronik itu harus benar.
6. Laboratorium atau tempat fasilitas pembacaan buikti elektronik harus sesuai dengan standarisasi
yang telah ditentukan.
Beberapa laboratorium atau tempat fasilitas pembacaan bukti elektronik sebagaimana disebuthan
harus dilakukan sesuai dengan tempat yang berstandarisasi. Sebagai contoh dapat kita lihat pada Ruman
Sakit sebagai pembaca data rekam medis ataupun yang berkaitan dengan obat yang berstandarisasi belum
banyak dapat membaca dengan baik, misalnya dalam membaca obat-obat tradisional seperti jam apakah
sesuai dengan standar kesehatan dan kelayakan yang telah ditentukan olch pemerintah, maka keberadaan
alat pembaca sangatlah penting memenuhi faktor tersebut.
Keberadaan alat pembaca bukti elektronik sangatlah penting pengaturannya. Untuk itulah maka agar
bukti elektronik yang dibaca itu tidak diragukan validitasnya, diperlukan beberapa hal, terutama pada:
1. Alat yang digunakan dalam membaca data-data bukti elektronik diharuskan pada temperatur
tertentu, misalnya antara -5 °C s.d. 20 °C, sehingga apabila alat tersebut harus bekerja di
temperatur 35 °C, maka alat tersebut belum tentu dapat bekerja dengan baik dalam membaca
data-data tersebut.
2. Ali yang membacanya, yaitu ahli digital forensik yang harus dapat melihat, apakah alat pembaca
data tersebut masih asli atau sudah dintervensi, misalnya dengan membaca keaslian suara orang,
yang ditandai dengan gelombang suara yang dikeluarkan dari orang tersebut, maka akan dapat
ditentukan asli atau tidaknya suara orang itu.
Hal lain yang dapat menimbulkan keragu-raguan hakim di persidangan dalam menentukan keabsahan
bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan adalah kemungkinan adanya perubahan dari bukti
elektronik tersebut. Berubahnya bukti elektronik dapat disebabkan oleh faktor sebagai berikut.
1. Karena adanya discontinue dalam pembacaan suara, seperti adanya suara yang terpotong atau
suara kosong, dan juga datanya asli tetapi sudah terpotong.
2. Bisa juga ada suara yang disambung, karena seharusnya tidak ada percakapan seperti itu tetapi
ternyata ada percakapan, sehingga yang seharusnya percakapan yang tidak ada jadi ada.
3. Pada saat jeda, Informasi Elektronik tersebut, datanya dapat dipermainkan, misalnya saja pada
kejadian gambar atau foto yang titiknya disambung, atau pada video yang gambarnya juga
disambung.
Dalam membaca bukti elektronik, maka diperlukan tempat membacanya yang dapat berupa
laboratorium digital forensik. Sementara ini di Indonesia ada 2 (dua) tempat fasilitas yang dapat
digunakan untuk membaca data-data bukti elektronik berupa digital forensik tersebut, yaitu:
1) Laboratorium Cyber Crime yang berada di Mabes Polri.
2) Laboratorium milk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Untuk pemeriksaan masalah apakah bukti elektronik itu masih asli ataukah sudah tidak asli lagi, maka
diperlukan adanya auditor yang khusus untuk melakukan audit teknologi terhadap bukti elektronik
tersebut.
Selain itu juga harus dilihat lagi sertifikasi dari tempat atau fasilitas pengujian pembacaan keaslian
suatu bukti elektronik. Sebagai contoh, pada produk air minum merek Aqua akan memperoleh SNI
(Sertifikat Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh BS (Badan Sertifikasi Nasional), kemudian pada
pemeriksaan obat atau jamu maka sertifikasinya akan dikeluarkan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat
dan Makanan).
Agar teknologi informasi yang memeriksa, membaca atau menguji validitas keaslian dari bukti
elektronik terus terjaga dari kesalahan, maka perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan audit terhadap
teknologi informasi tersebut; di mana permintaan untuk melakukan audit teknologi informasi tersebut
dapat dimintakan kepada Pusat Audit Tehnologi BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Tehnologi),
dengan wadah auditornya adalah Ikatan Auditor Tehnologi Indonesia (IATI).
Undang-Undang ITE sendiri mensyaratkan persyaratan minimum agar bukti elektronik dapat
digunakan sebagai alat bukti di persidangan adalah sebagai berikut.
1. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik secara utuh
sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keautentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi
Elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut.
4. Dilengkapi dengan prosedur tau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau
simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut.
5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis berpendapat bahwa ukuran atau parameter agar
bukti elektronik dapat digunakan sebagai bukti di persidangan adalah sebagai berikut.
1. Dapat diterima yaitu data harus mampu diterima dan digunakan demi hukum mulai dari
kepentingan penyelidikan sampai dengan kepentingan pemeriksaan di pengadilan.
2. Asli yaitu bukti elektronik tersebut harus berhubungan dengan kejadian/kasus yang terjadi dan
bukan rekayasa.
3. Lengkap yaitu bukti elektronik tersebut dapat dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya
terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi.
4. Dapat dipercaya yaitu bukti elektronik itu dapat mengatakan hal yang terjadi di belakangnya,
sehingga apabila bukti elektronik tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi akan lebih
mudah, dan syarat ini merupakan suatu keharusan.
E. Keabsahan Bukti Elektronik dalam Praktik Peradilan
Mengenai keabsahan pembuktian elektronik sebagai alat bukti, saat ini masih menjadi perdebatan cukup
signifikan jika diajukan ke pengadilan. Bukti tidak diperlukan untuk fakta atau keadaan yang dianggap
universal dikenal atau aturan yang diketahui secara pengetahuan mum (notoire ferten). Fakta atau
keadaan yang dianggap universal dikenal berarti fakta atau keadaan yang orang pada umumnya sudah
tahu atau bisa tahu. Aturan pengalaman umum berarti hubungan kausal bahwa semua orang mengetahui
hal tersebut. Dan tidak perlu pula membuktikan fakta-fakta yang didapat pengadilan selama proses
persidangan. Pengadilan dapat dengan bebas memeriksa bukti-bukti yang diajukan, namun harus tetap
berpegang pada undang-undang yang berlaku.
Sistem pembuktian yang dianut di Belanda adalah sistem pembuktian negative wettelijk, di mana
pada sistem tersebut hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila terdapat paling tidak dua alat bukti yang
telah tercantum dalam undang-undang ditambah dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya
alat-alat bukti tersebut. Belanda juga menganut non adversarial system, di mana hakim bersifat aktif
dalam mencari kebenaran. Hakim dapat mengajukan pertanyaan kepada terdakwa ataupun saki, dan
keyakinan hakim dianggap sebagai alat bukti sah, namun tetap dibatasi oleh undang-undang yang berlaku.
Pada sistem hukum di Belanda, Jaksa Penuntut Umum berada langsung di bawah pengawasan Menteri
Kehakiman, sedangkan Kepolisian berada di bawah pengawasan Jaksa Penuntut Umum.
Indonesia sebagai bekas daerah koloni Belanda, maka mengikuti sistem hukum yang sama
dengan Belanda, di mana hampir seluruh aturan hukum Belanda pada awalnya diberlakukan di negara
kita saat mencapai kemerdekaan. Begitu pula halnya dengan peraturan perundang-undangan dalam
hukum pidana diberlakukan berdasarkan asas konkordansi, sehingga Indonesia dalam hukum pembuktian
tentu saja menganut tori pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sebagaimana dalam
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang dikatakan oleh beberapa ahli
hukum sebagai karya agung bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 183 KUHAP, yang
menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sescorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangmya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selanjutnya mengenai alat-alat bukti apa sajakah yang dimaksud tersebut, dapat dilihat pada
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Apakah pembuktian melalui digital forensik memenuhi unsur sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif sebagaimana yang dianut oleh KUHAP? Tentunya dalam hal ini, pertama,
hakim harus mempunyai keyakinan "kebenaran sejati" atas pembuktian digital forensik, baik yang
menyangkut prosesnya maupun hasilnya, dan kedua, adalah pembuktian digital forensik harus memenuhi
unsur Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Pertanyaan selanjutnya akan muncul adalah, apakah pembuktian digital forensik ini merupakan
perluasan dari definisi alat bukti yang sah dari surat atau petunjuk?
Surat sebagai salah satu alat bukti sudah diatur dalam ketentuan Pasal 187 KUHAP, yang mana
ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Surat sebagnimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah sebagai berikut.
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan, tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
Sedangkan alat bukti berupa petunjuk telah dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yang
berbunyi sebagai berikut:
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Dengan diberlakukannya UU ITE, maka terdapat suatu pengaturan baru mengenai alat bukti
berupa dokumen elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah.
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) U ITE ditentukan bahwa:
Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
Dengan demikian UU ITE telah menentukan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan suatu alat bukti yang sah, dan hal ini merupakan perluasan
alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan
sebagai alat bukti di muka persidangan.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) U ITE ditentukan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang ini.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka penggunaan Dokumen Elektronik sebagai suatu alat bukti
yang dianggap sah apabila menggunakan suatu Sistem Elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6 U ITE yang menyatakan bahwa:
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan
bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronil dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan
suatu keadaan.
Di samping itu, dokumen elektronik yang kedudukannya dapat disetarakan dengan dokumen yang
dibuat di atas kertas. Hal itu sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum UU ITE, yang menyatakan
bahwa:
Ketentuan tersebut dikecualikan, sebagaimana termaksud di dalam Pasal 5 ayat (4) U ITE, yang
menentukan bahwa ada beberapa jenis Dokumen Elektronik yang tidak dapat dijadikan alat bukti
yang sah apabila terkait dengan pembuatan: surat yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam suatu bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dengan demikian berdasarkan ketentwan Pasal S agat (4) UU ITE, apabila para pihak hendat
membuat suatu perjanjian yang bersifat formil akan dianggap belum sah jika beium dituangkan dalam
bentuk tertulis secara manual, bail dalam bentuk alta di bawah tangan maupun akts otentik.
Adapun contoh perjanjian yang bersifat formil diantaranya adalah Perjanjian Perdamaian (vide
Pasal 1851 KUFI Perdata), Perjanjian Hibah (vide Pasal 1682 KUFI Perdata) serta, Perjanjian Jual Beli
dengan objek tanah, misalnya jual beli atas sebidang tanah yang akan dibuatkan akta jual beli atas bidang
tanah tersebut (vide Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Dalam rangka pembuatan suatu perjanjian atau transaksi elektronik yang dituangkan dalam
bentuk Dokumen Elektronik, maka untuk keabsahan suatu Dokumen Elektronik tersebut, di dalamnya
harus memuat sebuah tanda tangan dalam bentuk elektronik, hal ini sesuai dengan pengaturan tentang
unsur-unsur terpenting dalam pembuatan akta, sebagaimana diatur dalam Pasal 1867 KUH Perdata juncto
Pasal 1874 KUH Perdata, dan syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selanjutnya ditentukan bahwa sebuah tanda tangan elektronik memiliki keabsahan hukum dan akibat
hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UUITE, yaitu
sebagai berikut.
1. Data pembuatan tada tangan elektronik terkait hanya kepada para penanda tangan.
2. Data pada pembuatan tanda tangan elektronik pada sat proses penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa penanda tangan.
3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui.
4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik
tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.
5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya.
6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan suatu
persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) U ITE menyatakan bahwa:
Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas
tanda tanga elektronik yang digunakan”.
Menurut Edmon Makarim, adanya suatu penandatanganan secara elektronik terkait dengan
persyaratan secara umm keotentikan suatu alat bukti, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut.
1) Keotentikan secara materiil yaitu kejelasan syarat subjektif dan syaraf objektif, khususnya
kecakapan bersikap tindak, jelas waktu dan tempat, confidentiality, dapat ditelusuri kembali,
terjamin keutuhan data atau keamanan informasi, aslinya harus sesuai atau sama dengan copynya
yaitu salinan akta dan/atau kutipan akta.
2) Keotentikan secara formil yaitu sesuai bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, termasuk
media dan format tertentu, yakni;
a. Pembacaan, yaitu apakah surat yang menjadi alat bukti tersebut telah dilakukan suatu
pembacaaan yang benar.
b. Pencantuman waltu, yaitu apakah jaminan waktu telah dituliskan dengan benar (time-
stamping).
c. Keamanan dokumen beserta subtansinya, yaitu apakah historical data terhadap dokumen akta
sudah jelas.
d. Pemeliharaan log atau journal notaris (protokol notaris), yaitu apakah benar telah terpelihara
dengan baik.
Berkenaan dengan keotentikan suatu tanda tangan elektronik, maka dapat diperbedakan sesuai
dengan faktanya sebagai berikut;
1. Jika tanda tangan elektronik belum terpercaya, namun para pihak telah sepakat untuk
mengakuinya, maka dapat langsung diakui keasliannya tapa harus dibuktikan lebih lanjut.
2. Jika, tanda tangan elektronik belum dapat terpercaya, dan ada salah satu pihak yang tidak
mengakuinya, maka pengadilan harus dapat membuktikan bahwa tidak ada pemalsuan atau
kesalahan sistem dalam pembubuhan tanda tanga tersebut, schingga hakim memerintahkan
pemeriksaan kebenarannya dengan menggunakan seorang ahli forensic untuk mengetahui
apakah telah terjadi pemalsuan atau kesalahan *sistem dalam terjadinya tanda tangan itu
(lihat juga pada Pasal 1877 KUH Perdata)
3. Jika tanda tangan elektronik tersebut terpercaya dan telah terakreditasi dan para pihak
mengakuinya, maka dapat langsung diakui keasliannya g tanpa harus dibuktikan. Qu
4. Jika tanda tangan elektronik telah terakreditasi dan ada salah satu pihak yang tidak mengakui,
maka pihak yang tidak mengakui harus dap membuktikan bahwa telah terjadinya pemalsuan
atau kesalahan prosedur.
Di dalam praktik peradilan, sikap hakim dalam memandang bukti berupa dokumen elektronik
dapat beragam, yaitu pendapat pertama, menyatakan bahwa dokumen elektronik sebagai alat bukti sah
sebagai tambahan alat bukti konvensional dalam hukum acara, dan pendapat kedua, menyatakan bahwa
dokumen elektronik sebagai alat bukti pendamping yang harus didukung dengan alat bukti lain untuk
menambah keyakinan hakim, sehingga apabila berpedoman pada pendapat yang pertama, maka dokumen
elektronik dapat disamakan dengan alat bukti akta di bawah tangan, di mana akta di bawah tangan yang
diakui oleh para pihak mempunyai keabsahan pembuktian formil dan materil, sedangkan pembuktian
keluar tidal memiliki kecuali alta di bawah tangan yang didaftarkan pada scorang pegawai umum.
Adapun yang dimaksud dengan mempunyai keabsahan pembuktian formil yaitu apa yang tertuang di
dalam akta memang diucapkan olch para pihak principal yaitu apa yang diucapkan para pihak sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Sedangkan apabila hakim berpedoman pada pendapat yang kedua, maka
dokumen elektronik tersebut baru dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan apabila ada alat bukti
lainnya yang dapat menerangkan akan kebenaran dari isi dokumen elektronik tersebut.
Dari pengamatan penulis terhadap beberapa putusan hakim dalam praktik di lingkungan
Pengadilan Negeri Surabaya, ada beberapa hakim yang berpendapat bahwa dokumen elektronik dapat
dipersamakan dengan alat bukti surat, dan apabila dokumen elektronik tersebut, misalnya dalam bentuk
facebook yang kemudian dapat didownload dan dicetak (print-out). Namun dapat juga dokumen
elektronik dapat dipersamakan dengan persangkaan, apabila dokumen elektronik tersebut, misalnya
dalam bentuk e-mail yang diterima, yang sebelumnya sudah didukung oleh 2 (dua) alat bukti yang lain.
Pendapat tersebut telah dituangkan dalam suatu putusan yang pernah dijatuhkan oleh hakim atas
suatu perkara perselingkuhan dengan menggunakan suatu barang bukti berupa Short Message Service
(SMS), yang kemudian SMS tersebut ditransformasikan menjadi sebuah print-out, yang pada akhirnya
dianggap sebagai alat bukti surat. Demikian juga dalam perkara yang lain, ketika seorang suami
memergoki istrinya sedang berkirim e-mail dengan pria lain yang isinya tidak semestinya, yang kemudian
oleh hakim e-mail tersebut dianggap sebagai alat bukti persangkaan.
Di amping itu, ada suatu perkara di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Surabaya, dengan Nomor Perkara 28/G/2010/PHI.Sby, yang pada perkara tersebut salah satunya
menggunakan barang bukti dokumen elektronik yang berupa pemberitaan yang diambil dari
Metrotonews.com, yang pada konsiderannya, hakim menilai barang bukti berupa dokumen elektronik
tersebut sebagai suatu alat bukti berupa persangkaan, di mana keabsahan pembuktiannya masih harus
didukung oleh 2 (dua) orang saksi yang socara langsung melihat kejadian-kejadian yang sama dengan
kejadian pada pemberitaan di Metrotonews.com tersebut.
Dalam rangka penggunaan dokumen elektronik, maka yang perlu dipahami adalah bahwa UITE,
melarang perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 sampai dengan Pasal 37,
yang menentukan bahwa jika terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan teknologi informasi, terkhusus
dokumen elektronik, yang merugikan bagi pihak lain, dapat digugat atau dituntut baik secara keperdataan
maupun kepidanaan, hal itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38, Pasal 39, serta Pasal 45 sampai
dengan Pasal 52 UU ITE.
F. Bukti Elektronik dalam RUU KUHP
Kepastian hukum adalah Scherkeit des Rechts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ronald
Dworkin mengatakan bahwa: We live in and by law…, How can the law command when the law books
are silent or unclear or ambiguous? Bahwa dalam situasi di mana terdapat ketidakjelasan per- aturan,
maka akan menyebabkan hukum tidak dapat mengatur sebagaimana mestinya.
Kepastian hukum sebagaimana biasa dipahami orang, bukanlah produk otomatis dari hukum.
Dengan bernegara hukum tidak serta merta muncul kepastian-kepastian dalam masyarakat.Gustav
Radbruchmenyampaikan tentang tiga nilai dasar (grundwerten) yaitu keadilan (gerechtigkeit),
kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit), yang satu sama lainnya tidak
selalu harmonis, melainkan saling berhadapan, bertentangan dan berketegangan (spannungs-verhaeltnis),
Teori kepastian yang dimaksud dalam teori ini adalah kepastian hukum, artinya setiap perbuatan
hukum yang dilakukan harus menjamin kepastian hukumnya tidak terkecuali dalam hal pembuktian
elektronik sebagai alat bukti pada persidangan perkara pidana. Untuk tujuan tersebut, terhadap hukum
yang bersifat tidak jelas, perlu dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap norma tersebut. Namun,
dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Kebutuhan akan interpretasi yang lengkap dan jelas sebenarnya sudah muncul pada masa Hukum
Romawi berlaku yang terlihat pada ungkapan Ulpianus sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud
Marzuki, yaitu Quamvis sit manifestissimum Edictum Practoris, attamen non est negligenda interpretatio
ejus. Pernyataan tersebut berarti bahwa betapa pun jelasnya maklumat/perintah Praetoris (konsul), namun
tidak mungkin menolak adanya interpretasi karena adanya kekurangan.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang- undang yang
berisi aturan-aturan yang bersifat mum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan
masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bag masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Tujuan hukum yang mendekati realists adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum
positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa "sumum is, summa injuria, summa lex,
summa crux" yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat
menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum it individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis dogmatic yang didasarkan pada aliran
pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom,
yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut
aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian
hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sama dengan etis dan moral. Penegakan hukum
seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu,
masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun
demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang
dirasakan adil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam
menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum
progresif yang dikemukakan Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-
ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang- undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu,
tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan
aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Gustav Radbruch menebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah
penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum
yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab
isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan
bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan
urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan.
Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak
berbicara mengenai keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum
untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum itu bukan merupakan
institusi yang leas dari kepentingan manusia.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi
bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari
segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat "hukum untuk manusia" bermalna juga "hukum
untuk keadilan". Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah
penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahiteraan
masyarakat atau yang sering disebut dengan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu
pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh
memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan
bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang
disebut hukum untuk manusia.
Hukum Pidana selalu dipahami sebagai hukum yang paling menakutkan dan selalu harus
menghukum pelaku tindak pidana. Hukum pidana yang diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana
kemudian ditempatkan di setiap perundang-undangan dengan secara tidak seimbang dan terasa sangat
berlebih, hanya untuk menimbulkan kesan bahwa undang-undang tersebut mengancam secara sangat
serius bagi setiap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana dilarang dalam perundang-
undangan tersebut. Namun sayangnya di dalam implementasi di pengadilan tidak selalu terjadi seperti
yang diharapkan, bahkan lebih rendah dari bayangan ideal pemidanaan yang dipikirkan oleh masyarakat.
Kenyataan lainnya sekalipun ancaman pidana begitu tinggi, tetapi tidak membuat jumlah perbuatan
pidananya berkurang, tetapi semakin melas. Hukum pidana yang berupa pemidanaan harus diajukan
kepada suatu tujuan tertentu.
Secara filosofis, hukum pidana memiliki fungi tertentu. Hukum pidana harus selalu difungsikan
untuk memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah mengemukakan pendapat Jerome Hall, pemidanaan haruslah, pertama, pemidanaan adalah
kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia
diberikan atas nama negara, la "diotorisasikan". Keempat, pemidanaan mensyarat- kan adanya peraturan-
peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan
kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai yang
dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkat atau
jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan
melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar motif dan dorongannya. Pemidanaan itu selalu harus
diatur dengan baik dan seimbang dengan memperhatikan beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
Pelbagai teori pemidanaan telah diperkenalkan sepanjang diskursus tentang fungsi hukum pidana
dibahas. Perkembangan mulai dari teori absolut, tori relatif, sampai dengan tori gabungan sesungguhnya
menunjukkan berbagai upaya untuk mencari dasar pembenaran dijatuhkannya pidana bagi pelaku tindak
pidana. Tori pemidanaan yang absolut mengedepankan retribusi (pembalasan). Teori absolut in tidak
mempertimbangkan hal-hal lain seperti tujuan-tujuan ataupun tahapan-tahapan di dalam pemidanaan,
tetapi semata-mata menempatkan pemidanaan sebagai suatu upaya pembalasan bagi pelaku tindak pidana
yang telah melakukan tindak pidana harus dijatuhi nestapa untuk memulihkan ketertiban di dalam
kehidupan bernegara. Pergeseran selanjutnya adalah munculnya tori relatif atau teori tujuan.
Mengenai teori ini, Hermin Hadiati Koeswadji mengemukakan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut.
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya
kejahatan.
3. Untuk memperbaiki si penjahat.
4. Untuk membinasakan si penjahat.
5. Untuk mencegah kejahatan.
Perkembangan berikutnya pemidanaan adalah yang dimaksud oleh teori gabungan. Menurut teori ini
baik teori absolut dan teori tujuan memiliki kelemahan. Untuk itu perlu digabungkan antara keduanya.
Selaras dengan hal tersebut, konsep RUW KUHIP telah memasukkan berbagai pertimbangan
mengenai pemidanaan. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 54 ayat (1) RU KUHP mengatur
pemidanaan bertujuan untuk:
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
2. memasyarakatkan terpidana dengan mongadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik
dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Melalui ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa hukum pidana saat ini tidak ingin memberikan
sesuatu yang bersifat retributif kepada pelaku tindak pidana, tetapi lebih mengedepankan bagaimana
harmoninasi di dalam kehidupan antara negara, masyarakat, korban, dan pelaku dapat tercipta dengan
baik.
Tim perumus Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) pada penjelasan umum dari RUU KUHP draft 2012 menegaskan bahwasanya dalam
perkembangannya, makna pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional tidak semata-mata
diarahkan pada mana dekolonialisasi, tetapi meliputi pula rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana yang
harus mengandung misi terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana
penaburan kebencian atau permusuhan (haatzaai-artikelen). Selanjutnya makna dari pembaruan hukum
pidana tersebut adalah upaya konsolidasi hukum pidana yang menyaratkan arti pada upaya untuk menata
kembali pelbagai aturan hukum pidana yang telah tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-
undangan pidana dengan kekhasannya. Penataan tentang asas-asas hukum pidana yang perlu disesuaikan
satu dengan yang lainnya. Di samping itu masih terdapat misi lain yaitu adaptasi dan harmonisasi
terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik karena perkembangan ilmu pengetahuan, nilai-
nilai, standar-standar, serta norma yang telah diakui oleh berbagai bangsa di dunia.
Terkait dengan makna adaptasi dan harmonisasi dari hukum pidana, khususnya yang menyangkut
pemidanaan, menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas adalah pemberatan pidana. Ketentuan Pasal
135 RUU KUHP menentukan bahwa "pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari
maksimum ancaman pidana", di mana perlu diperhatikan mengenai faktor-faktor yang memperberat
pidana, yang meliputi:
1. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana
yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan.
2. Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambing negara Indonesia pada waktu
melakukan tindak pidana.
3. Penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana.
4. Tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18
(delapan belas) tahun.
5. Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama dengan kekerasan, dengan cara
yang kejam, atau dengan berencana.
6. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam.
7. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.
8. Pengulangan tindak pidana.
9. Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian masalah pemberatan pidana sebagai bagian dari penjatuhan pidana itu sendiri
ditujukan bukan semata-mata untuk pembalasan, tetapi harus diperhatikan pula tujuan penjatuhan
pidananya dan perbaikan di masa mendatang.
Jenis tindak pidana yang dewasa ini berkembang dengan pest yaitu tindak pidana di bidang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE), yang kemudian lebih dikenal sebagai cyber crime. Pemerintah telah
mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Sebagai salah satu upaya merespon perkembangan zaman, Indonesia bersama dengan negara-
negara lain di dunia harus menyedialkan sebunh fusilitas pendukung untuk memperlancar percepatan
teknologi. Internet menjadi salah satu fasilitas yang hari ini memegang peranan penting dalam kchidupan
manusia. Internet terus bertumbuh dan semalkin diminati oleh masyarakat dari kalangan manapun juga, di
desa maupun di kota besar. Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari World Information Sociery atau
Masyarakat Informasi Dunja memiliki kewajiban untuk menciptakan pembangunan teknologi informasi
secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat (vide dasar menimbang butir b UU
ITE). Sara halnya dengan masalah yang selalu dihadapi oleh masyarakat, setiap perkembangan dan
pembangunan ternyata tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi sekaligus berkembang pula jenis
kejahatannya.
Melihat pada sifat meluasnya tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik yang lintas
batas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU ITE ditentukan yurisdiksi berlakunya U ITE, yaitu
undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Ketentuan tersebut tentu saja hendak menjangkau
pelaku tindak pidana informasi dan transaksi elektronik di manapun berada, sepanjang perbuatannya
tersebut memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indoensia,
dan merugikan kepentingan Indonesia. Makna merugikan kepentingan Indonesia tidak terbatas pada
merugikan perekonomian nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan
dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum Indonesia. Dengan demikian
perlu dipahami perbuatan-perbuatan hukum yang dituju oleh UU ITE adalah manakala perbuatan tersebut
memiliki akibat di dalam dan di luar Indonesia, serta merugikan kepentingan Indonesia.
Perbuatan yang dilarang dalam UU ITE diatur mulai dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 37. Menilik
pasal-pasal di dalam ketentuan tersebut 190 Lihat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008. dapat dipahami ada 2 (dua) penggolongan delik yakni delik yang muatan materinya telah diatur di
dalam ketentuan umum, yaitu di dalam KUHIP, dan delik yang baru dan belum diatur di dalam KUHIP.
Mengenai sanksi pidana, UU ITE mengatur sanksi atas perbuatan yang dilarang pada Pasal 45-Pasal
51 dengan variasi beratnya ancaman pidana penjara antara 6 tahun sampai dengan 12 tahun, dan pidana
denda mulai Rp600.000.000,00 sampai dengan Rp12.000.000.000,00. Ancaman pidana yang sangat
tinggi dan kurang dapat dicerna dengan baik karena sanksi in hanya dijadikan untuk menakut-nakuti. Hal
lainnya adalah kemungkinan kesulitan untuk mengkonkritkan perumusan pasal yang memenuhi asas lex
certa, lex stricta, dan lex scripta atas perbuatan di dunia maya. Dalam beberapa kasus bahwa unsur yang
dimuat di dalam masing-masing pasal menunjukkan ketidakjelasan, dan cenderung membahayakan
karena dapat mengkriminalisasikan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dimasukkan dan
dikonstruksilan memenuhi perbuatan yang dilarang di dalam UU ITE, misalnya kasus Prita Mulyasari.
Selain sanksi pidana yang sangat besar tersebut, UU ITE mengatur pula mengenai pemberatan pidana
sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 52 U ITE yaitu pemberatan sebesar 1/3 dan 2/3
dari maksimum ancaman pidananya.
Pemberatan sebesar 1/3 dikenakan terhadap dua hal, yaitu segala perbuatan yang ditentukan di dalam
Pasal 27 ayat (1) yang menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual anak, dan perbuatan dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 37 yang ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan
publik (vide Pasal 52 ayat (1) dan (2) UUITE).
Pemberatan sebesar 2/3 diberikan atas perbuatan-perbuatan yang dilarang pada Pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 yang ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milk Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak
terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga intemasional, otoritas
penerbangan, serta perbuatan yang dilakukan oleh Korporasi (vide Pasal 52, ayat (3) dan ayat (4)).
Dikairkan dengan ketentuan Pasal 2, harus dipahami lebih dalam lagi bagaimanakah keterhubungan
antara upaya pengenaan pidana bagi pelaku perbuatan pidana yang memberikan dampak bag dan di luar
kepentingan Indonesia, dan merugikan kepentingan Indonesia dengan ketentuan Pasal 52 tersebut. Harus
diyakini bahwa pembedaan pemberatan sebesar 1/3 atas perbuatan-perbuatan pidana yang diancam olch
Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU ITE adalah sama berbahayanya dengan ketentuan Pasal 52 ayat (3) dan ayat
(4) untuk pengenaan pemberatan sebesar 2/3 dari ancaman pidana maksimumnya.
Dengan demikian, suatu konstruksi pemberatan yang timbul seharusnya dinilai sama pentingnya dan
rentannya untuk mangatur pemberatan yang sama terhadap pelaku tindak pidana di bidang Infomasi dan
Transaksi Elektronik karena sepanjang perbuatannya berdampak bagi kepentingan bangsa Indonesia dan
juga merugikan kepentingan bangsa Indonesia harus dianggap sama berbahayanya atas kehidupan suatu
bangsa.
Dengan diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru mengenai alat-alat bukti
Dokumen Elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang
sah.
Dalam praktik peradilan tidak jarang ditemui kesulitan terhadap penerapan pembuktian menggunakan
alat bukti elektronik dalam proses persidangan, terutama dalam penentuan keabsahan legalitas alat bukti
elektronik yang diajukan oleh Penuntut Umum dan atau oleh Penasihat Hukum atau Terdakwa, karena
sebagian bear bukti elektronik yang diajukan ke muka persidangan pada umumnya berupa Informasi
Elektronik dan/tau Dokumen Elektronik seperti komputer, laptop/notebook, handphone, flashdisk,
hardisk, CD/DVD, kamera, video, CCTV, recorder, video atau sejenisnya, dan/atau hasil cetakannya
berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, surat elektronik, tetelgram, teleks, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau sejenisnya.
Sebagaimana telah dijelaskan, terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang penting untuk melakukan suatu
kegiatan digital forensik yaitu sebagai berikut.
1. Write Protect, yaitu mengunci data asal dari Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebelum melakukan digital forensik, agar data asal tidak mengalami perubahan, baik itu
penambahan, pengurangan maupun penghapusan data.
2. Forensic Imaging, merupakan tindakan untuk mendapatkan data yang serupa dari data asal
(clonning), schingga akan didapatkan data yang identik sama dengan data asal (Image File).
3. Verifying, yaitu menilai hasil dari forensic imaging, sehingga data yang di-clonning harus identik
dengan data asal.
Meskipun Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya tersebut
telah memenuhi syarat formil sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (4) U ITE yaitu tidak berlaku terhadap
dokumen yang dibuat dalam bentuk tertulis dan bukan dokumen dalam bentuk akta notariil atau akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta, serta telah memenuhi syarat materil sebagaimana diatur dalam Pasal 6,
Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE yang pada intinya menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya dan ketersediaannya. Namun
demikian untuk memenuhi persyaratan materil dimaksud dan dalam banyak hal belum tersedianya
Laboratorium Digital Forensik dengan segala perangkatnya sesuai standar, seperti suhu rang laboratorium
yang stabil antara -5 °C s.d. 20 °C, keterbatasan tenaga analis forensik dan auditor yang kompeten dan
bersertifikasi, alat pembaca rekaman belum sesuai standar, karena bagaimanapun juga Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektroniksangat rentan dintervensi, dikurangi, dipotong dan atau
ditambah.
RUU KUHP Tahun 2015 telah mencoba mengadopsi jenis tindak pidana terkait informasi teknologi
ke dalam Bab VIlI tentang Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang,
Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup yaitu pada bagian kelima tentang Tindak Pidana Terhadap
Informatika dan Elektronika. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur mulai Pasal 378 sampai dengan Pasal
384.
Kejahatan siber dalam segala manifestasinya memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kehidupan di masyarakat dalam segala aspek manusia ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek dari
perkembangan kejahatan siber. Salah satu aspek penting yang berinteraksi secara langsung dengan
perkembangan kejahatan siber adalah aspek hukum. Hukum di dalam fungsinya untuk mengayomi
masyarakat harus dapat bertungsi dengan baik, yang secara khusus pula adalah hukum pidana. Peletakan
tindak pidana ini ke dalam bab tentang membahayakan keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang
dan lingkungan hidup memberikan batasan lingkup keluasan sifat tindak pidana di bidang informasi dan
transaksi elektronik itu sendiri. Manifestasi tindak pidana tersebut tidak hanya atas membahayakan
keamanan umum, orang, barang, tetapi manifestasi di bidang lainnya, seperti manifestasi terkait sistem
komputer, privasi, identitas, maupun di bidang lainnya yang belum dapat dikonstruksikan saat Sutan
Remy Sjahdeini menjelaskan munculnya manifestasi kejahatan terhadap harta kekayaan, menyangkut
identitas terhadap sistem komputer dan terhadap ketertiban umum.
Bagian kelima dari Bab VIII RU KUHP Tahun 2015 mengenal istilah Tindak Pidana terhadap
Informatika dan Elektronika. Pasal 378 diulangi secara makna di dalam ketentuan Pasal 379, Pasal 380,
Pasal 381 dengan spesifikasi objek yang berbeda. Pasal 382 dan Pasal 383 saling berulang, sekalipun di
dalam Pasal 383 dicoba untuk dirumuskan lebih detail. Namun demikian dari tujuannya dapat dilihat hal
yang sama yaitu membuat suatu sistem informasi atau komputer menjadi tidak berfungsi atau rusak. Pasal
377 menekankan pada informasi milk pemerintah yang harus dilindungi atau dirahasiakan. Atas
pelanggaran hal tersebut, ancaman sanksinya lebih tinggi, baik penjara maupun denda. Pasal 378
mengancam lebih tinggi ancaman pidananya, ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat
mengganggu sistem dari Bank Sentral, lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan. Pasal lain yang
tidak saling berhubungan adalah Pasal 381, Pasal 382, dan Pasal 383 yang mengkriminalisasikan
pornografi anak melalui komputer, serta Pasal 384
Menilik pada stelsel sanksi ditemukan bahwa pengaturannya menggunakan stelsel alternatif, pidana
penjara atau denda, Hal ini berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam UU ITE, menggunakan stelsel
alternative kumulatif (dan/atau). Melalui sistem sanksi ini maka patut dipikirkan kembali mengenai
stelselnya, karena macam perbuatan/ perbuatan yang dilakukan dengan media siber banyak
mengeksploitasi dan mendapatkan keuntungan finansial, sekaligus perbuatan -perbuatannya juga
merugikan.
Dikaitkan dengan pemberatan pidana yang ada di dalam UU ITE, maka dapat ditunjukkan bahwa
pemaknaan perbuatan yang lebih memberatkan di dalam Pasal 52 ayat (3) UU ITE adalah dipersamakan
dengan Pasal 376 dan Pasal 384 RU KUFIP. Terjadi ketidaksamaan persepsi, selain itu patut
dipertimbangkan pula bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana terhadap anak, dengan
mengeksploitasi anak secara seksual, tidak saja terjadi karena berkaitan dengan pornografi anak, tetapi
mengeksploitasi seksual anak. Ancaman kerugian yang dihadapi aak karena kejahatan siber ini lebih
membahayakan, dan sama bahayanya dengan ancaman yang ditujukan kepada pemerintah. Masa depan
anak harus dilindungi. Shinder, sebagaimana dikutip oleh Petrus Golose, telah memasukkan pornografi
anak menjadi cybercrime with violence, yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Perkembangan terkini
muncul berbagai macam eksploitasi seksual secara online atas anak. Slain itu pengertian pornografi anak
belum diatur secara jelas baik di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak maupun dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dari sudut perspektif falsafah pemidanaan, maka sesungguhnya dipahami bahwa pemidanaan harus
dapat difungsikan untuk memberikan pemidanaan kepada pelaku kejahatan sekaligus memberikan kepada
korban dan masyarakat perlindungan, serta upaya-upaya pemulihan hubungan di antara pelaku-korban-
masyarakat. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam
kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sarana
perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek
psilkologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana pada dasarnya
merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
merendahkan martabat manusia. Berdasarkan penjelasan ini tampak bahwa pemidanaan dan hukum
pidana harus difungsikan sebagai sarana perlindungan masyarakat;, korban, termasuk pada pelaku itu
sendiri.
Melihat pada macamnya perbuatan yang dilarang di dalam RUU KUHP dengan yang diatur pada U
ITE menunjukkan terdapat perbedaan-perbedaan, di samping adanya perbedaan tentang pengaturan
pemberatannya. Mengenai hal in, menarik yang dinyatakan oleh Mario J. Rizzo, yang mencoba
menghubungkan mengenai cost of crime, terkait dengan moral, sebagai berikut:
Moral blamworthiness, unlike the notion of moral costs, does not constitute; i residual hypothesis.
Both the idea and extent ofblameworthiness is inde'pendently vascertainable in the written and
otherwise expressed moral views of society. As these views are not always consistent and not all
equally sophisticated, thené will be elements of indeterminateness in the detailed features of the
criminal law. Nevertheless, the broad of framework and central doctrimes should exhibit a
reasonable coherence. Finally it needr't trouble as, as it must Adelstein, that blamworthiness is not
easily quantifiable. This is because he views the criminal law as seeking optimality while we view it
as seeking justice,
Permasalahan yang kemudian muncul terkait dengan pemberatan yang ada pada RUU KUHP dan UU
ITE adalah melihat pada macamnya tindak pidana yang diatur pada RU KUHP, maka pemberatan yang
ada di dalam UU ITE tidak dapat diberlakukan sepenuhnya. Sedangkan dilihat dari sudut UU ITE, maka
pengaturan mengenai pemberatan pidana sebesar 1/3 dan 2/3 menimbulkan permasalahan pula mengingat
bahwa ukuran dan batasan yang dipakai dalam menetapkan pemberatan tersebut sebenarya ditujukan
untuk mencari keadilan ataukah mendayagunakan hukum pidana melalui sanksi pidananya semaksimal
mungkin.
Lebih jauh R.A Epstein menyatakan;
The criminal law on the other hand, measures accused's behavior against an ideal standard. The law
is here not allocating a loss but rather given an act. It is deciding whether punishment is deserved or
not. In fact. The actual harm to victim is almost irrelevant to the nature of a crime".
Tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik disadari betul memberikan dampak yang
begitu luar biasa atas suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan kecanggihan perangkat-
perangkat elektronik yang terhubung dengan internet. Namun demikian perlu diteliti lebih lanjut
bagaimana perbuatan tersebut dapat memilih dan menciptakan korban, sehingga apabila disesuaikan
dengan hakikat dari kejahatan itu sendiri, maka tindak pidana tersebut memang patut diberikan
pemberatan pemidanaan.
Pembedaan pemberatan yang dilakukan oleh UU ITE tidak memberikan penjelasan lebih rinci alasan
dan pertimbangan terhadap pembedaan pemberatan tersebut, mengingat bahwa permasalahan eksploitasi
anak ataupun kesusilaan terhadap anak, menjadi materi yang sama berharga dan pentingnya dengan
tindak pidana IT ditujukan pada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milk Pemerintah
yang menduduki peran strategis, seperti lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, dan lain-lain.
Kedudukan dan peranan dari lembaga-lembaga pemerintahan sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal
52 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE juga tidak memiliki signifikansi untuk dibedakan mengingat bahwa
setiap lembaga memiliki kepentingan yang sama atas Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik
tersebut. Terkait pula dengan pemberatan 2/3 yang diterapkan kepada korporasi, menjadi sebuah kajian
yang harus teliti juga mengingat sulitnya mengenakan pertanggungjawaban kepada korporasi khususnya
dalam hal tindak pidana informasi dan transaksi elektronik ini, ditambah lagi dengan bentuk tindak pidana
korporasi yang sangat abstrak untuk dapat melakukan berbagai porbuatan pidana sebagaimana diatur di
dalam UU ITE dan RUU KUHP.
Secara umum pemberatan pidana yang ada di dalam RUU KUHI adalah soberat 1/3, sedangkan
pengaturan di dalam UU ITE dikenal 2 (dua) macam, yaitu 1/3 dan 2/3. Namun demilkian harus selalu
diperhatikan arena kepentingan yang dibedakan di dalam UU ITE mash harus dipertimbangkan kembali
dengan tujuan supaya pidana dapat difungsilkan kembali secara baik dan tepat sasaran.
Secara keseluruhan berdasarkan RU KUHIP Tahun 2015 dalam ketentuan:
Bagian Kelima
Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika
Paragraf 1
Penggunaan dan Perusakan Informasi Elektronik dan Domain
Pasal 378
Setiap orang yang menggunakan atau mengakses komputer atau menggunakan atau mengakses sistem
elektronik dengan cara apapun tampa hak dengan maksud untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau
menghilangkan informasi dalam komputer atan sistem elektronik, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tabuna tau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 379
Penyelenggara agen elektronik yang tidak menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya
yang memungkinkan penggunaannya melakukan perubahan informasi yang mash dalam proses
transaksi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
Pasal 380
(1) Setiap orang yang memiliki dan menggunakan nama domain berdasarkan itikad tidak bank
melanggar persaingan usaha tidak shat dan melanggar hak orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tabun atan pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang
yang terkena tindak pidana.
Paragraf 2
Tanpa Hak Mengakses Komputer dan Sistem Elektronik
Pasal 381
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tabun atau pidana denda paling banyak Kategori
IV, setiap orang yang:
a. Menggunakan, mengakses komputer, atau sistem elektronik dengan cara apapun tampa hak,
dengan maksud memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan
nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap
negara atau hubungan dengan subjek hukum internasional;
b. Melakukan tindakan yang secara tapa hak yang menyebabkan transmisi dari program,
informasi, kode atau perintah komputer atan sistem elektronik yang dilindungi negara menjadi
rusak;
c. Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik secara tampa hak atau
melampaui wewenangnya, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari
komputer atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara;
d. Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik milik pemerintah yang dilindungi
secara tampa hak;
e. Menggunakan atau mengakses tapa bak atau melampaui wewenangnya, komputer atau sistem
elektronik yang dilindungi oleh negara, yang mengakibatkan komputer atau sistem elektronik
tersebut menjadi rusak;
f. Menggunakan atau mengakses tapa hak atau melampaui wewenangnya, komputer atau sistem
elektronik yang dilindungi ole masyarakat, yang mengakibatkan komputer atan sistem elektronik
tersebut menjadi rusak;
g. Mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer atau sistem elektronik yang
digunakan oleh pemerintah;
h. Menyebarkan, memperdagangkan, atau memanfaatkan kode akses atau informasi yang serupa
dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer atau sistem elektronik dengan
tujuan menyalabgunakan komputer atau sistem elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh
pemerintah;
i. Melakukan perbuatan dalam rangka hubungam internasional dengan maksud merusak komputer
atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di wilayah yuridiksi Indonesia
dan ditujukan kepada siapa pun; atau
j. Melakukan perbuatan dalam rangka hubungan intermasional dengan maksud merusak komputer
atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di wilayah yurisdiksi
Indonesia dan ditujukan hepada siapa pun.
Pasal 382
Setiap orang yang menggunakan tau mengakses komputer atau sistem elektronik dengan cara apapun
tampa: hak dengan maksud memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi milk
pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (ima belas) tabun atau pidana denda paling banyak kategori VI.
Pasal 383
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori VI, setiap orang yang:
a. Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik secara tampa hak atau
melampaui wewenangnya dengan maksud memperoleh Reuntungan atau memperoleh informasi
kevangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga kewangan, penerbit kart kredit,
atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya;
b. Menggunakan data atau mengakses dengan cara apapum kartu kredit atau kartu pembayaran
milk orang lain secara tampa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan;
c. Menggunakan atau mengakses komputer atau sistem elektronik Bank Sentral, lembaga
perbankan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tampa hak atau melampaui
wewenangnya dengan maksud menyalahgunakan, atau untuk mendapatkan keuntungan
daripadanya; atau
d. Menyebarkan, memperdagangkan, atau memanfaatkam kode akses atau informasi yang serupa
dengan al tersebut yang dapat digunakan menerobos komputer atau sistem elektronik dengan
tujuan menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik Bank Sentral,
lembaga perbankan atau lembaga keuangan, serta perniagaan di dalam dan luar negeri.
Paragraf 3
Pornografi Anak melalui Komputer
Pasal 384
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujul) tabun atau pidana denda Kategori IV setiap
orang yang tampa hak melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak berupa:
a. Memproduksi pornografi anak dengan tujuan untuk didistribusikan melalui sistem komputer;
b. Menyediakan pornografi aak melalui suatu sistem komputer;
c. Mendistribusikan atau mengirimkan pornografi anak melalui sistem komputer;
d. Membeli pornografi anak melalui suatu sistem komputer untuk diri sendiri atau orang lain; atau
e. Memiliki pornografi anak di dalam suatu sistem komputer atau dalam suatu media penyimpanan
data komputer.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang terjadi sat ini keberadaan pembuktian elektronik dalam
proses persidangan suatu perkara sebagai alat bukti sangat penting bagi hakim untuk dapat memutuskan
apakah seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak, jika yang bersangkutan mengajukan pembuktian
elektronik di persidangan yang merupakan data image, file yang didentik dengan data asal, maka hal
tersebut dapat dijadikan acuan sebagai alat bukti. Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik tersebut
dapat digunakan sebagai alat bukti sah untuk membuktikan suatu perkara dengan mengacu kepada UU
ITE, KUHAP (khususnya Pasal 184 ayat (1), KUHP, RUU KUHP Tahun 2015 (khususnya Pasal 378 s.d.
Pasal 383) sebagai acuan dalam penerapan saksi hukum.
Selanjutnya ke depan untuk mempertegas keabsahan suatu pembuktian elektronik dalam proses
peradilan, maka Pemerintah sudah saatnya harus menyiapkan beberapa Laboratorium Khusus Komputer
Forensik melalui institusi yang berwenang, dan dikelola oleh para pakar komputer forensik dengan
akreditasi dan sertifikasi khusus dari lembaga yang berwenang atau Pemerintah, sehingga hasil analisis
data yang bersumber dari Informasi Elektronik maupun Dokumen Elektronik dapat diajukan sebagai alat
bukti atau barang bukti yang digunakan di persidangan.
Bab 4
PROBLEMATIKA DAN PERLINDUNGAN HUKUM SERTA BUKTI ELEKTRONIK DALAM
KEJAHATAN SIBER (CYBER CRIME)
A. Permasalahan Konsepsi Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Istilah kejahatan siber menunjukkan bahwa bentuk kejahatan ini hanya dapat dilakukan dengan perangkat
atau alat yang menghasilkan realita siber seperti sistem dan rangkaian komputer yang terkoneksi dengan
internet. Konsep inilah yang menyebabkan beberapa pakar hukum mempunyai pandangan berbeda-
mengenai apa yang seharusnya dimaknai sebagai kejahatan siber. Bahkan dalam konvensi PBB tentang
The Prevention of Crime and The Treatment of Offenderes di Havana, Kuba pada tahun 1999 dan di
Wina, Austria tahun 2000, konsep kejahatan siber diberi pemaknaan dalam istilah yang sempit dan luas
yaitu sebagai berikut.
1. Cyber crime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer crime: any illegal behaviour
directed by means of electronic operation that target the security of computer system and the
data processed by them.
(Setiap perilaku ilegal yang ditujukan pada operasi elektronik yang menargetkan sistem
keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem komputer tersebut).
2. Cyber crime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer related crime: any illegal
behaviour committed by means on relation to, a computer system: offering or system or network,
including such crime as illegal possession in, offering or distributing information by means of
computer system or network.
(Setiap perilaku ilegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer
atau jaringan, termasuk kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi informasi dari sistem atau
jaringan komputer).
Sulitnya memberikan definisi kejahatan siber maka membuat beberapa lembaga membuat
kategorisasi yang dapat menampung semua aktivitas ilegal dalam dunia siber, seperti dari Council of
Europe ketika melakukan konvensi di Budapest, pada tanggal 23 November 2011, yaitu sebagai berikut.
a. Kejahatan siber yang berhubungan dengan kerahasiaan, integritas, ketersediaan data, dan sistem
komputer termasuk di dalamnya illegal access, illegal interception, data interference, system
interference dan misuse of data.
b. Kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computer related offences) seperti forgery dan
fraud.
c. Kejahatan terkait dengan isi atau konten (content-related offences) seperti pornografi.
d. Kejahatan yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta (offences related to infringeents of
copyright).
Ford dan Gordon mencoba memberi dua kategori kejahatan siber terkait serangan/perbuatan pidana
yang dilakukan, yakni sebagai berikut.
a. Kejahatan siber berupa satu kali serangan terhadap seseorang. Tipe ini biasanya terkait erat
dengan malware. Contoh terkait dengan tipe ini adalah phishing, theft (pencurian), or
manipulation of data (manipulasi data), identity theft (pencurian identitas), ataupun e-commerce
fraud (penipuan e-commerce).
b. Kejahatan siber yang terjadi setelah adanya pengulangan/ interaksi beberapa kali antara pelaku
dan korban. Contoh dalam kategori ini antara lain, cyberstalking, harassment, extortion stock
market manipulation.
Beberapa kategorisasi mengenai kejahatan siber muncul karena pandangan yang berbeda di antara
para pakar. Sebagian pakar menganggap bahwa kejahatan siber (cyber crime) hanya modifikasi dari
bentuk kejahatan konvensional yang menggunakan media internet. Oleh karena itu, dalam penanganannya
hanya perlu reinterpretasi terhadap norma-norma peraturan perundang-undangan konvensional terhadap
beberapa perilaku yang dianggap melawan hukum dan punya karakteristik yang identik dengan bentuk
kejahatan konvensional. Sebagai contoh kejahatan yang terkait dengan penipuan, perjudian, dan
pomografi di internet hanya kejahatan konvensional yang memanfaatkan media internet. Di sisi lain,
beberapa kategorisasi mengenai kejahatan siber di atas dibuat tapa melihat sisi teoretis mengenai definisi
yang sesuai dengan karakter tindak pidana yang dilakukan dan hanya melihat pada beberapa aspek
pragmatik mengenai perbuatan yang dianggap tercela. Konsep perumusan ini misalnya terdapat dalam
pasal-pasal dalam UU ITE yang cenderung mengedepankan kebutuhan pragmatik mengenai perbuatan-
perbuatan yang dianggap patut dicela dan dilarang oleh undang-undang.
Perbedaan dalam memaknai dan menyelami kejahatan siber akhirnya memunculkan dua pandangan
dalam memaknai norma, undang-undang terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela dalam kejahatan
siber. Pandangan yang pertama lebih pada mencoba memperbarui interpretasi dengan mengedepankan
teori fungsional perbuatan pidana dan mengesampingkan teori perbuatan jasmaniah. Konsep ini muncul
seiring dengan kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi yang menimbulkan kesukaran dalam
menguraikan suatu bentuk kejahatan hanya berdasarkan pada perbuatan jasmaniah atau material dari si
pelaku.
Munculnya teknologi siber membuat tori perbuatan jasmaniah menemui hambatan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu, kemudian orang lebih melirik kepada mashab fungsional
yang lebih mengedepankan kepada terselenggaranya fungi yang dimaksud/dinginkan oleh petindak
melalui aktivitas-aktivitas dalam/menggunakan instrument teknologi siber. Pandangan ini dinspirasi dan
dilegitimasi putusan Hoge Raad dalam arrest listrik, yang dalam era siber ditafsirkan sesuai keadaan
kontekstual. Pandangan yang populer dikembangkan dalam konsep ini adalah baru dalam hukum berbeda
dengan baru dalam teknologi.
Baru dalam teknologi yang merupakan penemuan terkini menyebabkan peralatan atau spare part
yang lama tidak dapat digunakan atau tidak sesuai dengan teknologi yang terkini, sedangkan bar dalam
konsep hukum hanya reinterpretasi norma yang disesuaikan dengan kontekstualisasi zaman. Sebagai
contoh konsep pencurian dalam internet tidak hanya sekadar berpindahnya penguasaan atas barang tetapi
juga dapat dimaknai bahwa penguasaan tanpa perlu berpindah atau hilangnya kepemilikan suatu data.
Pandangan berbeda yang menyatakan bahwa kejahatan di ranah siber merupakan jenis kejahatan jenis
baru yang tidak ada padanannya dalam kejahatan konvensional oleh itu perlu suatu regulasi baru yang
mengatur kejahatan baru tersebut. Argumentasi yang dibangun biasanya terkait dengan ketakutan akan
adanya prinsip hukum pidana yang dilanggar khususnya asas legalitas yang tercermin dalam "nullum
crimen sine lege certa" (tidak ada perbuatan pidana tapa undang-undang yang jelas), nullum crimen sine
lee scripta (tidak ada perbuatan pidana tapa undang-undang yang tertulis) serta nullum crimen sine lege
stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang ketat) yang dimungkinkan mengurangi
nilai kepastian hukum yang adil dalam hukum pidana. Hal inilah yang menjadi persoalan dalam hal
penegakan pada proses persidangan di pengadilan.
Selain itu, perbedaan pandangan dalam memaknai cyber crime juga diteliti dan dikaji ole Yang pada
tahun 2004. Kajian tersebut menunjukkan bahwa perbedaan mengenai perbuatan apa yang dianggap
sebagai kejahatan cyber ternyata memiliki implikasi yang signifikan. Menurut Yang, masalah utama
dalam menganalisis cyber crime adalah tidak adanya definisi yang konsisten mengenai kejahatan itu,
bahkan di antara para pakar hukum pidana siber maupun penegak hukum. Hal ini bisa dilihat dari
pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi cyber crime antara lain: pendapat Mr. Donn B. Parker
yang mengatakan, bahwa kejahatan komputer adalah perlakuan yang mempunyai nit dan dikaitkan
dengan komputer melalui berbagai cara yang menyebabkan korban menderita atau mengalami kerugian
secara terus menerus.
Selain itu menurut Departemen Kehakiman Amerika Serikat, kejahatan komputer didefinisikan
sebagai segala aktivitas yang tidak sah di mana pengetahuan mengenai teknologi komputer digunakan
untuk merealisasikannya. Dua pendapat in memperlihatkan betapa sangat luasnya perbuatan tercela yang
dilategorikan ataupun dimasukkan dalam kejahatan komputer. Bahkan dalam konsep ini belum ada
kesepakatan mengenai apakah disebut sebagai kejahatan komputer atau kejahatan siber dan apa batasan-
batasan yang dapat digunakan dalam membuat pembedaan.
Kajian Gordon dan Ford juga menemukan ada pendefinisian yang sangat luas dan berbeda tentang
kejahatan siber, misalnya perjanjian internasional (treaty) yang dihasilkan Europe of Council
memasukkan kejahatan terhadap data berupa pelanggaran terhadap hak cipta, Zeviargeese memasuk-kan
fraud, child pornography dan cyberstalking sedangkan PBB melalui manual on the prevention and the
control of computer related crime memasukkan un- authorized access and Forgery. Menurut beliau
definisi yang ada menimbulkan kesulitan karena lebih bersifat deskriptif mengenai aktivitasnya dan
bukan disandarkan pada teori. Padahal definisi yang akurat yang diperlukan untuk mengetahui ruang
lingkup kejahatan siber dan bagaimana upaya penanggulangannya.
Bentuk kejahatan siber memperlihatkan bahwa dalam satu istilah dimungkinkan muncul definisi yang
kadang sangat berbeda antara definisi yang satu dengan yang lain, apalagi jika sudah mengacu kepada
modus atau bagaimana kejahatan tersebut dilakukan oleh para pelaku,201 Sebagai contoh tenninologi
hacking atau cracking mempunyai definisi dan konsep pelaksanaan yang berbeda. Bahkan-dalam
kriminalisasi hacking ada perdebatan:yang panjang mengenai white hacking dengan black hacking untuk
memidana orang yang dianggap melakukan akses tanpa izin.
B. Permasalahan dalam Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Masyarakat dewasa ini dihadapkan dengan jenis dan bentuk kejahatan yang relatif baru dan berbeda
dibandingkan kejahatan konvensional, baik dilihat dari media, bentuk maupun modus operandi yang
digunakan. Kejahatan jenis ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan kejahatan siber (cyber crime),
semakin meningkat dari tahun ke tahun siring dengan populasi pengguna internet. Permasalahan yang
sering mengedepan terkait dengan kejahatan siber in adalah kesukaran dan kekaburan dalam membuat
definisi kejahatan siber. Hal berpengaruh dalam model perlindungan hukum yang sesuai baik dalam
perumusan norma dalam perundang-undangan maupun dalam penegakan hukumnya.
Para pakar dunia dari berbagai disiplin ilmu meyakini bahwa abad ke-21 tau abad milenium ini kita
berinteraksi sebagai masyarakat informasi (information society). Untuk melakukan analisis mengenai
masyarakat informasi, hal yang pertama yang dikaji adalah bidang ekonomi yang mengadopsi struktur
jaringan dalam proses globalisasi. Dalam proses ini, paradigm teknologi informasi berkembang dengan
lima fitur, yaitu (1) informasi sebagai bahan mentah baru, (2) kemudahan dalam penggunaan teknologi
informasi, (3) jaringan logika dari banyak sistem yang menggunakannya, (4) fleksibel, dan (5) terdapat
konvergensi teknologi. Kumpulan lima karekteristik dari ekonomi baru ini disebut sebagai informalism.
Di sin pemrosesan, regenerasi dan transmisi informasi menjadi sumber produktivitas dan keabsahan.
Lebih lanjut Castel mengatakan bahwa jaringan global ini mampu membuat individu atau group
berinteraksi dan melakukan transaksi barang ataupun pemikiran secara lebih bebas dan mudah daripada
sebelumnya, yang utama dalam perubahan ini dilakukan dengan adanya internet dan bentuk-bentuk
teknologi informasi dan komunikasi (ICTs) lainnya.
Hubungan antra rang hidup yang secara tradisional mempunyai jarak, seperti rumah, sekolah, desa
dan kota, kemudian dihubungkan dengan ICTs sehingga relatif mengurangkan jarak dan waktu di rang
tradisional dalam mengirim ataupun menerima informasi terkini. Bahkan ICTs membuat ruang
komunikasi menjadi semakin komplek dan terkoneksi secara permanen dengan adanya fasilitas webcam.
Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi (ICTs) ini juga membuat banyak perubahan
perilaku masyarakat di dunia, apalagi dengan penggabungan teknologi perilaku bar antarmasyarakat dari
berbagai belahan dunia. Bahkan pada sisi yang negatif perubahan perilaku ini meyangkut perillaku
menyimpang dari manusia yang awalnya hanya dapat dilakukan dalam dunia nyata (real space) kemudian
merambah dalam dunia maya. Perubahan perilaku interaksi bagi sebagian orang yang menguasai
teknologi ini kemudian menjalar ke bagian-bagian lain dalam kehidupan manusia menjadi sebuah- nilai-
nilai baru yang diakui dan hidup dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai in akan membentuk
instrumen-instrumen hukum baru terkait dengan perbuatan hukum yang dilakukan seseorang. Perbuatan
tersebut mulai dari berkorespondensi melalui e-mail atau chatting, perniagaan bahkan aktivitas yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan.
Dalam sejarah tercatat kejahatan terhadap komputer dan sistem komputer sudah terdeteksi sejak awal
1950-an. Aktivitasnya biasanya berhubungan dengan kejahatan spionase terhadap informasi rahasia yang
terdapat dalam sistem komputer. Bahkan kejahatan ini semakin meningkat pada akhir tahun 1990-an
dengan terintegrasinya sistem teknologi informasi dan komunikasi melalui pengaplikasian teknologi
internet. Integrasi ini kemudian memunculkan realita baru yang dinamakan realita cyber space. Sebagai
gambaran mengenai kejahatan siber yang melibatkan warga Indonesia ialah sepanjang tahun 2006-2008
beberapa negara di dunia melakukan komplain terhadap penipuan yang dilakukan oleh orang Indonesia,
diantaranya Australia 19 kali, Ceko 13 kali, Slovakia 13 kali, Finlandia 10 kali, Prancis 9 kali, Jerman 9
kali, Yunani 15 kali, Hongaria 7 kali, Inggris 6 kali, Iran 7 kali, Kolombia 8 kali, New Zealand 9 kali,
Polandia 10 kali, Singapura 10 kali, Spanyol 14 kali, Swiss 10 kali, dan Amerika Serikat 14 kali
pengaduan. Bahkan pada tahun 2009, Indonesia mendapat komplain sebanyak 205 kali dari 50 negara di
dunia karena menjadi korban cyber fraud yang diduga pelakunya warga Negara Indonesia.
Berbagai pengaduan tersebut sangatlah sukar untuk diproses secara hukum ketika tidak ada kerja
sama dengan korban ataupun tidak ada kerja sama antarnegara, atau juga mengenai pembuktiannya yang
tidak dilakukan audit forensik elektronik. Sebagai contoh pelibatan korban dalam penuntasan kasus cyber
fraud adalah kasus yang menimpa Chumpon Korp Phaibun, warga negara Thailand yang tertipu dengan
sebuah situs dari Indonesia, yakni www.henbing.com. Melalui situs ini korban bertransaksi untuk
melakukan pembelian jet ski seharga US $19,520. Namun setelah ditranfer wang ke rekening pelaku di
Bank Mandiri, jet ski tersebut tidak diantarkan kepada korban. Setelah ada kerja sama dengan korban,
pihak kepolisian kemudian menangkap tersangka Ronal Lubis dan Bayu pada awal Juli 2010.
Peningkatan berbagai kasus yang berkaitan dengan aktivitas di dunia siber yang kemudian dikenal
dengan istilah kejahatan siber (cyber crime) menunjukkan bahwa kejahatan in merupakan kejahatan serius
yang harus mendapat perhatian lebih dari apart penegak-hukum. Bahkan karena tingkat keseriusan yang
member ancaman melintasi batas teritorial, cyber crime dikategorikan sebagai salah satu kejahatan
transnasional di samping perdagangan obat terlarang, perdagangan manusia, pembajakan dan perompakan
di laut, penyelundudupan senjata, terorisme, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi internasional.
Keseriusan ancaman yang lain, internet menjadi alat yang ampuh yang digunakan oleh orang jahat untuk
melakukan pelanggaran secara anonym.
C. Cyber Space dan Perkembangannya
Cyber space merupakan tempat imajiner yang tidak berupa tempt kediaman dalam bentuk fisik dan lokasi
geografis. Cyber space merupakan sebuah tempat elektronik yang berdaulat di mana individu, komunitas,
korporasi ataupun pemerintah dapat eksis bersama tapa batasan negara. Hal ini digambarkan Jessica
Lipnack dan Jeffrey Stamp dengan ungkapan: smash the boundaries, tear down the hierarchy and dis
mantle the bureaucracy.
Karakter cyber space di sini merupakan media komunikasi global yang menghubungkan kepentingan
internasional dalam jaringan elektronik yang tidak tampil secara fisik melainkan dalam jaringan protokol
yang memungkinkan terjadinya transformasi informasi dan komunikasi antar individu. Dalam bahasa
yang lugas, internet merupakan media yang menghubungkan pengguna atau individu di suatu yurisdiksi
dengan individu yang lain di yurisdiksi yang berbeda.
Perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi ini ternyata membuat banyak perubahan
perilaku masyarakat dunia, apalagi dengan penggabungan teknologi telekomunikasi dan komputer berupa
internet yang menghasilkan sebuah perilaku baru antar masyarakat dari berbagai belahan dunia.
Perubahan perilaku tersebut terkait pola interaksi masyarakat yang sebelumnya hanya dapat dilihat,
didengar dan disentuh menjadi sebuah interaksi maya/virtual. Arus teknologi informasi dan komunikasi
ini juga telah mengubah pola hubungan antar negara dan mengintegrasikan dunia, baik dalam aspek
sosial, budaya, ekonomi maupun keuangan. Proses integrasi yang terjadi dari sistem-sistem kecil lokal,
nasional menjadi sistem global yang menyatu, terbuka, dan saling bergantung satu sama lain.
Perubahan ruang-ruang hidup kontemporer merupakan realitas panorama baru yang terbentuk karena
pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan dan percepatan dunia, Yasraf membahasakan sebagai
dunia yang dilipat, yang didalamnya berbagai sisi dunia tampil dengan wajah baru. Ensiklopedia yang
memenuhi almari dimanfaatkan menjadi sebuah flash disk yang sebesar pulpen, mengirim surat ke
belahan dunia lain yang dahulu memerlukan waktu berbulan-bulan, kin dapat diringkas dalam hitungan
detik melalui e-mail, bahkan mencetak dan mengirim foto yang dulu hanya dapat dilakukan dalam jumlah
dan waktu terbatas, kini dapat diperbanyak dalam jumlah jutaan dan diperoleh secara real time oleh setiap
orang di seluruh dunia melalui intenet.
Menurut Ashadi Siregar, penggabungan komputer dan teknologi komunilasi melahirkan suatu
fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan
dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (hard
reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan dimensi ketiga merupakan
kenyataan maya (virtual). Dimensi ketiga ini memaksa kita memasuki sebuah wilayah baru yang kaya
warna, kaya nuansa, kaya tanda, dan kaya citra yang telah melampaui batas-batas yang dapat kita
bayangkan sebelumnya. Batas-batas kebudayaan sebelumya kini seakan-akan runtuh, dan kini kita hidup
dalam dunia yang telah kehilangan batas. Semakin menipisnya batas-batas budaya ini memicu pula
lenyapnya batas-batas sosial yang ada dan dibentuk masyarakat modern. Dalam era global in semakin
banyak konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme semakin banyak
kehilangan relitas sosialnya. Bahkan sebagian menganggapnya hanya sebuah mitos belaka. Namun
sekarang telah menjadi kenyataan adalah terjadinya beberapa motif kejahatan yang selalu dilakukan oleh
pihak-pihak yang tidal bertanggun jawab dengan menggunakan, media elektronik serta berdampaks pada
pembuktian elektronik yang mash menjadi perbedaan pendapat.
Era globalisasi in ditandai dengan hadirnya masyarakat informasi (information society) yang
memanfaatan teknologi internet dalam berbagai aktivitas keseharian, di sini perilaku bisnis dan
perdagangan mampu menempatkan informasi sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan. Bahkan
sekarang, paradigma yang sedang dikembangkan baik di negara maju maupun negara berkembang ialah
memanfaatkan internet dalam mengubah paradigma ekonomi dari ekonomi berbasis manufaktur menjadi
ekonomi yang berbasis data yang pada akhirnya akan melenyapkan batas-batas teritorial, batas-batas
negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan. Bahkan
Internet telah menjadi second life dan life style dengan beragam penggunaan aplikasi yang menggunakan
internet seperti e-communication dengan menanamkan software OS dalam hand phone yang menyediakan
fasilitas jejaring sosial (facebook, twitter, ycilioo messenger), TV online (www.cnn.com dan
www.bbc.co.uk), media online (www.jawapos.co.id, www.detik.com, www.kompas.com), perpustakaan
online, e-banking dan masih banyak pemanfaatan aplikasi teknologi internet dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data yang dirilis oleh internetworldstats.com, pengguna internet di Asia juga mengalami
pertumbuhan yang signifikan, yaitu sebesar 63%, di antaranya seperti: rilis yang dilakukan per bulan
September 2009 jumlah pengguna internet di Indonesia sebesar lebih dari 50.000.000 orang dengan
32.126.780 orang menggunakan Facebook pada 31 Desember 2010 atau dengan tingkat penetrasi 14,5%.
India 81.000.000 per November 2008. Korea Selatan 34.440.000 orang per bulan Juni 2010, Malaysia
16.902.600 orang per bulan Juni 2009, Jepang dengan populasi penduduk sebanyak 126.804.433 orang
berdasarkan rilis per bulan Juni 2010 terdapat 99.143.700 orang pengguna internet tau 78,2%.
Semakin besar populasi yang menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ternyata
membawa sebuah konsekuensi munculnya berbagai aktivitas yang memanfaatkan TIK ini untuk
melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Mulai dari sekadar perbuatan yang menyimpang sampai
perbuatan yang dapat dikategorikan tercela dan melawan hukum. Beberapa aktivitas ilegal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah cyber crimes atau kejahatan siber.
D. Problematika Penegakan Hukum dalam Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Selain problem mengenai definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor yang turut berpengaruh dalam
proses penegakan hukum, menurut penelitian yang dilakukan oleh Yang dengan mengacu pada tori
aktivitas rutin (the routime activity theory) menunjukkan bahwa peningkatan kejahatan siber, dipengaruhi
tingkat keamanan sistem komputer dalam aktivitas yang dilakukan oleh pengguna. Berbeda dengan
pendapat Grabosky yang lebih condong merujuk kepada peluang atau kesempatan para pelaku. Grabosky
percaya bahwa faktor utama untuk mencegah kejahatan siber adalah dengan mereduksi peluang pelaku
untuk melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi karena seringkali pelaku menjadi termotivasi untuk
melakukan kejahatan ketika terbuka kesempatan atau peluang, yaitu dengan rendahnya tingkat keamanan
dalam jaringan atau sistem komputer.
Berkaitan dengan uraian di atas negara tidak akan sanggup sendirian untuk mengontrol dan
mengendalikan faktor kesempatan, motivasi pelaku dan sistem keamanan jaringan komputer. Negara
memerlukan banyak institusi dan lembaga yang dapat mengendalikan keteraturan yang ada dalam dunia
maya. Artinya hukum (pidana) negara mempunyai keterbatasan jangkauan untuk mengatur dan
melindungi pengguna dari kejahatan. Grabosky percaya bahwa solusi untuk memerangi kejahatan siber
harus melibatkan regulasi hukum negara (penegakan hukum), teknologi dan market.
Beberapa problematika dalam pemberantasan kejahatan siber adalah sebagai berikut.
1. Pelaku kejahatan siber seringkali tidak di tempat atau satu tempat dengan locus delictie ataupun
akibat yang ditimbulkan. Masalah ini menyulitkan penegak hukum untuk melakukan
penangkapan. Bahkan menjadi pesoalan tersendiri ketika pelaku melakukan tindak pidana dari
negara yang berbeda dengan korban. Dalam konteks ini kerja sama antarnegara menjadi sangat
penting untuk diperhatikan terkait dengan yurisdiksi dan kebolehan dilakukan penangkapan oleh
penegak hukum negara yang terkena dampak atau menjadi korban.
2. Tantangan yang lain adalah terkait dengan jumlah dan variasi korban dari kejahatan siber.
Biasanya yang menjadi korban dari kejahatan siber adalah lembaga-lembaga pemerintahan dan
perusahaan-perusahaan yang terkadang di antara-mereka mempunyai kepentingan tidak sama
ataupun bahkan bertentangan satu sama lain, akibatnya muncul hambatan untuk memberantas
kejahatan siber ini.
3. Keunikan kejahatan siber yang lain adalah variasi pelaku dan niat untuk melakukan kejahatan.
Dalam kejahatan siber banyak motif yang tidak jelas atau sukar diprediksi yang menyebabkan
penegak hukum kesulitan untuk mengungkapkan suatu kejahatan siber. Contohnya banyak pelaku
tidak menyadari bahwa perbuatannya merupakan suatu kejahatan siber ataupun tidak menyadari
konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori kejahatan siber.
Selain itu perlu juga dikaji motif para pelaku kejahatan siber seperti keserakahan, nafsu balas
dendam, dan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu di sini merupakan motif unik pada era siber karena
ditandai dengan tantangan untuk mengalahkan sistem keamanan yang lebih komplek.
4. Kesulitan dan keraguan melakukan kategorisasi perbuatan yang dikriminalisasi serta kelambatan
pemerintah menerapkan regulasi yang melawan kejahatan siber.
5. Aparat penegak hukum (polisi), terutama di daerah tidak banyak dibekali pengetahuan dan
peralatan yang cukup untuk memproses pelaku kejahatan siber. Bahkan bisa jadi tidak ada divisi
yang secara khusus untuk memerangi kejahatan siber. Sebagai contoh ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh polisi dalam proses penyidikan yaitu sebagai
berikut.
a. Terkait dengan penyitaan data tau dokumen elektronik milik pelaku, polisi harus mempunyai
pengetahuan mengenai bagian apa yang secara spesifik perlu disita sesuai dengan kebutuhan.
Pertanyaannya bagaimana cara menentukannya?
b. Apakah salinan/copy data elektronik diterima sebagai alat bukti yang sah di persidangan?
Pertimbangan ini perlu schingga polisi tidak perlu menyita seluruh sistem komputer yang
memungkinkan mematikan bisnis yang dibangun dari data elektronik tersebut.
c. Alat apa yang dapat digunakan untuk melakukan akses ke sistem komputer? Apakah yang
dapat dianggap sebagai penyitaan sesuai hukum terhadap informasi dan bagaimana dengan
penyadapan perangkap?
6. Banyak kasus kejahatan siber yang tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum.
Dalam konteks ini biasanya ada 2 (dua) alasan yaitu pertama, korban merasa bahwa serangan
cybercrime yang terjadi padanya bukan hal yang signifikan, dan kedua, korban tidak merasa
yakin bahwa polisi akan sanggup untuk mengatasi serangan cybercrime tersebut.
7. Biasanya serangan kejahatan siber yang berhasil membobol suatu sistem keamanan membuat
kesulitan untuk bertahan dari serangan berikutnya. Hal ini disebabkan pelaku sudah mengenal
dengan baik kelemahan dari sistem keamanan yang dibangun.
Problematika penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber memberikan peringatan perlunya
pemikiran yang jernih mengenai konsepsi yang mesti dipilih dalam memberikan perlindungan terhadap
kejahatan siber, yakni sebagai berikut.
1. Untuk memahami sifat kejahatan siber harus melihat dampaknya, yaitu (1) Locus delictie, (2)
korban, (3) pelaku, dan (4) apa yang sedang dilakukan untuk mengurangi ancaman kejahatan
siber.
2. Memperhatikan faktor-faktor yang mendukung efektifitas dalam mengurangi kejahatan siber,
antara lain:
a. sifat kejahatan siber harus dipahami sebagai klasifikasi kejahatan siber yang bervariasi
tergantung pada pelaku dan korban;
b. kejahatan siber harus dianalisis dalam hubungannya dengan ancaman keamanan yang
dilakukan;
c. struktur keamanan harus dimplementasikan untuk menanggulangi bahkan menyerang
kejahatan siber.
3. Apabila menggunakan KUHP dan U pidana konvensional diluar KUHP dengan argumentasi
mengisi kekosongan hukum/celah hukum perlu penafsiran baru terhadap norma KUHP
disesuaikan dengan konteks kekinian.
4. UU tentang penanggulangan kejahatan siber haruslah mengintegrasikan antara norma yang
dibentuk negara yang bersifat top-down dengan self-regulation dalam alam siber yang juga
berperan memberi andil keteraturan dalam alam siber. Artinya dalam menanggulangi kejahatan
siber, hukum pidana puny keterbatasan, agar efektif perlu konksistensi dengan norma-norma yang
hidup dan ditaati oleh pengguna, seperti netizen.
5. Teknologi berperan dalam mencegah pelaku memanfaatkan peluang kesempatan melakukan
kejahatan siber seperti enkripsi, autentikasi, biometrik dan sebagainya.

E. Beberapa Kasus dalam Kejahatan Siber (Cyber Crime)


Satjipto Rahardjo dalam tulisannya berjudul "Mengubah Cara Penyelesaian Hukum" mengemukakan
bahwa sejak perkembangan profesi hukum di abad ke-19 yang mampu mengukuhkan kedudukan dan
perannya dalam masyarakat, maka boleh dikatakan bahwa hukum yang diajarkan di pendidikan hukum
memberikan dukungan terhadap mereka itu. Muncul suatu kategori berpikir dan menyelesaikan masalah
yang unik, yang lazim disebut "berpikir secara hukum". Metode hukum seperti itu adalah metode yang
steril dan terisolasi dari kenyataan sehari-hari. Bangsa ini hendaknya diberitahu bahwa cara-cara berpikir
dan menyelesaikan hukum selama ini bukanlah satu-satunya.
Cukup banyak aliran pemikiran hukum lain yang dapat dipakai. Contoh kecil adalah yang dilakukan
melalui alternative dispute resolution (ADR) yang menempuh jalur lain daripada cara-cara penyelesaian
perkara secara yuridis tradisional. Cara-cara alternatif atau apa pun namanya, menunjukkan bahwa
perlunya secara kreatif menangani masalah-masalah hukum. Filsafat besar di belakang semua itu adalah
"hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya".
Tindak pidana adalah masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang
tidak dapat diselesaikan melalui konsep keadilan distributif semata. Terhadap adanya kebijakan hukum
pidana yang sudah berkembang, maka sebagaimana pandangan Marc Ancel yang mengatakan bahwa
dalam perkembangan masa kini perlu ada suatu kebijakan bar yang sudah berkembang dalam konsep
kebijakan pidana modern di mana hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu atau
bagaimanapun juga, tidak dapat mengabaikan kenyataan mengenai perasaan individu dan masyarakat
tentang tanggung jawab yang bersifat perorangan.
Perlindungan individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum
pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu sistem hukum pidana, tindak
pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni
merupakan lembaga-lembaga (institusi) yang harus tetap dipertahankan.
Dalam fakta di lapangan telah banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan UU ITE yang menarik
perhatian masyarakat. Untuk itu penulis menjadikan beberapa kasus menjadi bahan kajian dalam buku ini,
di antaranya sebagai berikut.
1. Kasus Penghinaan Melalui Media Sosial Facebook
Korban kasus penghinaan melalui media sosial facebook terhadap Saudara Hartanto dengan
Tanda Bukti Lapor ke Polda Metro Jaya Nomor TBL/510/I/PMJ/Dit Reskrimsus tanggal 11
Februari 2014 atas penghinaan melalui media sosial facebook serta beredar di media internet
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam
laporan ke Polda Metro Jaya, pelapor dalam hal ini korban pada waktu tanggal 07 Februari 2014,
bertempat di Gedung Menara Merdeka Lantai II, JI. Budi Kemulyaan I No. 2, Jakarta Pusat,
mengetahui telah beredar di media sosial facebook tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dan fitnah terhadap dirinya sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP
dan atau Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sengaja 3 (tiga) akun dengan memakai nama
Nyonya Har Hartanto, Anhien Hartanto (AnHar), dan Henny Eni Herawaty.
Dalam akunnya ketiga orang tersebut melakukan penghinaan, pencemaran nama baik dan memfitnah
kepada Saudara Hartanto, yang diakses dan dapat dilihat publik melalui media sosial facebook, dalam
akun facebooknya Nyonya Har Hartanto melakukan pencemaran nama baik dan fitnah dengan menulis di
wall facebook (dinding facebook) mengaku mempunyai anak dari Hartanto dan meminta status anaknya
diakui dan memfitnah serta mencemarkan nama baik, tapa ada penjelasan atau kofirmasi kepada yang
bersangkutan, sedangkan Saudara Hartanto sama sekali tidak mengenal atau berhubungan dengan orang
yang bernama Nyonya Har Hartanto tersebut, begitu pula akun atas nama Anhien Hartanto (AnHar) yang
menuliskan di wall-nya yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik, sedang Saudara
Hartanto juga tidak mengenal Anhien Hartanto, serta akum atas nama Henny En Herawaty juga
melakukan hal yang sama di wall-nya menghina dan mencemarkan nama baik Saudara Hartanto,
sedangkan Saudara Hartanto tidak mengenal ketiga akun tersebut, dan akhirnya ketiga akun tersebut
dilaporkan ke Polisi oleh yang bersangkutan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 50/PUU-V1/2008 atas Judicial Review Pasal 27 ayat
(3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan
offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia
cyber crime (penghinaan online) karena ada unsur "di muka umum". Dapatkah perkataan unsur "diketahui
umum", "di muka umum", dan "disiarkan" dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHIP mencakup
ekspresi dunia maya? Memasuki dunia maya ke dalam pengertian "diketahui umum", "di muka umum",
dan '"disiarkan", sebagaimana dalam KUFIP, secara harafiah kurang memadai, schingga diperlukan
rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata "mendistribusikan" dan/atau "mentransmisikan"
dan/atau membuat dapat diakses" muatan pencemaran nama baik"
Pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tapa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Adapun unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik adalah sebagai
berikut.
a. Unsur-unsur objektif di dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah:
1) Perbuatan, yaitu dalam bentuk mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat
diaksesnya.
2) Melawan hukum, adalah yang dimaksud dengan "tampa hak".
3) Objeknya adalah Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
b. Unsur subjektif dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud
dengan "dengan sengaja". Ketika perbuatan mendistribusikan, mentransimisikan, dan membuat
dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan
penjelasannya di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tersebut baik dari sisi yuridis maupun Informasi Elektroniknya.
Sehubungan dengan pendapat Mahkamah Konsitusi mengenai kesimpulan unsur "di muka umum"
tidak menjadi unsur dalam penyebaran Informasi Elektronik, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, telah diatur rumusan khusus yang bersifat
ekstensif yaitu kata "mendistribusikan" dan/atau "mentransmisikan" dan/atau "membuat dapat diakses".
Mengenai ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertian sebagai berikut; "Mendistribusikan" adalah
perbuatan menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik melalui media elektronik, seperti web,
mailing list. "Mentransmisikan" adalah perbuatan mengirimkan, memancarkan, atau meneruskan
informasi melalui perangkat telekomunikasi, internet, serta hand phone. "Membuat dapat diakses" adalah
perbuatan memberikan peluang suatu informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain,
seperti membuat link atau memberitahu password suatu sistem elektronik.
Mengenai perbedaan soal substansi Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, ada pendapat bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berkaitan dengan Pasal 310 KHUP,
yang mana unsur "di muka umum" berlaku pula dalam penyebaran Informasi Elektronik bermuatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, misalnya Informasi Elektronik yang disebarkan lewat email
dikatakan tidak memenuhi unsur di muka umum karena sifatnya tertutup dan individual. Sementara
pendapat yang lain bahwa unsur di muka umum dapat digunakan dalam penyebaran Informasi Elektronik
karena kekhususan penyebaran Informasi Elektronik, cepat, berbagai jalur seperti email, web, sms, dan
jangkauannya yang sangat luas, shingga Informasi Elektronik yang disebarluaskan lewat email tidak perlu
dipersoalkan dan dilaitkan dengan unsur "di muka umum", dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menjangkau semua jenis penyebaran Informasi Elektronik
baik tertutup, misalnya lewat email, ataupun terbuka, misalnya lewat website.
Pada Pasal A5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tcntang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana yang relat diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, yang
berbunyi:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atan Dokumen Elektronik yang
memitiki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tabun dan/atau denda paling banyak Rp1.
000.000.000,00 (satu miliar rupiab):
(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tampa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Flektronik yang
memitiki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja dan tapa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pengbinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima pulub juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan tampa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tabun dan/atau denda paling paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik adwan.
Pasal 45A
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tampa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tapa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atan kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 45B:
(3) Setiap orang yang dengan sengaja dan tampa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Mengenai hal seorang pelaku tindak pidana penghinaan terbukti bersalah dalam persidangan dengan
sanksi pidana penjara selama-lamanya satu tahun kurungan, akan tetapi apabila si pelaku/terhukum tidak
memenuhi syarat tertentu, maka akan ditentukan putusan lain oleh apart penegak hukum. Dalam
praktiknya hukuman semacam ini akan jarang sekali sampai dijalankan karena si pelaku atau terhukum
akan berusaha benar-benar dalam masa bersyarat tidak melakukan suatu tindak pidana, dan syarat
khususnya biasanya dipenuhi, hukuman tidak otomatis dijalankan, akan tetapi harus ada putusan lagi dari
aparat penegak hukum. Maka dalam praktiknya, sangat memungkinkan sekali akan dijatuhkan hukuman
bersyarat, dan sama sekali tidak dirasakan sebagai hukuman.
Di dalam unsur "muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" yang diatur dalam Pasal 27
ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengacu
dan berpedoman pada KUHIP, khususnya dalam Bab XVI tentang Penghinaan, Pasal 310 KUHP
berbunyi:
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketabui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atan gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau
ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tabun 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500,00 (empat
ribu lima ratus rupiah).
(3) Tidak merupakan pencemaran mama atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau arena terpaksa untuk membela diri.
Di dalam Pasal 310 KUHIP in memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau
pencemaran nama baik, yaitu tindakan yang dilakukan untuk menyerang kehormatan atau nama baik
orang lain dengan maksud diketahui oleh umum. Oleh sebab itu, untuk perbuatan mendistribusikan,
mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya suatu tulisan elektronik, dalam Pasal 310 KUHP ini
harusnya untuk maksud menyerang kehormatan orang lain atau nama baik orang lain dengan maksud agar
dapat diketahui oleh umum, orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi
hukum (rechts persoon), pribadi hukum tidak memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar
mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh
wakilnya yang resmi, akan tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan kepada pribadi kodrati, sama
seperti pembunuhan atau dianiaya secara harfiah.
Dalam delik penghinaan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, adalah bersifat subjektif sama seperti dalam Pasal 310 KUHP. Dengan maksud,
bahwa perasaan yang telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang adalah hak penh dari
korban. Korbanlah yang dapat menetukan bagaimana dari informasi atau dokumen elektronik yang
menyerang kchormatan atau nama baiknya. Sedangkan penilaian subjektif ini harus dimbangi dengan
kriteria-kriteria yang lebih objektif. Tampa adanya kriteria yang lebih objektif, maka maksud
perlindungan hukum yang terkait dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, maka dapat disalahgunakan. Dalam kriteria-kriteria tersebut dapat
dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang menghina atau mencemarkan nama baik seseorang.
Mengenai penerapan hukum pidana materiil, yang terkait dengan delik penghinaan di media sosial
facebook haruslah memprioritaskan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dikarenakan undang-undang in merupakan ketentuan khusus yang
mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum yang terdapat di dalam KUHIP (Lex Spesialis Derogat
Legi Generali), dalam Pasal 310 KUHIP tidak mungkin ditujukan kepada institusi sebagai korporasi
karena penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ditujukan kepada nama baik seseorang.
2. Kasus Hacker BBM (Black Berry Messenger)
Korban kasus hacker BBM (Black Berry Messer) hand phone terhadap sdr. Ical dengan Tanda Bukti
Lapor ke Polda Metro Jaya Nomor: LP/455/I/2014/PMJ/Dit Reskrimsus tanggal 6 Februari 2014. Dalam
laporan tersebut, diduga ada tindak pidana penipuan sesuai Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diduga penipuan
dilakukan melalui hacker BBM hand phone serta mengakibatkan kerugian materiil, kejahatan cyber crime
modus baru ini dalam kejahatan dengan melakukan hacker terhadap BBM hand phone dari pemiliknya
sdr. Ical, menurut sdr. Ical pelaku dipastikan mempelajari jejak conversation yang tersimpan dalam
BBM-nya dengan para rekan dan kerabatnya, dari situlah akhirnya pelaku melakukan penipuan melalui
BBMI kepada saudara, teman dan ibu mertuanya. Pelaku dalam BBM-nya menyamar menjadi sr. Ical dan
meminta ditransfer dana dari kakak dan ibu mertuanya, dan korbannya melakukan tranfer tanpa merasa
curiga karena menyangka bahwa yang meminta transfer lewat BBM tersebut adalah sdr. Ical.
Berdasarkan kasus penipuan hacker BBM ini, maka perbuatan yang dilakukan oleh hacker telah
memenuhi unsur objektif dan unsur subjektif sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disertai alat bukti yang terkandung
pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yang terkait dengan tindak pidana penipuan informasi dengan cara membuat
informasi Pasal 1. Sanksi pidana terhadap pelaku penipuan membuat informasi palsu diatur dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Pelaku kejahatan penipuan hacker BBM pada cyber crime di Indonesia tidak dapat dijerat oleh pasal
dalam KUHP dikarenakan KUHP tidak mengatur tentang kejahatan ini, akan tetapi kejahatan hacker
BBM pada kejahatan cyber crime tetaplah sebuah kejahatan, oleh karena itu harus dikenakan sebuah
hukuman yang pasti dan teas untuk perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai korban
dari pelaku cyber crime.
Meskipun pada saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tindak pidana penipuan hacker BBM
secara khusus, bukan berarti tindak pidana tersebut dapat lolos dari hukum, karena masih ada ketentuan
hukum dalam KUHP yang dapat diterapkan terhadap kejahatan tersebut yang diatur dalam Pasal 318
KUHIP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum,
baik dengan memakai nama atau kedudukan palsu baik dengan perbuatan-perbuatan tip muslihat
maupun dengan rangkaian kebohongan, membujuk orang lain supaya menyerahkan suatu barang
atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan hukuman
penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun”
Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok yang diatur dalam Pasal 378 KUHP terdiri atas unsur-
unsur:
a. Unsur Subjektif:
1) Dengan maksud atau met het oogmerk dalam hari ini beriktikad buruk.
2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau lain dalam ini mencari keuntungan dengan
memanfaatkan kondisi kebutuhan masyarakat.
3) Secara melawan hukum atau wederrechtelijk dalam hal ini dengan perbuatan yang menetang
undang-undang atau tapa izin pemilik yang bersangkutan.
b. Unsur Objektif:
1) Barang siapa dalam hal ini pelaku.
2) Menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut: menyerahkan suatu benda, mengadakan
suatu perikat tang atau meniadakan suatu piutang.
3) Dengan memakai sebuah nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat atau rangkaian kata-
kata bohong.
Dalam melakukan aksinya hacker BBM bermaksud melakukan perbuatan untuk menguntungkan
dirinya sendiri ataupun orang lain. Kata "dengan dimaksud" atau "met het oogmerk" harus diartikan
sebagai maksud dari pelaku untuk menguntungkan dirinya sendiri tau orang lain secara melawan hukum,
keuntungan yang diperoleh dan cara memperolehnya tersebut bertentangan dengan kepatutan dalam
pergaulan masyarakat serta melanggar hukum.
3. Kasus Penyebaran dan Pendistribusian Gambar atau Foto Hasil Rekayasa yang Melanggar
Asusila di Media Elektronik (Internet)
Korban rekayasa penyebaran foto asusila Tora Sudiro dan Darius Sinathrya dengan Tanda Bukti Laporke
Polda Metro Jaya Nomor: TBL/1608N/2013/PJ/Dit Reskrimsus tanggal 13 Mei 2013. Dalam laporan
tersebut, diduga ada tindak pidana penyebaran dan pendistribusian gambar atau foto hasil rekayasa yang
melanggar kesusilaan di media elektronik tau internet sesuai Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diduga sebuah foto
rekayasa adegan gambar atau foto asusila sesama jenis yang menampilkan wajah Tora Sudiro, Darius
Sinathrya, dan Mike (Mantan VJ MTV), beredar di dunia maya atau internet. Darius Sinathrya yang
merupakan saksi dan korban dalam laporannya tersebut menyatakan, bahwa banyak teman-temanya
meminta untuk mengklarifikasi kebenaran dari foto-foto tersebut, karena yang bersangkutan merasa
dirugikan dengan rekayasa foto asusila yang di claim-nya palsu, maka yang bersangkutan secara bersama-
sama melaporkan ke Polda Metro Jaya.
Dari kasus ini, pelaku rekayasa gambar atau foto asusila di media elektronik atau internet dapat
dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang /Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, disebutkan bahwa salah satu perbuatan yang dilarang dalam penyebaran sebuah konten
penyebaran atas konten yang bermuatan asusila. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, acaman pidana dalam pasal ini adalah pidana paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime dalam hukum
pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Tugas
penyidik dalam melakukan perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime tidaklah mudah,
karena diperlukan kerja sama antara aparat penegak hukum. Sedangkan hukum acara pidana dan Undang-
Undang Teknologi Informatika hanya dapat menunjukkan jalan untuk mencari mungkin penyesuaian
barang bukti dan keyakinan antara penegak hukum dengan adanya alat bukti dan barang bukti.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan
terhadap terdakwa, supaya perlindungan terhadap korban dari pelaku cyber crime tersebut dapat
memberikan rasa keadilan terhadap korbannya. Melalui pembuktian dapat ditentukan nasib terdakwa.
Dalam masalah pembuktian tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, penipuan, dan
rekayasa foto asusila dengan cara melalui media sosial atau internet (scam), dalam pelaksanaan
perlindungan hukum korban dari pelaku cyber crime mempergunakan hukum positif KUHP dan undang-
undang teknologi informatika, dikarenakan belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang
cyber crime. Sedangkan sistem peradilan pidana memandang keempat aparatur penegak hukum, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak
dapat terpisahkan dari sistem penegakan hukum.
Dalam sistem pembuktian di era teknologi informasi saat ini dalam menghadapi tantangan kejahatan
cyber crime sangat memerlukan penanganan serius, termasuk dalam kaitannya dengan upaya
perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime. Hal in muncul dikarenakan bagi sebagian
pihak, jenis alat bukti yang selama ini dipakai untuk menjerat para pelaku tindak pidana cyber crime
dengan adanya kejahatan cyber crime modus-modus bar yang mengikuti perkembangan dan kemajuan
teknologi informatika, sedang perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai korban dari
pelaku cyber crime sangat diperlukan untuk memberikan rasa kcadilan dan rasa aman. Permasalahan yang
dihadapi oleh penyidik dalam melakukan penyidikan dan pengumpulan barang bukti terhadap kasus
kejahatan cyber crime, adalah sebagai berikut.
a. Kesulitan mendeteksi kejahatan komputer, hal in disebabkan karena:
1) Sistem keamanan dari komputer itu belum memadai.
2) Adanya keengganan dari pemilik komputer untuk melaporkan setiap timbulnya peristiwa
penyalahgunaan komputer.
3) Masyarakat belum begitu berperan di dalam upaya mendeteksi kejahatan komputer.
b. Barang bukti mudah dihilangkan/dimusnakan/ dirusak/dihapus.
c. Penyidikan dapat terputus/tertunda oleh sistem yang macet.
d. Rekaman pada sistem komputer dapat dimodifikasikan sehingga barang bukti dapat diubah.
e. Komputer dapat melaksanakan perintah siapa saja, shingga sulit dilacak siapa pelaku yang
sebenarnya.

4. Kasus Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik Milik Orang Lain


Korban kasus mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain terhadap Data Transaksi
Bank Permata. Kasus yang tercatat dalam perkara kasasi Nomor: 1196 K/Pid.Sus/2011 dengan terdakwa
Sanjaya Loe Alias Tje Foeng alias Akew dilakukan dengan cara menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan tapa hak melawan hukum mengakses komputer dan/atau
sistem elektronik milk orang lain dengan cara apapun antara beberapa perbuatan, meskipun masing-
masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Kasus pencurian identitas kartu kredit berawal Oktober 2009, Harry Agus Tumewu alias Hendro
Danutirto dengan Henky Otto Tumewu alias Alexander Wenas, Henky Otto Tumewu alias Alexander
Wenas yang diajak bekerjasama oleh Harry Agus Tumewu untuk melakukan pencurian identitas melalui
mesin EDC (Electronic Data Computer), yaitu mesin yang digunakan untuk melakukan transaksi
menggunakan kart kredit dan kart Debit pada merchant apabila costumer berbelanja atau bertransaksi
dengan tidak membawa uang. Lalu identitas dalam kartu kredit tersebut akan dimasukkan ke dalam
sistem komputer, sehingga seolah-olah terjadi transaksi pada merchant yang mempunyai mesin EDC
tersebut. Jika ada pembayaran dari pihal Bank Permata atas transaksi yang sebenarnya tidak ada tersebut,
hasilnya dibagi dua, yaitu 50% untuk merchant dan Terdakwa bersama teman-temannya sebagai
koordinator wilayah serta 50% untuk Henky Otto Tumewu alias Alexander Wenas bersama dengan Henry
Martinus Tumewu alias Denny Korompis, Harry Agus Tumew alias Hendro Danutirto dan Miko
(keduanya sebelumnya pernah bekerja di bagian Kartu Kredit Bank Permata dan mengetahui sistem
pelaksanaan transaksi melalui kartu kredit Bank Permata).
Henky Otto Tumewu alias Alexander Wens juga mengajak untuk bekerjasama dalam rangka
melakukan transaksi kartu kredit Bank Permata secara illegal yang dikeluarkan oleh Bank Permata, dan
Terdakwa Sanjaya Loe alias Tje Foeng alias Akew setelah mendengar adanya pembagian keuntungan
masing-masing 50% dari setiap transaksi yang berhasil dibayar, kemudian menyetujui kerjasama tersebut
untuk melakukan pemalsuan identitas yang terdapat dalam kartu kredit.
Dengan semakin banyaknya jasa perbankan dan situs dagang yang menawarkan kemudahan jasa
pembayaran dan finansial secara elektronik seperti Internet banking, phone banking dan e-commerce
diringi dengan penggunaan kartu kredit sebagai otorisasi transaksi maka para pelaku kejahatan yang
mulanya bertindak secara fisik (begal, perampok, pencopet, dan sebagainya) kin mulai beralih ke dunia
maya dengan harapan memperoleh target sasaran yang lebih besar, lebih menguntungkan dan risiko yang
lebih kecil. Dengan berbagai cara mereka berusala untuk mencari celah dan jalan yang bisa mereka susupi
untuk menjalankan aksi-aksi kejahatan mereka.
Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat menuntut terdakwa
dengan 2 (dua), yaitu sebagai berikut.
a. Perbuatan Terdalwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHIP.
b. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat
(1) KUHP.
Pembobolan Bank Permata yang dilakukan dengan cara menggunakan mesin EDC (Electonic Data
Capture) Bank Permata dengan transaksi fiktif atau alat penggesek kartu Kredit/Debit mengatasnamakan
merchant (meliputi wilayah Jakarta-Bandung dan Jateng serta Bali dan Medan).
Transaksi fiktif terjadi dengan cara mesin EDC tidak mengirimkan transaksi ke Server Bank Permata
dan mesin EDC menyimpan transaksi tersebut di memori mesin EDC dan mesin EDC langsung
memberikan persetujuan atas transaksi tersebut, lalu mesin EDC mencetak sales slip transaksi. Cara ini
biasa disebut offline, yang biasanya hanya dibolehkan untuk hotel-hotel bukan terhadap merchant-
merchant.
Dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa X tentang The Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders di Vienna, 10-17 April 2000, memberi pengertian tentang cyber crime dalam dua kategori,
yaitu
a. Cyber crime in a narrow sense (computer crime), any illegal behavior directed by means of
electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by
them (Cyber crime dalam pengertian sempit, kejahatan komputer), apa pun perilaku yang tidak
sah yang diarahkan atas bantuan operasi elektronik dengan sasaran keamanan sistem komputer
dan data yang diprosesnya).
b. Cyber crime in a broader sense (computer related crime), any illegal behavior committed by
means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal
possession and offering or distributing information by means of a computer system or network
(Cyber crime dalam pengertian luas, kejahatan yang terkait dengan komputer); apapun perilaku
yang tidak sah yang dilakukan atas bantuan, atau dalam hubungan dengan suatu sistem komputer
atau jaringan, mencakup kejahatan pemilikan tidak sah dan menawarkan atau membagi- bagikan
informasi atas bantuan suatu sistem komputer atau jaringan.
Berdasarkan pengertian di atas, computer crime mencakup perbuatan ilegal terhadap sistem dan
keamanan data (data security) dengan menggunakan sarana elektronik. Sistem komputer (computer
system) dan keamanan data (data security) meliputi 3 (tiga) masalah pokok, yaitu:
a. The assurance of confidentially Gaminan kerahasiaan).
b. Integrity (keutuhan), dan
c. Availability of data and processing functions (tersedianya fungsi data dan proses).
Ketiga masalah pokok tersebut meliputi unauthorized access, damage to computer data or computer
programs, computer sabotage, unauthorized interception, dan computer espionage. Sedangkan cyber
crime merupakan kejahatan yang dilakukan dengan media elektronik atau dilakukan sebagian atau
sepenuhnya dalam lingkungan elektronik.
Bahwa unsur-unsur yang termasuk dalam tindak pidana mengakses komputer dan/atau sistem
elektronik milik orang lain dengan cara yang tidak sah terdapat di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:
“Setiap orang dengan sengaja dan tapa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau
sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun".
Dari bunyi Pasal 30 ayat (1) UUITE tersebut, maka unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam pasal
ini terdiri atas unsur:
a. Setiap orang.
b. Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum.
c. Mengakses.
d. Komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain.
e. Dengan cara apapun.
Perbuatan mengakses adalah perbuatan yang berinteraksi dengan sistem computer baik berdiri sendiri
maupun yang memiliki sistem jaringan maupun on line maupun sistem tersendiri. Perbuatan mengakses
dilarang kecuali yang bersangkutan mempunyai lisensi, biasanya dalam bentuk kode kode atau ID
tertentu. Kalau yang sah, ada izin dan boleh dilakukan tapa melanggar hukum, namun yang tidak sah,
masuk tampa adanya ijin dari yang bersangkutan dan karenanya tidak sah. Tindak pidana ini adalah suatu
perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang tertulis atau tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang berlaku.
Proses transaksi dengan kart kredit melalui merchant berbeda dengan internet. Di internet, proses ini
bersifat card not present transaction artinya ketika transaksi, pembeli tidak harus menunjukkan kartu
kredit dalam bentuk fisik kepada merchant. Hanya nomor, masa berlaku dan data diri pemilik kartu kredit
saja yang biasanya harus disikan pada form yang telah disediakan. Disini dituntut kepercayaan penuh
kepada merchant bahwa informasi kartu kredit tersebut tidak akan digunakan untuk hal-hal yang akan
merugikan pemiliknya.
Baik pembeli maupun merchant, sebenarnya sama-sama menghadapi risiko yang sama besarnya
terhadap sistem pembayaran menggunakan kartu kredit di internet. Pembeli kuatir informasi tentang kartu
kreditnya akan disalahgunakan oleh merchant, bila merchant menggunakan sistem pemrosesan kartu
kredit sendiri. Di lain pihak, merchant akan mengalami kerugian bila ternyata informasi dari kartu kredit
yang diberikan pembeli adalah penipuan kartu kredit ataupun kartu kredit curian sehingga barang sudah
terlanjut dikirim tetapi uangnya tidak bisa dicarikan.
5. Kasus Hacking Situs KPU
Korban kasus hacking KPU adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan pelaku Dani Firmansyah,
kasus tersebut dengan Putusan Nomor 1322/PID.B/2004/PN Jkt.Pst., tanggal 23 Desember 2004. Dani
menyatakan bahwa keinginannya untuk melakukan hacking ini didasarkan atas dasar perkataan dari Tim
Ahli Komisi Pemilihan Umum dan anggota KPU yang menyatakan bahwa situs yang dikelolanya tersebut
aman dengan sistem pengamanan tujuh lapis (seven layers). Tersangka ingin membuktikan bahwa situs
tersebut tidak aman seperti yang dikatakan mereka.
Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), perkara ini bermulai dari hari Sabtu tanggal 17
April 2004 sekitar pukul 11:24:16 WIB atau setidak-tidaknya dalam bulan April 2004, bertempat di PT
Dana Reksa, Jalan Medan Merdeka Selatan No. 14 Jakarta Pusat. Pada hari itu, terdakwa secara tanpa hak
melakukan akses ke jaringan telekomunikasi milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan melakukan
penyerangan (attacking) ke server tnp.kpu.go.id dengan cara SQL (Structure Query Language) Injection
dan berhasil menembus kunci pengaman Internet Protocol (IP) tmp.kpu.go.id
Terdakwa melakukannya dengan menggunakan teknik spoofing (penyesatan) yaitu melakukan
hacking (mengakses ke jaringan telekomunikasi) dari Internet Protocol (IP) 202.158.10.117 PT. Dana
Reksa dengan menggunakan Internet Protocol (IP) Proxy Thailand, yaitu 208.147.1.1. Terdakwa
mendapatkan IP Thailand tersebut dari situs http://www.samair.ru/proxy Kemudian dengan menggunakan
IP Proxy Thailand tersebut terdakwa dengan menggunakan akses internet dari kantor terdakwa mencoba
menganalisis kembali variabel-variabel yang ada di situs http://tp.kpu.go.id dengan metode SQL Injection
yaitu dengan menambahkan perintah SQL dari URL (Uniform Resource Locator) yang disebutkan diatas
yaitu: http://tnp.kpu.go.id/DPRDII/dpr dapil.asp?type=view&kodeprop= 1 & kokodekab = 7. Dari hasil
analisis didapat nama kolom di tabel partai milik web http://tnp.kpu.go.id Kemudian dari hasil uji coba
diperoleh kesimpulan bahwa situs milik KPU di http://tmp.kpu.go.id terkena Bug SQL Injection. Hal ini
bisa dilihat dari message error yang tampak di browser Internet Explorer yang terdakwa gunakan pada
saat menggunakan metode SQL Injection. Dengan menggunakan modifikasi di URL tersebut lalu;
terdakwa rambahkan command-command SQL seperti contoh ini: http://mp.kpu.go.id/DPRDIUdpr.dapil
asp?type=view&kodeprop =1&kokodekab=7;UPDATE partai set narria = partai dibenerin dulu webnya
where pkid= 13. Dengan mengakses URI, itu maka salah satu nama partai diwebsite http://tnp.kpu.go.id
berubah menjadi: "partai dibenerin dulu webnya". Terdakwa berhasil melakukan UPDATE tabel
(merubah tabel) nama partai jam 11:24: 16 sampai dengan 11:34:27.
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam Surat Dakwaan No. Reg. Perkara PDM:
1201/JKT.PST/07/2004 menuntut terdakwa dengan beberapa dakwaan yaitu sebagai berikut:
a. Dakwaan Pertama
Terdakwa telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, huruf a juncto Pasal
50 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yaitu setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi.
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
b. Dakwaan Kedua
Terdakwa telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a juncto Pasal
50 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu setiap orang
dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jasa
telekomunikasi. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
c. Dakwaan Ketiga
Terdakwa telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c juncto Pasal
50 Undang-Undang UU RI No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu setiap orang
dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan
telekomunikasi khusus. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
d. Dakwaan Keempat
Terdakwa telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 juncto Pasal 55
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektronik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Berdasarkan fakta hukum dan pertimbangan hukum serta mengingat akan pasal-pasal dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, majelis hakim menyatakan Terdakwa Dani
Firmansyah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tapa hak, tidak
sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Penindakan kasus cyber crime sering mengalami hambatan terutama dalam penangkapan
tersangka dan penyitaan barang bukti. Dalam penangkapan tersangka sering kali kita tidak dapat
menentukan secara pasti siapa pelakunya karena mereka melakukannya cukup melalui komputer yang
dapat dilakukan di mana saja tapa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui
secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan IP Address dari pelaku dan
komputer yang digunakan. Hal itu akan semakin sulit apabila menggunakan warnet sebab saat ini masih
jarang sekali warnet yang melakukan registrasi terhadap pengguna jasa mereka sehingga kita tidak dapat
mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat terjadi tindak pidana. Penyitaan barang
bukti banyak menemui permasalahan karena biasanya pelapor sangat lambat dalam melakukan pelaporan,
hal tersebut membuat data serangan di log server sudah dihapus biasanya terjadi pada kasus deface,
sehingga penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang terdapat di dalam server sebab
biasanva secara otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini
membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang bukti sedangkan data
log statistik merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya
serangan.
Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan
modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal
pembuktian. Banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, schingga
untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah sulit, belum lagi kendala masalah bukti-bukti
yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kode-kode digital yang membutuhkan Sumber
Daya Manusia (SDIM) serta peralatan komputer forensik yang baik.
F. Perlindungan Hukum dalam Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Negara hukum yang hendak diwujudkan oleh Indonesia adalah Negara hukum dengan dijiwai oleh prinsip
rule of law. Oleh karena itu baik Negara hukum dengan prinsip rechtsstaat maupun rule of law, haruslah
diletakkan dalam bingkai hubungan yang prismatic, dalam negara hukum Indonesia menempatkan diri
pada posisi netral dalam memberlakukan perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai
korban dari pelaku cyber crime, sehingga bisa mengambil unsur yang baik, yaitu adanya kepastian hukum
yang adil. Apabila prinsip perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika tersebut di atas
tidak sesuai dengan keadilan, maka apart penegak hukum di Indonesia tidak hanya diperbolehkan, akan
tetapi sangat dituntut untuk mampu membuat putusan-putusan yang tidak semata-mata tunduk pada
perintah formal undang-undang, dengan catatan "ketidaktundukan", tersebut dimaksudkan untuk
menegakkan keadilan bagi perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai korban dari
pelaku cyber crime. Setiap orang senantiasa berkeyakinan hukum ini ada hubungannya dengan keadilan,
perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika hanya pantas dipandang sebagai hukum
manakala hukum tidak menentang keadilan.
KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Salsi dan Korban sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 serta undang-undang lainnya, dianggap tidak
mampu untuk mengikuti perkembangan perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika
yang semakin canggih dan melas, terkadang gagal pula untuk menciptakan atau melahirkan keadilan.
Akan tetapi, bagi pengikut faham legisme atau positivisme, KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pelindungan Saksi dan Korban sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014, serta undang-undang lainnya masih merupakan hukum positif, dengan demikian walaupun
dianggap tidak adil sistem perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika tersebut, maka
aturan hukum positif tersebut harus tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan.
Pemikiran hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo masih dianggap relevan dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap korban dari pelaku cyber crime. Hukum progresif itu sendiri
merupakan teori hukum kontemporer yang sangat bernilai dan berguna bagi pembangunan hukum yang
berwujud manusiawi. Ilmu hukum progresif adalah sebuah ilmu yang selalu tidak tetap melakukan
pencarian dan pembahasan dalam menentukan atau memutuskan permasalahan perlindungan hukum
pengguna teknologi informatika sebagai korban dari pelaku cyber crime, maka dari itu pencarian akan
terus dilakukan, karena hakikat ilmuitu adalah: “mencari kebenaran”, di sinilah perlindungan hukum
korban pengguna teknologi informatika merupakan suatu institusi dalam masyarakat yang dapat
dipercaya untuk melakukan pencarian terhadap kebenaran tersebut.
Menurut hukum progresif, hukum yang mempelajari mengenai cyber crime tidak hanya berjalan
secara linear tetapi juga harus diterapkan secara rutin, di mana dalam sejarah Indonesia menjelaskan
bahwa perkembangan hukum cyber crime bisa saja mengalami lompatan dan perubahan total yang
merupakan tipe perubahan hukum yang tidak secara logis bisa dikembalikan kepada tradisi praktik yang
berlaku (yurisprudensi), dikarenakan perkembangan teknologi informasi yang makin berkembang dan
mengalami kemajuan yang pesat.
Satjipto Rahardjo mengemukakan tentang apa yang disebut dengan “Revolusi Di Bulan Januari”,
dalam putusan Hooge Raad tanggal 26 Januari 1912 tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatige
daad di Negeri Belanda, di mana selama berpuluh-puluh tahun makna melawan hukum diartikan dengan
melawan atau bertentangan dengan undang-undang, namun berdasarkan putusan Hooge Raad tersebut,
pandangan tentang melawan hukum dapat diartikan bertentangan dengan pandangan masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, maka progresivitas aparat penegak hukum menjadi sangat
dibutuhkan dan menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk mewujudkannya. Apart penegak hukum
harus menyatakan tidak terikat pada ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang apabila dalam
penerapannya akan menimbulkan ketidakadilan. Berdasarkan sikap aparat penegak hukum yang progresif
inilah, yang dianggap sejalan dengan pendapat Joseph Schumpeter yang menyatakan bahwa dengan
creative destruction, mereka melakukan pengrusakan yang bersifat kreativitas, yang artinya bahwa para
aparat penegal hukum mengabaikan undang-undang demi tegaknya keadilan, atau mengembangkan ius
operatum yang sesuai dengan perkara yang diadili, dan mengembangkan pula konsep extra legem untuk
menjadikan putusan yang berkeadilan bag masyarakat luas.
Mengenai elastisitas pemidanaan (elasticity of sentencing) itu sendiri adalah merupakan aliran Neo
Klasik melalui sistem indefinite sentence atau pidana yang tidak mempunyai kepastian. Dalam undang-
undang perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika hanya memberikan pedoman, akan
tetapi hakim yang berwenang menentukan perlindungan bagi korban dan pemidanaan yang cook
dijatuhkan kepada pelaku dan terdakwa cyber crime. Sistem tunggal tersebut selama ini merupakan
warisan aliran klasik yang mempergunakan sistem definite sentence, di mana hakim tidak mempunyai
keleluasaan melakukan perlindungan dan menjatuhkan pidana, oleh karena undang-undang telah
menetapkan secara limitatif jenis sanksi yang harus diputuskan atau dijatuhkan oleh hakim.
KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saki dan Korban, serta peraturan-peraturan lainnya yang
berlaku, saat ini mash mengacu pada aliran klasik. Dalam hal ini perlindungan korban dan sanksi pidana
bagi pelaku cyber crime merupakan ciri khas yang melekat sehingga aparat penegak hukum tidak
memiliki alternatif kecuali melakukan perlindungan terhadap korban dan menjatuhkan pidana terhadap
pelaku kejahatan cyber crime sepanjang tidak melampaui strafmaxima yang ditentukan oleh undang-
undang yang berlaku, sedangkan strafminima secara umum ditetapkan dalam KUHP maupun undang-
undang lainnya.
Apabila menurut penilaian aparat penegak hukum, bahwa terdakwa harus dijatuhi hukuman lain
seperti peringatan atau permintaan maaf atau ganti kerugian terhadap korban, maka KUHP, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang- Undang Nomor 13
Tahun 2006 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Pelindungan Saksi dan Korban, serta peraturan-peraturan lainnya tidak dapat mengakomodasikan ide-ide
keputusan tersebut. Dalam hal in aspek kepastian hukum dan definite sentence, merupakan ketentuan
yang membatasi apart penegak hukum untuk sekadar menjalankan undang-undang yang berlaku.
Pendekatan progresif dalam perlindungan hukum terhadap korban pengguna teknologi informatika
tidak menjadikan apart penegak hukum membunyikan undang-undang sebagaimana dikemukakan oleh
pendapar Montesqiueu. Akan tetapi, mereka merupakan insan-insan yang diber kekuasaan oleh Tuhan
Yang Maha Esa untuk menyamakan keadilan berdasarkan hati nuraninva sendiri, elastisitas pemidanaan
akan mendapatkan tempat yang proporsional jika memiliki sifat dan watak yang progresif Aparat penegak
nukum tidak hanya terpaku pada ketentuan undang-undang saja, akan tetapi sejauh mungkin menggali
nilai-nilai perlindungan hukum terhadap korban pengguna teknologi informatikayang sesuai dengan
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat luas pada saat ini dan masa yang akan datang.
Di dalam melakukan perlindungan hukum terhadap korban dan penjatuhan putusannya bagi pelalu
cyber crime yang berkeadilan bagi masyarakat pada umumnya, melalui elastisitas pemidanaan, kepada
aparat penegak hukum diberi wewenang untuk memberikan perlindungan pada korban dan menjatuhkan
sanksi pada pelaku cyber crime sesuai dengan keadaan faktual perkara perlindungan hukum korban
pengguna teknologi informatika yang diperiksanya. Misalnya dalam keadaan tertentu kerugian yang
ditimbulkan oleh pelaku cyber crime atas persetujuan korbannya, aparat penegak hukum dapat
menjatuhkan pidana berupa pemaafan (rechterlijike pardon) terhadap pelaku cyber crime, pemaafan
aparat penegak hukum dengan mengingat sifat tindak pidana perlindungan hukum korban pengguna
teknologi informatika data keadaan subjektif bagi pelaku kejahatan cyber crime, agar dapat menjadi
pilihan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan jenis sanksi pidana bagi pelaku cyber crime yang
akan dijatuhkan, maka aparat penegak hukum dalam hal ini diberikan keleluasaan untuk menjatuhkan
hukuman bagi pelaku cyber crime yang adil sesuai tuntutan hati nurani. Pemaafan oleh apart penegak
hukum tersebut merupakan salah satu yang bertujuan untuk menghindarkan penjatuhan hukumannya.
Dari beberapa kasus yang berkenaan dengan UU ITE, telah menunjukkan bahwa prinsip asas
perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime dalam penyelesaian kasus tindak pidana
cyber crime ini telah diadopsi oleh aparat penegak hukum dengan mempergunakan pertimbangan hukum
yang bersifat sosiologi, psikologis, maupun humanis menjadi indikator bahwa aparat penegak hukum
telah berusaha untuk keluar dari dalam belenggu yuridis formil yang selama ini tidak dipertimbangkan.
Perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai korban dari pelaku cyber crime, dalam hal
ini telah dipandang tidak saja sebagaimana alat untuk melalukan kontrol sosial apart penegah hukum,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh Donald Black mengemukakan bahwa "Law Is Governmental
Social Control", dengan kata lain bahwa hukum merupakan kehidupan normatif dari negara dan warga
negaranya seperti halnya perbuatan perlindungan hukum legislation, penyelesaian hukum litigation
maupun peradilan adjudication, bahwa hukum tidak hanya dipandang sebagai ketentuan yang bersifat
normatif akan tetapi meliputi faktor-faktor sosial.
Mengenai pertimbangan dari perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime dari
aparat penegak hukum, adalah menjadi permasalahan pembicaraan masyarakat atau permasalahan
fundamental di dalam masyarakat terhadap perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku tindak
pidana cyber crime. Seperti dalam kasus penghinaan melalui media sosial facebook, kasus hacker BBM,
dan kasus rekayasa penyebaran foto asusila, merupakan fakta sosiologis dalam masyarakat yang tidak
boleh diabaikan oleh aparat penegak hukum, yang harusnya melakukan perlindungan hukum terhadap
masyarakat yang menjadi korban dari pelaku cyber crime yang merupakan sisi sosiologis yang
memperkaya kasus-kasus dalam perlindungan korban dan penegakkan hukum yang tidak hanya cukup
mempertimbangkan faktor-faktor yurisdiksinya saja.
Aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut di atas, mengalami dilema yang
cukup sulit karena di satu sisi KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transalsi Elektronik, yang dijadikan dasar dalam penyidikan yang diwarnai oleh sistem pidana yang
bersifat determinate sentence sehingga tidak memungkinkan menjatuhkan putusan jenis pidana lain
seperti yang telah ditentukan oleh KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Pendapat Muladi dalam konsep ini dinamakan dengan asas perimbangan kepentingan yang
berwawasan Pancasila sebagai pengejawantahan dari Asas Hukum Pidama Nasional (AFIPN), Asas
perimbangan kepentingan tersebut menyebutkannya bahwa dengan asas yang memadukan berbagai
kepentingan hukum yang saling berbeda permasalahannya dalam perlindungan hukum terhadap korban
dari pelaku cyber crime. Dalam tataran konseptual prinsip perlindungan hukum korban pengguna
teknologi informatika harus menjiwai bentuk undang-undang untuk menciptakan hukum yang dapat
beradaptasi dengan perkembangan teknologi informatika sera memperhatikan segenap kepentingan dalam
pengaturannya.
Sedangkan dalam operasional, prinsip perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika
merupakan pedoman bagi apart penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak
saja hanya berpedoman kepada undang-undang akan tetapi juga mempertimbangkan aspek sosiologi,
psikologis maupun ideologis atau filosofis guna untuk memenuhi tuntutan keadilan.
Mengenai adanya ketiga kasus yang disebutkan sebelumnya, yaitu kasus penghinaan melalui media
sosial facebook, kasus hacker BBM, dan kasus rekayasa penyebaran foto asusila, disebabkan sistem
hukum pidana yang dipakai sampai dalam kasus tersebut mash memakai peraturan hukum positif,
dikarenakan belum adanya undang-undang yang khusus menangani cyber crime. Sepanjang peraturan
khusus yang menangani cyber crime belum ada, maka penerapan asas hukum cyber crime akan
mengalami hambatan walaupun sudah ada KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaski Elektronik, dan peraturan-peraturan lainnya, karena tidak semua aparat penegak
hukum memiliki watak progresif dalam penegakan hukum, cara pandang mereka mash berputar pada
perspektif udang-undang, schingga dalam penegakan hukum hanya diartikan secara sempit, yaitu
menjalankan amanat undang-undang saja.
Untuk mewujudkan asas prinsip perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika
dengan baik, maka sistem hukum nasional maupun sistem, hukum pidana nasional dalam penanganan
perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika mengacu pada Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, sehingga asas prinsip tersebut akan mudah untuk diwujudkan. Sistem hukum
pidana yang berlaku di Indonesia merupakan sistem hukum yang dianut oleh negara dengan memakai
karakteristik civil law, di mana undang-undang merupakan sumber yang utama, dengan memperhatikan
keadaan perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika di Indonesia pada sat in. Dengan
demikian dapat diamati dengan membandingkan sistem perlindungan hukum korban pengguna teknologi
informatika yang ada di dunia saat ini tidak akan mustahil jika sistem perlindungan hukum korban
pengguna teknologi informatika yang dijalankan, berada dalam titik yang sangat kritis.
Sedangkan pengembangan sistem perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika
nasional harus diarahkan untuk mewujudkan milai-nilai Pancasila dalam tata hukum cyber crime yang
akan tercipta pada waktu yang akan datang, mengenai pengalaman dengan mempergunakan sistem
perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika asing, telah cukup memberikan dorongan
untuk secepatnya meninggalkan sistem hukum yang sudah ketinggalan zaman yang dijiwai oleh semangat
individualistik dengan menggantikan sistem perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika
yang selaras dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Korea (The Korean Criminal Code/CC) yang disahkan
pada tahun 1954, dapat dengan tegas menyatakan bahwa: "the ciminal law must be not a conglomeration
of unrelated but a product of a considerable "world-vier" Integrating ScienceAnd Ethics, di sini
maknanya world view adalah penamaan lain dari welthanschaung atau pandangan hidup dari suatu
bangsa, CC diakui oleh pendapat Paul Kitchun Ryu adalah sebagai undang-undang yang dipengaruhi olch
dua gagasan pendapat bear dunia dalam Romano Germanic Law dengan Anglo-Amerikan System dalam
produk konsep dari ilmu pengetahuan sosial dan etika yang berkembang pada saat itu, sedangkan
perkembangan hukum tetap dilandaskan kepada dua elemen penting dalam hukum pidana yaitu kejahatan
dan pemidanaan pelaku kejahatan, dan tetap didasarkan kepada nilai-nilai filosofis dan demokratisasi.
Pendapat Paul Kitchun Ryu menyatakan bahwa saat itu merupakan era di mana ilmu pengetahuan dan
etika yang harus dipergunakan dalam merekonstruksikan sistem hukum guna mewujudkan nilai-nilai
tertinggi di bidang kemanusiaan.
Untuk mewujudkan tatanan perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika nasional,
yaitu dengan tata perlindungan hukum terhadap korban dari pelaku cyber crime yang berjiwa Pancasila,
dalam pembentukan tata perlindungan hukumnya melalui Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum yang ada di Indonesia, yang harus diwujudkan oleh lembaga legislatif dan menjadikan Pancasila
sebagai rujukan utama dalam membuat undang-udang perlindungan hukum korban pengguna teknologi
informatika atau undang-undang cyber crime secara khusus. Sedangkan perkembangan hak asasi manusia
(HAM) dapat memperkaya substansi perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika di
negara Indonesia, dalam kedudukan sebagai sumber dari segala sumber perlindungan yang ada.
Pancasila menempati posisi tertinggi dalam tata hukum nasional dan perlindungan hukum pengguna
teknologi informatika sebagai korban pelaku cyber crime nasional. Dengan kata laim, bahwa semua
perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika nasional harus dikembalikan dan tidak boleh
terjadi pertentangan antara tata perlindungan hukum korban pengguna teknologi informatika nasional
dengan Pancasila. Di dalam hukum pidana perlindungan hukum pengguna teknologi informatika sebagai
korban dari pelaku cyber crime, Pancasila lebih menunjukkan watak ketuhanan dan kemanusiaan dalam
pengaturan dan penerapannya.
Proses penegakan hukum seharusnya mampu mencapai tujuan hukum sekaligus yakni kepastian
hukum, keadilan, dan kemanfaatan, yang mana ketiganya terkadang saling berhadapan, maka tujuan
keadilanlah yang lebih diutamakan. Penulis berpandangan bahwa pendapat Gustav Radburgh tentang
tujuan hukum yang harus mencapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dengan menjadikan
keadilan sebaggai arus utama masih cukup relevan dan memungkinksan dimplementasikan dalam konteks
kekinian.
Inilah pilihan yang moderat daripada menafikan salah satu di antara ketiganya seperti aliran
positivistik yang lebih mengutamakan kepastian hukum. Pendapat Gustav Radburgh yang moderat
terlihat ketika keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum saling berhadapan, maka ia harus
mengutamakan keadilan, barulah kemanfaatan dan yang terakhir kepastian hukum. Begitu juga ketika
dihadapkan kepada kemanfaatan dan kepastian hukum, maka yang diutamakan adalah kemanfaatan.
Meskipun demikian, apabila memang dalam kondisi sulit memilih di antara ketiganya, maka
menurut tori prioritas (mengajarkan penerapan prioritas tersebut bergantung kepada kasus yang dihadapi)
para penegak hukum harus mampu melihat dengan hat nurani dengan mempertimbangkan konteks kasus
dan peristiwa untuk menentukan salah satu tujuan hukum yang akan dicapai. Namun menurut penulis
pertimbangan rasa keadilan masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam menangani sebuah kasus.
G. Kedudukan Bukti Elektronik dalam Perkara Kejahatan Siber (Cyber Crime)
Pada dasarnya setiap undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang merupakan jawaban
hukum terhadap persoalan masyarakat pada waktu dibentuknya undang-undang tersebut. Perkembangan
hukum seharusnya seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga ketika masyarakatnya berubah
atau berkembang maka hukum harus berubah untuk menata semua perkembangan yang terjadi dengan
tertib di tengah pertumbuhan masyarakat modern, karena globalisasi telah menjadipendorong lahirnya era
teknologi informasi.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi memegang peran
penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Setidaknya ada dua hal yang membuat teknologi
informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Pertama, teknologi
informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi, kedua adalah memudahkan
transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainnya.
Teknologi informasi dengan sendirinya juga mengubah perilaku masyarakat. Perkembangan
teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tapa batas dan menyebabkan perubahan sosial
yang sangat cepat, sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat in menjadi pedang bermata dua,
karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia,
sekaligus menjadi sarana efektif dilakukannya suatu perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dalam Undang-Undang ITE, atau kejahatan dalam teknologi informasi
disebut dengan kejahatan siber (cyber crime), yang merupakan jenis kejahatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan sebuah teknologi informasi dan komunikasi tapa batas, serta memiliki karakteristik yang
kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan tingkat keamanan yang tinggi dari sebuah
informasi yang disampailan dan diakses oleh pengguna internet.
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah dijelaskan bahwa:
“Setiap orang dengan sengaja dan tampa hak atan melawan bukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/tan Dokumen Elektronik tersebut dianggap
seolah-olah data yang otentik”.
Dalam praktik di Indonesia, tindak pidana dengan menggunakan komputer sejak dahulu merupakan
jenis kejahatan yang sulit untuk diklasifikasikan sebagai tindak pidana Permasalahan hukum yang
seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi
secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang tekait dengan perbuatan hukum yang
dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Sebagaimana diketahui bahwa pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara,
karena dari hasil pembuktian dapat diketahui bear atau tidaknya suatu dakwaan atau tuntutan tersebut
dengan menunjuk pada alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, di mana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
terdakwa. Sedangkan pembuktian itu sendiri adalah perbuatan membuktikan, dan kemudian membuktikan
itu berarti member atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan,
menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.
Pengaturan mengenai alat bukti dalam cyber crime dapat dilihat dari ketentuan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dapat pula dilihat pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam sistem
pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya"
Dalam menangani permasalahan kejahatan siber, masalah pembuktian ini memegang peranan penting, hal
ini perlu menjadi catatan sebab bukti elektronik telah menjadi media perantara baru bagi pelaksanaan
suatu tindak kejahatan, Dalam konteks pembuktian, rumusan delik dalam suatu undang-undang, selain
merupakan perwujudan asas legalitas, juga memiliki fungsi unjuk bukti, artinya, yang harus dibuktikan
oleh jaksa penuntut umum di pengadilan adalah unsur-unsur dalam suatu rumusan delik yang didakwakan
kepada tersangka.
Dengan mendasarkan pada aturan pembuktian yang diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang
ITE, maka dalam kejahatan siber atau tindak pidana cyber crime, alat bukti yang dapat dipergumakan
adalah sebagai berikut.
1. Keterangan Saksi
Saki adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, a lihat sendiri, dan ia alami sendiri (vide Pasal 1
angka 26 KUHAP), sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, a lihat sendiri, dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (vide Pasal 1 angka 27 KUHIAP).
Dengan demikian, apabila seseorang menjadi saksi dalam suatu perkara maka ia dituntut untuk
memberikan keterangan yang sebenarnya atau paling tidak mendekati dari peristiwa yang dia lihat,
dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada apart penegak hukum yang menangani perkara a
quo (terutama hakim di persidangan) agar tidalk salah dalam memberikan putusan kepada pelaku tindak
pidana.
Sedangkan saksi dalam perkara cyber crime melibatkan orang yang melihat dan menguasai dunia
maya yang keterangannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam mengungkap fakta di persidangan.
Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang I'TE, yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain
berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari sistem
Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ITE, maka seorang saksi dapat menggunakan media
elektronik untuk memberikan keterangannya, shingga salksi tidal harus datang langsung ke pengadilan
atau saksi dapat melalui media komunikasi. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 44 Undang-Undang
ITE menyebutkan bahwa:
"Alat bukti penyidikan penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan menurut ketentuan undang-
undang ini adalah sebagai berikut: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-
undangan, alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)".
Dalam penyidikan kejahatan siber (cyber crime) ada 3 (tiga) fase yang digunakan oleh penyidik,
yaitu, yang pertama, saksi mata disuruh menceritakan segala informasi yang ia lihat dan informasi
lainnya yang berkaitan dengan kejahatan. Kemudian kedua, Polisi, mencari tersangka berdasarkan
informasi yang diperoleh dari saki mata dan mencari rekam jejak dari orang yang berpotensi sebagai
tersangka. Terakhir yang ketiga, Polisi meminta saki untuk mengidentifikasi pelaku dari sejumlah calon
tersangka yang dimiliki polisi secara langsung dengan mempertunjukan calon tersangka tersebut.
Dalam beberapa kasus kadangkala ditemui kejadian bahwa ada keterangan dari beberapa orang saksi
yang ternyata antara saksi satu dengan yang lainnya merupakan keterangan yang berdiri sendiri-sendiri
tentang suatu kejadian atau keadaan. Keterangan saksi-saksi tersebut dapat diguna- kan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila memiliki hubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 44 Undang-Undang ITE bahwa seorang saksi tidak
diwajibkan datang ke muka persidangan, sehingga dalam prosedur pemberian keterangan saksi di
pengadilan, saksi tersebut dapat memberikan keterangan melalui teleconference dengan menunjuk pada
ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang ITE. Dengan demikian walaupun keterangan
saksi diberikan melalui teleconference maka keterangan saksi itu tetap sah menurut hukum dengan
berpedoman pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE.
Dengan demikian, keterangan saksi dalam KUHAP yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 27
KUHAP, pada intinya menyatakan bahwa keterangan saksi merupakan sebuah alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan yang diberikan langsung oleh saksi, mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu". Saksi tersebut dalam memberikan keterangannya wajib untuk hair dalam persidangan yang dibuka
untuk umum, sebagaimana sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 160 KUHAP. Sedangkan dalam perkara
kejahatan siber maka keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference tanpa saksi hadir langsung
di hadapan persidangan juga sah menurut hukum dan dapat digunakan Hakim dalam menentukan salah
atau tidak bersalahnya seorang pelaku tindak pidana dalam kejahatan siber.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (vide
Pasal 1 angka 28 KUHAP). Dalam perkara kejahatan siber (cyber crime), keterangan ahli memang terkait
dengan alat bukti untuk membentuk keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara yang berkaitan
dengan kejahatan siber, biasanya di ambil dari seorang guru besar dan seorang pemikir.
Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP dinyatakan bahwa: "keterangan seorang abli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan", dan selanjutnya dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP
dinyatakan pula bahwa keterangan ahli tersebut dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima
jabatan atau pekerjaannya.
Merujuk pada ketentuan dalam KUHAP, keahlian dari seorang yang memberikan keterangan ahli
tidak hanya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal, namun keahlian itu juga
dapat diperoleh berdasarkan pengalamannya. Karena di dalam KUHAP tidak dinyatakan adanya
persyaratan mengenai kualifikasi seorang ahli harus memenuhi jenjang akademik tertentu.
Dalam memberikan keterangan di persidangan, maka seorang yang dihadapkan sebagai ahli biasanya
memberikan keterangan yang bersifat umum berupa pendapat atas pokok perkara pidana yang sedang
disidangkan atau yang berkaitan dengan pokok perkara tersebut, sehingga dengan demikian ahli tidak
diperkenankan untuk memberikan penilaian terhadap perkara yang sedang diperiksa di persidangan.
Pertanyaan yang diajukan terhadap ahli di persidangan biasanya merupakan pertanyaan yang bersifat
hipotesis atau pernyataan yang bersifat umum. Selain itu seorang ahli tidak boleh memberikan penilaian
terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan fakta persidangan yang ditanyakan padanya.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ITE menyebutkan bahwa:
“Informasi Elektronit adalab satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik data interchange (EDI), surat
elektronik, telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya”.
Istilah "dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya" merupakan tuntutan kepada saki
ahli untuk menerjemahkan kejadian yang diungkapkan oleh saksi dan terdakwa, dan keterangan ahli
berbentuk laporan yang dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Dengan demikian dalam perkara
kejahatan siber (cyber crime), seorang ahli dituntut untuk memberikan pengertian tentang pengungkapan
kejadian perkara yang terjadi di dunia maya sepanjang pengetahuannya, karena ahli merupakan orang
yang berkompeten di bidangnya.
3. Surat
Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP, surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Selanjutnya Pasal 187 KUHAP menguraikan 4
(empat) jenis alat bukti surat, yaitu sebagai berikut.
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Dalam Undang-Undang ITE dinyatakan bahwa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik
dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Kemudian selanjutnya dikatakan pula
bahwa Informasi Elektronik dan tau Dokumen Elektronik berikut hasil cetakannya merupakan perluasan
alat bukti yang sah menurut hukum acara.
Dokumen Elektronik tidaklah dapat dijadikan alat bukti jika terhadap suatu surat, undang-undang
menentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, termasuk pula aka notaris atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta. Dalam hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai bukti
surat, surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai dapat atau
tidaknya surat dijadikan alat bukti petunjuk, semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Dengan demikian alat bukti surat yang dipakai dalam pembuktian kejahatan siber (cyber crime)
merupakan alat bukti yang sah sepanjang itu sesuai dengan sistem elektronik yang di atur dalam undang-
undang yang mengaturnya, karena alat bukti surat terlebih yang berbentuk digital dapat dirubah
keasliannya dalam hitungan detik dan tampa harus memegang barang bukti yang ditunjukan di
persidangan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa surat merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan
pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Serta
merujuk pada pertimbangan hakim yang bersangkutan.
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya (vide Pasal 188 KUHAP ayat (1) KUHAP).
Alat bukti petunjuk merupakan otoritas penuh dan subjektivitas hakim yang memeriksa perkara
tersebut. Hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian sebagai suatu petunjuk haruslah
menghubungkan alat bukti yang satu dengan yang lain. Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim setelah ia mengadakan pemeriksaan.
Dengan demikian syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai persesuaian antara satu
sama lain atas perbuatan yang terjadi. Slain itu, keadaan-keadaan tersebut berhubungan satu sama lain
dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa.
Menurut Adami Chazawi, persyaratan suatu petunjuk adalah sebagai berikut.
a. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan, kejadian dan keadaan
merupakan fakta-fakta yang menunjukan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan
terdakwa yang melakukan, dan menunjukan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana
tersebut.
b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antra masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan
satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak
pidana yang didakwakan.
c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua hal, yaitu
menunjukan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan
alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuan dari alat bukti petunjuk.
d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian seperti pada Pasal 183 KUHAP, selayaknya
petunjul juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah.
Alat bukti petunjuk ini baru digunakan, apabila dalam hal alat-alat bukti yang ada belum dapat
membentuk keyakinan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Dari
kata adanya persesuaian dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada dua petunjuk untuk
mendapatkan bukti yang sah. Petunjuk yang ditemukan dalam penyidikan, merupakan alat bukti yang sah
sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE, sehingga apabila petunjuk tersebut dalam bentuk
digital, maka dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan.
5. Keterangan Terdakwa
Terdakwa adalah seseorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (vide
Pasal 1 Butir 15 KUHAP). Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (vide Pasal
189 ayat (1) KUHAP). Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 189 ayat (4) KUHAP), sehingga keterangan terdakwa hanya
dapat digunakan terhadap dirinya terdakwa sendiri. Seorang terdakwa tidak dibebani kewajiban dalam
pembuktian, jadi keterangan terdakwa yang sah adalah keterangan ia nyatakan di sidang pengadilan.
Dalam konteks hukum, arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran suatu peristiwa hukum.
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang mempunya akibat hukum. Sehingga dengan demikian dapat
dimengerti bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana, adalah ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim,
penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta
penilaian alat bukti yang ada pada Undang-Undang ITE.
Dalam menangani perkara kejahatan siber (cyber crime) aparat penegak hukum harus
memperhatikan mengenai bukti elektronik yang digunakan oleh pelaku dalam melakukan perbuatannya,
karena bukti elektronik tersebut mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam rangka proses
pembuktian di persidangan., Dari bukti elektronik itulah mantinya akan menentukan apakah perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa benar adanya menurut hukum.
Pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam mengungkap suatu fakta di persidangan dengan
menggunakan bukti elektronik adalah dengan berpedoman pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE
yang menjelaskan bahwa:
"Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakam alat bukti
hukum yang sah".
Sedangkan untuk menjelaskan mengenai bukti elektronik di depan persidangan, biasanya Hakim
akan memerlukan keterangan ahli dalam menjelaskan alat bukti tersebut, sehingga dapat diketahui bahwa
kedudukan bukti elektronik dalam suatu perkara adalah untuk mengungkapkan fakta di depan
persidangan dalam rangka menemukan kebenaran materiil.
Hakim membutuhkan bukti elektronik dalam perkara kejahatan siber (cyber crime) dan peran dari
keterangan seorang ahli digital forensik dalam menguatkan pembuktian peran dan kedudukan bukti
elektronik tersebut, oleh karena Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik hanya bisa dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya (vide Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang ITE). Orang yang
mampu memahaminya adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dalam hal ini disebut ahli, yang akan menjelaskan kedudukan bukti elektronik dihadapan
persidangan.
Bukti elektronik berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi
persyaratan formil dan persyaratan materiil yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Barang bukti dapat
dikatakan sebagai bukti elektronik karena berbentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang meliputi tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya dan bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya, yang dalam perkara kejahatan siber (cyber crime) merupakan alat bukti yang mempunyai
kedudukan untuk menjelaskan suatu kejahatan siber (cyber crime) yang mungkin saja dilakukan oleh
tersangka, schingga buktii elektronik akan memperjelas fakta yang terjadi dengan didukung alat buktii
lainnya.
Dalam pembuktian suatu perkara yang menggunakan bukti elektronik, maka hakim harus dapat
mengungkapkan fakta dan mendapat minimal 2 (dua) alat bukti untuk memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.
Kejahatan siber (cyber crime) merupakan kejahatan dunia maya (sebagian orang memberikan nama
sebagai kejahatan mayantara), sehingga untuk mengungkapnya diperlukan bukti elektronik dan peranan
ahli di bidang ITE untuk memberikan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang peristiwa tersebut.
Keterangan ahli ini akan memberikan dampak tidak adanya multutafsir di antara para hakim dalam
melihat bukti elektronik dalam suatu perkara kejahatan siber.
Oleh karena mash adanya pandangan berbeda yang dianut oleh para Hakim dalam menilai bukti
elektronik ini apakah sebagai petunjuk ataukahsebagai surat dan/atau dokumen elektronik. Dalam tata
cara pembuktian bukti elektronik dapat dijelaskan bahwa:
a. Ahli diperintahkan untuk memaparkan tentang pengetahuannya mengenai perkara yang sedang
diperiksa di persidangan.
b. Penyidik wajib menyalin/mengkopi semua isi file dari dokumen atau informasi elektronik
tersebut dalam satu perangkat yang baru, kemudian bukti elektronik tersebut dihadirkan di dean
persidangan.
c. Ahli membuat analisis tentang bukti elektronik tersebut agar dapat menjadi pertimbangan hukum
bagi hakim dalam putusannya.
Selanjutnya untut menjaga keaslian dari bukti elektronik tersebut, maka diperlukan prosedur agar
bukti elektronik tersebut dapat menjadi bukti di persidangan, dan biasanya prosedur yang digunalan
adalah sebagai berikut.
a. Proses Acquiring dan Imaging
Setelah Penyidik menerima bukti elektronik tersebut, maka harus dilakukan proses acquiring dan
imaging yang menzkopi (mengkloning/menduplika) secara tepat, dengan presisi 1:1. Dari hasil
kopi tersebutlah, maka seorang ahi digital forensik dapat melakukan analisis, karena analisis
tidak boleh dilakukan dari bukti elektronik yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah bukti
elektronik tersebut.
b. Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses acquiring dan imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi
data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, dienkripsi, dan jejak log-file yang
ditinggalkan. Hasil dari analisis bukti elektronik tersebut yang aka dilimpahkan penyidik kepada
Penuntut Umum untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.
Sebagaimana diketahui bahwa bukti elektronik ini rawan untuk diubah, ditambah ataupun dihapus,
sehingga agar bukti elektronik ini dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan maka harus dijaga
keaslian atau originalitas, karena dalam hitungan waktu yang amat minim adakalanya bukti elektronik
tersebut dapat dirubah oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Dalam prosedur pembuktian bukti elektronik di pengadilan, ditegaskan pada Pasal 43 ayat (2)
Undang-Undang ITE yang menyebutkan bahwa:
"Penyidikan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud,
dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan
publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
Prosedur pembuktian dengan menggunakan bukti elektronik dalam suatu perkara kejahatan siber
(cyber crime) harus sepenuhnya mematuhi prosedur yang sudah digunakan dalam melindungi
kerahasiaan, integritas data atau keutuhan data sari suatu bukti elektronik, akan tetapi perlu dingat bahwa
sangatlah mungkin adanya perubahan keaslian bukti elektronik yang dihadirkan di depan persidangan,
dan kalau ini terjadi maka tak bisa dipungkiri bahwa terdakwa mungkin saja dapat dijatuhi pidana bebas
karena tidak terbukti melakukan suatu hal tertentu karena alat buktinya sudah dirubah. Dengan demikian
kedudukan bukti elektronik sangatlah mempengaruhi pertimbangan hakim dalam mengambil suatu
putusan yang akan dijatuhkan kepada seorang terdakwa.
Bab 5
KAJIAN RINGKAS BEBERAPA PUTUSAN PENGADILAN TENTANG BUKTI ELEKTRONIK
Media sosial yang seharusnya menjadi sarama silaturahmi di antara anggota masyarakat serta dapat pula
digunakan untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan masyarakat lainnya, dapat saja berubah menjadi
malapateka apabila digunakan secara tidak bijak. Tidak jarang kita membaca konflik pribadi, konflik
kelompok tertentu, maupun konflik yang melibatkan banyakorang (konflik sosial) awalnya berasal dari
tulisan yang menyinggung perasaan, emosi, maupun harkat martabat seseorang, sehingga orang atau
sekelompok orang merasa dipermalukan akan tulisan yang dapat dibaca oleh masyarakat luas.
Dahulu ada ujaran yang terkenal dan sering dikatakan, yaitu: "Mulutmu adalah harimaumu". Ujaran
tersebut sat ini telah berubah seiring dengan perkembangan yang peat dalam bidang informasi teknologi,
yaitu menjadi: "Jarimu adalah harimaumu". Hal ini jelas dapat kita artikan bahwa bijaklak dalam
menggunakan jarimu menulis sesuatu di media sosial, karena apabila tidak dilakukan maka hal tersebut
dapat membawa seseorang dihadapkan ke meja hijau (persidangan pengadilan pidana).
Kesenangan, kemarahan maupun kesedihan janganlah diumbar bebas lewat media sosial, sehingga
dalam beberapa tahun terakhir ini banyak perkara penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian
maupun perkara pidana lainnya yang berkaitan dengan penggunaan media sosial yang tidak bijaksana
oleh penggunanya sampai ke persidangan. Hal ini tentu saja berkaitan lagi dengan pembuktian di depan
persidangan Pengadilan Negeri sebagai perkara pidana. Pembuktian dengan menggunakan alat bukti
elektronik untuk membuktikan salah tidaknya seorang pelaku tindak pidana. berdasarkan atas surat
datavaan menjadi hal yang harus dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk memberi keyakinan kepada
Hakim mengenai salah tidaknya pelaku yang dihadapkan ke persidangan.
Pada umumnya perkara-perkara tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) sebagai instrumen hukum Jaksa Penuntut Umum di dalam surat dakwaannya.
Dari sekian banyak perkara yang berkaitan dengan pembuktian elektronik, ada beberapa putusan yang
menarik perhatian masyarakat yang menarik untuk dibahas dalam buku ini.
A. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 225 PK/Pid.us/2011, Tanggal 17 September 2012
dengan Terdakwa Prita Mulyasari
Dengan dakwaan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
(barang bukti satu eksemplar e-mail/surat elektronik). Putusan PK Nomor 225 PK/Pid.Sus/2011 tersebut
membatalkan putusan Kasasi Nomor 822 K/Pid.Sus/2010, tanggal 30 Juni 2011 dan membebaskan
Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut Umum, dengan alasan pada putusan kasasi tersebut terdapat
kekeliruan nyata dari hakim kasasi, di mana menurut Majelis Hakim PK terbukti perbuatan Terdakwa
mengirimkan surat elektronik kepada teman- temannya sama sekali tidak memiliki tujuan untuk
melakukan pencemaran nama baik, dengan demikian sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan kasasi MA tersebut sebelumnya telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang
dan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, serta menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6
(enam) bulan, dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari dengan
putusan hakim ditentukan lain karena Terdalwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum
waktu percobaan berakhir selama 1 (satu) tahun.
Pada hal putusan Pengadilan Neger Tangerang Nomor 1269,Pid.B/2009/PN. Tng, tanggal 29
Desember 2009 sebelumnya telah membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut Umum, dengan
pertimbangan bahwa meskipun Terdakwa telah mengirimkan e-mail kepada beberapa orang temannya
dengan subjek "Penipuan Omni International Hospital Alam Sutra Tangerang", di antaranya tertulis
kalimat “Saya informasikan juga dr. Hengky praktik juga di RSCM, saya tidak mengatakan RSCM buruk,
tetapi hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini, dan tangigapan dr. Grace yang katanya adalah
penanggung jawab masalah complain saya ini, tidak profesional sama sekali dan tidak sopan santun dan
beretika mengenai pelayanan kostumer”. Namun kalimat tersebut tidak bermuatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar
masyarakat terhindar dari praktik-praktik rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan
medis yang baik terhadap orang yang sedang sakit yang mengharapkan kesembuhan dari penyakitnya.
Dalam perkara PK Nomor 225 PK/Pid.Sus/2011 juncto putusan Pengadilan Negeri Tangerang
Nomor 1269/Pid.B/2009/PN. Tng, berarti Majelis Hakim telah mengenyampingkan bukti elektronik
berupa e-mail (surat elektronik) yang ditujukan Terdakwa kepada beberapa orang temannya sebagai alat
bukti, yang pada intinya penggunaan alat bukti elektronik yang sedemikian rupa itu dalam
memperkarakan Terdakwa dapat mencederai rasa keadilan yang tidak seimbang dengan maksud dan
tujuan Terdakwa membuat dan mengirim surat eletronik tersebut.
B. Putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor 62/Pid.B/2012/PN.Lmg, Tanggal 28 Mei 2012
atas Nama Terdakwa Drs. Subagyo, M. Pd.
Dengan dakwaan Pasal 29 junto Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi juntco Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau Pasal 45 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP (barang bukti 2 (dua) unit HP yang memuat
gambar/foto pornografi). Putusan Pengadilan Negeri Lamongan ini menyatakan Terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Membuat dan mengirimkan pornografi sebagar
perbuatan berlanjut", dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) bulan.
Putusan Pengadilan Negeri in telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan putusannya
Nomor 391/Pid/2012/P T.Sby, tanggal 02. Agustus 2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 1710
K/Pid. Sus/2013, tanggal 20 Januari 2014.
C. Putusan Pengadilan Negeri Sekayu Nomor 807/Pid.sus/2013/PN.sky, Tanggal 19 Agustus
2014 atas Nama Terdakwa Darul Kutni
Dengan dakwaan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
(barang bukti satu eksemplar print out berita on line Media Radar Nusantara). Putusan Pengadilan Negeri
Sekayu tersebut menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dengan sengaja dan tanpa hak menstransmisikan Informasi Elektronik dan/tau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik, dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 3
(tiga) bulan.
Putusan Pengadilan Negeri in dikuatkan oleh Pengadilan Tingei Palembang dengan putusannya
Nomor 145/Pid/2014/PT.PIg, tanggal 12 November 2014 dan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor
1435 K/Pid.Sus/2015, tanggal 20 Januari 2016.
D. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 382/Pid.Sus/2014/PN.Vyk, Tanggal 31
Maret 2015 atas Nama Terdakwa Florence Saulina Sihombing
Dengan dakwaan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
(barang bukti beberapa eksemplar captur twitter). Putusan pengadilan tersebut menyatakan Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan Informasi Elektronik melalui jaringan telekomunikasi yang memuat penghinaan dan
pencemaran nama baik, dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)
bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari dengan putusan
hakim ditentukan lain karena Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan
berakhir selama 6 (enam) bulan, dan pidana denda sebesar Rp10.000.000,00 apabila denda tidak dibayar
diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.
Putusan Pengadilan Neger ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam putusannya
Nomor 26/Pid.Sus/2015/PT.Xyk, tanggal 28 Juli 2015. Terdakwa menerima putusan Pengadilan Tinggi
Yogyakarta ini dan tidak mengajukan permohonan pemeriksaan dalam tingkat kasasi ke Mahkamah
Agung. 32
E. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 469/Pid.B/2016/PN.Jkt.Brt, Tanggal 14
April 2016 atas Nama Terdakwa Grace Megasari Solaiman
Dengan dakwaan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (barang bukti satu eksemplar
audit independen/berita acara stock opname persediaan barang dan bukti pembelian barang PT Diva Sutan
Kuliner Bar House Labiere tahun 2015). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut menyatakan
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan
tampa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah suatu Informasi Elektronik dan/atau
dokumen elektronik milk orang, dan menjatuhkan pidana kepada Terdaliya dengan pidana penjara selama
2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh puluh juta rupiah),
dengan ketentuan apabila denda tidal dibayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.
Putusan Pengadilan Negeri in dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusannya
Nomor 204/Pid/2016/P T.DKI, tanggal 22 Juni 2016 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2183
K/Pid.Sus/2016, tanggal 15 Desember 2016.
F. Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 43/Pid.us/2016/PN.Tsm, Tanggal 21 April
2016 atas Nama Terdakwa Riani
Dengan dakwaan Pasal 46 ayat (I) juncto Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (barang bukti di antaranya 1 (satu) unit monitor merek Samsung 17 Inci, 1
(satu) unit CPU, satu unit keyboard dan 1 (satu) mouse). Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya tersebut
menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara
bersama-sama dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milk
orang lain dengan cara apa pun, dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama
4 (empat) bulan.
Putusan Pengadilan Negeri in dikuatkan ole Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya Nomor
171/Pid. Sus/2016/PT. Bdg, tanggal 02 Agustus 2016 dan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 2279
K/Pid.Sus/2016, tanggal 27 Juli 2017.
G. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 77/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst, Tanggal 27
Oktober 2016 atas Nama Terdakwa Jesica Kemala Wongso
Dengan dakwaan Pasal 340 KUHP (barang bukti 1 (satu) berkas rekaman CCTV). Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tersebut menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana kepada Terdalwa dengan
pidana penjara selama 20 (dua puluh tahun) tahun.
Putusan Pengadilan Negeri in dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusannya
Nomor 393/Pid/2016/P/T:DKI, tanggal 07 Mart: 2016 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 498
K/Pid/2016, tanggal 21 Juni 2017.
Dari ketujuh putusan tersebut di atas, penulis lebih memfokuskan pembahasan terhadap kasus yang
pernah menghebohkan masyarakat yaitu kasus dengan terdakwa Prita Mulyasari. Dalam kasus a quo Prita
Mulyasari dijebloskan ke tahanan sejak 13 Mei 2009 terkait e-mail pribadinya itu berisi keluhan atas
layanan RS Omni International berjudul "Penipuan Omni International Hospital lam Sutra Tangerang".
Tulisan tersebut mengulas pasal-pasal pencemaran nama baik yang menjerat Prita Mulyasari.
Berkaitan dengan belediging (penghinaan) sebagaimana termaktub dalam Pasal 310-321 KUHIP, mash
tetap mempertahankan belediging ini bisa beragam wujudnya. Ada yang menista, termasuk menista
dengan tulisan. Ada yang memfitnah, melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah. Hampir
di seluruh dunia pasal-pasal yang terkait penghinaan mash dipertahankan. Alasannya, hasil penghinaan
dalam wujud pencemaran nama baik adalah character assassination dan ini merupakan pelanggaran hak
asasi manusia.
Eddy Os Hiariej, menanggapi pasal penghinaan bahwa bagi Indonesia pasal-pasal penghinaan in
mash dipertahankan. Alasannya, slain menghasilkan character assassination pencemaran nama baik juga
dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan
budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan
wetdelicten, artinya pencemaran nama baik, sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum
dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu,
pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat
fitnah.
Ada 3 (tiga) catatan penting terkait dengan delik pencemaran nama baik. Pertama, delik itu bersifat
amat subjektif, artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik amat bergantung pada orang ata pihak
yang diserang nama baiknya, karena itu pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya dapat
diproses oleh polisi, jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.
Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran, artinya substansi yang berisi pencemaran
disebarluaskan kepada umum tau dilakukan di depan umum oleh pelaku, dan ketiga, orang yang
melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik
seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Penulis memberikan 3 (tiga) catatan yang perl dikemukakan terkait dengan kasus Prita Mulyasari
yang dihukum penjara karena mengirim email pribadi kepada teman-temannya. Catatan pertama, dilihat
dari judul e-mail pribadi Prita, terkandung tuduhan, RS Omni International telah melakukan penipuan,
tetapi harus dingat e-mail Prita bersifat pribadi dan ditujukan kepada teman-teman dekatnya, artinya Prita
tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum. Dengan demikian, delik penyebaran
sebagaimana disyaratkan dalam pencemaran nama baik tidak terpenuhi, kecuali jika ada bukti kuat bahwa
beredarnya berita itu karena perbuatan Prita. Catatan kedua adalah bahwa media yang digunakan Prita
untuk menyampaikan kabar yang dianggap mencemarkan nama baik adalah dunia maya, sehingga
penggunaan UU ITE menjadi relevan. Pasal 27 ayat (3) U ITE menyatakan, setiap orang dilarang dengan
sengaja dan tampa hak mendistribusikan dan/atau rentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/tau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik. Sedangkan Pasal 45 ayat (1) U ITE, menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 27 ayat (3), diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar
rupiah.
Catatan terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE, adalah tidak ada definisi
apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Karena itu untuk menentukan apakah
telah dipenuhinya unsur pencemaran nama baik, harus merujuk Pasal 310 KUHIP. Selain itu ada
disparitas ancaman pidana cukup besar antara ketentuan Pasal 310 KUHP dan Pasal 45 ayat (1) U ITE.
Terhadap pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP memberikan ancaman maksimum 9 (sembilan) bulan
penjara atau denda tiga ratus rupiah. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) U ITE yang
mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00.
Disparitas ancaman pidana seperti ini bersifat kriminogen di tengah profesionalisme aparat penegak
hukum di Indonesia yang masih memprihatinkan. Sudah bukan menjadi rahasia mum pasal mana akan
dijerat kepada tersangka dalam suatu kejahatan diancam lebih dari satu ketentuan pidana menjadi ajang
negosiasi aparat penegak hukum dengan tarif-tarif tertentu.
Catatan ketiga, terkait dengan penahanan Prita, di mana pada dasarnya ada 3 (tiga) syarat penahanan
berdasarkan Pasal 21 KUHAP, masing-masing adalah syarat subjektif, syarat objektif, dan syarat
kelengkapan formal. Syarat subjektif adalah penilaian pribadi subjektif dari aparat penegak hukum yang
terkait dengan kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, mengulangi perbuatan pidana, atau
menghilangkan barang bukti. Sedangkan syarat objektif adalah penahanan hanya dilakukan terhadap
kejahatan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sementara syarat kelengkapan formal adalah surat penahanan yang berisi identitas tersangka dan
uraian singkat tindak pidana yang dilakukan. Dalam kasus Prita, jika Polri menjeratnya dengan Pasal 310-
311 KUHP, kiranya dasar penahanan tidaklah relevan, mengingat penahanan itu tidak memenuhi syarat
objektif karena ancaman pidana dalam Pasal 310-311 KUHP di bawah 5 (lima) tahun penjara. Jika Prita
dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) U ITE, penahanan dapat dilakukan, tetapi tidak
berarti harus ditahan sepanjang tersangka tidak memenuhi kekhawatiran aparat penegak hukum sebagai
syarat subjektif penahanan. Dengan demikian, kondisi objektif Prita dan dengan bersandar pada keadilan
dan nurani, kiranya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, mengulangi perbuatan pidana,
atau menghilangkan barang bukti dapat diabaikan sehingga tersangka tidal perlu ditahan.
Permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Prita Mulyasari tersebut diperiksa oleh
Majelis Hakim PK yang diketuai oleh Hakim Agung Djoko Sarwoko, dengan anggota Hakim Agung
Surya Jaya, dan Suhadi. Dalam Putusan Nomor 225 PK/PID.SUS/2011, tangal 17 September 2012,
permohonan PK Prita Mulyasari dikabulkan oleh Majelis Hakim dan membatalkan putusan kasasi Nomor
822 K.PID.SUS/2010 tanggal 30 Juni 2011, dan kemudian Majelis Hakim PK mengadili kembali perkara
a quo, dengan menyatakan Terpidana Prita Mulyasari tidak terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga Penuntut Umum, dan selanjutnya membebaskan Prita
Mulyasari dari semua dakwaan serta memulihkan hak Prita Mulyasari dalam kemampuan, kedudukan,
dan harkat serta martabatnya.
Dalam putusannya tersebut Majelis Hakim PK memberikan pertimbangan hukum yang pada
pokoknya adalah:
- Menerima novum dari Prita Mulyasari berupa Putusan Perdata Nomor 300 K/PDT/2010, yang
bertentangan dengan putusan kasasi Nomor 822 K/PID.SUS/2010.
- Adanya kekeliruan nyata Hakim oleh karena Prita Mulyasari sama sekali tidak memiliki tujuan
untuk melakukan pencemaran nama baik, kemudian perbuatan Prita Mulyasari yang dianggap
bersifat melawan hukum tidak dapat dibuktikan, sehingga Judex Juris telah salah dalam
menerapkan hukum dan dapat dipandang telah melakukan kekeliruan nyata.]
Atas putusan PK tersebut, Slamet Yuwono sebagai Kuasa Fukum Prita Mulyasari melihat bahwa
Majlis Hakim PK memandang apa yang dilakukan Prita Mulyasari bukanlah pelanggaran atas UU ITE
dan KUHP, melainkan hanya kebebasan berpendapat, sehingga Prita Mulyasari dinyatakan bebas tidak
bersalah. Dalam hal ini Mahkamah Agung sudah sangat luar biasa mengabulkan permohonan PK Prita
Mulyasari. Dalam novum-nya disertakan putusan perkara perdata yang pernah diputus tidak bersalah,
karena itu putusan PK ini, Mahkamah Agung telah membuat kesesuaian hukum antara kasus perdata dan
pidana serta adanya kepastian hukum. Meski awalnya was-was, Prita Mulyasari sangat senang dengan
putusan PK yang membebaskan dirinya dari jeratan hukum pidana setelah lelah menunggu selama 5 (ima)
tahun. Putusan PK ini layak mendapat apresiasi positif sebab hukum tidak selamanya tumpul ke bawah,
dan merupakan pembelajaran bag Mahkamah Agung ke depan agar berhati-hati dalam membuat putusan.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Fukum Undip Semarang, mengkaji kasus Prita
Mulyasari dengan pendekatan sosiologi hukum. Prita Mulyasari adalah perempuan biasa, ibu rumah
tangga, ibu dari dua anak balita yang berusia tiga tahun dan satu tahun tiga bulan. Prita bukan koruptor,
atau penjahat. Namun hanya tersandung e-mail ia harus berurusan dengan polisi, jaksa, bahkan masuk
tahanan. Perempuan itu hanya ingin curhat kepada teman-temannya mengenai layanan rumah sakit
terhadap dirinya melalui e-mail.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
dikatakan bahwa UU ITE itu dibuat antara lain untuk memberikan semacam hak untuk mengumumkan
informasi. Justru Prita tersandung saat ingin berbagi informasi dengan teman-temannya. Penulis tidak
ingin terlibat debat dan proses hukum hanya ingin menyentuh masalah lebih dalam dari kasus Prita.
Masalah itu berkisar pada konsep hukum, apa guna hukum, dan cara berhukum. Dengan membahas hal-
hal itu, diharapkan akan mengurangi, atau meniadakan timbulnya kejadian seperti kasus Prita pada
kemudian hari.
Dalam tulisan "Berhukum dengan Akal Sehat", didapatkan inti tulisan adanya hubungan rat antara
hukum dan manusia yang menjalankan. Hukum bukan teks semata, tetapi terkait alam pikiran dan nurani
manusia. yang menjalankan. Jadi sudah saatnya kita mengubah konsep tentang hukum sebagai teks
semata dan menambahkan hukum sebagai perilaku. Kasus Prita adalah contoh bagus tentang kaitan
hukum dan perilaku manusia yang menjalankan.
Kini kita memasuki ranah cara berhukum. Cara berhukum tidak hanya satu. Dalam kasus Prita dan
debat yang menyertainya, cara berhukum masih dipahami sebagai berhukum dengan undang-undang.
Jaksa dan polisi juga memperdebatkan prosedur. Secara sosiologis akhirnya hukum adalah aneka putusan
manusia yang menjalankan sehingga amat rentan terhadap pikiran dan sikap batin manusia yang
menjalankan. Polisi, jaksa, ataupun hakim dapat berbeda dalam putusan tentang apa yang harus
dilakukan. Rentang perbedaan putusan itu mulai dari menahan dan memproses sampai ke membebaskan
(acquittal discharge) pelaku.
Faktor yang melatarbelakangi perbedaan adalah sikap batin seperti empati. Dalam sosiologi hukum,
faktor disposisi nurani terkait erat dengan tindakan seorang penegak hukum. Seorang polisi atau jaksa
yang bekerja dengan hati nurani (with conscience) akan menghasilkan suatu tindakan hukum yang
berbeda dibandingkan yang bekerja hanya berdasarkan book rule atau mengeja teks semata. Hipotesis
atas kasus Prita adalah jika perkara itu jatuh di tangan penegak hukum dengan hati nurani, putusannya
bisa lain. Sayang di universitas (fakultas hukum) dunia umumnya, tidak hanya di Indonesia, belum ada
mata kuliah penegakan hukum berdasarkan hati nurani. Kasus Prita dan kasus Raju (anak di bawah umur
yang dipenjarakan) dapat menjadi pintu masuk untuk membicarakan perbedaan antra cara berhukum
dengan murani dan tampa nurani. Gerry Spence seorang advokat senior Amerika Serikat mencoba
menjawab keluhan masyarakat atas ketidakmampuan (incompetence) para lawyer di sana dalam melayani
publik (The Death of Justice, 1997).
Menurut Spence ketidakmampuan para lawyers itu bukan terletak pada profesionalismenya tetapi
pada rasa perasaan kemanusiaan yang tidak dimiliki para lawyers. Sejak mahasiswa melangkahkan kaki
masuk law schools, sejak itu pada mereka sudah dipangkas dan ditumpulkan rasa perasaan
kemanusiaannya. Akibatnya publik AS diperlakukan tampa rasa kasih sayang (care) hanya sebaga objek
yang membayar. Dengan getir Spence mengatakan jika anda membutuhkan bantuan, jangan datang ke
kantor lawyer, tetapi ke juru rawat. Kurikulum pendidikan juru rawat itu penuh dengan sikap mengasihi
orang (care).
Kasus Prita dan kasus Raju penh dengan sisi-sisi kemanusiaan. Cara berhukum dengan nurani
member perhatian bear terhadap hal-hal itu, Setiap kasus adalah unik yang membutubkan nurani untuk
menanganinya. Berhukum itu tak hanya berbasis teks tetapi juga akal shat dan nurani. Di sini kita tidak
sekadar berteori tetapi sebenarnya Indonesia memiliki manusia-manusia dengan cara berhukum berbasis
mata nurani, seperti Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Hoegeng, dan beberapa lainnya.
Bismar Siregar selalu mengatakan saya akan mendahulukan keadilan daripada hukum. Adi Andojo
Soetjipto mempertaruhkan dirinya untuk menaikkan citra Mahkamah Agung yang terpuruk. Hoegeng
konon begitu jujur sehingga menyaingi polisi tidur dan patung polisi yang tidak dapat disuap. Sekalian
bukti-bukti nyata itu, menunjukkan berhukum berdasarkan book rule amat tidak cukup dan dibutuhkan
berhukum dengan hati nurani. Cara itu dibutuhkan Indonesia yang dalam keadaan luar biasa saat ini.
Pujangga besar Inggris William Shakespeare dalam salah satu drama mengatakan “The first thing we
have to do is to all the lawyers”. Ini ditujukan kepada ahli hukum yang bekerja seperti tukang tapa hati
nurani. Marilah kita berusaha sebaik-baiknya, dengan berhukum berdasarkan hati nurani agar kejadian-
kejadian seperti kasus Prita dan kasus Raju menjadi yang terakhir demi menjadikan Indonesia negara
hukum yang berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai