Anda di halaman 1dari 82

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini menjelaskan pokok bahasan utama di antaranya mengenai

kebijakan, policy review, kebijakan kesehatan, serta berbagai kebijakan lingkup

rumah sakit, puskesmas dan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan.

Dalam Bab I menjelaskan mengenai pengertian kebijakan menurut beberapa

tokoh, lima unsur kebijakan, siklus kebijakan, ruang lingkup kebijakan

berdasarkan area dan tingkatan, sifat dan karakteristik kebijakan, prinsip

kebijakan serta peran dan fungsi kebijakan.

Dalam Bab II menjelaskan mengenai pengertian, prinsip, pendekatan dan

proses policy review.

Dalam Bab III menjelaskan tentang pengertian kebijakan kesehatan, sejarah

munculnya kebijakan kesehatan, dan jenis kebijakan kesehatan yang dibagi

berdasarkan tingkatan makro, meso dan mikro.

Dalam Bab IV menjelaskan mengenai pengertian, fungsi dan tugas Rumah

Sakit. Selain itu juga membahas mengenai klasifikasi dan berbagai macam

kebijakan lingkup Rumah Sakit diantaranya UU No 44 Tahun 2009, Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 147/MENKES/PER/I/2010 dan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/ MENKES/ PER/ III/ 2010 tentang

Klasifikasi Rumah Sakit.

Pada Bab V menjelaskan mengenai Puskesmas mencakup pengertian, tujuan

dan fungsi Puskesmas. Termasuk didalamnya mengenai berbagai kebijakan

lingkup Puskesmas meliputi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan

1
Pengembangan Desa Siaga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1259/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan

Kelurahan Siaga Aktif dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 284/Menkes/PerIII/2007 tentang Apotek Rakyat.

Pada Bab VI menjelaskan mengenai berbagai kebijakan lingkup Sumber Daya

Manusia (SDM) Kesehatan diantaranya UU No 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

971/MENKES/PER/XI/2009 Tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural

Kesehatan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 317/MENKES/Per/III/2010 Tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Warga Negara Asing, dan Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan (RUU

NAKES).

Diharapkan dalam pengerjaan makalah ini, semua pihak terkait akan lebih

memahami mengenai pokok bahasan kebijakan dan sub-pokok bahasan yang

menyangkut mengenai kebijakan itu sendiri.

2
BAB I

KEBIJAKAN

1.1 Pengertian Kebijakan

Secara Etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa

Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan

Sansekerta polis (negara-kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam bahasa

Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris

Pertengahan Policie, yang berarti menangani berbagai masalah publik atau

administrasi pemerintahan.

Berikut ini pendapat beberapa ahli mengenai pengertian kebijakan

politik:

1. Policy (n.) Political sagacity; statecraft; prudent conduct, sagacity;


craftiness; course of action adopted by government, party, etc (Concise
Oxford Dictionary)

Dari pengertian tersebut, kebijakan adalah tindakan kebijaksanaan yang

dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai bidang contohnya pada

bidang politik dan bidang kesehatan.

2. “Policy is a statement by government of what it intends to do about a


public problem.” (Birkland, 2001)

3. “Policy is defined as a relatively stable, purposive course of action


followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or
matter of concern.” (Anderson, 2006)

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu bentuk peraturan

tertulis yang berasal dari organisasi, kelompok, ataupun pemerintah dan

digunakan untuk menyelesaikan masalah ataupun untuk mencegah

timbulnya masalah. Kebijakan juga dapat digunakan untuk menjaga

kestabilan kelompok, organisasi, pemerintahan, maupun masyarakat.

3
Kebijakan bersifat mengikat dan dapat dijadikan pedoman untuk membuat

kebijakan selanjutnya.

1.2 Lima Unsur Kebijakan

Kebijakan secara umum mempunyai 5 (lima) unsur utama, yaitu :

1. Masalah publik (Public Issue)

Merupakan isu sentral yang akan diselesaikan dengan sebuah

kebijakan. Masalah disebut sebagai isu publik manakala masalah itu

menjadi keprihatinan (concern) masyarakat dan mempengaruhi hajat

hidup masyarakat.

2. Nilai Kebijakan (Value)

Setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan

untuk menciptakan tata nilai baru dalam organisasi. Seringkali nilai

yang ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda dengan nilai

yang ada di pemerintah. Oleh karena itu, perlu partisipasi dan

komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan.

3. Siklus Kebijakan

Proses penetapan kebijakan sebenarnya adalah sebuah proses yang

siklis dan bersifat kontinum, serta terdiri atas tiga tahap yang disebut

sebagai policy analysis, yaitu : (1) perumusan kebijakan (Policy

Formulation), (2) penerapan kebijakan (Policy Implementation), dan (3)

evaluasi kebijakan (Policy Review). Ketiga tahap dalam siklus tersebut

saling berhubungan, kompleks, dan tidak linear.

4
4. Pendekatan dalam Kebijakan

Setiap tahap siklus kebijakan disertai dengan penerapan pendekatan

(Approaches) yang sesuai. Pada tahap formulasi, pendekatan yang

banyak digunakan adalah pendekatan normatif, valuatif, prediktif

ataupun empirik. Pada tahap implementasi, banyak menggunakan

pendekatan struktural (organisasional) ataupun pendekatan manajerial.

Sedangkan tahap evaluasi menggunakan pendekatan yang sama dengan

tahap formulasi. Pemilihan pendekatan yang digunakan sangat

menentukan tingkat efektivitas dan keberhasilan sebuah kebijakan.

5. Konsekuensi Kebijakan

Pada setiap penerapan kebijakan, perlu dicermati akibat yang dapat

ditimbulkan. Dalam memantau hasil kebijakan, kita harus membedakan

dua jenis akibat, yaitu luaran (Output) dan dampak (Impact). Apapun

bentuk dan isi kebijakan, pada umumnya akan memberikan dampak

atau konsekuensi. Tingkat intensitas konsekuensi akan berbeda antara

satu kebijakan dengan yang lain, juga dapat berbeda berdasar dimensi

tempat dan waktu. Konsekuensi lain yang juga perlu diperhatikan

adalah timbulnya resistensi (penolakan) dan perilaku negatif.

5
1.3 Siklus Kebijakan

Gambar Siklus Kebijakan

1. Pengaturan Agenda

“The agenda is nothing more than “the list of subjects or problems to


which governmental offi cials, and people outside the government
closely associated with those offi cials, are paying some serious
attention at any given time” According to (Fischer, 2007)

Tahap ini terdiri dari 2 tahap lagi yaitu pengenalan suatu masalah

dan penyeleksian isu yang beredar. Pada tahap ini intinya adalah

mendeteksi bahkan mencari masalah yang ada baik di masyarakat

maupun di pemerintahan sekaligus yang sekiranya sangat memerlukan

perhatian yang lebih sehingga diterapkanlah suatu kebijakan.

Contohnya adalah apabila kita mengamati lingkungan disekitar

Mulyorejo dengan sekilas saja apalagi dengan menelitinya maka pasti

6
akan ada suatu masalah di sungainya, yaitu sungai yang kotor di

mulyorejo. Jika kita meneliti lebih dalam maka itu semua disebabkan

oleh satu faktor yaitu PHBS yang kurang dari warga sekitarnya,

pengambilan masalah inilah yang disebut sebagai agenda setting.

2. Perumusan Kebijakan

Pada tahap ini terdiri dari 2 tahap lagi yaitu membuat kebijakan dan

memutuskan kebijakan yang mana yang akan diambil. Pertama kita

harus menentukan tujuan dari kebijakan yang akan kita buat nanti

dengan acuan masalah yang diangkat dari tahap Agenda setting, setelah

itu kita menentukan semua kebijakan yang dapat digunakan untuk

mengatasi masalah tersebut beserta kebijakan alternatifnya.

Contohnya adalah dari masalah yang kita angkat di agenda setting,

lalu kita merumuskan beberapa kebijakan seperti buang sampah pada

tempatnya jika melanggar akan didenda, dsb. Lalu memutuskan apakah

kebijakan itu akan diterapkan atau tidak dengan berbagai pertimbangan.

3. Implementasi atau Aplikasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan segala sesuatu yang terjadi di

pemerintahan antara ingin ataupun berhenti untuk melakukan sesuatu

dan berdampak pada masyarakat.

Pada tahap ini bersifat aksi politik dan administratif yang sangat

susah untuk dikontrol agar tetap berjalan lurus pada garis tujuan

ataupun peraturan yang telah ditetapkan sehingga tahap ini sering kali

mengalami beberapa kegagalan dalam prakteknya karena itu sangat

7
biasa apabila suatu kebijakan sering diubah bahkan dihapuskan

sekaligus.

Di dalam tahap Policy Implementation ini memiliki beberapa unsur

yaitu:

a. Spesifikasi rincian program

b. Alokasi sumber daya

c. Keputusan

Contohnya dari kebijakan tidak buang sampah lanjutan di atas

diimplementasikan secara nyata dengan spesifik rincian program

(pembuangan sampah basah berbeda dengan sampah kering), alokasi

sumber daya (distribusi resources pada lokasinya masing-masing

seperti tempat sampah, informasi kebijakan, dll.), dan keputusan

(keluarnya suatu keputusan dari satu masalah yang ada)

4. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan ini merupakan melihat kembali “apakah

kebijakan yang diterapkan sudah efektif atau belum?” selain itu hasil

dari evaluasi kebijakan ini akan memutuskan apakah kebijakan itu

berlanjut atau tidak.

Contohnya adalah ketika suatu kebijakan yang telah

diimplementasikan atau diaplikasi dalam waktu tertentu lalu di evaluasi

baik dan buruknya, yang baik diteruskan dan yang buruk di rombak.

Setelah itu diimplementasikan lagi, dst.

1.4 Ruang Lingkup Kebijakan

1.4.1 Kebijakan Berdasarkan Area

8
1. Kebijakan Publik

Publik yang secara awam dimaknai dengan arti orang banyak,

masyarakat luas, atau warga suatu negara. Publik berisi aktivitas

manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh

pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama

(Parsons, 2001). Kata publik ini selanjutnya bergabung dengan kata

kebijakan menjadi satu kesatuan kata yang memiliki makna lebih

kompleks, yaitu kebijakan publik.

Menurut para ahli, kebijakan publik memiliki pengertian sebagai

berikut :

a. “Public policies are the intentions and actions of government range


widely over many fields of endeavour and may effect many members
of society.” (Levitt. 1980)
Kebijakan publik adalah niat dan tindakan pemerintah dalam
berbagai bidang pekerjaan dan tindakan tersebut akan memiliki efek
bagi anggota masyarakat.

b. “Public policy refers to a set of actions by the government that


includes but not limited to, making laws and is defined in terms of a
common goal or purpose” (Mayer et al.2011)
Kebijakan publik adalah suatu kumpulan dari tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah termasuk membuat suatu hukum.

c. “Public policy is whatever governments choose to do or not to do.”


(Dye. 2008)
Kebijakan publik adalah apapun keputusan yang pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu hal terhadap isu atau
permasalahan yang muncul.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan publik merupakan suatu tindakan pemerintah atas

kewenangan yang dimilikinya. Kebijakan publik juga merupakan upaya

untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan

9
bersama, serta aktivitas manusia secara luas dengan berbagai

pertimbangan baik dan buruknya

2. Kebijakan Privat

Kebijakan privat merupakan kebijakan yang digunakan untuk

kelompok atau organisasi tertentu, dan kepemilikannya bersifat

kelompok atau organisasi. Tetapi kebijakan ini juga dapat digunakan

oleh masyarakat pada umumnya.

1.4.2 Kebijakan Berdasarkan Tingkatan

Jenis kebijakan berdasarkan tingkatan dibagi menjadi tiga, antara lain :

1. Kebijakan Makro (National Level)

Kebijakan makro adalah kebijakan yang dapat mempengaruhi suatu

negara secara menyeluruh. Misalnya, Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Kesehatan, dan lainnya.

Partisipasi kebijakan makro sangat luas, meliputi presiden, eksekutif,

legislatif, media, kelompok, dan berbagai kalangan lainnya.

Kebijakan di tingkat makro akan menjadi landasan bagi kebijakan

meso dan mikro, begitu juga dengan perubahannya. Kebijakan makro

juga termasuk kebijakan publik karena mengatur tingkat nasional dan

bertujuan untuk kehidupan banyak orang. Contoh kebijakan di tingkat

makro adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan.

2. Kebijakan Meso (State Level)

Kebijakan meso berkonsentrasi di tingkat daerah tertentu. Kebijakan

ini dilandasi oleh kebijakan makro yang kedudukannya lebih tinggi.

10
Contoh dari kebijakan meso adalah Peraturan Daerah Kota Surabaya

Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Merokok.

Kebijakan meso bisa berbeda dengan kebijakan makro walaupun

landasannya sama, karena kebijakan meso merupakan turunan dari

kebijakan makro sehingga berdasarkan contoh diatas, bisa saja di

daerah lain tidak mengatur tentang kebijakan untuk merokok di

sembarang tempat.

3. Kebijakan Mikro (Local Level)

Kebijakan mikro berlaku pada lingkup tertentu, seperti perusahaan,

organisasi, komunitas, dan kelompok. Kebijakan mikro yang berlaku di

satu lingkup bisa berbeda dengan kebijakan mikro di lingkup lainnya.

Kebijakan mikro tidak berlaku di luar lingkup organisasi tersebut tetapi

dapat memiliki pengaruh pada lingkup luar. Contoh kebijakan mikro

adalah peraturan tertulis di Universitas Airlangga tentang tata cara

berpakaian yang sopan, berkerah, tidak ketat, dan bersepatu. Kebijakan

tersebut bisa saja tidak berlaku saat civitas akademika Universitas

Airlangga berada di luar lingkup Universitas Airlangga.

1.5 Sifat dan Karakteristik Kebijakan

1. Regulatif: Regulasi dan kontrol aktivitas.

Suatu kebijakan itu dirancang untuk mengatur aktivitas berbagai

pihak (publik maupun privat) dengan menjamin kepatuhan mereka

terhadap standar atau prosedur tertentu. Contoh: kebijakan tentang

pembatasan penjualan obat tertentu, pembatasan penggunaan kendaraan

dinas, pembatasan pemilikan dan penggunaan senjata api.

11
2. Distributif: Distribusi sumber daya baru.

Suatu kebijakan itu bersifat distributif, dimana kebijakan itu

menyebarluaskan segala informasi, sumber daya, dan aturan yang

bersifat baru kepada pihak yang terkait pada kebijakan tersebut.

Contoh: pembangunan jalan raya, pemberian beasiswa kepada pelajar,

kebijakan tentang jaminan pinjaman, kebijakan beras miskin (Raskin),

dan bantuan langsung tunai (BLT).

3. Protektif: Melindungi kepentingan dan keinginan publik maupun privat

Kebijakan selalu bersifat melindungi keinginan pihak terkait melalui

tiap isi yang ada di dalamnya. Contoh: Kebijakan mengenai KDRT

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004),

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok.

4. Redistributif: Perubahan distribusi sumberdaya yang sudah ada.

“Potentially redistributive policies are, in effect, redefined as


regulative through weakening amendments” (Goliath Business
Knowledge on Demand, 2007).

Kebijakan redistributif adalah kebijakan yang dapat didefinisi ulang

dengan perubahan setelah melalui proses evaluasi dari hasil

implementasi kebijakan sebelumnya. Contoh: Misalnya kebijakan

tentang pajak pendapatan, dan pemberantasan kemiskinan, pembebasan

tanah untuk kepentingan umum.

Sedangkan karakteristik kebijakan antara lain:

1. Kebijakan harus memiliki tujuan

12
Sebuah kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak

mustahil akan menimbulkan masalah baru, seperti strategi

pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis kebijakan akan

menyatakan bahwa pemerintah telah kehilangan arah.

Penetapan tujuan merupakan kegiatan yang paling penting karena

hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan

publik.Pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan

kebijakan yang meliputi perencanaan dan evaluasi agar kebijakan tetap

fokus pada tujuan yang telah ditetapkan.Berdasarkan tujuan utamanya,

terdapat enam kelompok tindakan kebijakan (play action) yang

mendasar yaitu :

a. Regulasi (Regulation)

Tujuan utamanya membuat aturan dan batasan tertentu.

b. Deregulasi (Deregulation)

Tujuan utamanya membuat pelonggaran bahkan penghapusan

batasan tertentu.

c. Insentif (Reward)

Tujuan utamanya mendorong dan mempercepat pencapaian suatu hal

dengan memberikan suatu bentuk imbalan.

d. Penyediaan infrastruktur (Infrastructure Provision)

Tujuan utamanya menyediakan hal yang bersifat infrastruktural.

e. Informasi atau pedoman (Information or Guidance)

Tujuan utamanya memberikan dan menyampaikan informasi serta

memberi pedoman yang spesifik.

13
f. Pengaruh (Influence)

Tujuan utamanya mendorong dan mempengaruhi terjadinya

perubahan serta membantu proses perubahan kepada pihak tertentu.

2. Kebijakan sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai

sebab dan akibat.Kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi mengenai

perilaku.Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang

untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak

melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan

(proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme

mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi. Misalnya, jika pemerintah

menaikan harga BBM, maka akan banyak perusahaan menaikan harga

produksinya yang akan mengakibatkan harga barang-barang meningkat

dan masyarakat kelas bawah semakin sulit memenuhi kebutuhan

hidupnya.

3. Kebijakan sebagai tindakan yang legal

Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena

dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem

pemerintahan.Berbagai keputusan tersebutmengarahkan pilihan suatu

perbuatan dan mengikat para pegawai negeri untuk bertindak.Kebijakan

sebagai keputusan legal bukan berarti bahwa pemerintah selalu

memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu, namun kebijakan

dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau

masalah publik.

14
Hal tersebut berarti bahwa kebijakan adalah : (a) intensional atau

memiliki tujuan; (b) menyangkut pembuatan keputusan dan pengujian

berbagai konsekuensinya; (c) terstruktur dengan para pemain dan

serangkaian langkahnya yang jelas dan terukur; (d) bersifat politis yang

mengekspresikan pemilihan prioritas program lembaga eksekutif.

4. Kebijakan melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.

Partisipasi adalah proses keterlibatan dalam pengambilan keputusan,

perumusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan.

Pembuatan kebijakan yang melibatkan partisipasi dan aspirasi

masyarakat bertujuan agar kebijakan yang sudah disusun dan

direncanakan bisa sesuai dengan kenyataan. Selain itu, masyarakat juga

dapat lebih patuh pada kebijakan yang pembuatan dan penyusunannya

melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara aktif.

5. Kebijakan bentuknya terstruktur dan tersusun berdasarkan hukum dan

undang-undang.

6. Semua kebijakan yang telah dibuat dan disusun harus mempunyai

landasan hukum dan undang-undang. Artinya pembuatan kebijakan

tidak boleh bertentangan dan melanggar dengan hukum dan undang-

undang yang berlaku.

7. Kebijakan menghasilkan dampak (outcome)

Setiap proses pembuatan kebijakan harus dianalisis terlebih dahulu

apakah akan memberikan dampak yang baik atau buruk bagi

masyarakat. Suatu kebijakan yang dibuat tidak boleh merugikan

15
masyarakat. Jenis kebijakan berdasarkan pengaruh atau dampak yang

ingin ditimbulkannya meliputi:

a. Kebijakan eksplisit (explicit policy)

Kebijakan eksplisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk

memberikan dampak secara langsung pada obyek sasaran kebijakan.

b. Kebijakan implisit (implicit policy)

Kebijakan implisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk

memberikan dampak secara tidak langsung pada obyek sasaran

kebijakan.

1.6 Prinsip Kebijakan

1.6.1 Prinsip Kebijakan Publik

Prinsip kebijakan terbagi menjadi dua jenis yang lebih spesifik yaitu

prinsip kebijakan publik dan prinsip kebijakan privat. Prinsip kebijakan

publik dapat digunakan sebagai pedoman serta batasan untuk pembuatan

kebijakan publik yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan anggota

organisasi ataupun masyarakat. Prinsip kebijakan privat digunakan untuk

basis dalam pembuatan kebijakan privat yang sifatnya internal dalam

organisasi.Berikut ini beberapa prinsip kebijakan publik dan privat.

Terdapat 17 prinsip kebijakan publik menurut Association of

Washington Business (2002), yaitu:

1. Kebijakan publik harus menjaga perkembangan sektor swasta

Pada prinsipnya pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan

publik yang mereka ambil itu tidak membatasi perkembangan dari

perusahaan swasta yang ada, baik secara langsung ataupun tidak

16
langsung.Jadi diharapkan perusahaan swasta yang ada tetap dapat

berkembang dengan baik, tidak terganggu oleh kebijakan publik yang

sedang berjalan.

2. Kebijakan publik melibatkan rakyat dalam perkembangannya

Pada prinsip ini menjelaskan bahwa kebijakan publik yang diambil

pemerintah harus atas sepengetahuan rakyat dan harus mau

mendengarkan pendapat rakyat sebagai bahan pertimbangan.Pemerintah

tidak boleh menjalankan kebijakan yang secara jelas telah ditentang

atau tidak disetujui oleh rakyat.

3. Kebijakan publik dilandasi analisis manfaat social

Prinsip ini menuntut pemerintah lebih mengutamakan pertimbangan

mengenai manfaat kebijakan publik tersebut bagi seluruh masyarakat,

bukan mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan

kebijakan itu ataupun faktor lainnya.

4. Kebijakan publik bersifat fleksibel

Sifat fleksibel yang dimaksud adalah kesediaan pemerintah untuk

memberikan pengecualian kepada masyarakat bisnis, apabila dalam

pelaksanaan kebijakan itu dapat merugikan masyarakat bisnis.

5. Kebijakan publik harus mencapai tujuan lain dan terukur

Kebijakan yang dibuat harus diukur kesuksesannya dengan

melakukan evaluasi yang sah.

6. Kebijakan publik harus disertai dengan dokumentasi

17
Kebijakan publik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah harus

disertai dengan dokumentasi sebagai bukti telah berjalannya kebijakan

itu, serta sebagai bukti efektif atau tidaknya kebijakan itu.

7. Kebijakan publik harus memberikan insentif berbasis pasar

Hal ini diterapkan dengan harapan pengambilan kebijakan oleh

pemerintah dapat mencapai hasil yang menguntungkan.

8. Kebijakan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah fungsional

Prinsip ini menekankan bahwa kebijakan publik dibuat oleh

pemerintah yang fungsional, serta kebijakan itu harus dilaksanakan

dengan cepat dan dapat mengatasi isu publik. Kebijakan harus dapat

menyelesaikan isu publik yang timbul dengan cepat dan efektif.

9. Kebijakan publik jelas dan realistis

Kebijakan publik batasan dan hukumnya harus jelas juga dapat

dilaksanakan oleh seluruh pelaksana kebijakan termasuk masyarakat.

10. Kebijakan publik disertai hukum yang sederhana

Hukum yang sederhana digunakan untuk mencegah adanya duplikasi

hukum sebagai landasan dalam penetapan sanksi.Duplikasi hukum

dapat menimbulkan kerancuan dalam penetapan sanksi atas

penyelewengan atau pelanggaran atas kebijakan yang digunakan. Hal

ini akan menyebabkan kebijakan yang telah dibuat menjadi tidak

efektif.

11. Kebijakan publik harus konsisten dengan hukum yang ada

Kebijakan harus berjalan sesuai dengan hukum yang telah ada,

namun kebijakan dapat bersifat fleksibel hanya dalam situasi tertentu.

18
12. Kebijakan publik harus mendukung inovasi pemerintah

Inovasi yang diharapakan dalam prinsip ini adalah inovasi

pemerintah dalam meningkatan efisiensi pelayanan publik dengan biaya

yang paling hemat.

13. Kebijakan publik memprioritaskan efisiensi penggunaan sumber daya

publik dan swasta

Kebijakan publik dituntut untuk lebih memprioritaskan penggunaan

sumber daya publik dan swasta, sehingga manfaat dari sumber daya

publik dan swasta yang ada dapat dirasakan oleh seluruh elemen

masyarakat.

14. Kebijakan publik memastikan kedudukan stakeholder komite dan

dewan

Kebijakan publik memastikan bahwa stakeholder komite dan dewan

merupakan perwakilan dari tiap bagian dari organisasi.Kinerja

stakeholder komite dan dewan dipengaruhi oleh kebijakan publik yang

dibuat dan dipilih oleh organisasi.

15. Kebijakan tepat sanksi

Kebijakan harus tepat dalam memberikan sanksi sesuai dengan

Undang-Undang yang wajar dari keterbatasan, serta sesuai dengan

pelanggaran yang dilakukan.

16. Kebijakan publik membatasi hukuman sipil untuk restitusi ekonomi

Kebijakan publik harus dapat menetukan denda tertentu dengan

patokan yang jelas dan membatasi sanksi pidana untuk tindakan

kriminal.

19
17. Kebijakan publik disertai waktu yang jelas

Kebijakan publik harus memiliki jangka waktu tertentu dan jelas

dalam pelaksanaannya, sehingga kebijakan dapat terlihat efektif.

1.6.2 Prinsip Kebijakan Privat

Prinsip kebijakan privat dapat digunakan untuk pembuatan kebijakan

privat, meningkatkan kinerja organisasi, dan memajukan organisasi.

Beberapa prinsip kebijakan privat menurut Queensland Council of Social

Service (2006), yaitu :

1. Kebijakan sesuai dengan visi dan misi organisasi

Pengambilan kebijakan oleh suatu organisasi harus sesuai dengan

visi dan misinya agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan

organisasi dan dapat mengontrol kinerja organisasi.

2. Kebijakan yang diambil harus sesuai dengan jenis layanan

Setiap organisasi memiliki berbagai macam prinsip kebijakan privat

sesuai dengan jenis layanan yang diambil. Hal ini dilakukan agar

kebijakan dapat membantu organisasi agar lebih maju.

3. Kebijakan meningkatkan pelayanan

Kebijakan yang diambil atau dibuat harus dapat meningkatkan

kualitas pelayanan organisasi.

4. Kebijakan berguna bagi pengguna

Maksudnya pengguna disini adalah para pihak yang bersangkutan

dengan kebijakan itu. Misalnya adalah pengguna jasa, manajer, dan

anggota lainnya dalam organisasi tersebut.

20
5. Kebijakan praktis dan realistis

Praktis maksudnya adalah kebijakan yang dibuat haruslah mudah

dipahami dan dimengerti oleh para penggunanya. Realistis maksudnya

adalah sesuai dengan fakta, dapat dilaksanakan oleh penggunanya, dan

sesuai dengan kebutuhan organisasi.

6. Kebijakan mudah dibaca

Kebijakan ditulis dengan kata yang mudah dibaca bagi semua

pengguna. Hal ini berkaitan dengan penulisan serta tampilan dari

kebijakan tertulis yang dibuat.

7. Kebijakan mudah diakses dan pengguna dapat membacanya.

Kebijakan yang dibuat harus diletakkan pada tempat yang strategis

agar semua anggota organisasi dapat mengaksesnya dengan mudah.

8. Kebijakan termasuk dalam semua bidang yang relevan

Kebijakan yang dibuat tidak hanya mengatur di satu bidang dalam

organisasi, melainkan seluruh bidang di organisasi itu.

9. Kebijakan menginspirasi pembaca.

Maksudnya setelah pengguna mengetahui dan menerapkan kebijakan

yang ada di organisasinya, dia akan membawanya sebagai prinsip

dalam kehidupan dan menjalankan tugas dari perannya di masyarakat.

1.7 Peran dan Fungsi Kebijakan

Kebijakan secara singkat dapat diartikan sebagai suatu aturan dalam

bentuk tertulis dan merupakan keputusan resmi suatu organisasi. Berbagai

aturan tersebut mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik dalam

lingkup publik maupun privat. Tujuan dari suatu kebijakan adalah untuk

21
mengintegrasikan pengetahuan ke dalam suatu disiplin yang menyeluruh

(overarching) untuk menganalisis pilihan publik dan mengambil

keputusan, serta ikut berperan dalam demokratisasi masyarakat (Parsons,

2001).

Peran dan fungsi sejatinya berbeda. Peran berhubungan dengan subjek

manusia, sedangkan fungsi berhubungan dengan objek atau benda.

Ternyata dalam kebijakan, dua kata ini dapat diartikan sebagai sesuatu

yang sama. Peran dan fungsi utama dari kebijakan adalah untuk mengatur

segala proses dalam aspek kehidupan manusia di berbagai bidang, baik

publik maupun privat, seperti kesehatan, transportasi, pendidikan,

lingkungan, sosial, ekonomi, keamanan, dan lainnya. Pengaturan itu

dilakukan agar tercipta suatu stabilitas di berbagai bidang dan

mewujudkan keadaan yang tertib, harmonis, serta adanya hubungan yang

baik antar manusia di dalamnya.

Peran dan fungsi suatu kebijakan selanjutnya adalah untuk menjadi

sumber rujukan. Kebijakan itu berfungsi sebagai rujukan terhadap

berbagai masalah yang ada. Hal ini berhubungan dengan peran dan fungsi

kebijakan yang pertama, bahwa kebijakan itu bersifat mengatur segala hal

dan dapat menjadi dasar aturan yang akan menjadi rujukan jika terjadi

suatu masalah terkait. Rujukan yang dimaksud dapat diartikan sebagai

pedoman dasar dalam menyelesaikan masalah yang ada.

Kebijakan juga berfungsi untuk melindungi dan menjaga kepentingan

serta keinginan pihak yang bersangkutan, baik publik maupun privat.

Misalnya saja keinginan publik mengenai akses kesehatan yang murah, hal

22
itu dapat diwujudkan dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.125/MenKes/SK/II/2008 tentang pedoman

penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat.

1.7.1 Peran dan Fungsi Kebijakan Publik

Berbicara mengenai kebijakan publik, maka secara tidak langsung kita

juga akan berbicara mengenai hajat hidup orang banyak. Kebijakan publik

sangat erat kaitannya dengan pemerintah dan masyarakat. Kebijakan

publik memiliki cakupan yang lebih luas, yakni kebijakan di bidang

ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Peran pemerintah di sini adalah untuk menciptakan kondisi lebih baik

yang dapat menjamin kepentingan publik. Intervensi publik oleh negara

ditujukan sebagai upaya menjamin penegakan hukum, hak asasi, dan

ketertiban. Adapun peran dan fungsi kebijakan publik adalah sebagai

berikut:

1. Mencapai beberapa tujuan yang mempengaruhi segmen besar warga di

suatu negara. Kebijakan publik akan mengatur segala kepentingan yang

berpengaruh pada aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur

dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial. Segmen besar yang

dimaksud adalah berbagai bidang, seperti sosial, politik, ekonomi,

kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan lainnya.

Contoh : UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang berisikan

pasal-pasal dan bertujuan untuk memperbaiki, memelihara, serta

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Di sini jelas

bahwa peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah untuk melakukan

23
intervensi di bidang kesehatan yang ditujukan pada sasaran bersegmen

besar, yaitu masyarakat Indonesia.

2. Menekan dan mendorong aktivitas masyarakat pada suatu negara.

Contoh : Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008

tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Perda

tersebut berisi larangan merokok di tempat umum dengan berbagai

ancaman hukumannya, maka Perda tersebut dapat difungsikan sebagai

penekan aktivitas masyarakat untuk tidak merokok di tempat umum.

3. Mewujudkan campur tangan dan pengaturan pemerintah terhadap

kehidupan masyarakatnya di berbagai bidang.

Contoh : Kebijakan pemerintah tentang pengggantian minyak tanah ke

tabung gas LPG, kebijakan ini berfungsi selain untuk mengatasi

masalah ekonomi karena melonjaknya harga minyak dunia, juga

berfungsi untuk menstabilkan dan menjaga sumberdaya alam yang

dimiliki oleh negara Indonesia yang sekarang ini telah menipis.

4. Melindungi dan menjaga kepentingan, serta keinginan seluruh

masyarakat (ketersediaan udara bersih, air bersih, kesehatan yang baik,

ekonomi yang inovatif, perdagangan yang aktif, pencapaian pendidikan

yang tinggi, rumah yang layak, kemiskinan yang rendah, tingkat

kriminal yang rendah, dan lainnya).

Contoh : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin 2006

atau lebih dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan Masyarakat

Miskin (Askeskin) merupakan program yang bertujuan untuk

meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh

24
masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang membutuhkan

pelayanan kesehatan agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang

tinggi. Di sinilah terlihat peran pemerintah dalam upaya melindungi

masyarakatnya yang terbilang kurang mampu agar tetap bisa

mengakses pelayanan kesehatan.

5. Membangun lingkungan yang memungkinkan setiap pelaku, baik bisnis

maupun non bisnis untuk mampu mengembangkan diri menjadi para

pelaku yang kompetitif.

Contoh : Adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

741/MenKes/PER/VII/2008 dan pengaturan akreditasi rumah sakit yang

memicu rumah sakit di Indonesia berkompetisi meningkatkan

pelayanannya.

6. Melakukan serangan frontal terhadap isu publik.

Contoh : Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan kebijakan

pemerintah yang bertujuan untuk menjawab isu publik mengenai

tingginya tingkat kematian ibu akibat pelayanan proses persalinan yang

buruk. Diharapkan, pelaksanaan kebijakan ini dapat berkontribusi

menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang terbilang

cukup tinggi.

7. Membantu untuk pengaturan analisis isu perdebatan yang sedang terjadi

maupun yang akan terjadi di masa mendatang.

Contoh : Penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.

Pada peristiwa ini masih banyak perdebatan baik di kalangan atas,

menengah maupun bawah. Ada yang menyatakan setuju atas program

25
tersebut dan ada pula yang tidak setuju. Pemerintah bisa menganalisis

tentang isu perdebatan tersebut. Hal ini membuat pemerintah

mengadakan sebuah kebijakan, yaitu menganalisis tentang dampak

positif dan dampak negatif dari perbedaan isu tersebut.

1.7.2 Peran dan Fungsi Kebijakan Privat

Peran dan fungsi kebijakan privat hampir sama dengan peran dan fungsi

kebijakan publik, hanya berbeda pada ruang lingkup berlakunya atau

cakupan kebijakan tersebut. Kebijakan publik berlaku pada seluruh lapisan

masyarakat, sedangkan kebijakan privat berlaku pada sekelompok orang

yang terkait dalam kebijakan privat tersebut. Contoh kebijakan privat

adalah peraturan yang dikeluarkan BEM FKM UNAIR bahwasanya para

panitia ospek fakultas harus berkomitmen untuk tidak merokok selama

pelaksanaan ospek. Hal ini tentu berbeda dengan peraturan di tempat

lainnya, BEM FST UNAIR misalnya.

26
BAB II

POLICY REVIEW

2.1 Pengertian Policy Review

Siklus kebijakan terdiri dari tiga tahap yang disebut sebagai policy

analysis, yaitu (1) policy formulation (perumusan kebijakan), (2) policy

implementation (penerapan kebijakan), dan (3) policy review (evaluasi

kebijakan). Dalam bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai policy

review atau evaluasi kebijakan yang merupakan salah satu dari tahapan

analisis kebijakan.

Berikut ini pendapat beberapa ahli mengenai pengertian policy review:

1. Dye (2009)

“Policy is whatever governments choose to do or not to do”.

Kebijakan adalah sebuah peraturan yang dipilih oleh pemerintah atau

organisasi yang memiliki tujuan, dan untuk diikuti oleh seorang atau

sekelompok orang untuk mengatasi sebuah masalah.

2. Scriven (1991)

“Evaluation is the process of determining the merit, worth and value of


things, and evaluations are the products of that processs”.

Evaluasi adalah sebuah proses penentuan manfaat, harga dan nilai dari

suatu hal, yang pada akhirnya menghasilkan evaluasi.

3. Dye (2009)

“Policy review is the assessment of the relative effectiveness of two or


more program in meeting its objective, or assessment of the relative
effectiveness of two or more program in meeting common objectives”.

27
Policy review merupakan suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai

keefektifan hasil kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah ataupun

organisasi.

4. Crabb dan Leory (2008)

“Policy evaluation is a scientific analysis of a certain policy area, the


policies of which are assessed for certain criteria, and on the basis of
which recommendations are formulated”.

Evaluasi kebijakan adalah analisis ilmiah dari bidang kebijakan

tertentu, kebijakan yang dinilai untuk kriteria tertentu, yang

berdasarkan atas rekomendasi yang telah dirumuskan.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa Policy

review atau evaluasi kebijakan merupakan suatu aktivitas yang dirancang

untuk menilai hasil-hasil kebijakan pemerintah yang mempunyai

perbedaan-perbedaan dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik

pengukurannya, dan metode analisisnya.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Dokumen kebijakan masih diperlukan (mungkin kebijakan dapat

dikombinasikan dengan kebijakan lain)

2. Maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut masih terpenuhi

3. Setiap perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas atau

kejelasan dokumen kebijakan

4. Dokumen kebijakan sedang dipenuhi (misalnya, analisis melalui

pelaporan pengecualian dan sampling)

28
5. Dokumen kebijakan adalah up-to-date, konsisten dengan delegasi,

persyaratan legislatif eksternal atau lainnya, dan kebijakan terkait

lainnya

6. Dokumen kebijakan sejalan dengan praktiknya di dalam industri

7. Apakah proses implementasi telah berjalan efektif.

Pada intinya tujuan dari evaluasi adalah untuk mendeteksi kekuatan dan

kelemahan suatu proses program dengan maksud untuk membuat

rekomendasi untuk mengubah struktur, atau mengatur pelaksanaan, dari

sebuah program yang lebih baik.

2.2 Prinsip Policy Review

1. Me-review Landasan Hukumnya

Landasan hukum yang jelas sangat diperlukan dalam pembuatan

sebuah kebijakan, karena dengan landasan hukum yang jelas, akan

memberikan kekuatan mengikat yang kuat dari sebuah kebijakan.

Selain itu landasan hukum perlu di-review untuk melihat apakah

landasan hukum tersebut sudah cukup kuat dan sesuai untuk digunakan

sebagai acuan suatu kebijakan. Contohnya penerapan kurikulum di

sekolah harus berlandaskan pada ketentuan yang telah dibuat oleh

pemerintah, seperti PERMENDIKNAS.

2. Me-review sistematika penulisan atau strukturnya

Dalam sebuah kebijakan atau aturan, sistematika penulisan dan

struktur yang benar sangat diperlukan. Hal itu penting karena dalam

pembuatan kebijakan tidak boleh menggunakan struktur penulisan yang

sembarangan dan harus disesuaikan dengan struktur yang baik dan

29
benar. Contohnya kebijakan dilarang merokok di kawasan FKM, dalam

kebijakan tersebut harus jelas siapa yang membuat peraturan itu.

3. Me-review konten atau isi kebijakan

Isi dari sebuah kebijakan sangat vital peranannya dalam menentukan

keefektifan sebuah kebijakan. Isi kebijakan harus berkaitan dan sesuai

dengan isu atau masalah yang membuat kebijakan tersebut dibuat.

Misalnya kebijakan pemerintah dalam memberikan Bantuan

Operasional Sekolah (BOS), dalam buku panduan penggunaan BOS

harus jelas mengatur tata cara pengguanaan dana itu, agar tidak terjadi

penyelewengan penggunaan dana itu.

4. Me-review tujuan kebijakan

Tujuan dari sebuah kebijakan harus sesuai dengan sasaran dari

kebijakan itu, misalnya kebijakan pemerintah dalam pemberian

Bantuan Langsung Tunai (BLT), sangat jelas tujuan dari kebijakan ini

adalah untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia.

5. Me-review penerapan kebijakan

Penerapan dari sebuah kebijakan sangat perlu untuk selalu dievaluasi

untuk melihat keefektifan dari suatu kebijakan saat diterapkan karena

seringkali penerapan di lapangan ini tidak sesuai dengan aturan yang

telah dibuat, misalnya kebijakan penggunaan BBM bersubsidi, pada

kenyataanya masih banyak kendaraan yang seharusnya tidak boleh

menggunakan BBM bersubsidi, namun tetap menggunakan BBM

bersubsidi.

30
6. Me-review dampak kebijakan

Sebuah kebijakan memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif,

prinsip review kebijakan dalam sektor ini dimaksudkan untuk

mengoptimalkan dampak positif, daripada dampak negatif yang timbul.

2.3 Pendekatan Policy Review

Pendekatan dalam policy review adalah berbagai metoda pengkajian

dan argumentasi untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi-

informasi kebijakan agar dapat digunakan secara politis untuk

menyelesaikan masalah kebijakan

Ada banyak sekali pendekatan yang bisa dilakukan dalam mereview

sebuah kebijakan, namun tidak semua pendektan itu cocok untuk

diterapkan dalam me-review sebuah kebijakan.

Ada 3 macam pendekatan, yakni pendekatan empiris, pendekatan

valuatif, dan pendekatan normatif ( Dunn, 1994) :

1. Pendekatan Empiris

Prinsip dari pendekatan ini adalah menekankan penjelasan sebab

akibat dari kebijakan public, selanjutnya adalah menghasilkan

informasi deskriptif ataupun prediktif. Contoh aplikasinya adalah

analisis dapat menjelaskan atau meramalkan pembelanjaan negara

untuk kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

2. Pendekatan Valuatif

Prinsipnya adalah menilai manfaat (value) dari setiap kebijakan, dan

juga informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Contoh aplikasinya

adalah setelah menerima informasi berbagai macam kebijakan KIA-KB,

31
analis dapat mengevaluasi bermacam cara untuk mendistribusikan

biaya, alat, atau obat-obatan menurut etika dan konsekuensinya.

3. Pendekatan Normatif

Prinsipnya adalah menekankan pada tindakan apa yang semestinya

dilakukan, pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah

problem kebijakan, menghasilkan informasi yang bersifat anjuran atau

rekomendasi di masa depan. Contoh aplikasinya adalah peningkatan

pembayaran pasien puskesmas (dari Rp 300 menjadi Rp 1000)

merupakan jawaban untuk mengatasi rendahnya kualitas pelayanan di

puskesmas.

1.4 Proses Policy Review

Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara

alami atau didesain, mungkin menggunakan waktu, ruang, keahlian atau

sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil. Proses policy review

memiliki tiga langkah yaitu,

1. Menentukan kebijakan yang akan di review

Dalam proses review, tahap pertama yang dilakukan adalah

menentukan kebijakan apa yang sekiranya perlu untuk ditinjau ulang,

menentukan tujuan dari proses me-review tersebut, dan

mengidentifikasi kebijakan yang akan di-review. Contohnya jika kita

akan me-review kebijakan di kawasan FKM berdasarkan fakta yang ada

di kantin bahwa masih banyak kita temui orang-orang merokok, maka

kebijakan yang harus kita review adalah kebijakan dilarang merokok di

kawasan FKM. Apakah kebijakan melarang merokok tersebut perlu

32
untuk di review ulang? Apakah tujuan kita me-review kebijakan

melarang merokok tersebut?

2. Menentukan sasaran review

Setelah kebijakan tersebut dianggap perlu untuk ditinjau ulang, maka

langkah selanjutnya adalah mengkaji isi kebijakan tersebut apakah isi

kebijakan tersebut dapat mengatasi masalah dan apakah berjalan efektif

setelah penerapannya. Contohnya dalam kebijakan melarang merokok

di kawasan FKM, terlebih dahulu kita harus melihat isi dari kebijakan

tersebut, lalu kita juga harus menganalisis apakah kebijakan tersebut

berjalan efektif? Apakah kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan

sasaran yang telah ditentukan sebelumnya?

3. Menentukan pendekatan review

Selanjutnya menentukan pendekatan yang digunakan saat melakukan

policy review. Telah dijelaskan bahwa pendekatan review terdiri dari

tiga macam yaitu pendekatan normatif, empiris, dan valuatif. Setelah

kita melihat dua langkah sebelumnya, langkah terakhir yang harus kita

lakukan adalah menentukan pendekatan apa yang cocok diterapkan

dalam kebijakan melarang merokok di area FKM ini?

33
BAB III

KEBIJAKAN KESEHATAN

1.1 Pengertian Kebijakan Kesehatan

Kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu rancangan yang dibuat untuk

mempengaruhi determinan kesehatan dengan tujuan untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat (Buse, 2012). Kebijakan ini dibentuk oleh

sektor baik publik maupun swasta dengan tujuan meningkatkan derajat

kesehatan di suatu masyarakat. Oleh karenanya kebijakan kesehatan terus

berkembang seiring dengan munculnya berbagai masalah terkait dengan

kesehatan terutama timbulnya penyakit dari waktu ke waktu.

1.2 Sejarah Munculnya Kebijakan Kesehatan

Diawali dengan deklarasi Alma ata yang dilaksanakan oleh WHO dan

UNICEF tepatnya pada tahun 1978, dalam deklarasi ini WHO janji agar

semua mencapai kesehatan melalui pendekatan sistem Primary Health

Care (PHC). Deklarasi ini dilaksanakan karena banyak jiwa yang

meninggal tiap harinya serta beredarnya isu tentang HIV/AIDS pertama

kalinya di dunia.

PHC dihubungkan dengan unsur kesehatan sehingga diharapkan dapat

mencapai:

1. Menekan pendekatan komprehensif untuk kesehatan dengan tujuan

untuk promosi dan mempertahankan rumah tangga dengan setiap unsur

di dalamnya.

2. Mempromosikan gabungan layanan klinis dengan tiap-tiap perawatan

kesehatan yang berbeda.

34
3. Meningkatkan unsur pemerataan pada kesehatan agar tidak pilih kasih.

4. Mendukung teknologi yang mendorong ke arah kesehatan yang baik.

5. Meningkatkan keterlibatan masyarakat yang tepat dan efektif dalam

sistem perawatan kesehatan.

6. Menegaskan kembali HAM terutama pada unsur kesehatannya dan juga

tanggung jawab pemerintah untuk membuat kebijakan yang diperlukan.

Kemudian dengan semangat dari deklarasi Alma Ata dan Ottawa

Charter akhirnya pada konferensi Adelaide Recommendations on Healthy

Public Policy pada tanggal 5-9 april 1988 yang merupakan konferensi

internasional kedua tentang promosi kesehatan yang diselenggarakan di

Adelaide, Australia selatan. Terdapat lima hal yang menjadi tombak pada

konferensi ini yaitu:

1. Build healthy public policy

2. Create supportive environments

3. Develop personal skills

4. Strengthen community action

5. Reorient health service

Dengan keluarnya kelima aksi tersebut merupakan maksud dari

promosi kesehatan yang ada pada konferensi internasional pertama yaitu

Ottawa Charter yang dilaksanakan di Ottawa tahun 1986. Lima aksi diatas

tidak akan berhasil jika kebijakan di bidang kesehatan tidak terlaksana.

Hal ini memperjelas serta menghimbau kembali terhadap negara-negara di

dunia terutama yang bekerja sama dengan WHO untuk membuat kebijakan

35
tersendiri dibidang kesehatan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan

derajat kesehatan manusia di dunia.

Lima hal diatas merpakan salah satu kebijakan kesehatan WHO untuk

negara- negara di dunia agar membuat kebijakan kesehatan di masing-

masing negara. Meskipun sudah ada beberapa negara yang melaksanakan

kebijakan kesehatan sebelum hal ini terjadi seperti Britain,dll.

3.3 Jenis Kebijakan Kesehatan

Layaknya kebijakan yang pada umumnya memiliki berbagai jenis,

kebijakan kesehatan juga mempunyai beberapa jenis, di bawah ini terdapat

jenis kebijakan kesehatan menurut tingkatannya:

1. Makro adalah kebijakan yang dapat mempengaruhi suatu negara secara

menyeluruh, dalam hal ini kebijakan dibuat oleh pemerintah pusat

berlaku menyeluruh di suatu negara, Contohnya adalah :

a. UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan,

b. UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN (Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional)

c. SKN (Sistem Kesehatan Nasional) 2009

d. KEMENKES RI No 89/MENKES/SK/II/2013 tentang formularium

program jaminan kesehatan masyarakat

2. Meso adalah kebijakan yang fokus pada daerah tertentu, kabijakan ini

diatur dan berlaku oleh suatu daerah tertentu tetapi tidak hanya

mempengaruhi semua yang terdapat di dalam daerah tersebut tetapi di

luarnya juga bisa terpengaruh. Kebijakan meso satu daerah dengan

36
daerah lain bisa berbeda. Kebijakan ini juga dipengaruhi oleh kebijakan

makro. Contohnya kebijakannya adalah :

a. PERDA Surabaya No 5 tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok

dan kawasan terbatas rokok.

3. Mikro adalah kebijakan yang diatur dan dibuat oleh suatu instansi atau

lingkup lainnya seperti keluarga, komunitas,dll. kebijakan ini berlaku

khusus untuk instansi tsb ataupun sesamanya tetapi dapat

mempengaruhi luar lingkup tersebut, contohnya: (ada kebijakan tertulis

maupun tidak tertulis)

a. Kebijakan K3 yang berlaku pada perusahaan yang diberi

penghargaan ISO 9000 saja yang dapat mengekspor produknya

keluar negeri. Hal ini juga mempengaruhi lingkup luar perusahaan

itu seperti : harga produk yang di atas rata-rata, contoh kebijakan ini

adalah yang tertulis.

b. Kebijakan yang diterapkan di dalam keluarga seperti shalat

berjamaah,dll, kebijakan ini adalah kebijakan yang bersifat tidak

tertulis.

37
BAB IV

BERBAGAI KEBIJAKAN LINGKUP RUMAH SAKIT

1.1 Pengertian, Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

1.1.1 Pengertian

Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan

paripurna merupakan pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

1.1.2 Tugas

Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan

yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah

melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan

berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang

dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan

pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

1.1.3 Fungsi

Menurut pasal 5 dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, fungsi rumah sakit adalah :

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit

38
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis

3. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahan bidang

kesehatan.

1.2 Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit

dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan, yaitu :

1. Rumah Sakit Umum

Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan melayani semua

bentuk pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuannya. Pelayanan

kesehatan yang diberikan Rumah sakit bersifat dasar, spesialistik, dan

subspesialistik. Rumah sakit umum memberi pelayanan kepada

berbagai penderita dengan berbagai jenis penyakit, memberi pelayanan

diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medik, seperti penyakit

dalam, bedah, pediatrik, psikiatrik, dan ibu hamil.

2. Rumah Sakit Khusus

Rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang

atau satu jenis penyakit tertentu, sesuai dengan pasal 1 ayat 3.

39
Sedangkan, menurut Pasal 23, jenis Rumah Sakit Khusus antara lain

Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak, Jantung, Kanker, Orthopedi, Paru,

Jiwa, Kusta, Mata, Ketergantungan Obat, Stroke, Penyakit Infeksi,

Bersalin, Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medik, Telingan Hidung

Tenggorokan, Bedah, Ginjal, dan Kulit.

Berdasarkan BAB III Pasal 4, Rumah Sakit Umum menurut fasilitas

dan kemampuan pelayanannya, diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Umum Kelas A

2. Rumah Sakit Umum Kelas B

3. Rumah Sakit Umum Kelas C

4. Rumah Sakit Umum Kelas D

Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan pelayanan,

Sumber Daya Manusia, peralatan, sarana prasarana, serta administrasi dan

manajemen. Hal ini sesuai dengan pasal 5.

Rumah Sakit Khusus berdasarkan fasilitas dan kemampuan

pelayanannya, diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Khusus Kelas A

2. Rumah Sakit Khusus Kelas B

3. Rumah Sakit Khusus Kelas C

Pada pasal 25, dijelaskan pula bahwa penetapan klasifikasi Rumah

Sakit Khusus berdasarkan pelayanan, SDM, peralatan, sarana dan

prasarana, serta administrasi dan manajemen.

1.3 Macam Kebijakan Rumah Sakit

1. Kebijakan tentang Perizinan Rumah Sakit

40
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit pasal 2 bahwa

setiap rumah sakit harus memiliki izin. Izin tersebut terdiri atas :

a. Izin Mendirikan Rumah Sakit

Izin mendirikan rumah sakit diberikan untuk jangka waktu 2

(dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun. Syarat yang

harus dipenuhi untuk mendapatkan izin mendirikan rumah sakit

meliputi: studi kelayakan, master plan, status kepemilikan,

rekomendasi izin mendirikan, izin undang-undang gangguan,

persyaratan pengolahan limbah, luas tanah dan sertifikatnya,

penamaan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan

Bangunan (IPB), dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU).

b. Izin Operasional Rumah Sakit, terdiri dari :

Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin operasional

rumah sakit meliputi: sarana prasarana, peralatan, sumber daya

manusia, dan administrasi manajeman.

1) Izin Operasional Sementara

Izin operasional sementara diberikan kepada rumah sakit yang

belum dapat memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditetapkan

oleh pemerintah dan berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Rumah sakit yang telah memiliki izin operasional sementara

harus mengajukan surat permohonan penetapan kelas rumah sakit

kepada Menteri.

2) Izin Operasional Tetap

41
Izin operasional tetap akan diberikan setelah rumah sakit

memiliki izin operasional sementara dan telah mendapatkan

penetapan kelas. Izin operasional sementara berlaku untuk jangka

waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali.

Menurut Permenkes Nomor 147/menkes/per/i/2010 tentang

Perizinan Rumah Sakit pasal 3 bahwa permohonan izin mendirikan

dan izin operasional rumah sakit diajukan menurut jenis dan

klasifikasi rumah sakit, seperti :

1) Rumah sakit kelas A dan rumah sakit penanaman modal asing

atau penanaman modal dalam negeri

Izin rumah sakit (izin mendirikan dan izin operasional) akan

diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari

pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada pemerintah

daerah provinsi.

2) Rumah sakit kelas B

Izin rumah sakit akan diberikan oleh pemerintah daerah

provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang

berwenang di bidang kesehatan pada pemerintah daerah

kabupaten atau kota.

3) Rumah sakit kelas C dan kelas D

Izin rumah sakit akan diberikan oleh pemerintah daerah

kabupaten atau kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat

yang berwenang di bidang kesehatan pada pemerintah daerah

kabupaten atau kota.

42
Menurut Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah

Sakit pasal 27 bahwa izin rumah sakit dapat dicabut jika:

1) habis masa berlakunya

2) tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar

3) terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan

4) atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.

2. Persyaratan Rumah Sakit

Syarat rumah sakit secara umum berdasarkan undang-undang No. 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 yaitu :

a. Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,

prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan.

b. Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,

atau swasta.

c. Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah

berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di

bidang kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah

dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan

Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

d. Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan

hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang

perumahsakitan.

43
BAB V

BERBAGAI KEBIJAKAN LINGKUP PUSKESMAS

5.1 Pengertian, Tujuan dan Fungsi Puskesmas

5.1.1 Pengertian

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan

Masyarakat, Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan

kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggrarakan

pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

5.1.2 Tujuan

Tujuan diselenggarakannya Puskesmas adalah mendukung tercapainya

tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran,

kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas.

5.1.3 Fungsi

Puskesmas memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai berikut:

1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan

Puskesmas berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di

wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang

berwawasan kesehatan. Selain itu Puskesmas juga harus aktif

memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan

setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Fungsi puskesmas

dalam hal ini termasuk dalam Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM).

2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat

44
Puskesmas berupaya agar pemuka masyarakat, keluarga dan

masyarakat perorangan :

a. Memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri

dan masyarakat untuk hidup sehat.

b. Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan

termasuk pembiayaan.

c. Ikut Menetapkan menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan

program kesehatan.

d. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka

meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.

e. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan

kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri.

f. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana

menggali dan menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dan

efisien. Fungsi puskesmas dalam hal ini termasuk dalam Usaha

Kesehatan Perorangan (UKP)

3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer)

secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (kontinyu).

Minimal ada 6 jenis pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan

puskesmas, yaitu promosi kesehatan; pelayanan ibu; anak dan KB;

perbaikan gizi; kesehatan lingkungan; pemberantasan penyakit

menular; dan pengobatan. Fungsi puskesmas dalam hal ini termasuk

dalam Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM).

45
5.2 Berbagai Kebijakan Lingkup Puskesmas

5.2.1 Kebijakan Dasar Puskesmas

Sesuai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar

puskesmas, secara singkat menggambarkan pengertian dari puskesmas

yang meliputi:

1. Unit Pelaksana Teknis

Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

(UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas

teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan

unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan

kesehatan di Indonesia. Dalam Unit Pelaksana Teknis, Puskesmas

bertanggung jawab menjalankan Upaya Kesehatan Masyarakat dan

Upaya Kesehatan Perorangan yang masing-masing memiliki fungsi

tersendiri.

Contoh Upaya Kesehatan Masyarakat yang berfungsi untuk

meningkatkan pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan melalui

puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas

keliling dan bidan di desa, meliputi:

a. Pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas dan jaringannya serta

rumah sakit

b. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana

puskesmas dan jaringannya khususnya Puskesmas Plus untuk

46
mendukung Agropolitan Center dan Agropolitan Distrik dan

sentrasentra produksi

c. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat

generik esensial

d. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup promosi

kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan

gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan

pengobatan dasar

e. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan untuk puskesmas,

jaringannya dan rumah sakit

f. Pelayanan laboratorium kesehatan masyarakat yang terpadu di

Puskesmas dan di Agropolitan Distrik dan Agropolitan Center

g. Penyediaan peralatan gigi, peralatan USG dan Peralatan Kesehatan

lainnya disetiap Puskesmas Rawat Inap dan Puskesmas Plus.

Upaya Kesehatan Perorangan yang berfungsi untuk meningkatkan

akses, keterjangkauan dan kualitas meliputi:

a. Pembangunan sarana dan prasana kesehatan untuk mendukung

Agropolitan Center/Distrik

b. Peningkatan sarana dan prasarana Puskesmas Rawat Inap dan

Puskesmas Plus

c. Pengadaan obat dan perbekalan rumah sakit

d. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan

e. Pengembangan pelayanan dokter keluarga

f. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan

47
g. Peningkatan peran serta sektor swasta dalam upaya kesehatan

perorangan

h. Penerapan teknologi informasi dalam pelayanan kesehatan

2. Pembangunan Kesehatan

Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan

oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan masyarakat yang optimal. Khusus untuk pembangunan

kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan

pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan

penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pembangunan

Kesehatan pada Puskesmas tersebut bertujuan untuk menurunkan angka

kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit baik menular

maupun tidak menular.

Contoh: Prioritas penyakit menular yang akan ditanggulangi adalah

malaria, demam berdarah, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru,

HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi. Prioritas penyakit tidak menular yang ditanggulangi

adalah penyakit jantung dan gangguan sirkulasi, diabetes mellitus, dan

kanker.

Kegiatan pokok yang dilakukan ialah:

a. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko

b. Peningkatan imunisasi

c. Penemuan dan tatalaksana penderita

48
d. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah

e. Peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) pencegahan

dan pemberantasan penyakit

3. Penanggungjawab Penyelenggaraan

Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya

pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab

hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh

dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.

Contoh : Salah satu fasilitas yang menunjang puskesmas dalam

pembangunan kesehatan adalah puskesmas keliling yang merupakan

unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan kendaraan

bermotor roda empat atau perahu bermotor dan peralatan kesehatan,

peralatan komunikasi, serta sejumlah tenaga dari puskesmas.

Puskesmas keliling berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan

kegiatan-kegiatan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang belum

terjangkau oleh pelayanan kesehatan.

4. Wilayah Kerja

Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu

kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu

puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar

puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah

(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara

49
operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

Contoh : Di kecamatan Cipatujah, desa Darawati, tasikmalaya Jawa

Barat puskesmasnya jaraknya jauh untuk ditempuh sekitar 15km, maka

dari itu diperlukan adanya puskesmas pembantu yang ruang lingkup

wilayah kerjanya lebih kecil daripada puskesmas yang ada. Puskesmas

pembantu biasanya terdapat di wilayah pedesaan karena memperhatikan

konsep willayah daerah tersebut.

5.2.2 Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

masyarakat yang tinggi. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap

orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber

daya di bidang kesehatan. Namun, setiap orang juga tidak luput dari

kewajiban di bidang kesehatan. Oleh karena itu pemerintah bertanggung

jawab untuk memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat.

Salah satu kegiatan yang dilakukan dengan strategi yang berbasis model

pendekatan dan kebersamaan itu adalah desa siaga. Tujuan desa siaga

adalah memfasilitasi pencapaian dan peningkatan derajat kesehatan bagi

seluruh penduduk dengan mengembangkan kesiap-siagaan di tingkat desa.

Desa siaga dikembangkan sejak tahun 2006 sesuai dengan Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VII/2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga.

50
Dalam rangka peningkatan kualitas Desa Siaga, maka perlu

dilaksanakan revitalisasi desa siaga untuk mencapai Desa Siaga Aktif pada

tahun 2015. Mengingat sebagian desa yang ada di Indonesia telah berubah

status menjadi kelurahan, maka yang dimaksud Desa Siaga Aktif juga

termasuk Kelurahan Siaga Aktif.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1259/Menkes/SK/X/2010

tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif

merupakan acuan untuk kesamaan pemahaman bagi semua pemangku

kepentingan dalam rangka Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga

Aktif. Desa dan Kelurahan Siaga Aktif memiliki komponen:

1. Pelayanan kesehatan dasar

Pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan primer sesuai dengan

kewenangan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan kesehatan

dasar berupa: pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, pelayanan kesehatan

untuk ibu menyusui, pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui,

pelayanan kesehatan untuk anak, serta penemuan dan penanganan

penderita penyakit.

2. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan UKBM (Unit

Kegiatan Berbasis Masyarakat).

Pemberdayaan masyarakat terus diupayakan melalui UKBM yang

ada di desa. Kegiatan difokuskan kepada upaya surveilans berbasis

masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta

penyehatan lingkungan.

Surveilans berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan

51
penyakit yang dilakukan oleh masyarakat (kader) dibantu oleh tenaga

kesehatn yang berpedoman pada petunjuk teknis dari kementerian

kesehatan. Kegiatannya berupa :

a. Pengamatan dan pemantauan penyakit serta keadaan kesehatan ibu

dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku yang menimbulkan masalah

kesehatan.

b. Pelaporan cepat (kurang dari 24 jam) kepada petugas kesehatan

untuk respon cepat.

c. Pencegahan dan penanggulangan sederahana penyakit dan masalah

kesehatan.

d. Pelaporan kematian

Kedaruratan kesehatandan penanggulangan bencana adalah upaya

yang dilakukan masyakat dalam mencegah dan mengatasi bencana

dengan berpedoman pada petunjuk teknis dari kementerian kesehatan.

Kegiatannya berupa:

a. Bimbingan dalam pencarian tempat yang aman untuk mengungsi.

b. Promosi kesehatan dan bimbingan dalam mengatasi masalah

kesehatan.

c. Bantuan atau fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar

(air bersih, jamban dan pembuangan limbah) di tempat pengungsian.

d. Penyediaan relawan yang bersedia menjadi donor darah.

e. Pelayanan kesehatan bagi pengungsi.

Penyehatan lingkungan adalah upaya yang dilakukan masyarakat

untuk menciptakan dan memelihara lingkungan agar terhindar dari

52
masalah kesehatan dengan berpedoman pada petunjuk teknis dari

Kementerian Kesehatan. Kegiatannya anatara lain:

a. Promosi tentang pentingnya sanitasi dasar.

b. Bantuan atau fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar

(air bersih, jamban dan pembuangan limbah).

c. Bantuan atau fasilitasi upaya pencegahan pencemaran lingkungan.

3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar

kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang,

keluarga atau masyarakat untuk menolong dirinya sendiri di bidang

kesehatan dan berperan aktif mewujudkan kesehatan masyarakat.

Berikut ini beberapa PHBS yang harus dipraktikkan masyarakat:

a. Melaporkan segera kepada kader atau petugas kesehatan jika

mengetahui dirinya, keluarganya, temannya atau tetangganya

menderita penyakit menular.

b. Memeriksakan kehamilan secara teratur kepada petugas keseahatan.

c. Makan makanan bergizi seimbang.

d. Menyerahkan pertolongan persalinan kepada petugas kesehatan.

e. Menyediakan rumah dan atau kendaraannnya untuk pertolongan

dalam keadaan darurat (misalnya untuk ambulan).

f. Menghimpun dana masyarakat desa untuk kepentingan kesehatan,

termasuk bantuan pengobatan dan persalinan.

5.2.3 Apotek Rakyat

Kebijakan apotek rakyat terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan

53
Republik Indonesia Nomor 284/Menkes/PerIII/2007 tentang Apotek

Rakyat. Pengertian apotek rakyat yang dijelaskan pada pasal 1 adalah

sebagai berikut :“Apotek Rakyat adalah sarana kesehatan tempat

dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan penyerahan

obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan. Apotek

Rakyat adalah pengembangan dari pedagang eceran obat yang bertujuan

untuk meningkatkan akses masyarakat dalam memperoleh obat dan untuk

meningkatkan pelayanan kefarmasian”.

1. Standar dan persyaratan apotek rakyat

a. Ketenagaan

Apotek rakyat harus memiliki seorang apoteker sebagai

penanggung jawab dan dapat dibantu oleh asisten apoteker.

b. Sarana dan prasana

1) Komoditi

Apotek rakyat dapat menyimpan dan menyerahkan obat-obatan

yang termasuk golongan obat keras, obat bebas terbatas , obat

bebas dan perbekalan kesehatan rumah tangga.

2) Lemari Obat

Lemari obat harus dapat melindungi obat yang disimpan di

dalamnya dari pencemaran, pencurian dan penyalahgunaan.

3) Lingkungan

Apotek rakyat harus mudah diakses oleh anggota masyarakat

dan memiliki papan nama sebagai Apotek Rakyat yang dapat

dilihat dengan jelas, berisi antara lain : nama apotek rakyat, nama

54
apoteker penanggung jawab, dan nomor ijin apotek rakyat.

Lingkungan apotek rakyat harus dapat dijaga kebersihannya

bebas dari hewan pengerat, serangga atau pest dan memiliki

suplai listrik yang cukup untuk menjalankan kegiatannya, serta

lemari pendingin apabila diperlukan. Bangunan apotek rakyat

harus dapat menjamin obat atau perbekalan kesehatan didalamnya

dari pencemaran dan atau kerusakan akibat debu,kelembaban dan

cuaca.

4) Kepemilikan Sarana

Sarana apotek rakyat dapat merupakan milik sendiri, sewa atau

kontrak.

2. Pengelolaan

Pengelolaan persedian obat dan perbekalan kesehatan dilakukan

sesuaidengan peraturan perundangan yang berlaku meliputi

perencanaan,pengadaan, dan penyimpanan. Pengeluaran obat memakai

sistem FIFO(First In First Out) dan FEFO (First Expire First Out).

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sedian farmasi perlu

diperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat, dan budaya

masyarakat

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan

sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

c. Penyimpanan

55
1) Obat serta bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari

pabrik dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi

dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya

kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah

baru, wadah sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan

tanggal daluwarsa.

2) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak

dan menjamin kestabilan bahan.

d. Administrasi

1) Pengarsipan resep sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku

2) Pencatatan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang masuk

dan keluar (Kartu stok)

56
BAB VI

BERBAGAI KEBIJAKAN LINGKUP SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)

KESEHATAN

6.1 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pada pasal 1 ayat 6 dijelaskan bahwa “Tenaga Kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan”. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan

sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi

tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan

masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga

keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya. Kebijakan SDM

kesehatan dalam UU No 36 Tahun 2009 diatur dalam pasal 21, 22, 23, 24,

25, 26, 27, 28 dan 29.

Pada pasal 21 dikatakan bahwa pemerintah mengatur perencanaan,

pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga

kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pasal 22

mengatakan bahwa tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.

Pemenuhan kualifikasi minimum bagi tenaga kesehatan sangat berperan

dalam penyusunan jabatan struktural dalam organisasi kesehatan.

Pada pasal 23 dikatakan bahwa tenaga kesehatan berwenang untuk

menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Kewenangan ini dilakukan sesuai

dengan bidang keahlian yang dimiliki, dan dalam penyelenggaraan

57
pelayanan kesehatan tersebut, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari

pemerintah. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan

dilarang mengutamakan kepentingan yang bersifat materi, tenaga

kesehatan harus mengutamakan indikasi medik dan tidak diskriminatif

pada pasien.

Pada pasal 24, tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 23

harus memenuhi ketentuan kode etik, hak pengguna pelayanan kesehatan,

standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Pasal 25 menekankan

pada pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan yang

diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat

melalui pendidikan dan/atau pelatihan.

Pada pasal 26, pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan

untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan ini

dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.

Pemerintah daerah juga diberikan kesempatan untuk mengadakan dan

mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya

dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pengadaan

dan pendayagunaan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan

memperhatikan:

1. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;

2. Jumlah sarana pelayanan kesehatan;

3. Jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan beban

kerja pelayanan kesehatan yang ada.

58
Dalam pasal 27 tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya. Selain

itu tenaga kesehatan berkewajiban untuk mengembangkan dan

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, hal ini

dimaksudkan agar tenaga kesehatan tersebut dapat memberikan pelayanan

yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi terbaru.

Pada pasal 28 dikatakan bahwa untuk kepentingan hukum, tenaga

kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan

penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. Pemeriksaan

tersebut didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan

bidang keilmuan yang dimiliki. Pasal 29 menjelaskan bahwa ketika tenaga

kesehatan yang melakukan kelalaian maka kelalaian tersebut harus

dilakukan terlebih dahulu melalui mediasi. Mediasi bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati

oleh para pihak.

6.2 Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

6.2.1 Pengertian dan Jenis Tenaga Kesehatan

Pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa “Tenaga Kesehatan adalah setiap

orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk

melakukan upaya kesehatan”. Pengertian tenaga kesehatan disini sama

dengan pengertian tenaga kesehatan dalam UU No 36 Tahun 2009. Jenis

59
tenaga kesehatan diatur dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa tenaga

kesehatan meliputi :

1. tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

2. tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

3. tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten

apoteker.

4. tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan,

entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,

administrator kesehatan dan sanitarian.

5. tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.

6. tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis

wicara.

7. tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi,

teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik

prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

6.2.2 Persyaratan Tenaga Kesehatan

Menurut pasal 3, untuk menjadi seorang tenaga kesehatan wajib

memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang

dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Pada pasal 4 dikatakan

bahwa tenaga kesehatan yang ingin melakukan upaya kesehatan harus

memiliki ijin misalnya surat penugasan bagi tenaga kesehatan, surat ijin

praktik atau ijin kerja bagi tenaga kesehatan tertentu dari Menteri, kecuali

bagi tenaga kesehatan masyarakat. Selain itu, bagi tenaga medis dan

tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri juga

60
bisa melakukan upaya kesehatan, tetapi harus melakukan adaptasi di

lingkungan sekitarnya terlebih dahulu sebagaimana pada pasal 5.

6.2.3 Perencanaan, Pengadaan dan Penempatan Tenaga Kesehatan

Perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan diatur dalam

bab IV dalam Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan.

Menurut pasal 6, pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan

dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh

masyarakat. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan

memperhatikan faktor :

1. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat

2. Sarana kesehatan

3. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan

pelayanan kesehatan.

Dalam pasal 7, pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui

pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan. Dalam pasal 8, pendidikan

di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat dan pelaksanaannya

berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Pelatihan di bidang kesehatan ini menurut pasal 9 dapat dilakukan

sesuai jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan dan diarahkan untuk

peningkatan keterampilan atau pengetahuan di bidang kesehatan. Dalam

pasal 10, setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk

61
mengikuti pelatihan bidang kesehatan sesuai denga jenis tenaga kesehatan

yang bersangkutan. Dalam pengadaan pelatihan di bidang kesehatan,

sesuai pasal 13 wajib memenuhi persyaratan tersedianya :

1. calon peserta latihan

2. tenaga kepelatihan

3. kurikulum

4. sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan

penyelenggaraan pelatihan

5. sarana dan prasarana

Dalam pasal 12 dikatakan bahwa pelatihan di bidang kesehatan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan

pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat

dilaksanakan dengan berdasarkan izin Menteri. Menurut pasal 14, Menteri

dapat menghentikan pelatihan yang diselenggarakan oleh masyarakat

apabila :

1. tidak sesuai dengan arahan pelatihan, yaitu untuk meningkatkan

keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang kesehatan

2. tidak memenuhi persyaratan

Berdasarkan pasal 15, untuk mencapai pemerataan pelayanan kesehatan

bagi seluruh masyarakat, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan

untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu dalam jangka waktu

tertentu dengan cara masa bakti dan tetap memperhatikan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diatur lebih lanjut

62
pada pasal 17 bahwa penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti

ini dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi wilayah dimana tenaga

kesehatan yang bersangkutan ditempatkan, lamanya penempatan, jenis

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, prioritas sarana

kesehatan. Semua itu dilaksanakan pada sarana kesehatan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah, sarana kesehatan yang diselenggarakan

oleh masyarakat yang ditunjuk oleh Pemerintah, lingkungan perguruan

tinggi sebagai staf pengajar, lingkungan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia sebagaimana tertera pada pasal 18. Status tenaga kesehatan

dalam penempatan tenaga kesehatan menurut pasal 20 dapat berupa

pegawai negeri atau pegawai tidak tetap.

6.2.4 Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan

Standar profesi dan perlindungan hukum tenaga kesehatan diatur dalam

bab V. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban

untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Yang dimaksud dengan

standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan

oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalakan profesinya

secara baik.

Berdasarkan pasal 22, tenaga kesehatan jenis tertentu dalam

melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk:

1. menghormati hak pasien

2. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien

3. memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan

63
4. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan

5. membuat dan memelihara rekam medis.

Dalam pasal 24 pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan

kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan

terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena

kesalahan atau kelalaian. Akan tetapi menurut pasal 25 perlindungan

hukum kepada tenaga kesehatan akan diberikan apabila tenaga kesehatan

tersebut melakukan tugasnya sesuai standar profesi tenaga kesehatan.

6.2.5 Penghargaan

Penghargaan yang diberikan kepada tenaga kesehatan diatur dalam

pasal 25. Dalam pasal 25 disebutkan bahwa penghargaan akan diberikan

kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar

prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal

dunia dalam melaksanakan tugasnya. Penghargaan tersebut diberikan oleh

Pemerintah dan/atau masyarakat dalam bentuk berupa kenaikan pangkat,

tanda jasa, uang atau bentuk lain.

6.2.6 Ikatan Profesi

Dalam pasal 26 disebutkan bahwa tenaga kesehatan dapat membentuk

suatu ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat dan

kesejahteraan tenaga kesehatan yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.2.7 Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing

64
Sesuai pasal 27, tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat

melakukan upaya kesehatan atas dasar izin dari menteri dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang

tenaga kerja asing.

6.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kesehatan

Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kesehatan diatur dalam bab IX.

Pasal 28 menyebutkan bahwa pembinaan tenaga kesehatan diarahkan

untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan. Dalam hal

pembinaan karier tenaga kesehatan, seuai dengan pasal 29 meliputi

kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan.

Sesuai pasal 33, dalam rangka pengawasan, menteri dapat mengambil

tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan

tugas sesuai standar profesinya. Tindakan disiplin disini dapat berupa

teguran dan pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan.

6.3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

971/MENKES/PER/XI/2009 Tentang Standar Kompetensi Pejabat

Struktural Kesehatan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Jabatan Struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukan tugas,

tanggungjawab, wewenang dan hak seorang pegawai dalam rangka

memimpin suatu satuan organisasi (Permenkes RI Nomor

971/Menkes/Per/XI/2009). Pengangkatan pegawai ke dalam suatu jabatan

struktural kesehatan dilakukan setelah memenuhi persyaratan kualifikasi

serta standar kompetensi jabatan yang akan dipangkunya melalui proses

rekruitmen dan seleksi sesuai peraturan perundang-undangan. Ruang

65
lingkup Peraturan Menteri ini meliputi kualifikasi dan standar kompetensi

pejabat struktural di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan, Puskesmas dan UPT /

UPTD (Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009).

Kompetensi yang harus dimiliki oleh Pejabat Struktural sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi:

1. Kompetensi Dasar harus dimiliki oleh Pejabat Struktural sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kompetensi Bidang didapat melalui pendidikan dan pelatihan teknis

dan fungsional kesehatan sesuai dengan bidang pekerjaannya

3. Kompetensi Khusus harus dimiliki oleh pejabat struktural dalam

mengemban tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan jabatan dan

kedudukannya.

Tabel Standar Kompetensi yang Harus Dimiliki Pejabat Struktural

Kompetensi dasar Kompetensi bidang Kompetensi khusus

a. Integritas a. orientasi pada pelayanan a. Pendidikan

b. Kepemimpinan b. orientasi pada kualitas b. Pelatihan

c. Perencanaan c. berpikir analitis c. Pengalaman jabatan.

d. Penganggaran d. berpikir konseptual

e. Pengorganisasian e. keahlian tehnikal,

f. Kerjasama manajerial, dan

g. Fleksibel. profesional

f. inovasi

6.3.1 Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten, atau

Kota

66
Kompetensi pejabat struktural dinas kesehatan provinsi, kabupaten,

atau kota diatur dalam pasal 19 sampai pasal 21. Pejabat struktural dinas

kesehatan provinsi, kabupaten, atau kota meliputi kepala, sekretaris, kepala

bidang atau bagian, dan kepala seksi atau kepala subbagian. Seorang

sarjana kesehatan masyarakat dapat menduduki posisi sebagai kepala

bagian dan subbagian dinas kesehatan.

Tabel 2. Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan Provinsi,


Kabupaten, atau Kota
Posisi Pendidikan Pelatihan Tambahan
Kepala Sarjana Kepemimpinan, Diutamakan yang
Strata 2 di rencana strategis, memiliki pengalaman
Sekretaris
bidang sistem manajemen jabatan paling singkat tiga
Kesehatan informasi tahun sebagai kepala
Masyarakat kesehatan, bidang di dinas kesehatan
pengembangan provinsi, kabupaten,
komunitas, maupun kota, atau kepala
surveilans, dinas kesehatan di
epidemiologi, provinsi, kabupaten, atau
manajemen kota lainnya
bencana, Early
Warning Outbreak
Recognition System
Kepala Paling Mengikuti pelatihan _
Bagian sedikit sesuai bidang
sarjana tugasnya
Kepala
kesehatan
Seksi
6.3.2 Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit

Kompetensi pejabat struktural rumah sakit di atur dalam pasal 10

sampai pasal 17. Di dalam stuktur rumah sakit terdapat berbagai posisi

67
antara lain, direktur, wakil direktur (pelayanan medis, administrasi umum,

keuangan, SDM, pendidikan), kepala bagian dan kepala subbagian.

6.3.2.1 Kompetensi Direktur

1. Direktur Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai

kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

2. Direktur Rumah Sakit telah mengikuti pelatihan perumahsakitan

meliputi Kepemimpinan, Kewirausahaan, Rencana Strategis Bisnis,

Rencana Aksi Strategis, Rencana Implementasi dan Rencana Tahunan,

Tatakelola Rumah Sakit, Standar Pelayanan Minimal, Sistem

Akuntabilitas, Sistem Remunerasi Rumah Sakit, Pengelolaan Sumber

Daya Manusia.

3. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama satu tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

4. Pengalaman jabatan Direktur diutamakan meliputi :

a. Direktur Rumah Sakit Kelas A pernah memimpin Rumah Sakit

Kelas B dan/atau pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Rumah

Sakit Kelas A paling singkat selama 3 (tiga) tahun.

b. Direktur Rumah Sakit Kelas B pernah memimpin Rumah Sakit

Kelas C dan/atau pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Rumah

Sakit Kelas B paling singkat selama 3 (tiga) tahun.

c. Direktur Rumah Sakit Kelas C pernah memimpin Rumah Sakit

Kelas D dan/atau pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Rumah

Sakit Kelas C paling singkat selama 1 (satu) tahun.

68
d. Direktur Rumah Sakit Kelas D pernah memimpin Puskesmas paling

singkat selama 1 (satu) tahun.

6.3.2.2 Kompetensi Wakil Direktur

1. Wakil Direktur yang membidangi Pelayanan Medis Rumah Sakit yang

menyelenggarakan pendidikan profesi kedokteran, pendidikan

kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya

berlatar belakang pendidikan Dokter Spesialis atau Dokter dengan

pendidikan Sarjana Strata 2 (dua) bidang kesehatan.

2. Wakil Direktur yang membidangi Pelayanan Medis Rumah Sakit yang

tidak menyelenggarakan pendidikan profesi kedokteran, pendidikan

kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya

berlatar belakang pendidikan tenaga medis dengan pendidikan Sarjana

Strata 2 (dua) bidang kesehatan.

3. Wakil Direktur telah mengikuti pelatihan perumahsakitan meliputi

Kepemimpinan, Kewirausahaan, Rencana Strategis Bisnis, Rencana

Aksi Strategis, Rencana Implementasi dan Rencana Tahunan,

Tatakelola Rumah Sakit, Standar Pelayanan Minimal, Sistem

Akuntabilitas, Sistem Remunerasi Rumah Sakit, dan Pengelolaan

Sumber Daya Manusia.

4. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama 1 (satu) tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

5. Wakil Direktur diutamakan memiliki pengalaman jabatan paling

singkat 3 (tiga) tahun di bidang pelayanan medik/ kesehatan.

69
6.3.2.3 Kompetensi Kepala Bidang atau Kepala Bagian

1. Kepala Bidang dan/atau Kepala Bagian berlatar belakang pendidikan

paling sedikit Sarjana sesuai dengan bidang kerjanya.

2. Kepala Bidang dan/atau Kepala Bagian telah mengikuti pelatihan

Kepemimpinan dan Kewirausahaan, Rencana Aksi Strategis, Rencana

Implementasi dan Rencana Tahunan, Sistem Rekruitment Pegawai, dan

Sistem Remunerasi.

3. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama 1 (satu) tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

Kepala Bidang dan/atau Kepala Bagian diutamakan memiliki

pengalaman jabatan paling singkat 3 (tiga) tahun sesuai dengan bidang

tugasnya.

6.3.2.4 Kompetensi Kepala Seksi atau Kepala Subbagian

1. Kepala Seksi dan/atau Kepala Subbagian berlatar belakang pendidikan

paling sedikit Sarjana sesuai dengan bidang kerjanya.

2. Kepala Seksi dan/atau Kepala Subbagian telah mengikuti pelatihan

Kepemimpinan dan Kewirausahaan, Rencana Aksi Strategis, Rencana

Implementasi dan Rencana Tahunan, Sistem Rekruitment Pegawai, dan

Sistem Remunerasi.

3. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama 1 (satu) tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

6.3.3 Kompetensi Pejabat Struktural Puskesmas

70
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

971/MENKES/PER/XI/2009 Pasal 22 seseorang yang memiliki

kompetensi sebagai pejabat kepala puskesmas yang memiliki gelar sarjana

kesehatan masyarakat harus memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Kepala Puskesmas berlatar belakang pendidikan paling sedikit tenaga

medis atau sarjana kesehatan lainnya.

2. Kepala Puskesmas telah mengikuti pelatihan Manajemen Puskesmas,

dan Pelatihan Fasilitator Pusat Kesehatan Desa.

3. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama 1 (satu) tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

6.3.4 Kompetensi Pejabat Struktural UPT/UPTD

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

NOMOR 971/MENKES/PER/XI/2009 Pasal 23, seorang sarjana kesehatan

masyarakat (strata 1) yang ingin menduduki jabatan sebagai kepala

UPT/UPTD harus melanjutkan pendidikanya minimal strata 2 yang

memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Kepala UPT/UPTD berlatar belakang pendidikan tenaga medis atau

Sarjana Kesehatan dengan pendidikan Sarjana Strata 2 di bidang

kesehatan.

2. Kepala UPT/UPTD telah mengikuti pelatihan Rencana Strategis,

Pelatihan teknis dibidangnya, Kepemimpinan, dan Sistem Informasi

Manajemen Kesehatan.

71
3. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum

atau paling lama 1 (satu) tahun pertama setelah menduduki jabatan

struktural.

6.4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

317/Menkes/Per/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Warga Negara Asing

6.4.1 Pengertian dan Ketentuan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing

Menurut pasal 1 ayat 1, Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing yang

selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin

tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui

pendidikan dibidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di

fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.

Menurut pasal 3, TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan

kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA. TK-WNA

dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial.

Akan tetapi larangan tersebut dikecualikan pada pemberian pertolongan

pada bencana atas izin pihak yang berwenang.

Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA menurut pasal 5

meliputi :

1. Pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.

2. Pemberi pelayanan.

Yang dimaksud dengan alih teknologi dan alih keahlian disini adalah

proses pemindahan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional TK-

WNA kepada tenaga pendamping. Tenaga Pendamping adalah tenaga

72
kesehatan Indonesia dengan keahlian yang sesuai yang ditunjuk sebagai

pendamping TK-WNA dan dipersiapkan sebagai calon pengganti TK-

WNA.

6.4.2 Persyaratan TK-WNA

Menurut pasal 7 syarat untuk TK-WNA Pemberi Pelayanan

berkualifikasi minimal dokter spesialis dan atau dokter gigi spesialis atau

yang setara, serta S1 bagi tenaga kesehatan lainnya, sedangkan untuk TK-

WNA Pemberi Pelatihan berkualifikasi minimal dokter subspesialis atau

konsultan, dokter gigi subspesialis atau konsultan atau yang setara, serta

S2 bagi tenaga kesehatan lainnya.

TK-WNA Pemberi Pelayanan harus mengikuti proses evaluasi. Proses

evaluasi yang dimaksud disini adalah proses penyesuaian kompetensi

tenaga kesehatan lulusan luar negeri agar memenuhi kebutuhan

kompetensi yang tepat untuk bekerja di wilayah Indonesia.

6.4.3 Persyaratan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pengguna TK-WNA

Menurut pasal 11, TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di

Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi. Selain bekerja

di Rumah Sakit yang telah terakreditasi A dan B tersebut seorang TK-

WNA juga dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang

telah ditetapkan oleh Menteri.

Dalam pasal 12 mengenai rencana penggunaan TK-WNA, fasilitas

pelayanan harus memiliki RPTKA dan IMTA. RPTKA (Rencana

Penggunaan Tenaga Kerja Asing) adalah rencana penggunaan TK-WNA

pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TK-WNA untuk

73
jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk. IMTA (Izin Mempekerjakan

Tenaga Kerja Asing) adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk kepada

pemberi kerja TK-WNA.

6.4.4 Hak dan Kewajiban TK-WNA

Pasal 23 membahas hak dari TK-WNA untuk mendapatkan

perlindungan hukum dan kompensasi dari fasilitas pelayanan kesehatan

yang mempekerjakan sesuai kontrak.

Menurut pasal 24, kewajiban TK-WNA yaitu menyampaikan laporan

kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik

kepada organisasi profesi. Mereka juga berkewajiban menaati standar

profesi, standar pelayanan, dan etika profesi.

6.5 Rancangan Undang Undang Tenaga Kesehatan (RUU NAKES)

Sumber daya manusia kesehatan yang meliputi tenaga kesehatan dan

tenaga non kesehatan memiliki peran sangat penting dalam upaya

kesehatan. RUU Nakes bertujuan untuk mengatur ketersediaan sumber

daya manusia sebagai tenaga kesehatan, baik yang melakukan pelayanan

kesehatan langsung kepada masyarakat maupun pelayanan kesehatan tidak

langsung, harus mencukupi baik dari segi jenis, kualifikasi maupun

jumlah. Tenaga kesehatan harus terdistribusi secara adil dan merata sesuai

tuntutan kebutuhan pelayanan.

RUU Nakes memberikan harapan baru kepada tenaga kesehatan

khususnya Kesehatan Masyarakat, terutama pada payung hukumnya.

74
Namun sebelum di sahkan RUU ini banyak memiliki kekurangan, apabila

disahkan justru akan membuat rancu peran tenaga kesehatan di Indonesia.

Poin-poin penting yang harus diperhatikan dalam RUU NAKES ini

adalah:

1. Penataan Sistem Pendidikan Ilmu Kesehatan sebelum adanya UU

Tenaga Kesehatan

Proyeksi kerja seorang tenaga kesehatan masyarakat yang telah

terejawantahkan dalam UU akan tepat apabila proyeksi kerja tersebut

sesuai dengan kompetensi yang telah dimiliki oleh tenaga kesmas.

Kompetensi tenaga kesmas didapat pada saat mereka melalui proses

pendidikan mereka di perguruan tinggi. Namun, sekarang masalahnya

kompetensi tenaga kesmas di Indonesia tidak merata. Hal tersebut

dapat terlihat pada kurikulum mendasar yang berbeda di setiap institusi

pendidikan tinggi ilmu kesehatan masyarakat, contohnya: perbedaan

jenis, jumlah serta waktu pengambilan peminatan.

Selain kurikulum yang tidak terstandarisasi, banyak keadaan

institusi yang berbeda-beda fasilitasnya. Fasilitas yang belum merata

menyebabkan terhambatnya pemerataan kompetensi seorang tenaga

kesmas. Hal tersebut menyebabkan perbedaan kompetensi lulusan

seorang tenaga kesmas. Hal ini harus segera terselesaikan dengan

standarisasi fasilitas institusi kesmas yang ingin menyelenggarakan

studi ilmu kesehatan masyarakat untuk para mahasiswanya.

2. Proyeksi Kerja Tenaga Kesmas dalam RUU NAKES

75
Poin kedua adalah mengenai proyeksi kerja tenaga kesmas yang

terdapat dalam draft RUU Nakes, disebutkan pada pasal 10 ayat 5

bahwa “Tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga

kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d

terdiri dari epidemiolog kesehatan, promosi kesehatan, dan kesehatan

kerja.” Jadi dalam pasal tersebut tercantum proyeksi kerja seorang

tenaga Nakes hanya terkotakkan dalam tiga profesi tersebut. Profesi

yang berasal dari peminatan lain seperti AKK, Gizi, dan Biostatistik

tidak diakui sebagai sebagai tenaga kesehatan kelompok tenaga

kesehatan masyarakat.

3. Hubungan Tenaga Kesmas dengan Nakes Lain dalam RUU NAKES

Dalam pasal 10 tercantum peran masing-masing profesi tenaga

kesehatan, namun dalam pasal ini Kesehatan Masyarakat dibedakan

dengan Ilmu Gizi, padahal keilmuan Gizi masuk dalam bidang

peminatan kesehatan masyarakat. Namun di sini akan rancu perannya

apabila tenaga kesehatan masyarakat juga memiliki kompetensi dengan

peminatan gizi. Oleh karena itu, dengan adanya RUU NAKES

membedakan ranah dari Ilmu Gizi dengan Kesehatan Masyarakat.

76
CONCLUSION

Definition of policy is a form of written rules derived from the

organization, group, or government and used to solve a problem or to prevent

problems. Policies can also be used to maintain the stability of the group,

organization, government, and society.

In policy, there are five main elements such as public issue, value of

policy, cycle of policy, approach of policy, and consequences of policy. Policy

cycle has its stage that consist of agenda setting in which public issue

identification and selection process happens, the second stage is policy

formulation where policy is made and finalized, the third is policy

implementation. The implementation stage is to see effect of the policy on society

and this stage very difficult to control because nature of politic and administrative

action. The last stage of policy cycle is policy review. The policy cycle above is

the commonly used cycle but there are specific policy cycle which only applies in

specific country.

The scope of policy is wide and separated by the area and the level. Scope

of policy that based on the area is the public policy and private policy. The public

policy defined as government action on its authority and an attempt to achieve

particular goal of common interest as well as widespread human activity with a

variety of good and bad judgment. Private policy is a policy that used by a

particular group or organization but this policy can also be used by the general

public. The scope of policy based level divided into three level, the first is national

level or macro policy, second is state level or meso policy, and the last is local

level or micro level policy.

77
The nature of policy is regulative that means to ensure their compliance

with certain standards or procedures, distributive that means policy is

disseminate all the information, resources , and rules that are new to the relevant

parties on the policy, protective that means policy always desire to protect

stakeholders through any existing content in it and redistributive.

There are 17 principle of public policy according to Association of

Washington Business (2002) and for the principle of private policy, there are nine

principles according to Queensland Council of Social Service (2006)

The function of policy is to achieve the goal that has effect on society of a

country, to encourage citizen activities, to actualize government intervention and

regulation of the lives of the people in various fields and to protect the interests

and wishes of all the people.

Policy review is an activity to assess the result of public policy that has

important differences in specification of object, measurement techniques, and

analysis methods. The principle of policy review is reviewing the legal basis,

reviewing the structure of policy,reviewing the content of policy, reviewing the

purpose of policy, reviewing the implementation of policy, and reviewing the

impact of policy.. The process of policy review is determine the policy that needs

to be review, determine the target of review and determine the approach that

needs to be use on policy review process.

Health policy is all things were made to influence the design of the

determinants of health in order to improve public health whether in public or

private sector. Health policy too has three level of policy namely the macro, meso,

and micro level policy.

78
DAFTAR PUSTAKA

Association of Washington Business. (2002) Public Policy Principles. [online]


(update 27 September 2002) Available at:
<http://www.washingtonbusinessvotes.com/publicpolicyprinciples/th:%202
002> [Accessed 19 May 2013].

Buse, Kent; Mays, Nicholas; and Walt, Gill. (2012) Making Health Policy.
Second Ed. USA : Open University Press.

Crabb, Ann dan Leroy, Pieter (2008) The Handbook of Environmental Policy
Evaluation. United Kingdom: Cronwell Press, Trowbridge.

DEPKES RI. (2009) Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: DEPKES RI

Dunn, WN., 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.2nd ed, (translated by:
Gadjah Mada University Press). Yogyakarta: UGM press.

Dye, Thomas R. (2008) Understanding Public Policy. 11th ed. New Jersey:
Pearson Prentice Hall.

Dye, Thomas R. (2009) Understanding Public Policy Ed, 8. Prentice Hall.

EcoInformatics International Inc (-) Policy Cycle [online image]. Available from:
http://www.geostrategis.com/images/policycycle.jpg [Acsessed
22/05/2013]

Fischer, Frank; Miller, Gerald J.; Sidney, Mara S. (eds.) (2007) Handbook of
Public Policy Analysis Theory, Politics, and Methods. New York: CRC
Press.

Gilbert, G. Ronald (ed) (1984) Making and Managing Policy. New York: Marcel
Dekker, Inc.

79
Goliath Business Knowledge on Demand (2007) Policy Characteristics, Patterns
of Politics, and the Minimum Wage: Toward a Typology of Redistributive
Policies. (Policy Studies Journal Publication) [online] Available at:
<http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-7190630/Policy-characteristics-
patterns-of-politics.html> [Accessed 19 May 2013].

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 [WWW]


hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20128%20ttg%2
0Kebijakan%20Dasar%20Pusat%20Kesehatan%20Masyarakat.pdf
(Accessed 18 mei 2013).

Levitt, Ruth. (1980) Implementing Public Policy. London: Redwood Burn


Limited.

Mayer, Lawrence C., et al (2011) American Public Policy: An Introduction. 10th


ed. Boston: Cengage Learning.

MENKES RI. (2008) KEMENKES RI No 852/MENKES/SK/IX/2008 tentang


Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat [WWW]
dinkes.jatimprov.go.id Available from :
http://dinkes.jatimprov.go.id/peraturan/peraturan_aturan.html [Accessed
21/05/2013]

MENKES RI. (2010) Rencana Strategi (RENSTRA) Kementrian Kesehatan Tahun


2010-2014. Jakarta : MENKES RI

MENKES RI. (2013) KEMENKES RI No 27/MENKES/SK/I/2013 tentang


pemberhentian ketua majelis kesehatan Indonesia dan pengangkatan
pelaksana tugas (PLT) ketua majelis tenaga kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta : MENKES RI.

MENKES RI. (2013) KEMENKES RI No 89/MENKES/SK/II/2013 tentang


formularium program jaminan kesehatan masyarakat. Jakarta : MENKES
RI.

Parsons, W. (2001) Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of


Policy Analysis. London: Edward Elgar.

80
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
147/MENKES/PER/I/2010 [WWW] hukor.depkes.go.id Available from :
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%20971
%20ttg%20Standar%20Kompetensi%20Pejabat%20Struktural%20Keseha
tan.pdf. [Accessed 19 Mei 2013]

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


317/Menkes/Per/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga
Negara Asing [WWW] hukor.depkes.go.id Available from
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%20317
%20ttg%20Pendayagunaan%20Tenaga%20Kesehatan%20Warga%20Negar
a%20Asing%20Di%20Indonesia.pdf. [Accessed 19 Mei 2013]

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


971/MENKES/PER/XI/2009 Tentang Standar Kompetensi Pejabat
Struktural Kesehatan Menteri Kesehatan Republik Indonesia [WWW]
hukor.depkes.go.id Available from
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%20971
%20ttg%20Standar%20Kompetensi%20Pejabat%20Struktural%20Kesehata
n.pdf [Accessed 19 Mei 2013]

Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan [WWW]


bpkp.go.id Available from :
http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/4/70/1410.bpkp [Accessed 19 Mei
2013]

Queensland Council of Social Service (2006) What is a Good Policy? Some


Processes to Consider when Adopting and Adapting Policies and
Procedures for Your Organization.[online] (update February 2006)
Available at:
<http://www.qcoss.org.au/upload/4845__What%20is%20a%20Good%20Po
licy_v5_170408.pdf> [Accessed 19 May 2013].

UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [WWW] depkes.go.id Available from


http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._36_Th_2009_ttg_Kesehatan
.pdf [Accessed 19 Mei 2013]

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 [WWW] depkes.go.id Available from


http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._44_Th_2009_ttg_Rumah_Sa
kit.pdf [Accessed 19 Mei 2013]

81
Schweitzer, Julian, and friends. (2012) Post – 2015 Health MDGs. UK : Overseas
Development Institute.

Scriven, Michael (1991) Evaluation Thesaurus. 4th ed. London: SAGE


Publications.

Walikota Surabaya. (2008) Peraturan Daerah Kota Surabaya No 5 tahun 2008


[WWW] surabaya-enhealth.org. Available from: http://surabaya-
ehealth.org/pengumuman/perda-kota-surabaya-no-5-tahun-2008 [Accessed
29/05/2013]

WHO, (2009) Milestone in Health Promotion. Geneva : WHO Press.

82

Anda mungkin juga menyukai