Anda di halaman 1dari 57

Bagi 7 Kelompok

Buatkan Powerpoint serta video

1. Proses pengembangan kebijakan kesehatan serta menggambarkan tentang


formulasi kebijakan
a. Pengembangan Kebijakan
b. Kebijakan sebagai proses
c. Proses pengembangan kebijakan
d. Urgensi pengembangan kebijakan
2. Proses pengembangan kebijakan kesehatan
a. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Pengertian
Implementasi
b. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Implementasi Penting
c. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan melakukan intervensi
dalam implementasi
d. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Faktor -Faktor yang
Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
e. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Tantangan dan Faktor
Penentu Keberhasilan dalam Implementasi Kebijakan
f. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Penyebab Kegagalan
Implementasi Kebijakan
g. Mahasiswa mampu menguraikan dan menggambarkan Model-model
Implementasi Kebijakan
3. Hubungan antara kekuasaan dengan proses pengembangan kebijakan
a. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Proses Pengembangan
Kebijakan
b. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Agenda Setting
c. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Formulasi Kebijakan
d. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Pengadopsian Kebijakan
e. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Pengimplementasian
Kebijakan
f. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Evaluasi Kebijakan
g. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menguraikan Administrasi Publik
4. Masalah kebijakan perumahsakitan, pengertian analisis kebijakan, lingkup
analisis kebijakan, serta metode analisis kebijakan
a. Mahasiswa mampu menjelaskan Masalah kebijakan Perumahsakitan
b. Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian analisis kebijakan
c. Mahasiswa mampu menjelaskan Lingkup analisis kebijakan
d. Mahasiswa mampu menjelaskan Metode analisis kebijakan
5. Siklus kebijakan dan menguasai tahap – tahap analisis kebijakan dan
melakukan analisis kebijakan sederhana terhadap kebijakan yang sudah ada
a. Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian analisis kebijakan
b. Mahasiswa mampu menjelaskan Proses pengkajian kebijakan
c. Mahasiswa mampu menjelaskan Prosedur analisis kebijakan
Mahasiswa mampu menjelaskan Proses pembuatan kebijakan
6. Metode implementasi kebijakan dibidang perumahsakitan, dan memahami
tentang Health care policy and value based competition
a. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisis Implementasi kebijakan
b. Mahasiswa mampu memahami dan menganalisis Health care policy and
value based competition
7. Keseimbangan antara kualitas pelayanan dan efisiensi serta peningkatan akses
terhadap pelayanan kesehatan (Equity and inequalities in health care services)
a. Mahaiswa mampu memahami Kualitas Pelayanan Kesehatan
b. Mahaiswa mampu memahami Kepuasan Pasien
KLP 1 (FORMULASI KEBIJAKAN DAN PROSES
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KESEHATAN)

a. Pendahuluan

1) Pengembangan Kebijakan
Pengembangan kebijakan kesehatan tidak terlepas dari masalah atau isu
yang berkembang di tengah masyarakat. Keinginan merespons berbagai
permasalahan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas dan tujuan
penyelesaian masalah menjadi dasar dilakukannya formulasi atau pembuatan
kebijakan yang kemudian dilanjutkan berturut-turut dengan tahap implementasi
hingga monitoring dan evaluasi. Keseluruhan tahap tersebut dinamai
pengembangan kebijakan yang belangsung sebagai siklus kebijakan, mulai dari
pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan dan monitoring serta evaluasi
sebagai dasar pengajuan rekomendasi sebagai sebuah umpan balik untuk
pengembangan kebijakan berikutnya.

2) Kebijakan Sebagai Proses


Kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan. Dengan
demikian, kebijakan publik dilihat sebagai suatu kesatuan sistem yang bergerak
dari satu bagian ke bagian lain secara berkesinambungan, saling menentukan,
saling membentuk. Model proses kebijakan yang paling klasik dikembangkan
oleh David Easton. Easton melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada
dasarnya system biologi merupakan proses interaksi antara makhluk hidup
dengan ligkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan
hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya
dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan model sistem
mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem.

Gambar 1. Pendekatan system dari Easton

Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik
berada dalam sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri
dari dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang dikembangkan oleh
para akademisi di bidang kebijakan publik, seperti Anderson,

Dunn, Patton & Savicky dan Effendy.


Model proses kebijakan dari James E. Anderson

Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang dikembangkan
oleh William Dunn :

Model berikutnya dikembangkan oleh Gerald Meier sebagai berikut:

Model yang dikembangkan oleh para ilmuan kebijakan publik di atas mempunyai
satu kesamaan, yaitu bahwa proses kebijakan kesehatan berjalan dari formulasi menuju
implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Uniknya, akademisi tersebut tidak
memasukkan “kinerja kebijakan”,melainkan langsung pada “evaluasi kebijakan”. Salah
satu kemungkinannya adalah bahwa para akademisi tersebut menilai bahwa “kinerja
kebijakan” adalah proses yang pasti terjadi dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus
disebutkan.
b. Proses Pengembangan Kebijakan
Pengembangan kebijakan kesehatan tidak terlepas dari masalah atau isu
yang berkembang di tengah masyarakat. Keinginan merespons berbagai
permasalahan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas dan tujuan
penyelesaian masalah menjadi dasar dilakukannya formulasi atau pembuatan
kebijakan yang kemudian dilanjutkan berturut-turut dengan tahap implementasi
hingga monitoring dan evaluasi. Keseluruhan tahap tersebut dinamai
pengembangan kebijakan yang berlangsung sebagai siklus kebijakan, mulai dari
pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring serta evaluasi
sebagai dasar pengajuan rekomendasi sebagai sebuah umpan balik untuk
pengembangan kebijakan berikutnya.
Proses pengembangan kebijakan berlangsung sebagai sebuah siklus
kebijakan yang dimulai dari pengaturan agenda (agenda setting) dengan
penetapan atau pendefinisian masalah publik yang signifikan dan mengundang
perhatian masyarakat luas (public concern) karena besarnya tingkat kepentingan
yang belum terpenuhi (degree of unmeet need) sehingga memunculkan tindakan
pemerintah. Proses pembuatan atau formulasi kebijakan merupakan satu
tahapan penting dalam pengembangan kebijakan yang akan menentukan
dampak kebijakan terhadap sasaran kebijakan. Berikut adalah siklus
pengembangan kebijakan.

1. Agenda setting/ pembuatan agenda


Sebagai respons terhadap permasalahan publik, mesin legislatif dan birokrasi
pemerintah dapat bergerak dan terlibat dalam proses formulasi, adopsi, dan
implementasi kebijakan, termasuk turut berperan untuk mengatasi masalah yang
muncul selama proses penyusunan kebijakan. Keterlibatan actor, elite atau
pemangku kepentingan dapat terus berlanjut pada tahap analisis efektivitas
kebijakan, untuk menunjukkan kekurangan dalam formulasi maupun
implementasi sehingga dapat menjadi usulan agenda baru kebijakan. Oleh
karena itu, pembuatan agenda menempati urutan pertama dalam silkus
pengembangan kebijakan. Kingdon (1995) menjabarkan agenda setting pada
pembuatan kebijakan publik sebagai pertemuan dari tiga “pilar pertimbangan”
penting, yaitu: masalah, solusi yang memungkinkan untuk masalah tersebut, dan
keadaan politik. Beberapa orang lebih memilih menggunakan istilah “issue” alih-
alih memakai „problem”untuk mengarahkan pada sesuatu yang mungkin dapat
menjadi pemicu pembuatan kebijakan ( Gormley dan Boccuti, 2001). Dalam
konseptualisasinya, ketika masalah, solusi yang memungkinkan, keadaan politik,
bertemu dan mengalir bersama dalam arah yang baik, sebuah jendela untuk
membuat kebijakan telah terbuka. Kombinasi antara masalah dan solusi
potensial yang bergerak bersama dalam proses pembuatan kebijakan dapat
menuntun pada hukum publik atau sebuah amandemen kebijakan.
Kebijakan kesehatan yang sekarang berlaku dalam bentuk hukum publik-
seperti proteksi lingkungan, lisensi praktisi dan organisasi yang berhubungan
dengan kesehatan, pendanaan penelitian untuk AIDS atau kesehatan wanita,
dan regulasi yang berkaitan dengan farmasi, lahir karena munculnya problem
atau issue pada agenda setting sehingga memicu perubahan kebijakan dalam
bentuk regulasi baru. Namun begitu, pada faktanya, tidaklah mudah untuk
menetapkan agenda kebijakan agenda setting) yang mempertemukan tiga pilar
pertimbangan tadi. Sebgagai contoh, keberadaan jutaan masyarakat yang
mendapat perlindungan jaminan kesehatan dari pemerintah, tetapi pada saat
yang sama pengguna produk tembakau semakin bertambah, dapat menjadi
ilustrasi bahwa kebijakan yang ada tidak selalu benar-benar dapat
mempertemukan problem dengan kemungkinan solusi karena ada pula
pertimbangan keadaan politik.
Kebijakan yang lahir untuk memecahkan atau memperbaiki masalah tidak
serta merta dapat ditegakkan. Dengan demikian jelas, bahwa agenda setting
merupakan hal yang sangat krusial pada pembuatan kebijakan kesehatan secara
nasional. Agenda setting paling baik dipahami dari variable kuncinya, yaitu
problem, possible solution, keadaan politik. Yang dimaksud dengan problem
adalah permasalahan, termasuk masalah kesehatan, yang memicu atau
mendesak terbentuknya suatu kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Possible solution mengarah pada penyelesaian terhadap banyaknya
permasalahan yang kemungkinan besar mampu dilakukan pemerintah. Terkait
keadaan politik, masalah publik tidak pernah akan lepas dari pengaruh politik
dalam penyusunan agenda setting.

2. Formulasi kebijakan
Proses formulasi kebijakan kesehatan secara umum memiliki tahapan-
tahapan sebagai berikut: pengaturan pengembangan kebijakan; penggambaran
permasalahan; penetapan sasaran dan tujuan; penetapan prioritas;perancangan
kebijakan; penggambaran pilihan-pilihan; penilaian pilihan-pilihan; ”perputaran”
untuk penelaahan sejawat dan terhadap kebijakan; serta akhirnya upaya untuk
mendapatkan dukungan formal terhadap kebijakan yang sedang diajukan atau
disusun. Oleh karena itu, formulasi kebijakan adalah suatu proses berulang-
ulang yang melibatkan sebagian besar komponen dari siklus perencanaan.
Pentingnya tahap formulasi kebijakan ditekankan oleh Easton (1965) dalam teori
pembuatan kebijakan sebagai sebuah sistem.

Model system menurut Easton

Proses pembuatan kebijakan berlangsung sebagai sebuah sistem yang


merupakan institusi dan proses yang terlibat dan memiliki otoritas dalam
melakukan alokasi sumber daya maupun nilai-nilai sesuai dengan otoritas,
alasan-alasan untuk melakukan alokasi sumber daya dan black box pembuatan
kebijakan. Penyebutan black box dimaksudkan sebagai sebuah kotak hitam yang
menutupi proses interaksi yang terjadi antara elite atau actor pembuat kebijakan
dengan nilai-nilai dan interes yang melekat, kerap kali terjadi tawar menawar
posisi untuk kepentingan dan tuntutan individu atau kelompok yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan tersebut.
Untuk mengubah tuntutan tersebut menjadi sebuah kebijakan, suatu
sistem harus mampu mengatur dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian
pertentangan atau konflik. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan
elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada
interaksi antarberbagai subsistem, maka suatu system akan melindungi dirinya
melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan output yang secara layak memuaskan; 2)
menyandarkan pada ikatan-ikatan yang berakar dalam system itu sendiri, dan 3)
menggunakan atau mengancam dengan menggunakan kekuatan (otoritas).

3. Pengadopsian Kebijakan
Setelah formulasi kebijakan, tahap berikutnya adalah adopsi kebijakan,
yaitu sebuah proses untuk secara formal mengambil atau mengadopsi alternatif
solusi kebijakan yang ditetapkan sebagai sebuah regulasi atau produk kebijakan
yang selanjutnya akan dilaksanakan. Pengadopsian kebijakan sangat ditentukan
oleh rekomendasi yang antara lain berisikan informasi mengenai manfaat dan
berbagai dampak yang mungkin terjadi dari berbagai alternatif kebijakan yang
telah disusun dan akan diimplementasikan .
Penerapan kebijakan baru, perubahan, perbaikan atau terminasi/
penarikan kebijakan yang sudah ada merupakan tanggung jawab dari pimpinan
pembuat kebijakan. Pengajuan kebijakan baru, amandemen atau penghentian
kebijakan yang sudah ada harus mendapat persetujuan dengan suara afirmatif
dari mayoritas anggota keseluruhan pimpinan.

4. Pengimplementasian Kebijakan
Pengimplementasian merupakan cara agar kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Definisi implementasi menurut Dunn (2003) adalah pelaksanaan
pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Lester dan
Stewart memandang implementasi secara luas sebagai pelaksanaan undang-
undang atau kebijakan yang melibatkan seluruh actor, organisasi, prosedur, serta
aspek teknik untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.
Kesiapan implementasi amat menentukan efektivitas dan keberhasilan
sebuah kebijakan. Penyusunan kebijakan berbasis data atau bukti juga
berpengaruh besar terhadap sukses-tidaknya implementasi kebijakan. Oleh
karena itu, keberadaan beberapa actor utama untuk menganalisis kesiapan,
memasukkan hasil penelitian kebijakan sebagai pertimbangan implementasi
kebijakan menjadi begitu penting.

5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan kesehatan merupakan penilaian terhadap keseluruhan
tahapan dalam siklus kebijakan, utamanya ketika sebuah kebijakan yang disusun
telah selesai diimplementasikan. Tujuannya adalah untuk melihat apakah
kebijakan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan.
Evaluasi merupakan salah satu mekanisme pengawasan kebijakan. Parameter
yang umum digunakan adalah kesesuaian, relevansi, kecukupan, efisiensi,
keefketifan, keadilan, respons, dan dampak. Kesesuaian evaluasi harusnya
dikembangkan untuk mencakup tidak hanya proses, tetapi juga dampak jangka
pendek dan jangka panjang dari sebuah kebijakan.

c. Urgensi Pengembangan Kebijakan


Secara umum pengembangan kebijakan dilakukan karena beberapa alasan
berikut:
a. Kebijakan yang ada masih bersifat terlalu umum
b. Kebijakan yang ada sulit untuk diimplementasikan di lapangan.
c. Kebijakan yang sudah ada mengandung potensi konflik.
d. Kebijakan yang ada menemui banyak permasalahan ketika sudah
diimplementasikan atau dengan kata lain, ada kesenjangan kebijakan.
e. Adanya pengaruh factor eksternal, seperti situasi politik yang tidak stabil.
KLP 2
(PROSES PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KESEHATAN)

1) Pengertian Implementasi
Jones (1987) menjelaskan bahwa implementasi adalah “those activities directed
toward putting a program into effect (proses mewujudkan program hingga
memperlihatkan hasilnya). Van Horn dan Van meter (1975) : those actions by
public and private individual (or groups) that are the achievement or objectives
set forth in prior policy ( tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah maupun
swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas kebijakan).
Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan bahwa fokus
perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku, diantaranya adalah kejadian dan
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan yang
mencakup usaha mengadministrasikan maupun usaha menimbulkan dampak
yang nyata pada masyarakat.
Menurut Patton dan Sawicki (1993) bahwa implementasi berkaitan
dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program,
dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan
efisien sumber daya, Unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan
program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat,
dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang
dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan


dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9).

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood hal-hal yang berhubungan


dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi
masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang
bersifat khusus. (Tangkilisan, 2003:17). Implementasi adalah tindakan yang
dilakukan setelah suatu kebijakan ditetapkan agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan kebijakan adalah melakukan
intervensi, dan implementasi adalah tindakan intervensi itu sendiri. Implementasi
melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi street level
bureaucracy (Lipsky) untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku target
group. Menurut Anderson 1979) ada 4 aspek dalam implementasi kebijakan:
1. Who is involved policy implementation ?
2. The nature of administrative process (hakekat dari proses administrasi)
3. Compliance with policy (kepatuhan pada kebijakan)
4. The effect of implementation (dampak dari pelaksanaan kebijakan)

Ada dua fokus dalam melakukan implementasi :


1.1.Compliance (kepatuhan) : apakah implementor patuh pada aturan, juklak,
jadwal dsb ?
1.2.What happening? : mempertanyakan bagimana kinerja implementasi, apa
yang dicapai dsb. Dalam hal ini beberapa hal yang penting :
a. Banyaknya aktor yang terlibat
b. Kejelasan tujuan
c. Partsipasi semua unit pemerintahan
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi (Ripley & Franklin (1985)

2) Mengapa Implementasi Penting

a. Implementasi merupakan proses yang penting dalam proses kebijakan, dan


tak terpisahkan dari proses formulasi kebijakan (Jones, 1987)
b. Implementasi bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan
hanya berupa impian atau rencana yang bagus dan tersimpan dalam arsip kalau
tak diimplementasikan (Udoji, 1981)
c. Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya.
d. Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan
rumit.
e. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan,
maupun sasaran sering terjadi
f. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target
maupun strateginya
g. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual
maupun organisasional

h. Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi


i. Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan
kajian baru dalam studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan
j. Guna menilai keberhasilan atau kinerja sebuah kebijakan maka dilakukan
evaluasi kebijakan

3) Bagaimana melakukan intervensi dalam implementasi?

Mazmanian dan Sabatier (1983); memberikan langkah-langkah intervensi dalam


implementasi sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi
b. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
c. Merancang struktur proses implementasi

Dengan demikian program harus disusun secara jelas dan harus


dioperasionalkan dalam bentuk proyek.
Lineberry (1984) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
implementasi :
a. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana
b. Penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksana (Standard operating
procedures/SOP)
c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta
pembagian tugas diantara badan pelaksana
d. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah:
a. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program
kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
b. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke
dalam tujuan kebijakan.
c. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,
upah, dan lain-lainnya. (Tangkilisan, 2003:18)

4) Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Berdasarkan teori George C.Edwards III (1980) menjelaskan implementasi


kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu:

a. Komunikasi, yaitu bagaimana menginformasikan semudah mungkin dapat


dipahami oleh masyarakat sasaran maksud dan tujuan dari kebijakan y ang
diambil. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses
penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada
pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting
yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan
konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar
informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga
kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan
menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk
menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran
maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi
konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten
sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak terkait.

b. Struktur birokrasi, yaitu didukung institusi pelaksana yang tidak berbelit-belit


dan sederhana. Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,
dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation
procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam
bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan
sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang
terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan
dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya
akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

c. Sumber-sumber, yaitu tersedia sumber -sumber dana, daya dan sarana yang
cukup. Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa: bagaimanapun jelas
dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun
akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika
para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut :

1) Sumber Daya Manusia (Staff)


Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber
daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya
manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan
kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber
daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran.
Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia,
implementasi kebijakan akan berjalan lambat.

2) Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal


atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya
kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak
akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

3) Fasilitas (facility)
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak,
seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam
keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)

Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama


informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan
suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan penting terutama untuk
meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan
yang dikehendaki.

2. Disposisi, yaitu kecenderungan dari implementor yakni pemerintah pelaksanan


kebijakan dengan melihat kepentingannya mudah dilaksanakan atau sebaliknya.
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan
penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan
atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan
misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan,
sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka
selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung
jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik
maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa
yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya
tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

Selain itu, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variabel yaitu:


a. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan
dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group
untuk melaksanakannya
b. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan,
maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan
yang telah dirumuskan
c. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung
jawab dalam implementasi kebijakan.
d. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
• Sering terjadi suatu program tidak mampu mewujudkan tujuannya (kegagalan
implementasi)
• Ketidakmampuan program mewujudkan tujuan disebut oleh Andrew Dunsire
sebagai implementation gap yaitu suatu kondisi dimana dalam proses kebijakan
terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan pembuat kebijakan dengan apa
yang senyatanya terjadi.
• Implementation gap ini sangat dipengaruhi oleh implementation capacity dari
orang pelaksana (Goggin, 1990)
KLP 3
(HUBUNGAN ANTARA KEKUASAAN DENGAN PROSES
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN)
1.Tantangan dan Faktor Penentu Keberhasilan dalam Implementasi
Kebijakan
Beberapa persoalan yang muncul dalam implementasi kebijakan yaitu:
a. Interprestasi
Kebijakan lebih bersifat strategis, sehingga Birokrat perlu
menginterprestasikan atau mengoperasionalkan kebijakan tersebut
b. Pendayagunaan resources
c. Manajemen program
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi
keputusan adalah:
a. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan
makna program
kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
b. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan
program ke
dalam tujuan kebijakan.
c. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan,
upah, dan lain-lainnya.
Rippley dan Franklin (1982) menyatakan keberhasilan implementasi
kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu:
a. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi
dari
kepatuhan atas mereka.
b. Keberhasilan impIementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan
tiadanya
persoalan.
c. Implementasi yang herhasil mengarah kepada kinerja yang
memuaskan semua
pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
Prasyarat keberhasilan implementasi :
a. Tiadanya hambatan eksternal
b. Tersedianya resources yg memadai
c. Good policy
d. Hubungan ketergantungan yg minimum
e. Pemahaman & kesepakatan thd tujuan
f. Tugas ditetapkan dengan urutan yang tepat
g. Komunikasi dan koordinasi lancar
h. Ada dukungan otoritas

2. Penyebab Kegagalan Implementasi Kebijakan


Kegagalan implementasi kebijakan dapa disebabkan oleh kebijakan yang
tidak bisa diimplementasikan atau unsuccessfull implementation. Penyebab
kegagalan sebuah kebijakan seperti :
a. Bad policy : perumusannya asal-asalan, kondisi internal
belum siap, kondisi eksternal tak memungkinkan.
b. Bad implementation : pelaksana tidak memahami petunjuk
pelaksanaan, terjadi implementation gap.
c. Bad Luck
Faktor lain penyebab publik tak mau melaksanakan kebijakan (Anderson,
1979)
a. Kebijakan bertentangan dengan sistem nilai masyarakat
b. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif thd hukum
c. Keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi/ kelompok
d. Tidak adanya kepastian hukum (terjadi pertentangan antara
kebijakan satu dengan lainnya).
Peters (1982) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal
disebabkan beberapa faktor:
1. Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya
gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun
kepada para pelaksana dan isi kebijakan yang akan
dilaksankaannya dan basil-basil dan kebijakan itu.
2. Isi Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau
tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern
ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,menunjukkan adanya
kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang
menyangkut sumber daya pembantu.
3. Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada
pelaksanannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
4. Pembagian Potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor
implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam
kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
3. Model-model Implementasi Kebijakan
Ada beberapa model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh para ahli
yaitu:
1. Model Top down
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang
paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan
tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam
Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke
tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk ditangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006),model rasional ini berisi gagasan
bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang
diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008),
berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan
keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan
model implementasi kebijakan yaitu Van Meter van Hoirn (1975),
Edward III (1980), Sabatier & Mazmanian (1979) , Grindle
(1980),dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :
a. Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008),
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan
publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa
variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai
berikut :
- Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
- Karakteristik agen pelaksana/implementor
- Kondisi ekonomi, social dan politik.
- Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor
b. Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu
pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan
pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut,
yaitu :
- Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi
kebijakan ?
- Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi
keberhasilan implementasi kebijakan?
c. Model Mazmanian dan Sabatier
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan
ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008):
- Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah
dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah
teori dan teknis pelaksanaan,keragaman objek dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
- Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan
untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indicator
kejelasan dan konsistensi tujuan.
- Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang
mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan
indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan
public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana.
d. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi
kebijakan
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide
dasarnya
adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah
implementasi
kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat
implementability dari kebijakan tersebut.
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
- Jenis manfaat yang akan dihasilkan
- Derajat perubahan yang diinginkan
- Kedudukan pembuat kebijakan
- Pelaksana program
- Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu, konteks implementasinya adalah :
- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
- Karakteristik lembaga dan penguasa
- Kepatuhan dan daya tanggap
2. Model Bottom Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai
kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006),
mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi
adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan.
Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006),
model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di
lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi
kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith
(1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai
suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses
implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan
social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam
masyarakat sebagai kelompok sasaran.
KLP 4
(KEBIJAKAN PERUMAHSAKITAN)

A. Proses Pengembangan Kebijakan


Proses pengembangan kebijakan berlangsung sebagai sebuah siklus
kebijakan yang dimulai dari pengaturan agenda (agenda setting) dengan
penetapan atau pendefinisian masalah publik yang signifikan dan
mengundang perhatian masyarakat
luas (public concern) karena besarnya tingkat kepentingan yang belum
terpenuhi (degree of unmeet need) sehingga memunculkan tindakan
pemerintah.Proses pembuatan atau formulasi kebijakan merupakan satu
tahapan penting dalam pengembangan kebijakan yang akan menentukan
dampak kebijakan terhadap sasaran
kebijakan. Seluruh rangkaian tersebut tergambar di bawah ini.

1. Agenda Setting
1. Agenda Setting
Public attention focuses on a
Public public problem
attention focuses or
on issue.
a public
Official words and ac actions
problem or issue.Official words and ac
actions

2. Policy Formulation
5. Policy Evaluation
Policy makers in the legislature and
the bureaucracy take up the Policy analysis inside and outside government
issue.They create determine wether the policy is addressing the problem
legislatetive,regulatory, or and wether implementation is proceeding well.They
programmatic strategies to address may recommended REVISIONS in the agenda,in the
formulation of policy, or in

3. Policy Adoption

Policy makers formally adopt a


policy solution,usually in the form
of legislatation or
4. Policy Implementation

Government agencies begin the job


of making the policy work by
establishing procedures,writing
guidance documents,or issuing
Gambar 1. Diagram Siklus Kebijakan (Proses Pengembangan Kebijakan)
(Texas Politics, 2009)

1. Agenda Setting / Pembuatan Agenda


Kingdon (1995) menjabarkan agenda setting pada pembuatan
kebijakan publik sebagai pertemuan dari tiga “pilar pertimbangan”
penting, yaitu:masalah (problems),solusi yang memungkinkan untuk
masalah tersebut (possible solutions to the problems), dan keadaan politik
(politic circumstances). Beberapa orang lebih memilih menggunakan
istilah “issue” alih-alih memakai istilah “problem” untuk mengarahkan
pada sesuatu yang mungkin dapat menjadi pemicu pembuatan
kebijakan (Gormley dan Boccuti, 2001). Dalam konseptualisasinya, ketika
masalah (problems), solusi yang memungkinkan (possible solution),
keadaan politik (politic circusmtances), “bertemu dan mengalir” bersama
dalam arah yang baik, sebuh “jendela” untuk membuat kebijakan telah
terbuka (Kingdon, 1995). Kombinasi antara masalah dan solusi potensial
yang bergerak bersama dalam proses atau sebuah amandemen
kebijakan.
Agenda setting paling baik dipahami dari variabel kuncinya, yaitu
problems, possible solution, dan keadaan politik. Yang dimaksud dengan
problems adalah permasalahan, termasuk masalah kesehatan, yang
memicu atau mendesak terbentuknya suatu kebijakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Possible solution mengarah pada
penyelesaian terhadap banyaknya permasalahan yang kemungkinan
besar mampu dilakukan pemerintah.Terkait keadaan politik, masalah
publik tidak pernah akan lepas dari pengaruh politik dalam penyusunan
agenda setting pembuatan kebijakan sampai dengan implementasi
kebijakan. Dengan demikian, ketiga factor yang disebutkan sebelumnya
sangat penting untuk diperhatikan dalam penyusunan agenda setting
penyusunan kebijakan (politic circusmtances).
2. Formulasi Kebijakan
Proses formulasi kebijakan kesehatan secara umum memilik tahapan-
tahapan berikut:pengaturan proses pengembangan kebijakan
penggambaran permasalahan; penetapan sasaran dan tujuan; penerapan
prioritas; perancangan kebijakan; penggambaran pilihan-pilihan; penilaian
pilihan-pilihan; “perputaran” untuk penelaah sejawat (peer review) dan
revisi kebijakan; serta akhirnya berupaya untuk mendapatkan dukungan
formal terhadap kebijakan yang sedang diajukan atau disusun. Oleh
karena itu, kebijakan adalah suatu proses berulang-ulang yang
melibatkan sebagian besar komponen dari siklus perencanaan
(Htwe,2006). Pentingnya tahap formulasi kebijakan ditekankan oleh
Easton (1965) dalam teori pembuatan kebijakan sebagai sebuah sistem.
Easton (1965) mencoba merumuskan proses formulasi kebijakan bentuk
yang sederhana sebagai berikut (Easton’s black box):

Gambar 2. Model Sistem Easton (1972)


Proses pembuatan kebijakan berlangsung sebagai sebuah sistem
yang merupakan kesatuan instituisi dan proses yang terlibat dan memiliki
otoritas dalam melakukan alokasi sumber daya maupun nilai-nilai
sesuai dengan otoritas alasanalasan untuk melakukan alokasi daya dan
black box pembuatan kebijakan. Penyebutan Black box dimaksudkan
sebagai sebuah kotak hitam yang menutupi proses interaksi yang terjadi
atau aktor nilai-nilai interes yang melekat, kerap kali terjadi tawar
menawar posisi (bargaining position) untuk kepentingan dan tuntutan
individu atau kelompok yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Untuk mengubah tuntutan tersebut menjadi sebuah kebijakan, suatu
sistem harus mampu mengatur dan memberlakukan penyelesaian-
penyelesaian pertentangan atau konflik. Oleh karena suatu sistem
dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem
tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antarberbagai
subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga
hal, yakni; 1) menghasilkan output yang secara layak memuaskan; 2)
menyandarkan pada ikatanikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri,
dan 3) menggunakan atau mengancam dengan menggunakan kekuatan
(otoritas).
Pada bagian input dalam pendekatan formulasi kebijakan sebagai
sebuah sistem terdapat permintaan (demand), sumber daya (resource)
dan dukungan (support). Demand dimunculkan oleh individu atau
kelompok yang mencari kebijakan tertentu sesuai dengan yang mereka
inginkan atau nilai-nilai yang merekamiliki. Demand muncul ketika individu
atau grup mengartikulasikannya melalui kelompok kepentingan atau
partai politik untuk diketahui pemerintah. Resourcesmembantu
pemerintah merespons demands yang dibuat. Support mengacu pada
dukungan yang disampaikan oleh mayoritas dalam sistem kesehatan
support tersebut dapat disimbolkan antara lain dari jejak pendapat
nasional, kemauan membayar pajak, pengakuan terhadap pemerintah,
serta tekanan untuk memperoleh keamanan.
3. Pengadopsian Kebijakan
Setelah formulasi kebijakan, tahap berikutnya adalah adopsi kebijakan,
yaitu sebuah proses untuk secara mengambil atau mengadopsi alternatif
solusi kebijakan yang ditetapkan sebagai sebuah regulasi atau produk
kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Pengadopsian kebijakan
sangat ditentukan oleh rekomendasi yang antara lain informasi manfaat
dan berbagai dampak yang mungkin terjadi dari berbagai alternatif
kebijakan yang telah disusun dan akan diimplementasikan.
Penerapan kebijakan baru, perubahan, perbaikan atau
terminasi/penarikan kebijakan yang sudah ada merupakan tanggung
jawab dari pimpinan pembuat kebijakan Pengajuan kebijakan baru,
amandemen atau penarikan/penghentian kebijakan yang sudah ada harus
mendapat persetujuan dengan suara afirmatif dari mayoritas anggota
keseluruhan pimpinan. Kecuali bila dinyatakan lain, kebijakan baru atau
amandemen kebijakan akan efektif pada saat pengadopsian oleh
pimpinan dan akan menggantikan seluruh kebijakan sebelumnya di
daerah tersebut (Olentangy Local School District, 2011).
4. Pengimplementasian Kebijkan
Pengimplementasian merupakan cara agar kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Definisi implementasi menurut Dunn (2003) adalah
pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan didalam kurun waktu
tertentu. Lester dan Stewart memandang implementasi secara luas
sebagai pelaksanaan undang-undang atau kebijakan yang melibatkan
seluruh aktor, organisasi, prosedur, serta aspek teknik untuk meraih
tujuan-tuuan kebijakan atau program-program (Winarno, 2010). Ada
dua alternatif dalam implementasi kebijakan: mengimplementasikan
dalam bentuk program atau membuat kebijakan turunannya (Hann,
2007).
Kesiapan implementasi amat menentukan efektivitas dan keberhasilan
sebuah
kebijakan. Penyusunan kebijakan berbasis data atau bukti juga
berpengaruh besar terhadap sukses-tidaknya implementasi kebijakan.
Oleh karena itu, keberadaan beberapa aktor utama untuk
menganalisis kesiapan, memasukkan hasil penelitian kebijakan sebagai
pertimbangan implementasi kebijakan menjadi begitu penting. Di
antaranya Komite Eksekutif Badan Formulasi Kebijakan, Dewan
Penelitian Kesehatan/Medis, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Sains dan Teknologi, dan konsorsium universitas. Akan menjadi
menguntungkan bila seluruh hasil asesmen, analisis atau riset dapat
terkoordinasi. Para aktor utama ini juga perlu mengambil dan memiliki
tanggung jawab terhadap implementasi kebijakan sekaligus memantau
kemajuan, mengevaluasi hasil, dan memastikan umpan balik untuk
pembuat kebijakan serta mengenalkan aplikasi dari semua hasil penelitian
yang berguna. Peran dan keterlibatan para peneliti, akademisi,
organisasi profesi, ikatah keahlian medis tertentu dalam mendampingi
implementasi kebijakan.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan kesehatan merupakan penilaian terhadap
keseluruhan
tahapan dalam siklus kebijakan, utamanya ketika sebuah kebijakan yang
disusun telah selesai diimplementasikan. Tujuannya adalah untuk
melihat apakah kebijakan telah sukses mencapai tujuannya dan
menilai sejauh mana keefektifan kebijakan dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan. Evaluasi
merupakan salah satu mekanisme pengawasan kebijakan. Parameter
yang umum digunakan adalah kesesuaian, relevansi, kecukupan,
efisiensi, keefektifan, keadilan, respons, dan dampak. Kesesuaian
evaluasi harusnya dikembangkan untuk mencakup tidak hanya proses,
tetapi juga dampak jangka pendek dan jangka panjang dari sebuah
kebijakan (Htwe, 2006).
KLP 5
(SIKLUS KEBIJAKAN)

1. Masalah Kebijakan Perumahsakitan


Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum
terpenuhi, tetapi dapat diindentifikasikan dan dicapai melalui tindakan
publik. Tingkat kepelikan masalah tergantung pada nilai dan kebutuhan
apa yang dipandang paling panting. Menurut Dunn (1988) beberapa
karakteristik masalah
pokok dari masalah kebijakan, adalah:
1. Interdepensi (saling tergantung), yaitu kebijakan suatu bidang
(energi) seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya
(pelayanan kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem
masalah. Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan Holistik,
satu masalah dengan yang lain tidak dapat di piahkan dan diukur
sendirian.
2. Subjektif, yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah
diindentifikasi,diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif.
Contoh: Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data
ini menimbulkan penafsiran yang beragam (gangguan kesehatan,
lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis, bukan
problem itu sendiri.
3. Artifisial, yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis,
sehingga dapat menimbulkan masalah kebijakan.
4. Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada
suasana perubahanyang terus menerus. Pemecahan masalah
justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan
pemecahan masalah lanjutan.
5. Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul diluar jangkauan
kebijakan dan sistem masalah kebijakan.

Beberapa kebijakan perumahsakitan yang kini berkembang, yaitu:

1. Kebijakan penyelenggaraan RS diarahkan untuk peningkatan


akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan yang
aman di RS melalui pembangunan sarana dan prasarana RS
di daerah tertinggal secara selektif,perbaikan sarana dan
prasarana RS, pengadaan obat dan perbekalan RS.
2. Peningkatan kemandirian terutama dlm pengelolaan keuangan
sehingga dapat memberikan pelayanan yang bermutu & merata
terhadap masyarakat. Karena itu perlu bentuk kelembagaan
yang dapat meningkatkan kemandirian RS(BLU).
3. Kebijakan RS Pendidikan & RS Khusus diarahkan dapat
menjadi pusat unggulan dan penapisan teknologi.
4. Peningkatan akses dan keterjangkauan upaya pelayanan
kesehatan bagi penduduk miskin di kls III di RS pemerintah dan
RS Swasta yg ditunjuk.
5. Penerapan UU Praktek Kedokteran
6. Peningkatan Pelayanan PONEK di RS
7. Kebijakan dlm penanaman modal asing diarahkan untuk
meningkatnya mutu pelayanan & SDM di RS
8. Peningkatan pelayanan rujukan diarahkan untuk meningkatkan
peran serta RS dalam penurunan AKI dan AKB serta kesiapan RS
sbg tempat rujukan penyakit tidak menular dan penyakit HIV/AIDS,
AI, DBD dll
9. Peningkatan mutu diarahkan melalui standarisasi/ pedoman,
perizinan dan akreditasi RS
10. Kebijakan perizinan RS dilaksanakan melalui pembagian
kewenangan dengan tetap memperhatikan kerangka NKRI
a) Izin mendirikan oleh Dinkes Kab/Kota
b) Izin penyelenggaraan sementara oleh Dinkes Prop
c) Izin penyelenggaraan tetap oleh Depkes
11. Kebijakan akreditasi RS: semua RS minimal harus terakreditasi
untuk 5 pelayanan (Administrasi & Manajemen, Pelayanan Medik,
Pelayanan Gawat darurat, Keperawatan dan Rekam Medik)
12. RS wajib melaksanakan :
a) Pelayanan Gakin di Kls III RS
b) Peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu & anak
c) Peningkatan Pelayanan life saving (IGD, ICU, ICCU)
d) Peningkatan pelayanan kesehatan penunjang (lab, bank
darah, radiologi dan anestesi)
e) Pengembangan dan peningkatan profesionalisme SDM
a. Hambatan Pelaksanaan Kebijakan Perumahsakitan
Beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan
perumahsakitan yaitu:
i. Masalah mutu pelayanan
Akhir-akhir ini semakin sering menjadi sorotan, dan
sebagian besar dokter pasti sudah berusaha untuk melakukan
hal yang terbaik untuk pasien, tetapi selama ini belum ada
standar yang dijadikan pedoman untuk dokter maupun
penerima jasa pelayanan dalam menilai mutu layanan.
Standar pelayanan medik juga dapat menjadi pengukur
efisiensi penggunaan sumber daya, baik tenaga, ilmu dan
teknologi, sarana dan biaya untuk menyembuhkan pasien
dari penyakitnya. Penerapan standar pelayanan medik harus
dilakukan bertahap, mengingat kondisi dan kapasitas
kemampuan rumah sakit bervariasi bila ditinjau dari segi
fisikkonstruksi, peralatan,sumber daya manusia, pembiayaan
dan sejarah perkembangan.
ii. Pembiayaan
Hambatan lain yang diyakini menjadi faktor kurang
efektifnya pelaksanaan kebijakan perumahsakitan saat ini
adalah masalah pembiayaan dari pemerintah. Pembiayaan
kesehatan di Indonesia, khususnya rumah sakit, berasal dari
berbagai sumber, diantaranya:
1) Pemerintah Pusat dan Daerah
2) Badan Swasta
3) Bantuan Luar Negeri
4) Asuransi
5) Masyarakat
Anggaran kesehatan yang bersumber dari
pemerintah, dari tahun ke tahun relatif tetap dan kecil jika
dihitung prosentasenya dari seluruh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Beberapa masalah yang dihadapi
dalam pembiayaan kesehatan antara lain: keterbatasan
biaya, penggunaan biaya yang kurang efisien dan distribusi
yang kurang merata.
Biaya rumah sakit pemerintah dapat berasal dari
berbagai sumber yang disalurkan pemerintah, melalui jalur
yang cukup banyak dan terpecah-pecah. Keadaan ini
mencerminkan kurangnya koordinasi dan integrasi dalam
perencanaan dan pelaksanaan. Akibatnya penggunaannya
menjadi kurang efisien. Di samping itu terjadi pula ketidak
seimbangan antara biaya pembangunan dan biaya
operasional dan pemeliharaan. Kenaikan anggaran
pembangunan tidak selalu disertai dengan kenaikanyang
memadai dari anggaran operasional dan pemeliharaan.
Biaya operasional dan pemeliharaan pada RS Pemerintah
hanya dialokasikan sebesar 50%. Subsidi pemerintah untuk
rumah sakit pemerintah sangat besar karena tarif yang terlalu
rendah.
iii. Tenaga Kesehatan
Hambatan lain yang kita temukan dalam pelaksanaan
kebijakan perumahsakitan adalah masalah tenaga kesehatan.
Pada saat ini hampir semua rumah sakit pemerintah dan
swasta sangat kekurangan tenaga perawat. Selain
jumlahnya kurang, mutunya pun sering dikeluhkan
masyarakat. Jumlah lulusan perawat diduga mencukupi, tetapi
formasi dirumahsakit pemerintah sangat terbatas karena ada
kecenderungan membatasi pengangkatan pegawai negeri
baru. Sebagian rumah sakitswasta tak mampu mengangkat
perawat baru apabila dari lulusan sekolahsekolah perawat
yang dianggap bermutu. Keadaan dokter spesialis lebih
kompleks lagi terutama pada rumah sakit swasta.
Masalah kurangnya tenaga kesehatan ini tentunya
semakin
menyulitkan berkembangnya kebijakan perumahsakitan di
Indonesia.Tenaga kesehatan ini sangat berperan penting
dalam menunjang efisien atau tidaknya pelaksanaan
kebijakan perumahsakitan tersebut.Kekurangan tenaga
kesehatan tentunya akan menyulitkan pelayanan kesehatan
di setiap rumah sakit.
iv. Fasilitas Rumah Sakit
Gedung rumah sakit pemerintah maupun swasta
kebanyakan dirancang tidak tuntas dan banyak yang belum
mengikuti kaidah-kaidah rumah sakit, seperti zoning yang
baik, flow of patients yang efisien dan etis, pembuangan
limbah, erosi, dan lain sebagainya. Selain itu, lingkungan
rumah sakit banyak yang masih kotor terutama di rumah sakit
pemerintah. Hal ini menurunkan citra pelayanan pada banyak
rumah sakit. Diharapkan secara bertahap citra ini akan menjadi
lebih baik. Alat-alat dirumah sakit sangat bervariasi.
v. Pemanfaatan Rumah Sakit
Pemanfaatan rumah sakit masih rendah. Hal ini
ditunjukkandengan angka tingkat pemanfaatan tempat tidur
yang masih rendah, yakni secara keseluruhan di bawah
55%, baik untuk rumah sakit pemerintah maupun swasta.
Lima tahun terakhir pemanfaatan tempat tidur (BOR) rumah
sakit pemerintah sekitar 57%, swasta 54%, sedangkan
ABRI dan Departemen lain sangat rendah yaitu 45-50%.
Menurut hasil penelitian Bank Dunia di Indonesia
menunjukkan bahwa salah satu penyebab rendahnya
pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakat disebabkan mutu
pelayanan yang rendah. Khususnya bilamana hal ini dikaitkan
dengan ketenagaan yang tersedia dan pelayanan spesialistik
yang ada.
b. Langkah-Langkah Untuk Mengefisiensikan Pelaksanaan Kebijakan
Perumahsakitan
1) Pelayanan Rumah Sakit
i. Pelayanan rumah sakit harus mendukung pelayanan
kesehatan dasar seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu
dan Posyandu. Dukungan ini dijalin dalam suatu sistem
rujukan medik dan rujukan kesehatan yang selaras dengan
pembangunan sistem pembiayaan melalui asuransi
kesehatan/JPKM.
ii. Rumah sakit dikelola secara efisien untuk menjamin
meningkatnya mutu dan cakupan pelayanan yang akhirnya
mempunyai dampak nyata terhadap perbaikan derajat
kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu diterapkan dan
dijalankan penggunaan standar pelayanan, dalam rangka
peningkatan mutu dan akreditasi rumah sakit disamping
penggunaan obat secara rasional dengan memanfaatkan obat
generik.
iii. Menjalankan fungsi sosial yang tercermin dalam pelayanan
bagi
mereka yang tak mampu, kegiatan pelayanan di luar rumah
sakit, penyuluhan kesehatan, turut serta dalam sistem
asuransi
kesehatan/JPKM, dan lain sebagainya.
2) Pembiayaan
i. Pembiayaan rumah sakit mengutamakan sumber-sumber yang
berasal dari masyarakat yang dimobilisasi melalui system
asuransi/JOKM. Rumah sakit pemerintah secara
berangsurangsur dikembangkan menjadi unit swadana
sedangkan sumber dana yang berasal dari pemerintah dan
yang dimobilisasi dari swasta dan masyarakat harus
digunakan secara efisien dan dialokasikan secara cermat
menurut prioritas dan masalah yang dihadapi.
ii. Setiap orang yang menikmati pelayanan kesehatan di rumah
sakit akan dikenakan kewajiban membayar sesuai dengan
nilai jasa yang diterimanya. Untuk ini perlu dikembangkan
sistem tariff berjenjang yang mendasarkan kepada
pengeluaran yang berimbang dengan pemasukan (cost
recovery), satuan biaya (unit cost) dan kemampuan daya
beli masyarakat. Agar terjamin adanya pemerataan
pelayanan, tarif dikembangkan dengan asas subsidi
bersilang (cross subsidy) sehingga mereka yang tak mampu
tetap terlindungi dan dapat menikmati pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan.
3) Peran Serta Masyarakat dan Swasta
i. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
perlu dikembangkan sistem yang insentif termasuk
kemudahan dalam perizinan, rumah sakit boleh didirikan
oleh badan hokum (termasuk PMDN dan PMA) disamping
oleh yayasan. Pemerintah akan tetap memberikan bantuan
dan perlindungan terhadap rumah sakit.
ii. Masyarakat dan swasta akan diberikan peran yang semakin
besar dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan
rumah sakit. Pemerintah akan lebih banyak berperan dalam
merumuskan kebijaksanaan (termasuk menetapkan
standarstandar), pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan rumah sakit. Ikatan profesi akan membantu
pemerintah dalam perumusan kebijaksanaan dan
pengawasan serta peningkatan mutu pelayanan dan mutu
tenaga kesehatan.
4) Ketenagaan
i. Penempatan dan penyebaran tenaga kesehatan yang bekerja di
rumah sakit akan terus ditingkatkan sehingga jumlah dan
susunan tenaga kesehatan di rumah sakit mencapai standar
yang sudah ditetapkan. Penempatan dokter spesialis akan
ditingkatkan dengan prioritas melengkapi rumah sakit kelas
C di seluruh Indonesia sesuai dengan pemerataan
penempatan tenaga.
ii. Guna mengatasi kekurangan pelayanan spesialistik di tempat-
tempat terpencil yang membutuhkan, dokter-dokter umum
terpilih akan dilatih secara khusus dalam bidang spesialisasi
tertentu (semi spesialis).
iii. Rumah sakit swasta diberikan kemudahan untuk memperoleh
dokterdokter spesialis khususnya para dokter spesialis yang
sudah menyelesaikan masa bakti ke-2. Secara
berangsurangsur rumah sakit swasta akan diberi bantuan
agar mempunyai dokter dan dokter spesialis yang full time.
Rumah sakit swasta diperkenankan mengirimkan dokter
umumnya untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Prioritas
diberikan kepada rumah sakit di periferi.
5) Manajemen
i. Rumah sakit secara berangsur-angsur harus dikelola dengan 14
Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994
memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi pelayanan kesehatan,
sebagai bentuk produksi jasa, dapat ditingkatkan mutunya.
Dalam kaitan ini, rumah sakit akan dilengkapi dengan
perangkat organisasi yang lebih sesuai sebagai institusi
sosial-ekonomi.
ii. Dengan semakin meningkatnya hubungan kerja dan
semakinberagamnya jenis pelayanan, perlu dikembangkan
system informasi manajemen rumah sakit yang menyangkut
informasi sumber daya, pelayanan dan kegiatan rumah
sakit. Untuk ini rumah sakit secara berangsur-angsur harus
meningkatkan pengolahan data secara elektronik (electronic
data processing).
iii. Staf manajemen rumah sakit perlu memperoleh pendidikan dan
latihan yang menunjang perubahan-perubahan system
manajemen rumah sakit menuju pembentukan career-planning
dalam manajemen atau administrasi rumah sakit.
6) Teknologi Kedokteran
i. Pemanfaatan teknologi kedokteran akan digalakkan terus
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan menuju
perbaikan derajat kesehatan yang merupakan bagian dari
kesejahteraan umum masyarakat. Teknologi kedokteran yang
digunakan harus disesuaikan dengan prioritas masalah
kesehatan yang ada dan kemampuan pembiayaan
pemerintah dan masyarakat.
ii. Pemanfaatan teknologi kesehatan harus dikaitkan dengan
upaya mengefisiensikan kegiatan-kegiatan rumah sakit.
2. Pengertian Analisis Kebijakan
Menurut Dunn, analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk
menghasilkan
informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang
mungkin
timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Menurut Quade (1982),
analisis
kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi
sedemikian
rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat
kebijakan
dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan
sehingga
diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya (Suharto, 2010).
Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-
hati
yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-
masalah
yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah dilaksanakan.
Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat
informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara
cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya suatu
kebijakan. Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi
untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan
masalah-masalah publik. Di dalam analisis
kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-
masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif
kebijakan, sebagai
bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.
Analisis kebijakan kesehatan adalah penggunaan berbagai metode
penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi
yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat
politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan kesehatan. Analisis
kebijakan dapat juga diartikan sebagai proses atau kegiatan mensintesa
informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi
opsi desain kebijakan publik (Williams, 1971; Weiner and Vining, 1989).
Analisis kebijakan kesehatan awalnya adalah hasil pengembangan
dari
analisis kebijakan publik. Akibat dari semakin majunya ilmu pengetahuan
dan
kebutuhan akan analisis kebijakan dalam bidang kesehatan itulah akhirnya
bidang
kajian analisis kebijakan kesehatan muncul. Sebagai suatu bidang kajian
ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran dan fungsi
dalam pelaksanaannya. Peran dan fungsi itu adalah:
i. Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan
keputusan yang fokus pada masalah yang akan
diselesaikan.
ii. Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis
multi disiplin ilmu.Satu disiplin kebijakan dan kedua
disiplin ilmu kesehatan.Pada peran ini analisis kebijakan
kesehatan menggabungkan keduanya yang kemudian
menjadi sub kajian baru dalam khazanah keilmuan.
iii. Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah
mampu memberikan jenis tindakan kebijakan apakah
yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.
iv. Memberikan kepastian dengan memberikan
kebijakan/keputusan yang sesuai atas suatu masalah
yang awalnya tidak pasti.
v. Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah
fakta-fakta yang muncul kemudian akibat dari produk
kebijakan yang telah diputuskan/diundangkan.
3. Lingkup Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih
dan
digunakan. Pilihan bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman
masalah
secara mendalam, sebab kondisi masalah yang cenderung menentukan
bentuk analisis yang digunakan. Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn,
1988; Moekijat, 1995; Wahab, 1991) dapat diuraikan beberapa bentuk
analisis kebijakan yang
lazim digunakan.
1) Analisis Kebijakan Prospektif
Bentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan
informasi sebelum tindakan kebijakan ditentukan dan
dilaksanakan. Menurut Wiliam (1971), ciri analisis ini adalah:
a. mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang
tersedia, yang dapat dipilih dan dibandingkan.
b. diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk
pedoman pembuatan keputusan kebijakan.
c. secara konseptual tidak termasuk pengumpulan informasi.
2) Analisis Kebijakan Restrospektif (AKR)
Bentuk analisis ini selaras dengan deskripsi penelitian,
dengan tujuannya adalah penciptaan dan pemindahan informasi
setelah tindakan kebijakan diambil. Beberapa analisis kebijakan
restropektif, adalah:
a. Analisis berorientasi Disiplin, lebih terfokus pada
pengembangan dan pengujian teori dasar dalam disiplin
keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan.
Contoh: Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan
serta kepuasan tenaga kesehatan di Indonesia, dapat
memberi kontribusi pada pengembangan manajemen SDM
original berciri Indonesia (kultural).Orientasi pada tujuan dan
sasaran kebijakan tidak terlalu dominan. Dengan demikian,
jika ditetapkan untuk dasar kebijakan memerlukan kajian
tambahan agar lebih operasional.
b. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada
aspek hubungan sebab akibat dari kebijakan, bersifat
terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan
dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan.
Orientasi tujuan bersifat umum, namun dapat memberi
variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan
untuk mencapai tujuan dan sasaran khusus, seperti
meningkatnya kualitas kesehatan gigi anak sekolah melalui
peningkatan program UKS oleh puskesmas.
c. Analisis beriorientasi penerapan, menjelaskan hubungan
kausalitas,lebih tajam untuk mengidentifikasi tujuan dan
sasaran dari kebijakan dan para pelakunya. Informasi
yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil kebijakan khusus, merumuskan masalah kebijakan,
membangun alternatif kebijakan yang baru, dan
mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh:
analis dapat memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelayanan
KIA di Puskesmas. Informasi yang diperoleh dapat
digunakan sebagai dasar pemecahan masalah kebijakan
KIA di puskesmas.
3) Analisis Kebijakan Terpadu
Bentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu,
menghasilkan dan memindahkan informasi gabungan baik
sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan dilakukan.
Menggabungkan bentuk prospektif dan restropektif,serta secara
ajeg menghasilkan informasi dari waktu ke waktu dan bersifat
multidispliner.
William Dunn (2004) menjelaskan ada sejumlah model analisis
kebijakan diantaranya: (1) model deskriptif, (2) model normatif, (3)
model verbal, (4) model simbolis. Penjelasan dari model
kebijakan William Dunn tadi dapat dijelaskan seperti berikut ini.
a. Model deskriptif
Model-model kebijakan dapat dibandingkan dan
dikontraskan dari berbagai dimensi, yang paling penting,
diantaranya adalah membantu membedakan tujuan,
bentuk ekspresi dan fungsi metodologi dari model. Dua
bentuk utama model kebijakan adalah deskriptif dan
normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan
atau memprediksikan sebab-sebab dan
konsekuensikonsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan.
Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari
aksi kebijakan.
b. Model normatif
Model ini bertujuan hanya untuk menjelaskan atau
memprediksi, tetapi juga memberiakan dalil dan
rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa
utilitas (nilai). Diantara beberapa jenis normatif yang
digunakan oleh para analis kebijakan adalah model
normative yang membantu menentukan
tingkat kapasitas pelayanan yang optimum. Masalah-
masalah keputusan normative biasanya dalam bentuk
mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang
akan menghasilkan manfaat terbesar (nilai).
c. Model verbal
Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar
pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan
menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan
argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai
angka pasti. Model verbal secara relative mudah
dikomunikasikan diantara para ahli dan orang awam, dan
biayanya murah. Sementara keterbatasan model verbal
adalah bahwa masalah-masalah yang dipakai untuk
memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit
atau tersembunyi sehingga sulit untuk memahami dan
memeriksa secara kritis argumen-argumen tersebut
sebagai keseluruhan.
d. Model simbolis
Model simbolis menggunakan symbol-simbol matematis
untuk menerangkan hubungan diantara variabel-variabel
kunci yang dipercaya memiliki sifst suatu masalah. Prediksi
atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model
simbolis dengan meminjam metode matematika, statistika,
dan logika. Model simbolis sulit untuk dikomunikasikan
diantara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan
dan bahkan diantara para ahli pembuat model sering
terjadi kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari
model. Kelemahan model simbolis adalah hasilnya
mungkin tidak mudah diinterpretasikan, bahkan diantara
para spesialis, karena asumsinya mungkin tidak
dinyatakan secara memadai.
e. Model procedural
Model ini menampilkan hubungan yang dinamis diantara
variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah
kebijakan. Prediksi-orediksi dan solusi optimal siperoleh
dengan mnyimulasikan dan meneliti seperangkat
hubungan yang mungkin. Model procedural juga
memanfaatkan model ekspresi yang simbolis. Perbedaan
utama model simbollis dan procedural adalah bahwa
model simbolis menggunakan data actual untuk
memperkirakan hubungan di antara variabel-variabel
kebijakakn dan hasilnya,sedangkan model procedural
mengasumsikan hubungan diantara variabelvariabel
tersebut. Biaya model procedural relative tinngi jika di
bandingkan dengan model-model verbal dan simbolis.
Sebagian besar karna waktu yang di perlukan untk
mengmbangkan dan menjalankan program-program
komputer.Kelebihan dari model procedural adalah bahwa
model ini memungkinkan simulasi dan penelitian yang
kreatif, kelemahannya adalah bahwa model ini sering
mengalami kesulitan untuk mencari data atau argument
yang memperkuat asumsi-asumsinya.
4. Metode Analisis Kebijakan
Menurut Dunn (2000:21) Metodologi Analisis Kebijakan
menggabungkan lima prosedur umum, yaitu:
1. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai
kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
2. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai nilai
atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa mendatang dari
penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan susuatu.
3. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai
atau masalah.
4. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif
kebijakan.
5. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan
dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah.

Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut disajikan


sebagai oval gelap dalam berikut: (Dunn, 2000:21)

1. Merumuskan Masalah-Masalah Kebijakan


Masalah-masalah kebijakan merupakan kondisi yang obyektif
yang
keberadaannya dapat diciptakan dengan menentukan fakta-fakta
apa yang ada dalam suatu kasus. Pandangan yang naif ketika
ketika kita gagal untuk mengenali fakta yang ada, bahkan
diintepretasikan secara berbeda oleh para pelaku kebijakan.
Oleh karena itu, informasi yang sama, informasi sama yang relevan
dengan kebijakan dapat dan sering menghasilkan definisi-definisi
dan penjelasan-penjelasan tentang masalah yang saling
berbenturan. Hal ini bukan karena “fakta-fakta” tidak konsisten,
melainkan karena para analisis kebijakan, pembuat kebijakan,
dan pelaku kebijakan mempunyai asumsiasumsi serta
kepentingan yang sering bertentangan dan perubahan-perubahan
sosial yang terjadi (Dunn, 2000:209). Masalah-masalah kebijakan
benar-benar merupakan keseluruhan dari sistem masalah-masalah
itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleksnya.
Kompleksitas isu-isu kebijakan dilihat dengan
mempertimbangkan jenjang organisasi dimana isu-isu itu
diformulasikan. (Dunn, 2000:219).

Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki


dari tipe:
utama, sekunder, fungsional dan minor. Isu-isu utama (major
issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi.
Isu yang berhubungan dengan pertanyaan mengenai misi lembaga
. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak
pada tingkat instansi pelaksana programprogram pemerintah
pusat. Isu yang kedua dapat berisi prioritas-prioritas program dan
definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu
tentang bagaimana menyelesiakan masalah pengungsi dan
pemukiman kembali. Isu-isu fungsional (functional issues), terletak
di antara tingkat program dan proyek, dan memasukan
pertanyaan-pertanyaan seperti anggaran, keuangan dan usaha untuk
memperolehnya. Terakhir isu-isu minor (minor issues), adalah isu yang
ditemukan paling sering terjadi pada tingkattingkat proyek spesifik.
Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu
liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
Bila hirarki isu-isu kebijakan naik, masalah-masalah menjadi
saling tergantung, subyektif, artifisial, dan dinamis. Meskipun
tingkat-tingkat ini saling tergantung, beberapa isu memerlukan
kebijakan strategis, sementara yang lain meminta kebijakan
operasional. Suatu kebijakan yang strategis (strategic policy)
adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan
keputusannya secara relatif tidak bisa dibalikkan. Kebijakan
operasional (operational policies) yaitu kebijakan dimana
konsekuensi dari keputusan-keputusan secara relatif dapat dibalik
ulang, tidak menimbulkan risiko dan ketidakpastian masa kini pada
tingkat yang lebih tinggi (Dunn, 2000:221).

2. Meramalkan Masa Depan Kebijakan


Perumusan masalah menghasilkan informasi yang relevan
dengan
kebijakan yang penting bagi tahap analisis kebijakan
selanjutnya yakni meramalkan masa depan kebijakan.
Peramalan (forecasting) adalah suatu prosedur untuk membuat
informasi faktual tentang situasi sosial masa depan atas dasar
informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Metode
peramalan teoretik membantu analis membuat prediksi tentang
situasi masyarakat di masa depan atas dasar asumsi teoretik
dari data masa lalu maupun masa kini. Berbeda dengan
peramalan ekstrapolatif, yang menggunakan asumsi tentang
berulangnya sejarah untuk membuat proyeksi, peramalan
teoretik didasarkan pada asumsi tentang sebab dan akibat
yang terkandung di dalam berbagai teori. Sementara logika
dari peramalan ekstrapolatif itu pada umumnya induktif, logika dari
peramalan teoretik pada umumnya deduktif. Daya persuasi suatu
argumen deduktif akan meningkat jika prediksi yang dideduksikan
secara teoretik dapat dijumpai dari waktu ke waktu melalui
penelitian empirik.
3. Rekomendasi Aksi-aksi Kebijakan
Ramalan tidak memberikan alasan-alasan eksplisit mengapa
kita harus
lebih menghargai suatu keadaan masa mendatang daripada
keadaan yang lain; juga tidak memungkinkan kita untuk
membuat persyaratan yang menjawab pertanyaan: Apa yang
seharusnya dikerjakan? Oleh karena itu rekomendasi aksi-aksi
kebijakan menjawab pertanyaan penting ini. Prosedur
analisiskebijakan dari rekomendasi memungkinkan analis
menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi
dimasa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang
berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat
seluruhnya.Untuk merekomendasikan suatu tindakan kebijakan
khusus diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-
konsekuensi di masa depan setelah dilakukannya berbagai
alternatif tindakan. Prosedur analisis kebijakan dari rekomendasi
terkait erat dengan persoalan etika dan moral.
Rekomendasi kebijakan memerlukan pendekatan yang normatif,
tidak
hanya empiris atau evaluatif, karena persoalannya adalah aksi
mana yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan tentang aksi meminta
analis memilih di antara berbagai pernyataan advokatif tentang
apa yang seharusnya dilakukan.
4. Pemantauan Dalam Analisis Kebijakan
Pemantauan (monitoring) merupakan prosedur analisis
kebijakan yang
digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan
akibat dari
kebijakan publik. Karena memungkinkan analis mendeskripsikan
hubungan antara operasi program kebijakan dan hasilnya, maka
pemantauan merupakan sumber informasi utama tentang
implementasi. Pemantauan setidaknya memainkan empat fungsi
dalam analisis kebijakan: eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan,
dan kepatuhan:
a. Kepatuhan (Compliance); Pemantauan bermanfaat untuk
menentukan apakah tindakan dari para administrator
program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan standar dan
prosedur yang dibuat.
b. Pemeriksaaan (Auditing); Pemantauan membantu
menentukan apakah sumber daya dan palayanan yang
dimaksudkan untuk kelompok sasaran tertentu telah
sampai kepada mereka.
c. Akuntansi; Monitoring menghasilkan informasi yang
bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan
sosial dan ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya
sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
d. Eksplanasi; Pemantauan juga menghimpun informasi
yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan
publik dan program berbeda.
5. Mengevaluasi Kinerja Kebijakan
Firman dan Martin (1984) mengemukakan bahwa evaluasi
adalah
suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara
obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan
sebelumnya, hasil-hasil evaluasi dimaksud akan menjadi umpan
balik untuk perencanaan kembali. Selanjutnya Dunn (2000:608)
menulis bahwa istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan,
masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai
terhadap hasil kebijakan atau program. Secara umum istilah
evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),
pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment), kata-kata
yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan
dalam arti satuan nilainya. Dunn (2000:609) mengemukakan
juga bahwa evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam
analisis kebijakan yaitu :
a. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah
tercapai.
b. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan dan
target.
c. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-
metode kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah
dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya
kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada
perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat
pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang
baru atau revisi kebijakan dengan penunjukan behwa
alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu
dihapus dan diganti dengan yang lain.
KLP 6
(MENGANALISIS METODE IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN DIBIDANG PERUMAHSAKITAN)

1. Proses Pengkajian Kebijakan


Metodologi dalam hal ini adalah system standar, aturan, dan
prosedur untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-
elemen dari berbagai disiplin: Ilmu politik, sosiologi, psikologi,
ekonomi, filsafat. Analisis kebijakan sebagian bersifat deskriptif, diambil
dari
disiplin-disiplin tradisional (misalnya, ilmu politik) yang mencari
pengetahuan
tentang sebab dan akibat dari kebijakan-kebijakan public. Namun analisis
kebijakan
juga bersifat normative; tujuan lainnya adalah menciptakan dan
melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan public
untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
2. Prosedur Analisis Kebijakan
Dalam mendekati analisis kebijakan sebagai proses pengkajian
(inquiry), kita perlu membedakan antara metodologi, metode, dan teknik.
Seperti diketahui, metodologi analisis kebijakan menggabungkan standar,
aturan, dan prosedur. Tetapi standard an aturanlah yang menuntun seleksi
dan penggunaan prosedur dan penilaian kritis terhadap hasilnya. Jadi
prosedur merupakan subordinat dari standar plausibilitas dan relevansi
kebijakan, dan terhadap tuntutan umum atau aturan mutiplisme kritis;
peranan prosedur adalah untuk menghasilkan informasi mengenai masalah
kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan
kinerja kebijakan. Prosedur sendiri tidak menghasilkan pengetahuan yang
relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan
lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah
manusia: definisi, dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan prosedur-
prosedur tersebut memperoleh nama-nama khusus. Perumusan masalah
(definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan
informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan
alternative kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi
(preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relative
dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi
sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternative kebijakan.
Evaluasi, yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai
dalam bahasa seharihari, menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.
Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut disajikan sebagai oval gelap
dalam gambar berikut.

Kelima prosedur analisis kebijakan yang ditunjukkan dalam


gambar diatas berguna sebagai alat untuk menggambarkan keterkaitan
antara metode-metode dan teknikteknis analisis kebijakan. Metode
analisis kebijakan adalah prosedur umum untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan dalam
berbagai konteks. Misalnya dalam bidang peramalan, prosedur umum
bervariasi sejak peramalan berdasarkan keputusan ahli (metode Delphi)
sampai metode berdasarkan analisis multivariate (model kausal) dan
ekstrapolasi deret berkala historis (analisis deret berkala atau time
series). Setiap metode tersebut didukung oleh sejumlah teknik, yaitu
prosedur yang relative khusus yang digunakan oleh bersama-sama dengan
metode-metode tertentu untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang
lebih sempit. Ringkasnya, kelima prosedur analisis kebijakan didukung
oleh berbagai metode dan teknik yang berguna untuk meghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan.
3. Proses Pembuatan Kebijakan
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual
yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan
dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung
yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan
(Tabel 1-1). Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan
dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses
pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi klien
yang dibantunya.
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis
menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung
yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap
berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan
tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam
lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat
membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara
langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap,
yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap
berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis
kebijakan, seperti ditunjukkan dalam segi empat (tahaptahap pembuatan
kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam
gambar 1-2 dibawah. Terdapat sejumlah cara dimana penerapan
analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan
kinerjanya.
4. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari
definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui
penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat
membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis
penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan,
memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang
peluang-peluang kebijakan yang baru.
5. Peramalan
Permalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang
sebagai akibat dari diambilnya alternative, termasuk tidak melakukan
sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat
menguji masa depan yang plausible, potensial, dan secara normative
bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang
diusulkan, mengenai kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian
tujuan dan mengestimasi kelayakan public (dukungan dan oposisi) dari
berbagai pilihan.
6. Rekomendasi
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternative yang
akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini
membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.
Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian,
mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam
pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administrative
bagi implementasi kebijakan.
7. Pemantauan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya.
Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan.
Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan
dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang kesehatan,
pendidikan, perumahan, kesejahteraan, kriminalitas, dan ilmu dan
teknologi.Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan
akibatakibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program,
mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan
letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.
8. Evaluasi
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang
diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu
pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses
pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan
mengenai seberapa jauh masalah telah diselesaikan; tetapi juga
menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah.

Dari gambar tersebut dipahami bahwa proses formulasi kebijakan


public berada dalam system politik dengan mengandalkan pada masukan
(input) yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton
inilah yang dikembangkan oleh para akademisi di bidang kebijakan public,
seperti Anderson, Dunn, Patton &Savicky, dan Effendy.
KLP 7
(KESEIMBANGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN
DAN EFISIENSI SERTA AKSES TERHADAP
PELAYANAN KESEHATAN)
1. Batasan Implementasi Kebijakan
Implementasi telah didefinisikan sebagai „apa yang terjadi antara
harapanharapan kebijakan dan hasil kebijakan (yang dirasakan)‟ (DeLeon,
1999). Hingga tahun 1970-an, para ilmuwan kebijakan cenderung
memfokuskan perhatiannya pada seting agenda, formulasi kebijakan dan
„tahapan-tahapan‟ pembuatan keputusan kebijakan dari proses kebijakan.
Meskipun „tahapan‟ yang formal jauh dari realita yang kacau dari sebagian
besar proses kebijakan, namun „tahapan‟ ini tetaplah suatu alat yang
sangat berguna untuk membantu mencermati kegiatankegiatan dan para
aktor yang berbeda-beda. Perubahan yang mengikuti keputusan
kebijakan relatif telah diabaikan. Namun, menjadi semakin jelas
bahwa dalam prakteknya, banyak kebijakankebijakan publik tidak berjalan
dengan semestinya dan juga tidak sesuai harapan para pendukungnya.
A. Metode Teoritis Awal dari Implementasi Kebijakan
a. Pendekatan ‘top down’
Pendekatan „top-down‟ untuk memahami
implementasi kebijakan berkaitan erat dengan model rasional
dari seluruh proses kebijakan, yang melihatnya sebagai
suatu urutan kegiatan yang linier di mana ada suatu
pembagian yang jelas antara formulasi kebijakan dan
eksekusi kebijakan.Formulasi kebijakan dilihat sebagai politik
yang ekplisit dan eksekusi kebijakan dilihat sebagai kegiatan
teknis, administratif dan manajerial yang besar. Kebijakan-
kebijakan yang disusun di tingkat nasional atau internasional
harus dikomunikasikan hingga tingkat bawah (contohnya
otoritas kesehatan, rumah sakit, klinik) yang kemudian diisi
dengan mempraktekkannya.
Para pendukung teori „top-down‟ kemudian
mengembangkan enam kondisi yang diperlukan untuk
implementasi kebijakan yang efektif (Sabatier dan Mazmanian,
1979), mengindikasikan bahwa jika kondisi-kondisi ini
dicapai, kebijakan seharusnya diimplementasikan
sebagaimana yang dimaksudkan:
1. Tujuan-tujuan yang konsisten secara logis dan jelas
2. Teori kausal yang memadai (yaitu teori yang valid
tentang bagaimana tindakan-tindakan khusus akan
menghasilkan keluaran-keluaran yang diharapkan)
3. Suatu proses implementasi terstruktur untuk
meningkatkan kepatuhan oleh para pelaku (misalnya,
insentif dan sanksi yang tepat untuk mempengarui tingkat
bawah dengan cara yang sesuai dengan yang
dipersyaratkan)
4. Pegawai yang mengimplementasikan harus
berkomitmen dan terampil
5. Dukungan dari interest groups dan parlemen
6. Tidak ada perubahan kondisi sosio-ekonomi yang
merusak dukungan politik atau teori kausal yang
mendasari kebijakan.
b. Pendekatan ‘bottom up”
Pandangan „bottom-up’ terhadap proses implementasi
adalah bahwa para pengimplementasi sering memainkan
sebuah fungsi yang penting dalam implementasi, tidak sekadar
sebagai manager kebijakan yang diperintahkan dari atas,
tetapi berpartisipasi aktif dalam suatu proses kompleks
yang memberikan informasi ke tingkat yang lebih tinggi dalam
sistem, dan bahwa kebijakan seharusnya dibuat oleh para
pembuat kebijakan dengan
pengetahuan ini. Bahkan dalam sistem yang sangat
tersentral, beberapa kekuasaan biasanya diberikan pada agen-
agen dan staf tingkat bawah. Sebagai hasilnya, para
pengimplementasi mungkin mengubah cara suatu kebijakan
diimplementasikan dan bahkan dalam proses, tujuan
kebijakan didefinisi ulang.
Pengetahuan dari perspektif „bottom-up‟ pada
implementasi kebijakan juga telah mengarahkan berbagai
studi dalam sistem layanan kesehatan dengan cara di mana
hubungan antara pusat, provinsi dan agen-agen lokal
mempunyai pengaruh atas kebijakan. Kemampuan pusat
untuk mengontrol tingkat yang lebih rendah dari sistem
sangat bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor seperti
dari manakah biaya-biaya yang ada datang dan siapa
yang mengontrolnya (contohnya, keseimbangan antara
sumber-sumber pembiayaan pusat dan lokal), legislasi
(misalnya tingkat otoritas yang bertanggung jawab untuk
tugas-tugas tersebut), aturan operasional dan kemampuan
pemerintah untuk menegakkannya (misalnya, melalui
penilaian performa, audit, insentif dan lain-lain).
Cara Pemahaman Implementasi Kebijakan Yang Lain: di luar
pendekatan
‘top-down’ dan ‘bottom-up’
a. Principle Agent Theory
Dari perspektif principle-agent, implementasi kebijakan
yang kurang optimal adalah sebuah hasil yang pasti terjadi
dari struktur institusi pemerintah modern di mana para
pembuat keputusan („principals’) harus mendelegasikan
tanggung jawab implementasi kebijakan mereka kepada
pegawai mereka (misalnya, pegawai negeri sipil dalam
departemen kesehatan) dan agen-agen lain (misalnya
manager, dokter dan perawat dalam sektor kesehatan atau
kontraktor swasta) yang hanya mereka kontrol secara tidak
langsung dan tidak penuh sehingga sulit dimonitor. „Agen-
agen‟ ini mempunyai keleluasaan dalam beroperasi atas
nama „principals’ politik dan bahkan mungkin tidak melihat diri
mereka sendiri sebagai bagian yang terlibat dalam pembuatan
sebuah realita yang sesuai dengan harapan „principals’.
Contohnya, dokter yang bekerja untuk pemerintah
cenderung melihat diri mereka sendiri sebagai anggota dari
profesi medis daripada sebagai pegawai negeri sipil.
Rentang keleluasaan dan kompleksitas dari hubungan
principal-agentpada gilirannya dipengaruhi oleh:
a) Sifat dari permasalahan kebijakan-menonjolkan
sifat-sifat seperti makro versus sektoral atau mikro (yaitu
skala perubahan yang dipersyaratkan dan ukuran
kelompok yang dipengaruhi), sederhana versus
kompleks, masalah yang kurang jelas versus masalah
yang jelas, banyak sebab versus sebab tunggal,
sensitivitas politik yang tinggi versus netralitas politik,
memerlukan periode yang pendek atau panjang
sebelum perubahan muncul, murah versus mahal.
b) Konteks atau keadaan di sekitar permasalahan -
contohnya, situasi politik, apakah ekonomi tumbuh atau
tidak, ketersediaan sumber daya dan perubahan
teknologi.
c) Organisasi mekanisme yang diperlukan untuk
mengimplementasikan kebijakan - hal ini termasuk
sejumlah agen-agen formal dan non formal yang
terlibat dalam membuat perubahan yang dikehendaki
dan keterampilan dan sumber daya yang harus dibawa
untuk diemban.

Ke Arah Mana Suatu Sintetis dari Perspektif ‘Top-down’ dan ‘Bottom-


up’?

Linder dan Peters (1989) mengidentifikasi faktor-faktor


berikut yang memainkan peranan penting dalam membentuk pilihan
implementasi kebijakan pemerintah:

a) Ciri-ciri dari instrumen kebijakan. Beberapa instrumen secara


instrinsik lebih sulit secara teknis dan politis untuk
digunakan. Instrument-instrumen ini berubah-ubah sedikitnya
dalam empat dimensi: keintensifan sumber daya; penentuan
sasaran; resiko politik; dan tingkat keterdesakkan. Ripley
dan Franklin (1982) menyarankan bahwa kebijakan-kebijakan
distributif (yaitu, pengalokasian dana publik untuk kelompok-
kelompok yang berbeda) memiliki kecenderungan relatif lebih
mudah untuk diimplementasikan; kebijakan dalam pengaturan.

b) Gaya kebijakan dan kultur politik. Di negara yang


berbeda dan bidang kebijakan yang berbeda, para
partisipan dan public terbiasa dengan tingkat kontrol
pemerintah dan/ atau provision yang berbeda-beda.
Kebijakankebijakan yang berangkat dari tradisi-tradisi ini
akan lebih sulit diimplementasikan.

c) Kultur organisasi. Pengalaman yang lalu dan cara dalam


mengoperas ikan sesuatu dari organisasi yang
mengimplementasikan, berkaitan dengan poin 2.

d) Konteks permasalahan-pemilihan waktu (misalnya


kaitannya dengan bagaimana pencapaian ekonomi), berbagai
macam actor yang terlibat, kemungkinan reaksi publik dan
lain-lain.

e) Preferensi subjektif dari pembuat keputusan administrative


berdasarkan pada latar belakang, afiliasi profesional, pelatihan,
gaya kognitif dan lain-lain.

Faktor-faktor ini menyoroti dua set variabel umum


yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu, tingkat
kapasitas pemerintah dan dengan demikian kemampuannya
untuk melakukan intervensi, dan kompleksitas dari bidang
kebijakan terkait yang akan dipengaruhi. Usaha-usaha untuk
rekonsiliasi pendekatan „top-down’ dan ‘bottom-up’ telah
terfokus pada saling mempengaruhi antara kedua set variabel.
Secara kasar, teori „top-down’ berfokus pada kapasitas
pemerintah, sebaliknya, teori „bottom-up’ berfokus pada
kompleksitas sub-system.

Sub-sistem Kebijakan atau Kerangka Kerja Koalisi Advokasi

Kerangka kerja Sabatier adalah pendekatan umum untuk


memahami proses kebijakan karena pendekatan ini menolak ide yang
memisahkan”implementasi”dari bagian-bagian yang lain sebagai suatu yang
tidak realistis dan salah arah. Sabatier menyatakan bahwa norma dan
kepercayaan yang fundamental (atau „inti‟) dari sebuah koalisi advokasi
relative jarang berubah dan membahas perubahan-perubahan besar dalam
lingkungan eksternal seperti pergeseran kondisi makro-ekonomi atau
pergantian dari rezim politik. Sebaliknya, perubahan-perubahan kebijakan
yang kurang fundamental namun „normal‟ terjadi sebagai sebuah hasil dari
pembelajaran yang berorientasi kebijakan yang berinteraksi antara koalisi
advokasi dalam sub-sistem kebijakan. Elemen terakhir dalam Model
Sabatier adalah untuk mengidentifikasi keberadaan dari „Broker
Kebijakan‟ atau „policy brokers’, yaitu aktor yang memperhatikan dalam
kompromi antara posisi yang didukung oleh keberagaman koalisi.

Ada sejumlah pendekatan yang berbeda untuk memahami


implementasi yang lebih penting daripada perbedaan antara pendekatan
‘top-down’ dan ‘bottom-up’. Melalui konsep „koalisi advokasi‟, model Sabatier
mempunyai nilai lebih dengan menyoroti kemungkinan bahwa banyaknya
konflik yang penting dalam kebijakan melintasi pemisahan simplistik
antara pembuat kebijakan dan mereka yang secara formal terbebani
untuk mengimplementasikannya. Sebagai sebuah generalisasi yang luas,
dalam berbagai macam sub-sistem kebijakan kesehatan, kebanyakan
pemerintah bersifat ambisius (mereka ingin membuat dampak yang
signifikan), tetapi sub-sistem yang ada bersifat kompleks dan pemerintah
mempunyai kapasitas terbatas dalam mengontrol secara langsung atas
banyak aktor kunci, contohnya, mereka sangat tergantung pada
berbagai organisasi profesi yang sangat berpengaruh. Hal ini menunjukkan
bahwa persuasi dan tawar-menawar akan sering menjadi sebuah bagian
penting dalam strategi implementasi. Untuk mensintesis saran-saran ini,
Walt (1998) menyusun sebuah strategi perencanaan dan pengelolaan
mplementasi perubahan dalam sektor kesehatan pada tabel di bawah ini.
1) Health care policy and value based competition
Sektor kesehatan merupakan bagian penting
perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat
menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons –
menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai
banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang lain
mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit
perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang
technologi biomedis atau produksi dan penjualan obat-obatan,
atau dengan menjamin adanya populasi yang sehat yang
produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat
mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien atau
pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau
apotik; atau sebagai profesi kesehatan–perawat, dokter,
tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer.
Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan
hal kematian dan keselamatan, kesehatan diletakkan dalam
kedudukan yang lebih istimewa disbanding dengan masalah
sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi sejumlah keputusan yang
tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan: kemiskinan
mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama halnya dengan
polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan
kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi
kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan,
mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat
yang dapat dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut,
perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan
kesehatan.

Pengertian Kebijakan Kesehatan

Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang


dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan
tertentu – bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan atau perdagangan.
Orang-orang yang menyusun kebijakan disebut dengan pembuat kebijakan.
Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan – pemerintah pusat atau
daerah, perusahan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit.
Kebijakan disusun disektor swasta dan pemerintah. Di sektor swasta,
konglomerat multi nasional dapat menyusun kebijakan bagi semua anak
perusahaannya diseluruh dunia, tetapi memberi kesempatan kepada anak
perusahaan di daerah untuk memutuskan kebijakan mereka sendiri
dengan sejumlah syarat.

Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa


kebijakan umum adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan
oleh pemerintah tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal
bahwa segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan
tertentu.

Segitiga Kebijakan Kesehatan

Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang


sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks,
dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke-empat faktor dapat
dipertimbangkan secara terpisah. Tidak demikian seharusnya! Pada
kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu
atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks
dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti: ketidak-stabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya;
serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana isu dapat menjadi
suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga –
dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam strutur kekuatan,
norma dan harapan mereka sendiri.
Para Pelaku Penyusun Kebijakan

Seperti yang pembaca lihat dalam Gambar 1.1., pelaku berada


ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku dapat digunakan untuk
menunjuk individu (seorang negarawan – Nelson Mandela, mantan Presiden
Afrika Selatan, misal), organisasi seperti World bank atau perusahaan multi-
nasional seperti Shell, atau bahkan suatu Negara atau pemerintahan.
Namun, penting untuk dipahami bahwa itu semua adalah penyederhanaan.
Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi dimana mereka bekerja dan
setiap organisasi atau kelompok dibangun dari sejumlah orang yang
berbeda, yang tidak semuanya menyuarakan hal yang sama, yang
masingmasing memiliki norma dan kepercayan yang berbeda.

Para pelaku ini berusaha untuk mempengaruhi proses politik


ditingkat lokal, nasional, atau internasional. Seringkali merekamerupakan
bagian jaringan yang sering disebut sebagai partner, untuk
mengkonsultasikan dan memutuskan kebijakan diseluruh tingkatan ini. Di
tingkat lokal, sebagai contoh, pekerja kesehatan masyarakat dapat
bekerja dengan pegawai lingkungan, guru sekolah setempat, dan bahkan
perusahaan setempat. Dalam sisi spektrum yang lain, para pelaku ini dapat
pula dihubungkan dengan pelaku lain antar daerah, sebagai contoh,
mereka bisa menjadi anggota jaringan kerja antar pemerintahan (yakni:
pejabat pemerintahan dalam satu departemen dari pemerintahan suatu
negara, mengambil pelajaran dari pilihanpilihan yang diambil oleh pejabat
pemerintahan dari satu negara yang lain); atau mereka bisa saja menjadi
bagian dari komunitas kebijakan – jaringan professional yang saling bertemu
dalam forum ilmiah atau bekerja sama dalam proyek penelitian.

Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku tersebut


dalam proses kebijakan berarti pula memahami konsep kekuasaan, dan
bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku mungkin
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai dimana pengaruh
tersebut tergantung pada bagaimana mereka memandang kekuasaan
tersebut. Kekuasaan dapat dikategorikan berdasarkan kekayaan pribadi,
kepribadian, tingkat atau akses kepada ilmu pengetahuan, atau
kewenangan, tetapi hal tersebut sangat berhubungan dengan organisasi
dan struktur (termasuk jaringan kerja) dimana para pelaku individu ini
bekerja dan tinggal.

Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan

Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan


social, national dan internasional – yang mungkin memiliki pengaruh
pada kebijakan kesehatan. Banyak cara untuk mengelompokkan fakto-
faktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup
bermanfaat:

a) Faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen atau


khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: perang,
kekeringan).

b) Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang


relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula
keterbukaan tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan;
faktor struktural meliputi pula jenis ekonomi dan dasar untuk tenaga
kerja.

c) Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam


dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk
bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior.
Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat
menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak
memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.

d) Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan


meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi
kemandirian dan internasional dalam kesehatan

Untuk memahami bagaimana kebijakan kesehatan berubah,


atau tidak, mempunyai arti kemampuan untuk mengkaji kontek
dimana kebijakan tersebut dibuat, dan mencoba menilai sejauh
mana jenis-jenis faktor tersebut mempengaruhi kebijakan yang
dihasilkan.
Proses Penyusunan Kebijakan

Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai,


dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan
dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk
memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang
disebut „tahapan heuristiks‟ (Sabatier dan Jenkins-Smith 1993). Yang
dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian
tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan
apa yang sebenarnya terjadi didunia nyata.

Anda mungkin juga menyukai