Teori
Implementasi Kebijakan
| 81
efektif dan efisien, yang bersih, transparan dan akuntabel dan
sebagainya.
Implementasi sebagai sebuah konsep telah ada jauh
sebelum konsep good governance yang demikian populer di awal
awal tahun 2000-an pasca merebaknya gelombang demokratisasi
di berbagai penjuru dunia. Implementasi sebagai konsep adalah
sebuah konstruksi pemikiran yang netral, dalama arti tidak
merujuk secara khusus pada model sistem politik dan
pemerintahan tertentu. Konsep implementasi kebijakan berusaha
menjelaskan sejumlah persoalan terkait pelaksanaan kebijakan
dalam mencapai tujuannya. Pada dasarnya konsep implementasi
kebijakan itu berusaha menerangkan secara rinci terkait sejumlah
faktor pengaruh, meskipun di dalamnya juga diuraikan sejumlah
kondisi yang diperlukan agar pelaksanaan kebijakan itu bisa
berjalan efektif dan efisien.
Tidak seperti konsep good governance yang secara eksplisit
merujuk pada sistem politik dan pemerintahan tertentu dengan
menawarkan sejumlah prinsip agar sebuah tata kelola
pemerintahan bisa berjalan baik. Good governance jelas merujuk
atau dianggap lebih kompatibel dengan negara demokrasi, sistem
yang terbuka dan demokratis dan sebagainya. Sementara itu
konsep implementasi tidak secara spesifik menyoroti sistem
politik dan pemerintahan yang ada, melainkan hanya menem-
patkannya sebagai kontek kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi. Tidak mengherankan jika dalam beberapa kajian
implementasi kebijakan ada sejumlah keberhasilan yang bisa
diraih di lingkungan sistem politik yang berbeda beda.
Konsep implementasi sejak awal berusaha netral atau tidak
bias pada model dan sistem politik atau pemerintahan tertentu,
meskipun sistem tersebut dalam praktiknya bisa berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan. Konsep implementasi hanya
berusaha menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi implementasi. Bisa jadi dalam perspektif dan
kondisi tertentu, keberadaan sistem politik dan pemerintahan
yang cenderung otoriter atau tertutup dan sentralistik mungkin
memiliki efisiensi dan efektivitas yang tinggi, bahkan mungkin
4. Pembagian potensi
Pembagian potensi yang tidak seimbang antara para aktor
dapat pula menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan
kebijakan. Pembagian potensi ini antara lain diferensiasi
tugas, delegasi wewenang atau tanggung jawab, koordinasi
dan sebagainya. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan
kebijakan maka diperlukan pembagian potensi yang seimbang
di mana di dalamnya terdapat pembagian kemampuan yang
dimiliki dan mempunyai tanggung jawab masing-masing di
bidangnya, hal ini akan menimbulkan kelancaran dalam
pelaksanaan kebijakan.
“ Resources
… important resources include staff of proper size and
with the necessary expertise; relevant and adequate
information … and facilities (including buildings, equipment,
land and supplies)”.
“ Disposition or attitudes
… if implementation is to be proceed effectively, not
only must implementators know what to do and have the
capability to do it, but they must also desire to carry out a
policy”.
“ Bureaucratic structure
… implementation may still be thwarted because of
deficiencies in bureaucratic structure, organizational
fragmentation may kinder the coordination necessary”.
2. Kejelasan (clarity)
Informasi kebijakan yang telah disampaikan kepada penerima
pesan belum tentu akan meghasilkan implementasi kebijakan
dengan baik bilamana informasi yang disampaikan kurang
jelas. Informasi yang tidak jelas biasanya karena informasi
tersebut masih bersifat umum, global dan belum menguraikan
rincian langkah dari implementasi kebijakan. Akibatnya
pengambilan keputusan oleh implementator juga akan bersifat
umum dan global, sehingga implementasinya menjadi tidak
benar.
Disparitas informasi dalam komunikasi kebijakan dapat
pula disebabkan karena tidak adanya standar informasi
kebijakan yang baku, tidak adanya komunikator yang telah
dibakukan kualifikasinya, serta imajinasi dan kreativitas
implementator dapat menjadi penyebab fokus implementasi
kebijakan menjadi bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.
Mengenai kesalahan interprestasi dalam implementasi
kebijakan sehingga mengakibatkan kesalahpahaman (misun-
derstanding), dicontohkan oleh Edwards III (1980:27) dalam
kesalahpahaman atas economic opportunity act of 1964 pada
topik maximum feasible participation. Pada kasus ini perbedaan
bahasa hukum kebijakan dan bahasa orang awam mengenai
informasi kebijakan dan implementasinya perlu dicermati
secara optimal.
Hal yang lain dalam ketidakjelasan komunikasi adalah
disebabkan karena tidak diantisipasinya perubahan (unantici-
pated change), perubahan yang benar (true intension),
pengurangan diskresi (reducing discreation), keputusan
pengadilan yang ambisius (ambiguous court decision), dan nilai
fkexibilitas (value of flexibility) (Edwards III, 1980:31-40).
3. Konsistensi (consistency)
Konsistensi komunikasi dalam rangka implementasi kebijakan
sangat penting, untuk memelihara persepsi, memantapkan
arah implementasi serta mempertahankan sikap implemen-
tator terhadap kebijakan, sehingga sampai pada pencapaian
kinerja kebijakan yang diharapkan. Yang dimaksud dengan
konsistensi disini adalah adanya kesinambungan, kesesuaian,
dan keselarasan mengenai informasi yang disampaikan, baik
dalam tatanan waktu maupun tatanan orang-orang yang
menyampaikan.
Komunikasi yang tidak konsisten dalam implementasi
kebijakan dapat terjadi akibat dari penggantian pejabat,
perubahan kebijakan, pengaruh-pengaruh ekternalitas yang
kuat seperti hasil evaluasi kinerja program, nilai-nilai kepen-
tingan baik politis, sosial, ekonomi, sehingga mempengaruhi
tingkat dukungan terhadap implementasi kebijakan.
Edwards III (1980:87) mengemukakan bahwa meskipun
komunikasi telah berjalan dengan baik, akan tetapi bila tidak
didukung dengan sumber daya yang memadai, maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Dalam
kaitan ini Simanjuntak (1985:30) menyatakan bahwa sumber
daya masukan dapat terdiri atas beraneka ragam faktor
produksi seperti modal, tanah, bangunan, peralatan dan mesin,
bahan baku serta sumber daya manusia.
Adapun model Van Meter dan Van Horn dapat dilihat dari
gambar di bawah ini.
2. Sumber Daya
Van Meter & Van Horn (1974: 465) mengemukakan sumber
daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya
dengan standar dan tujuan, sumber daya kebijakan ini harus
tersedia dalam rangka untuk memperlancar pelaksanaan
(implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya
dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah
merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi
kebijakan sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Derthicks
dalam Van Meter & Van Horn (1974:465), bahwa “new towns
study suggest that the limited supply of federal incentives was a
mayor contributor to the failure of the program”.
Seiring dengan pendapat Van Meter & Van Horn tadi,
selanjutnya Edward III (1980:11) juga mengemukan bahwa
fakror sumber daya ini juga mempunyai peranan penting
dalam imple-mentasi kebijakan. Karena bagaimanapun jelas
dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan,
serta bagaimanapun akuratnya dalam menyampaikan
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika
pelakasana kebijakan yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan kebijakan, kurang mempunyai sumber-sumber
untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi
kebijakan tersebut juga tidak akan bisa efektif.
7. Faktor Kepatuhan
Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi
atau mengendalikan perilaku manusia dalam berbagai cara
untuk mengajak orang bertindak sesuai dengan aturan atau
tujuan yang dicanangkan pemerintah. Salah satu ciri penting
yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundang-undangan
yang baik ialah kemampuan untuk memadukan hierarki
badan-badan pelaksana. Sistem yang longgar memungkinkan
terjadinya perbedaan-perbedaan perilaku kepatuhan cukup
mendasar di antara pejabat pelaksana dan kelompok-kelom-
pok sasaran, sebab mereka akan berusaha untuk melakukan
modifikasi/perubahan-perubahan tertentu sejalan dengan
rangsangan atau insentif yang muncul di lapangan.
Jika kepatuhan terhadap kebijakan tidak dicapai
(terdapat ketidakpatuhan), jika orang terus bertindak dalam
cara yang tidak teratur, jika orang terus menghindar dari
kebijakan yang telah diimplementasikan, maka kebijakan itu
tidak akan ada gunanya. Oleh karena itu dimensi kepatuhan ini
menjadi sangat penting. Dimensi kepatuhan menurut Anderson