Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Pada zaman sekarang kondisi nyata yang terjadi adalah tidak adanya rencana
kerja yang dirangkai dengan baik dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, maka
dibutuhkan adanya suatu kebijakan yang mengatur perilaku untuk mencapai sebuah
tujuan dan menciptakan tata nilai baru yang harus dilaksamakan oleh objeknya.
Kebijakan merupakan rencana kerja yang telah dirangkai dengan baik dan
dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan.

Istilah kebijakan juga mempunyai makna dan struktur yang berbeda dengan
hukum (law). Secara garis besar letak perbedaan antara kebijakan dan hukum terletak
pada siapa yang membuat dan ruang lingkupnya. Hukum hanya dibuat oleh
pemerintah sehingga ruang lingkupnya mencakup masyarakat luas dan bersifat baku.
Kebijakan dibuat oleh organisasi, perusahaan, atau pemerintah, namun ruang
lingkupnya hanya mencakup sasaran tertentu saja dan bisa berbeda antarwilayah.

Sebagai calon sarjana kesehatan, Kebijakan merupakan dasar kompetensi


yang harus kita miliki utamanya kebijakan dalam hal kesehatan., maka dari itu kita
sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat wajib untuk dapat memahami
kebijakan khususnya kesehatan. Sehingga kita dapat
mengimplementasikannya kepada masyarakat.

Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang


pengertian kebijakan, sifat dan ciri kebijakan, jenis dan contoh
kebijakan di bidang kesehatan, berbagai kebijakan lingkup
puskesmas, berbagai kebijakan lingkup rumah sakit, berbagai

1
kebijakan lingkup kesehatan serta kebijakan lingkup sumber daya
manusia kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apakah pengertian dari kebijakan ?
1.2.2 Bagaimanakah sifat dan ciri dari suatu kebijakan ?
1.2.3 Apa sajakah jenis dan contoh dari suatu kebijakan di bidang kesehatan ?
1.2.4 Bagaimanakah kebijakan dalam lingkup puskesmas ?
1.2.5 Bagaimanakah kebijakan dalam lingkup rumah sakit ?
1.2.6 Bagaimanakah kebijakan dalam lingkup kesehatan ?
1.2.7 Bagaimanakah kebijakan dalam lingkup sumber daya manusiakesehatan ?

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Administrasi Kebijakan Kesehatan mengenai Kebijakan dalam Bidang Kesehatan
serta untuk menambah wawasan mengenai berbagai unsur yang terdapat di dalamnya

1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah wawasan mengenai pengertian kebijakan
1.4.2 Menambah wawasan mengenai sifat dan ciri dari suatu kebijakan
1.4.3 Menambah wawasan mengenai jenis dan contoh dari suatu kebijakan di
bidang kesehatan
1.4.4 Mengetahui berbagai kebijakan dalam lingkup puskesmas
1.4.5 Mengetahui berbagai kebijakan dalam lingkup rumah sakit
1.4.6 Mengetahui berbagai kebijakan dalam lingkup kesehatan
1.4.7 Mengetahui berbagai kebijakan dalam lingkup sumber daya manusia
kesehatan

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi


dan bersifat mengikat. Kebijakan mengatur perilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat dan wajib dilaksanakan oleh obyeknya.
Menurut Jones (1977:4) kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan tertentu.

Berdasarkan kutipan di atas, kebijakan merupakan rencana kerja yang telah


dirangkai dengan baik dan dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan. Istilah
kebijakan (policy) mempunyai makna yang berbeda dengan kebijaksanaan (wisdom).
Istilah kebijaksanaan (wisdom) adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang,
sedangkan kebijakan (policy) merupakan aturan tertulis hasil keputusan formal suatu
organisasi. Istilah kebijakan juga mempunyai makna dan struktur yang berbeda
dengan hukum (law).
Secara garis besar letak perbedaan antara kebijakan dan hukum terletak pada
siapa yang membuat dan ruang lingkupnya. Hukum hanya dibuat oleh pemerintah
sehingga ruang lingkupnya mencakup masyarakat luas dan bersifat baku. Kebijakan
dibuat oleh organisasi, perusahaan, atau pemerintah, namun ruang lingkupnya hanya
mencakup sasaran tertentu saja dan bisa berbeda antarwilayah.
Struktur kebijakan dibedakan atas lima hal, yaitu pembuatnya, kontennya,
sasarannya, kontek kaitannya dengan faktor atau keadaan lain yang berpengaruh,
serta tujuan dan dampak. Kebijakan akan berfungsi efektif jika didukung adanya
instrumen kebijakan (policy instruments). Instrumen kebijakan merupakan beberapa
tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan kebijakan, meliputi:
1. Piranti hukum (legal devices), menyangkut aspek legal (hukum) yang
mendukung dan melandasi kebijakan.
2. Tatanan kelembagaan (institutional setting), berkaitan dengan struktur lembaga
yang terlibat, fungsi, dan pengorganisasiannya.
3. Mekanisme operasional (operational mechanism), yaitu berkaitan dengan
metode dan prosedur serta proses pelaksanaan dalam implementasi praktis,

3
selain itu yang juga penting dipertimbangkan adalah tatanan sosial (social
arrangement) masyarakat bagi konteks kebijakan tersebut.

2.2 Sifat Kebijakan

Kebijakan memiliki beberapa sifat utama yang mendasari isi dan tujuannya,
yaitu:
1. Kebijakan bersifat regulatif (mengatur)
Kebijakan dapat membatasi sekelompok individu dan lembaga atau sebaliknya
memaksa melakukan suatu perilaku tertentu. Kebijakan regulasi akan berhasil
dijalankan jika perilaku mendukung terus menerus dipantau dan dimotivasi.
Contoh kebijakan yang bersifat regulatif dalam ruang lingkup kesehatan
diantaranya adalah UU Nomor 44 Tahun 2009. Beberapa pasal dalam UU
tersebut mengatur tentang syarat mendirikan rumah sakit baru.
2. Kebijakan bersifat protektif (melindungi)
Kebijakan bersifat protektif dibuat dengan tujuan untuk melindungi masyarakat
dengan mengatur hal yang diperbolehkan dan dilarang dilakukan oleh sektor
swasta, begitu juga sebaliknya. Semua aktivitas yang dapat merugikan serta
membahayakan masyakarat dalam berbagai bidang tidak akan diijinkan untuk
diterapkan oleh sektor swasta dan sebaliknya. Contoh kebijakan protektif dalam
lingkup kesehatan adalah UU Nomor 44 Tahun 2009 yang di dalamnya terdapat
pasal perlindungan terhadap pasien serta pegawai rumah sakit.
3. Kebijakan bersifat distibutif
Kebijakan distributif menyebarluaskan segala informasi, sumber daya, dan
aturan yang bersifat baru kepada pihak yang terkait. Kebijakan distributif dibuat
oleh pemerintah, bertujuan mendorong kegiatan di sektor publik dan swasta yang
membutuhkan intervensi. Intervensi bisa dalam bentuk subsidi, bantuan, atau
sejenisnya dimana kegiatan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya campur
tangan pemerintah. Masalah dalam pembuatannya adalah anggapan antara
beberapa kebijakan distributif tidak berhubungan, padahal anggaran pemerintah
terbatas, sehingga pembuatan sebuah kebijakan distributif akan berimplikasi
pada hilangnya yang lain.
4. Kebijakan bersifat re-distributif

4
Kebijakan re-distributif berasal dari kebijakan distributif sebelumnya yang telah
mengalami pembenaran dan perubahan. Kebijakan re-distributif merupakan
kebijakan yang dibuat untuk dapat meredistribusikan kekayaan, hak
kepemilikan, dan berbagai nilai lain diantara berbagai tingkat sosial masyarakat.
Tujuan kebijakan re-distributif adalah untuk mencegah ketimpangan sosial
ekonomi yang semakin lebar pada masyarakat.

2.3 Ciri Kebijakan

Setiap hal tentunya mempunyai karakteristik dan ciri tertentu yang


membedakannya dengan yang lain. Kebijakan tentunya juga memiliki beberapa
karakterisrik dan ciri utama pula. Karakteristik dan ciri utama dari suatu kebijakan
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan harus memiliki tujuan
Tujuan tersebut didesain untuk dicapai dan dipahami oleh semua anggota
organisasi serta obyek sasaran kebijakan. Tujuan harus ditetapkan dari awal dan
dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), bukan hanya
sebagai tujuan yang diinginkan saja. Kebijakan tentu mempunyai hambatan
tetapi harus dicari solusi untuk mengatasinya dan mewujudkan tujuan yang
diinginkan. Berdasarkan tujuan utamanya, maka terdapat enam kelompok
tindakan kebijakan (policy actions) yang paling mendasar, yaitu:
a. Regulasi (regulation)
Tujuan utamanya adalah membuat ketentuan, aturan, dan batasan tertentu.
b. Deregulasi (deregulation)
Tujuan utamanya adalah membuat penghapusan atau pelonggaran ketentuan
dan batasan.
c. Insentif (reward)
Tujuan utamanya adalah merangsang, mendorong, dan mempercepat proses
atau pencapaian hal tertentu dengan memberikan suatu bentuk rangsangan
serta imbalan.
d. Penyediaan infrastruktur (infrastructure provisions)
Tujuan utamanya adalah menyediakan hal yang biasanya bersifat
infrastruktural dan barang publik (public goods).
e. Informasi atau pedoman (information or guidance)

5
Tujuan utamanya adalah memberikan dan menyampaikan informasi serta
berfungsi sebagai pedoman spesifik.
f. Pengaruh (influence)
Tujuan utamanya adalah mempengaruhi dan mendorong terjadinya perubahan
serta membantu proses perubahan pada pihak tertentu.
2. Kebijakan harus melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat
Partisipasi diartikan sebagai proses keterlibatan dalam pengambilan keputusan,
perumusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan. Dengan
partisipasi masyarakat, diharapkan kebijakan atau peraturan yang disusun akan
lebih sesuai dengan kenyataan dan memenuhi setiap harapan. Masyarakat juga
cenderung lebih patuh pada kebijakan yang penyusunannya melibatkan mereka
secara aktif.
3. Kebijakan terstruktur dan tersusun menurut hukum dan Undang-Undang
Semua tindakan atau kebijakan dari pemerintah atau organisasi privat harus
dilandasi oleh hukum dan undang-undang yang berlaku. Setiap pembuatan
kebijakan tidak boleh melanggar hukum dan undang-undang yang telah ada.
Dengan kata lain, kebijakan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum
dan undang-undang yang berlaku.
4. Kebijakan akan menghasilkan dampak (outcome)
Setiap proses pembuatan kebijakan harus mengkaji terlebih dahulu apakah akan
memberikan dampak yang baik atau buruk bagi masyarakat. Suatu kebijakan
yang dibuat tidak boleh bertentangan apalagi sampai merugikan masyarakat.
Jenis kebijakan berdasarkan pengaruh atau dampak yang ingin ditimbulkannya
meliputi:
a. Kebijakan eksplisit (explicit policy)
Kebijakan eksplisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
dampak secara langsung pada obyek sasaran kebijakan.
b. Kebijakan implisit (implicit policy)
Kebijakan implisit adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
dampak secara tidak langsung pada obyek sasaran kebijakan.

2.4 Jenis Kebijakan di Bidang Kesehatan

6
Kebijakan dalam bidang kesehatan adalah salah satu bentuk kebijakan publik.
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh pemegang otorits publik, mereka
yang memegang mandat dari publik atau orang banyak melalui suatu proses
pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat, dalam hal ini adalah pemerintah.
Kebijakan publik ini adalah bentuk intervensi pemerintah dalam pemanfataan
strategis sumber daya dan pemecahan masalah - masalah publik, sebagai proses
managerial rangkaian kerja pejabat publik dalam membuat dan menerapkan sebuah
kebijakan, sehingga kebijakan publik ini berfungsi sebagai proses pengambilan
keputusan (Decision making) menyangkut yang dilakukan maupun yang tidak
dilakukan pemerintah dalam kekuasaannya dan penangannan masalah - masalah
publik.

Jenis kebijakan dalam bidang kesehatan pada dasarnya sama dengan jenis
kebijakan publik yang mendasar. Jenis kebijakan ini terdiri dari 3 jenis, yaitu :
1. Good Policy/Good Politics
Kebijakan publik dibuat oleh pembuat kebijakan publik yang akan membuat
suatu penyelesaian terhadap suatu masalah tertentu yang bersifat publik pula.
Pada kategori jenis ini suatu kebijakan yang dihasilkan harus dipercaya oleh
semua anggota kelompok bahwa kebijakan tersebutakan menghasilkan hasil
yang bagus dang sangat sesuai (Good Policy). Disamping dipercaya, tidak akan
muncul kritikan - kritikan, komentar negatif, dan lain sebagainya yang kontra
tentang kebijakan tersebut.
2. Good Policy/Bad Politics
Pada kategori jenis ini tidak semua anggota pembuat kebijakan percaya pada
kebijakan tersebut, artinya ada sebagian kecil anggota pembuat kebijakan yang
tidak menyetujui bahwa kebijakan tersebut akan berjalan dengan baik dan
sesuai. sehingga akibatnya akan muncul beberapa kritikan dan pendapat negatif
tentang kebijakan tersebut.
3. Bad Policy/Good Politics
Kebijakan pada jenis ini yang terjadi adalah kebijakan yang dihasilkan tidak
dipercaya oleh seluruh anggota pembuat kebijakan publik akan membawa hasil
yang baik, namun tidak ada kritikan atau komentar negatif yang muncul akibat

7
kebijakan tersebut jadi dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut masih dalam
situasi good politics.

Kebijakan kesehatan secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Kebijakan kesehatan berdasarkan isi kebijakan.


Berdasarkan hal ini dibedakan menjadi tiga, yaitu
a. Kebijakan yang Bersifat Strategik
Kebijakan yang bersifat stategik adalah kebijakan yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat, bersifat fundamental, dan berlaku dalam jangka panjang.
Contohnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2004
tentang Jamkesmas. Sifat dari kebijakan strategik ini adalah protektif,
artinya melindungi kepentingan dan keinginan publik maupun privat.
b. Kebijakan yang Bersifat Manajerial
Kebijakan yang bersifat manajerial adalah kebijakan yang didapat melalui
Peraturan Menteri Kesehatan. Contohnya adalah Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 tentang
Kualifikasi dan Standar Kompetensi Pejabat Struktural Dinkes, RS,
Puskesmas, dan UPT/UPTD. Kebijakan manajerial bersifat regulatif, artinya
kebijakan itu dirancang untuk mengatur aktivitas berbagai pihak (publik
maupun privat).
c. Kebijakan yang Bersifat Teknis Program
Kebijakan yang bersifat teknis program merupakan kebijakan operasional
atau pelaksanaannya dalam kesehatan. Contohnya adalah Keputusan
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.03.05/I/680/2011 tentang Penerima Dana
Tahap Pertama Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat dan
Jaminan Persalinan di Pelayanan Dasar untuk Setiap Kabupaten atau Kota
Tahun Anggaran 2011. Kebijakan teknis program bersifat distributif, dimana
kebijakan itu menyebarluaskan segala informasi, sumber daya, dan aturan.
Aturan yang berlaku dalam kebijakan teknis program bersifat baru kepada
pihak yang terkait pada kebijakan tersebut.
2. Kebijakan kesehatan berdasarkan level.

8
Berdasarkan hal ini dibedakan menjadi tiga yaitu :
a. Kebijakan Makro
Kebijakan makro adalah kebijakan yang mencakup kebijakan secara
keseluruhan sebagai jaringan keputusan. Kebijakan makro juga merupakan
kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh negara (nasional). Kebijakan
makro saling berhubungan untuk membentuk suatu strategi atau tujuan
tertentu. Contoh kebijakan makro adalah Undang-Undang RI Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Kebijakan Meso
Kebijakan meso merupakan kebijakan yang mencakup semua masalah
kesehatan pada tingkat regional. Kebijakan meso ini berfokus pada
kebijakan tertentu atau pada daerah. Contohnya adalah Kepmenkes RI
Nomor 971/Menkes/SK/XI/2009 tentang Kualifikasi dan Standar
Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas,
dan UPT/UPTD.
c. Kebijakan Mikro
Kebijakan mikro merupakan kebijakan yang mencakup pada satu organisasi
atau instansi tertentu. Kebijakan mikro biasanya mencakup aturan yang
ditetapkan oleh perusahaan, komunitas, dan organisasi tertentu. Kebijakan
mikro yang berlaku di suatu organisasi atau komunitas tertentu biasanya
tidak berpengaruh pada pihak lain di luar organisasi. Contoh dari kebijakan
mikro adalah Kebijakan Rumah Sakit dan Keputusan Bupati.
2.5 Contoh Kebijakan di Bidang Kesehatan
1. Peraturan Menteri Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan No.1231/MENKES/PER/XI/2007 tentang
Penugasan Khusus Sumber Daya Manusia Kesehatan
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI
Keputusan Menteri Kesehatan No.1235/MENKES/SK/XII/2007 tentang
Pemberian Insentif bagi SDMK yang Melaksanakan Penugasan Khusus
3. Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
a. Kepmenkes RI 450/MENKES/SK/IV/20)04 tentang pemberian ASI secara
eksklusif bagi bayi di Indonesia sejak lahir sampai usia 6 bulan dan
dianjurkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan
tambahan yang sesuai dan semua tenaga kesehatan yang bekerja disarana

9
kesehatan agar menginformasikan kepada semua ibu melahirkan agar
memberikan ASI eksklusif dengan mengacu pada 10 langkah keberhasilan
menyusui.
b. Rekomendasi tentang pemberian makan bayi pada situasi darurat.
1) Pernyataan bersama WHO, UNICEF dan IDAI,2005
2) Pedoman pemberian makanan pada bayi dan anak pada situasi darurat
bagi petuga kesehatan, Depkes 2007
3) Peraturan bersama Menteri Neara Pemberdayaan Wanita, Menteri
tenaga kerja dan transmigrasi dan Mneteri Kesehatan tentnag
pemberian ASI selama waktukerja di tempat kerja, 2008
4. Kebijakan Pembiayaan Kesehatan
Pasal 5 ayat 3 di dalam Undang - Undang No. 40 tentang Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional yang mengatur BPJS. Saat ini sedang disusun rancangan
UU BPJS
5. Kebijakan Pengendalian Tembakau
Telah dibuat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) untuk tempat umum di
berbagai daerah. untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan masih
menjadi pro dan kontrak hingga saat ini.
6. Kebijakan Insentif Pajak
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009pasal 30 huruf (h) terdapat kesempatan
untuk Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit publik untuk menerima
fasilitas intensif pajak.
2.6 Berbagai Kebijakan Lingkup Puskesmas
2.6.1 Pengertian Puskesmas
Pengertian Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten
atau kota, bertanggung jawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu
wilayah kerja (Departemen Kesehatan RI, 2004). Sebagai unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten atau kota, Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari
tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota. Puskesmas juga
merupakan unit pelaksana tingkat pertama, sebagai ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia. Ada tiga fungsi utama yang diemban Puskesmas dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan dasar (PKD) kepada seluruh target sasaran
masyarakat di wilayah kerjanya, yaitu:

10
1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
a. Berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya
agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
b. Aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat
Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan
masyarakat:
a. Memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat untuk hidup sehat.
b. Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk
pembiayaan.
c. Ikut menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau pelaksanaan program
kesehatan.
d. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
e. Merangsang masyarakat, termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan
dalam rangka menolong dirinya sendiri.
f. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali
dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (continue) yang mencakup:
a. Pelayanan kesehatan perorangan
b. Pelayanan kesehatan masyarakat
Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kabupaten atau kota adalah dinas kesehatan kabupaten atau
kota. Puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian dari upaya pembangunan
kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota sesuai dengan
kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu
kecamatan, tetapi dapat pula terdapat lebih dari satu Puskesmas. Tanggung jawab
wilayah kerja dibagi antar Puskesmas dan setiap Puskesmas tersebut secara
operasional bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten atau
kota.

11
Menurut Sistem Pemerintah Daerah, kedudukan Puskesmas adalah sebagai
unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang merupakan unit
struktural pemerintah daerah (Pemda) kabupaten atau kota. Puskesmas memiliki tiga
konsep, antara lain sistem, proses, dan output. Sistem meliputi fisik, perbekalan,
pembiayaan, dan metode, sedangkan proses mencakup program atau upaya yang
terdiri dari jenis dan kualitas, peran serta masyarakat, dan rujukan. Konsep
selanjutnya yaitu output yang meliputi jangkuan program dan kepuasaan pelanggan.

2.6.2 Sistem Kesehatan Nasional (SKN)


Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang di
dalam UUD 1945. SKN ini melibatkan seluruh upaya yang dimiliki bangsa Indonesia
dalam membangun kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat
terwujud. Sistem Kesehatan Nasional perlu untuk dilaksanakan secara keseluruhan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti pendidikan, pendapatan, politik,
hukum, keamanan, dan kemampuan tenaga kesehatan mengatasi masalah tersebut.

Sistem Kesehatan Nasional adalah pengelolaan kesehatan yang


diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
(Perpres 72/2012 Pasal 1 angka 2). SKN digunakan untuk mengantisipasi berbagai
tantangan perubahan pembangunan kesehatan. Dalam mengantisipasi berbagai
tantangan dan perubahan perlu mengacu terutama pada arah, dasar, dan strategi
pembangunan kesehatan. Arah, dasar, dan strategi pembangunan kesehatan terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Pembangunan kesehatan
diselenggarakan berdasarkan pada perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian,
adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat.

12
Landasan SKN meliputi:

1. Landasan Idiil, yaitu Pancasila.


2. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945
Pasal 28 A setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya;
Pasal 28 H ayat (1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
Pasal 28 H ayat (3), setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
Pasal 34 ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan;
Pasal 34 ayat (3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
Pasal 28 B ayat (2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang;
Pasal 28 C ayat (1) setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
3. Landasan Operasional, meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan pembangunan kesehatan. Beberapa
peraturan perundangan tersebut terdapat dalam Lampiran-1 dari RPJPK Tahun
2005-2025.

Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan


revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:

1. Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,

2. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada


rakyat,

3. Kebijakan pembangunan kesehatan, dan

13
4. Kepemimpinan

Cara Penyelenggaraan Sistem Kesehatan Nasional :


1. Subsistem Upaya Kesehatan
Subsistem upaya kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan upaya
kesehatan yang paripurna, terpadu, dan berkualitas. Hal tersebut meliputi upaya
peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan yang diselenggarakan
secara adil, merata, terjangkau, dan bermutu. Subsistem upaya kesehatan
dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan, dan
pengobatan penyakit serta pemulihan. Pelaksanaan pelayanan kesehatan
konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan
tradisional dan komplementer dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan.
Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan selalu mengutamakan keamanan dan
efektivitas yang tinggi.
Sumber daya upaya kesehatan terdiri dari sumber daya manusia kesehatan,
biaya, sarana dan prasarana. Sumber daya termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta manajemen dan sistem.
Sumber daya upaya kesehatan harus dalam jumlah yang memadai guna
terselenggaranya upaya kesehatan.
Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang
melalui standardisasi, sertifikasi, lisensi, akreditasi, dan penegakan hukum.
Semua pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam upaya pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan, pemerintah bersama
dengan organisasi profesi dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus berkualitas, terjamin keamanannya,
dapat diterima masyarakat, efektif dan sesuai, serta mampu menghadapi
tantangan global dan regional. Upaya kesehatan memiliki prinsip untuk
dilakukan secara berkesinambungan dan paripurna, bermutu, aman,

14
bertanggung jawab, adil merata, nondiskriminatif, dan terjangkau. Upaya
kesehatan juga harus menggunakan teknologi tepat guna dan dapat bekerja
dalam tim secara cepat dan tepat.
Dalam hal penyelenggaraan upaya kesehatan terdapat berbagai macam upaya
yang harus dilakukan pemerintah. Upaya yang dimaksud terbagi menjadi tiga,
yaitu upaya kesehatan primer, sekunder, dan tersier. Upaya pelayanan kesehatan
primer terbagi lagi menjadi dua, yaitu upaya pelayanan kesehatan perorangan
primer dan upaya pelayanan kesehatan masyarakat primer.
Pelayanan kesehatan perorangan primer memberikan penekanan pada pelayanan
pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan.
Pelayanan kesehatan perorangan juga termasuk pemberian pelayanan kebugaran
dan gaya hidup sehat (healthy life style). Pelayanan kesehatan masyarakat
primer lebih menekankan pada keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan
spesialistik yang menerima rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan
primer. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder meliputi rujukan kasus,
spesimen, dan ilmu pengetahuan. Pelayanan kesehatan sekunder wajib merujuk
kembali ke fasilitas kesehatan yang merujuk.
Pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan kesehatan dari
pelayanan kesehatan masyarakat primer. Pelayanan kesehatan masyarakat
sekunder memberikan fasilitasi dalam bentuk sarana, teknologi, dan sumber
daya manusia kesehatan. Dalam menjalankan tugas, pelayanan kesehatan
perorangan sekunder didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tersier.
Pelayanan kesehatan perorangan tersier menerima rujukan sub-spesialistik dari
pelayanan kesehatan di bawahnya dan wajib merujuk kembali ke fasilitas
kesehatan yang merujuk. Pelayanan kesehatan masyarakat tersier menerima
rujukan kesehatan dari pelayanan kesehatan masyarakat sekunder. Pelayanan
kesehatan masyarakat tersier memberikan fasilitasi dalam bentuk sarana,
teknologi, sumber daya manusia kesehatan, dan rujukan operasional.

15
Pembinaan upaya kesehatan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan harus
didukung dengan standar pelayanan kesehatan yang yang baik. Sementara
pengawasan upaya kesehatan ditujukan untuk menjamin konsistensi
penyelenggaraan upaya kesehatan. Pengawasan dilakukan secara intensif, baik
internal maupun eksternal serta dapat melibatkan masyarakat dan swasta.
Pengembangan dan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang
memadai ditujukan untuk meningkatkan mutu upaya kesehatan. Pengembangan
dan pemanfaatan Iptek harus sesuai dengan perkembangan dan keperluannya
dalam bidang kesehatan. Pengembangan dan pemanfaatan Iptek perlu diperluas
untuk mendukung pembangunan kesehatan secara keseluruhan.

2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan


Subsistem pembiayaan kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan.
Subsistem ini digunakan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan
kesehatan guna menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan dan
mencapai derajat kesehatan masyarakat. Terdapat tiga unsur subsistem
pembiayaan kesehatan yang meliputi dana kesehatan, sumber daya kesehatan,
dan pengelolaan dana kesehatan. Dana digali dari sumber pemerintah, baik dari
sektor kesehatan dan sektor lain dari masyarakat maupun swasta, serta sumber
lainnya.
Sumber daya dari subsistem pembiayaan kesehatan meliputi sumber daya
manusia pengelola, sarana, standar, regulasi, dan kelembagaan yang digunakan
secara berhasil guna dan berdaya guna. Prosedur atau mekanisme pengelolaan
dana kesehatan adalah seperangkat aturan yang disepakati dan secara konsisten
dijalankan oleh para pelaku subsistem pembiayaan kesehatan. Pelaku subsistem
pembiayaan kesehatan dijalankan baik oleh pemerintah secara lintas sektor,
swasta, maupun masyarakat.
Prinsip pembiayaan kesehatan berupa kecukupan yaitu suatu usaha dimana
pemerintah berusaha untuk mengatur agar dana yang ada dapat mencukupi

16
pemberdayaan kesehatan yang akan dilakukan. Selain itu terdapat prinsip
efisien dan efektif serta prinsip adil dan transparan dalam pelaksanaanya. Dalam
hal penyelenggaraan pembayaran kesehatan terdapat beberapa agenda yang
harus dilakukan yaitu penggalian dana, pengalokasian dana, dan pembelanjaan.

3. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan


Dalam subsistem sumber daya manusia kesehatan terdapat beberapa unsur,
meliputi sumber daya manusia kesehatan, sumber daya pengembangan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan. Unsur sumber daya kesehatan
juga termasuk penyelengaraan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia kesehatan. Prinsip dalam subsistem ini meliputi adil, merata serta
demokratis, kompeten dan berintegrasi, objektif, transparan, dan terdapat
hierarki sumber daya manusia kesehatan. Dalam penyelenggaraannya sendiri
terdapat perencanaan SDM kesehatan, pengadaan SDM kesehatan,
pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia
kesehatan.

2.6.3 Keputusan Menteri Kesehatan tentang Puskesmas

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor


128/Menkes/SK/II/2004 termasuk kebijakan yang bersifat manajerial. Kepmenkes RI
nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat merupakan salah satu keputusan menteri kesehatan yang digunakan
sebagai acuan penyelenggaraan Puskesmas. Dalam keputusan ini terdapat beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam rangka mengoptimalkan fungsi Pusat Kesehatan Masyarakat
dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan menuju Indonesia
Sehat 2010 diperlukan adanya kebijakan dan langkah-langkah strategi yang
digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan Puskesmas.
2. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan kebijakan dasar
Puskesmas dengan Keputusan Menteri Kesehatan

17
Keputusan ini juga mengingat beberapa hal:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara 3495);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara 3839);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4095);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4106);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

Memutuskan dan menetapkan sebagai berikut:


1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat.
2. Kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud diktum
pertama tercantum dalam lampiran keputusan ini.
3. Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud diktum kedua agar digunakan sebagai
pedoman oleh pemerintah kabupaten atau kota dalam penyelenggaraan pusat
kesehatan masyarakat.
4. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila
dikemudian hari terdapat kesalahan akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Inti dari aturan tersebut menjelaskan tentang fungsi Puskesmas yang sangat
penting dalam pelayanan kesehatan di masyarakat. Puskesmas merupakan ujung

18
tombak pelayanan kesehatan, mempunyai peran yang signifikan dengan konsep
pemantauan wilayahnya. Konsep tersebut dilakukan sebagai upaya mencegah dan
mengobati angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).

Konsep Puskesmas yang selama ini dianut telah mengalami perubahan yang
cukup mendasar. Untuk keberhasilan penerapan kebijakan baru Puskesmas ini,
terutama pada aspek penyelenggaraannya, pemahaman berbagai standar dan pedoman
yang dimaksud perlu diupayakan. Kebijakan dasar Puskesmas beserta berbagai
standar dan pedomannya ini merupakan acuan utama bagi provinsi dan kabupaten
atau kota dalam mengembangkan kebijakan operasional setempat.

2.6.4 Keputusan Menteri Kesehatan tentang Desa Siaga

Desa siaga adalah sebuah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan untuk mencegah dan mengatasi berbagai masalah kesehatan (bencana
dan kegawatdaruratan kesehatan) secara mandiri (Kepmenkes RI Nomor
564/Menkes/SK/VIII/2006). Masalah-masalah kesehatan seperti tingginya angka
kematian ibu, munculnya kembali kasus lama seperti TB paru, merebaknya
HIV/AIDS, flu burung, masalah diare dan gizi buruk pada balita maka pemerintah
mengambil kebijakan yaitu program desa siaga. Program tersebut tidak hanya untuk
menangani masalah kesehatan tetapi juga membantu desa agar mandiri dalam
menghadapi hal-hal di luar kesehatan sepeti bencana alam, masalah pekerjaan,
sumber daya dan potensi desa tersebut. Sebuah desa dikatakan menjadi desa siaga
apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya sebuah pos kesehatan desa
(PKD atau Poskesdes). Tujuan desa siaga, yaitu:
1. Tujuan Umum
Terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap
berbagai masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) di
desanya.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang
pentingnya kesehatan dan melaksanakan perilaku hidup bersih.

19
b. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong
dirinya sendiri di bidang kesehatan.
c. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap
resiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana,
wabah penyakit, dan sebagainya).
d. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa.

Adapun sasaran pengembangan desa siaga adalah:


1. Semua individu dan keluarga di desa yang diharapkan mampu melaksanakan
hidup sehat, peduli, dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah
desanya.
2. Semua pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku individu dan
keluarga di desa atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan
perilaku tersebut, yaitu tokoh pemerintahan, masyarakat, agama, perempuan,
pemuda, PKK, Karang Taruna, media massa, dan lain- lain.
3. Beberapa pihak yang diharapkan memberikan dukungan kebijakan, peraturan
perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dan lain-lain, yaitu kepala desa,
camat, pejabat pemerintahan lainnya, dunia usaha, donatur, dan stakeholders
lainnya.

Suatu desa dikatakan menjadi desa siaga apabila memenuhi kriteria berikut
(Depkes, 2006) :
1. Memiliki 1 orang tenaga bidan yang menetap di desa tersebut dan sekurang-
kurangnya 2 orang kader desa.
2. Memiliki minimal 1 bangunan pos kesehatan desa (poskesdes) beserta peralatan
dan perlengkapannya. Poskesdes tersebut dikembangkan oleh masyarakat yang
dikenal dengan istilah upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM)
yang melaksanakan kegiatan-kegiatan minimal :
a. Pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang berpotensi menjadi
kejadian luar biasa serta faktor-faktor risikonya.
b. Penanggulangan penyakit menular dan yang berpotensi menjadi KLB serta
kekurangan gizi.
c. Kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan
d. Pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kompetensinya

20
Kebijakan desa siaga merupakan kebijakan manajerial karena kebijakan ini
diturunkan dari menteri kesehatan sebagai upaya pembangunan kesehatan. Desa siaga
juga memberikan pelatihan masyarakat agar mandiri dalam lingkungannnya masing-
masing dalam menangani berbagai masalah kesehatan masyarakat. Dalam penerapan
kebijakan desa siaga, terdapat pusat pelayanan kesehatan berupa Puskesmas,
Poskesdes, dan Polindes. Ketiga hal itu mempunyai beberapa perbedaan, yaitu:

Tabel 2.6.4. Perbedaan Puskesmas, Polindes, dan Poskesdes


Kategori Puskesmas Poskesdes Polindes
Pengertian Unit pelaksanan teknis Upaya Upaya
dinas kesehatan Kesehatan Kesehatan
kabupaten atau kota yang Bersumber daya Bersumber
bertanggung jawab Masyarakat daya
menyelenggarakan (UKBM) Masyarakat
pembangunan kesehatan dibentuk di desa (UKBM)
di suatu wilayah kerja. dalam rangka yang
mendekatkan didirikan
atau dengan
menyediakan bantuan
pelayanan pemerintah
kesehatan dasar atau
bagi masyarakat masyarakat
desa. atas dasar
musyawarah.
Tujuan Mendukung tercapainya Poskesdes Meningkat
Khusus tujuan pembangunan diharapkan nya
kesehatan nasional, yaitu dapat jangkauan
meningkatkan kesadaran, melaksanakan dan mutu
kemauan, dan berbagai pelayanan
kemampuan hidup sehat kegiatan KIA-KB,
bagi setiap orang yang pelayanan termasuk

21
bertempat tinggal di kesehatan bagi pertolongan
wilayah kerja Puskesmas masyarakat dan
agar terwujud derajat desa. penanganan
kesehatan yang setinggi- pada kasus
tingginya. gagal.

Pemben Dibentuk berdasarkan Diselenggarakan Dirintis di


tukan ketentuan dinas oleh tenaga desa yang
kesehatan. kesehatan telah
(minimal oleh mempunyai
seorang bidan), bidan yang
dengan dibantu tinggal di
oleh sekurang- desa tersebut.
kurangnya dua
orang kader.
Ruang Satu kecamatan Desa
lingkup Desa

2.6.5 Keputusan Menteri Kesehatan tentang Bidan di Desa

Definisi bidan dikeluarkan oleh International Confederation Of Midwives


(ICM), dianut oleh seluruh organisasi bidan di dunia, diakui oleh WHO dan
Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Menurut IBI, Bidan
adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan yang
telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai persyaratan yg berlaku, dicatat
(registrasi), diberi izin secara sah untuk menjalankan praktik.

Menurut Permenkes nomor 572/Menkes/Per/VI/1996, sosok figur bidan


adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dan
diakui pemerintah. Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab
dan akuntabel sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan

22
nasehat selama masa hamil, persalinan, dan masa nifas. Bidan juga memimpin
persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru
lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal,
deteksi komplikasi, akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta
melaksanakan tindakan kegawat daruratan.

Bidan desa mempunyai peranan sebagai fasilitator, motivator, dan katalisator


dalam pengembangan desa siaga. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
572 tahun 1996 telah memberikan wewenang bidan di desa untuk menangani
komplikasi kehamilan dan persalinan tertentu. Tugas bidan dalam Permenkes tersebut
yaitu menjaga kesehatan keluarga khususnya ibu dan anak sesuai standar profesi dan
wewenangnya, serta membina masyarakat agar lebih tanggap dalam menangani
masalah kesehatan. Bidan juga berhak memberikan rujukan kepada unit pelayanan
spesialis apabila terdapat kecenderungan komplikasi dan resiko tinggi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor


1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan,
kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:

1. Kewenangan normal:
a. Pelayanan kesehatan ibu
b. Pelayanan kesehatan anak
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintah
3. Kewenangan bidan menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter

2.7 Berbagai Kebijakan Lingkup Rumah Sakit


2.7.1 Pengertian Rumah Sakit
1. Menurut WHO (World Health Organization)
Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan
dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat.
Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat
penelitian medik.

23
2. Menurut Undang Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
3. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
340/MENKES/PER/III/2010
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
4. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya
orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan.

2.7.2 Asas dan Tujuan Rumah Sakit

Bila dititik beratkan dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,


maka sebuah rumah sakit haruslah mempunyai asas dan tujuan.
1. Asas Penyelenggaraan Rumah Sakit
Rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan
anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial (UU Nomor 44 Tahun 2009)
2. Tujuan Penyelenggaraan Rumah Sakit
Menurut UU nomor 44 tahun 2009, pengaturan penyelenggaraan rumah sakit
bertujuan untuk:
a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.

24
b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di rumah sakit.
c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan rumah sakit.

2.7.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


1. Tugas Rumah Sakit
Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna. Pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan
memulihkan kesehatan (UU Nomor 44 Tahun 2009).
2. Fungsi Rumah Sakit
Sesuai dengan UU nomor 44 tahun 2009, untuk menjalankan tugasnya, rumah
sakit mempunyai fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
c. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.7.4 Persyaratan Izin Mendirikan Rumah Sakit

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) dalam


rangka peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan, selain merupakan tangung jawab pemerintah juga merupakan
hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk
ikut berperan serta secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah
sakit, tidaklah berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang
atau semaunya untuk mendirikan dan menyelenggarakannya. Berbagai factor dan
aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan suatu kegiatan

25
perlu diperhatikan, dipertimbangkan, dan diperhitungkan dengan baik agar tidak
menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup
sekitarnya. Untuk itu, masyarakat harus tunduk dan patuh pada ketentuan pendirian
dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh Pemerintah. Dengan demikian
untuk melakukan kegiatan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit harus
mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan pemerintah.

Menurut Lembaga Administrasi Negara, perizinan adalah salah satu bentuk


pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh
pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang
merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin sebagai
perbuatan hukum sepihak dari pemerintah yang menimbulkan hak dan kewajiban
bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan perundangan agar
terdapat kepastian dan kejelasan baik yang menyangkut prosedur, waktu, persyaratan,
dan pembiayaan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147 tahun 2010, untuk


memperoleh izin mendirikan, rumah sakit harus memenuhi persyaratan yang
meliputi:
1. Studi Kelayakan
Studi kelayakan rumah sakit pada dasarnya adalah suatu awal kegiatan
perencanaan rumah sakit secara fisik dan nonfisik yang berisi tentang :
a. Kajian kebutuhan pelayanan rumah sakit, yang meliputi demografi, sosio-
ekonomi, morbiditas dan mortalitas, sarana dan prasarana.
b. Kajian kebutuhan sarana dan fasilitas fisik, peralatan medik maupun non
medik, tenaga atau sumber daya manusia, serta dana yang dibutuhkan.
c. Kajian kemampuan pembiayaan yang meliputi prakiraan pendapatan,
prakiraan biaya, proyeksi arus kas (5-10 tahun), dan proyeksi laba dan atau
rugi (5-10 tahun).
2. Master Plan

26
Master plan adalah strategi pengembangan aset untuk sekurang-kurangnya 10
tahun kedepan dalam pemberian pelayanan kesehatan secara optimal. Strategi
tersebut meliputi identifikasi proyek perencanaan, demografis, tren masa depan,
fasilitas yang ada, modal dan pembiayaan.
3. Status Kepemilikan.

Rumah sakit dapat didirikan oleh:


a. Pemerintah, harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari instansi
yang bertugas di bidang kesehatan dan instansi tertentu dengan pengelolaan
Badan Layanan Umum (BLU).
b. Pemerintah Daerah, harus berbentuk Lembaga Teknis Daerah dengan
pengelolaan BLU Daerah.
c. Swasta, harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya
bergerak di bidang perumahsakitan.
4. Persyaratan Pengolahan Limbah
Persyaratan pengelolaan limbah meliputi Upaya Kesehatan Lingkungan (UKL),
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan Analisis Dampak Lingkungan
(Amdal). Persyaratan pengolahan limbah tersebut dilaksanakan berdasarkan
jenis dan klasifikasi rumah sakit sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Luas Tanah dan Sertifikatnya
Luas tanah untuk rumah sakit dengan bangunan tidak bertingkat, minimal 1
kali luas bangunan dan bangunan bertingkat minimal 2 kali luas bangunan lantai
dasar. Luas tanah dibuktikan dengan akta kepemilikan tanah yang sah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Penamaan
Penamaan rumah sakit tidak diperbolehkan menggunakan nama seseorang yang
masih hidup. Salah satu alasannya adalah karena tidak ada yang dapat
menjamin bahwa sepanjang hidup seseorang tersebut tidak akan melakukan

27
perbuatan yang melanggar hukum. Adapun persyaratan utama penamaan rumah
sakit, yaitu:
a. Harus menggunakan bahasa Indonesia.
b. Tidak boleh menambahkan kata internasional, kelas dunia, world
class, global atau kata lain yang dapat menimbulkan penafsiran yang
menyesatkan bagi masyarakat. Pernyataan pada poin (2) tidak berlaku
apabila rumah sakit tersebut memang telah terakreditasi secara internasional
oleh lembaga internasional.
7. Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB), dan Surat
Izin Tempat Usaha (SITU). Pendirian rumah sakit harus memiliki izin undang-
undang gangguan (HO), IMB, IPB, dan SITU yang dikeluarkan oleh instansi
berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

2.7.5 Tanggung Jawa Pemerintah dan Pemerintah Daerah


Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan UU nomor
44 tahun 2009 diantaranya adalah :
1. Menyediakan rumah sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat.
2. Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi fakir miskin
atau orang tidak mampu.
3. Menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4. Menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian rumah sakit sesuai
dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat.
5. Menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan

2.7.6 Jenis dan Kualifikasi Rumah Sakit


1. Jenis Rumah Sakit
Menurut UU nomor 44 tahun 2009, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis
pelayanan dan pengelolaannya.
a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan
dalam :
1) Rumah Sakit Umum

28
Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit.
2) Rumah Sakit Khusus
Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
b. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat.
1) Rumah Sakit Publik
Rumah sakit publik dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah
(Pemda), dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik
yang dikelola pemerintah dan Pemda diselenggarakan berdasarkan
pengelolaan BLU atau BLU Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) Rumah Sakit Privat
Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit
yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
2. Klasifikasi Rumah Sakit
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan
fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit (UU Nomor 44
Tahun 2009).
a. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
1) Rumah Sakit umum kelas A
2) Rumah Sakit umum kelas B
3) Rumah Sakit umum kelas C
4) Rumah Sakit umum kelas D

Tabel 2.7.6. : Perbedaan Fasilitas dan Kemampuan Medik Rumah Sakit Umum
Fasilitas Kelas Kelas Kelas Kelas
A B C D
1. Pelayanan Medik 4 4 4 2
Spesialis Dasar

29
2. Pelayanan Spesialis 5 4 4 -
Penunjang Medik
3. Pelayanan Medik 12 8 - -
Spesialis Lain
4. Pelayanan Medik Sub 13 2 - -
Spesialis

b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus


1) Rumah Sakit khusus kelas A
2) Rumah Sakit khusus kelas B
3) Rumah Sakit khusus kelas C
Klasifikasi Rumah Sakit ditetapkan berdasarkan:
1. Pelayanan;
2. Sumber Daya Manusia;
3. Peralatan;
4. Sarana dan Prasarana; dan
5. Administrasi dan Manajemen.

Menurut PERMENKES Nomor 340 Tahun 2010 Pasal 3 menyatakan bahwa :


Rumah Sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya
pelayanan medik umum, gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat jalan, rawat
inap, operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi,
sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen, penyuluhan
kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry, dan ambulance, pemeliharaan
sarana rumah sakit, serta pengolahan limbah.

2.7.6 Kewajiban dan Hak


1. Kewajiban Rumah Sakit
Rumah sakit memiliki kewajiban yang harus dipenuhi sebagai upaya
meningkatkan pelayanan dan menciptakan kenyamanan di lingkungan rumah
sakit. Berdasarkan UU nomor 44 tahun 2009, setiap rumah sakit mempunyai
kewajiban, yaitu:

30
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada
masyarakat.
b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit.
c. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau
miskin.
d. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional.
e. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa
rokok.
2. Hak Rumah Sakit
Setiap rumah sakit memiliki hak sesuai dengan UU nomor 44 tahun tahun 2009,
yaitu:
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasi rumah sakit.
b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan
pelayanan.
c. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
d. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit.
e. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan.
3. Kewajiban Pasien
Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medik No.
YM.02.04.3.5.2504 Tahun 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien,
Dokter, dan Rumah Sakit, beberapa kewajiban pasien yaitu:
a. Menaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit.
b. Mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya.
c. Memberikan informasi dengan jujur dan lengkap tentang penyakit yang
diderita kepada dokter yang merawat.

31
d. Melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit.
e. Memenuhi berbagai hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah
dibuatnya.

Apabila seorang pasien tidak memenuhi kewajiban tersebut maka kemungkinan


resiko yang akan diterima olehnya adalah terhambatnya proses pengobatan atau
dapat pula sampai dikenakan sanksi hukum.
4. Hak Pasien
Rumah sakit harus memenuhi hak pasien secara penuh dan pasien dapat
menuntut hak yang seharusnya ia peroleh apabila rumah sakit belum
memenuhinya. Menurut UU nomor 44 tahun 2009, pasien mempunyai hak
antara lain:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit.
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.
d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional.
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi.

2.8 Berbagai Kebijakan Lingkup Kesehatan

Kesehatan memiliki arti yang sangat luas, tidak hanya meliputi kesehatan fisik
tapi juga kesehaatan psikis dan sosial. Kebijakan di lingkup kesehatan juga memiliki
cakupan yang sangat luas. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai undang-undang
yang berkaitan dengan masalah kesehatan, salah satunya adalah UU No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan.

2.8.1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

32
Undang-undang ini memuat beberapa peraturan yang secara langsung
mempengaruhi pengambilan kebijakan di bidang kesehatan. Kesehatan merupakan
hak asasi manusia yang harus diwujudkan sebagaimana dimaksud dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kegiatan dalam
upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.

Undang-undang tersebut disusun dalam rangka pembentukan sumber daya


manusia serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan
nasional. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan
dalam arti pembangunan nasional. Dalam hal ini harus memperhatikan kesehatan
masyarakat yang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat.

Dalam undang-undang ini terdapat beberapa pokok masalah utama yang akan
dibahas. Pertama, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomi. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi kesehatan. Semua itu digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Kebijakan kesehatan membagi pelayanan kesehatan menjadi lima macam


pelayanan kesehatan, mencakup pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan tradisional. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
pelayanan kesehatan yang fokus pada kegiatan promosi kesehatan. Pelayanan
kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan atau penyakit. Pelayanan kesehatan preventif dan promotif merupakan
lahan dari tenaga kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan kuratif adalah
serangkaian kegiatan pengobatan untuk penyembuhan, pengurangan penderitaan, dan

33
pengendalian penyakit. Dapat juga sebagai pengendalian kecacatan agar kualitas
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat.
Pelayanan kesehatan rehabilitatif mengusahakan bekas penderita dapat berfungsi lagi
sebagai anggota masyarakat yang berguna semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan atau perawatan
dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan. Pelayanan
kesehatan ini dilakukan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam penggunaannya harus diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.

Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan,


keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, jender, nondiskriminatif, dan norma agama. Tujuan lainnya adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pembangunan kesehatan dijadikan sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya, pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Setiap orang
dapat menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, serta mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan. Setiap orang juga berkewajiban ikut
mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.

Untuk mewujudkan kebijakan kesehatan, pemerintah bertanggung jawab


merencanakan, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraannya
secara merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah mengatur perencanaan,

34
pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketentuan mengenai
perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya terdiri atas


pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Fasilitas
pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan
kesehatan tingkat kedua, dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga. Fasilitas pelayanan
kesehatan dilaksanakan oleh pihak pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh pemerintah
sesuai ketentuan yang berlaku.

Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan


perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Dalam keadaan darurat, pemerintah
dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan
kesehatan. Dalam penyediaan perbekalan kesehatan terdapat pengecualian untuk
produk yang dipatenkan, untuk penyediaan produk yang dipatenkan disesuaikan
dengan undang-undang yang mengatur kepatenan.

Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan,


dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat. Teknologi kesehatan
mencakup segala metode dan alat yang digunakan dalam pelayanan kesehatan.
Penggunaan teknologi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi
penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil
komplikasi, dan memulihkan kesehatan.

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,


diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh. Upaya kesehatan
yang dimaksud dalam kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan, antara lain:

35
1. pelayanan kesehatan
2. pelayanan kesehatan tradisional
2. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
3. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
4. kesehatan reproduksi
5. keluarga berencana
6. kesehatan sekolah
7. kesehatan olahraga
8. pelayanan kesehatan pada bencana
9. pelayanan darah
10. kesehatan gigi dan mulut
11. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
12. kesehatan mata
13. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
14. pengamanan makanan dan minuman
15. pengamanan zat adiktif
16. bedah mayat

Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit


dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Pelayanan kesehatan
masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung


jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Pemerintah dan pemerintah
daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengawasan
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

2.9 Kebijakan Lingkup Sumber Daya Manusia Kesehatan


2.9.1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009

Tenaga kesehatan adalah orang yang mengabdi di bidang kesehatan, memiliki


pengetahuan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Permenkes RI Nomor

36
971/Menkes/Per/XI/2009). Kualifikasi dan standar kompetensi pejabat struktural
Dinkes, RS, Puskesmas, dan UPT/UPTD diatur dalam Permenkes RI Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009. Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
merupakan salah satu kebijakan yang bersifat manajerial karena dikeluarkan oleh
menteri kesehatan.
Pengangkatan pegawai ke dalam suatu jabatan struktural kesehatan dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kualifikasi serta standar kompetensi jabatan yang akan
dipangkunya. Pengangkatan tersebut dilakukan melalui serangkaian proses rekrutmen
dan seleksi sesuai peraturan perundang-undangan. Standar kompetensi jabatan
sebagaimana dimaksud meliputi kompetensi dasar, kompetensi bidang, dan
kompetensi khusus.
Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh pejabat struktural meliputi
integritas, kepemimpinan, perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, kerjasama,
dan fleksibel. Kompetensi bidang meliputi orientasi pada pelayanan dan kualitas,
berpikir analitis dan konseptual, inovasi, serta keahlian tehnikal, manajerial, dan
profesional. Kompetensi khusus yang harus dimiliki oleh pejabat struktural meliputi
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman jabatan. Kompetensi pejabat struktural
kesehatan yang diatur dalam peraturan ini adalah kompetensi khusus.
1. Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten, atau Kota
Kompetensi pejabat struktural dinas kesehatan provinsi, kabupaten, atau kota
diatur dalam pasal 19 sampai pasal 21. Pasal tersebut berisi persyaratan latar
belakang pendidikan minimal, kewajiban mengikuti pelatihan, dan persyaratan
tambahan lain. Pejabat struktural dinas kesehatan provinsi, kabupaten, atau kota
meliputi kepala, sekretaris, kepala bidang atau bagian, dan kepala seksi atau
kepala subbagian. Seorang sarjana kesehatan masyarakat dapat menduduki posisi
sebagai kepala bagian dan subbagian dinas kesehatan.

Tabel 2.9.1. a. Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten,


atau Kota

37
Posisi Pendidik Pelatihan Tambahan
an
Kepala Sarjana Kepemimpinan, Diutamakan yang
Strata 2 di rencana memiliki
Sekretaris
bidang strategis, sistem pengalaman jabatan
Kesehatan manajemen paling singkat tiga
Masyarak informasi tahun sebagai kepala
at kesehatan, bidang di dinas
pengembangan kesehatan provinsi,
komunitas, kabupaten, maupun
surveilans, kota, atau kepala
epidemiologi, dinas kesehatan di
manajemen provinsi, kabupaten,
bencana, Early atau kota lainnya
Warning
Outbreak
Recognition
System
Kepala Paling Mengikuti _
Bagian sedikit pelatihan sesuai
sarjana bidang tugasnya
Kepala
kesehatan
Seksi

Dalam Permenkes tersebut tidak dijelaskan pendidikan Sarjana Strata 2 pada


kepala dan sekretaris apakah merupakan pendidikan minimal. Hal tersebut
menimbulkan pertanyaan apakah Sarjana Strata 3 diperbolehkan atau tidak
menduduki jabatan tersebut. Pada kepala bagian dan subbagian juga tidak
dijelaskan pelatihan yang harus diikuti. Pelatihan yang dimaksud harus dipenuhi

38
sebelum atau paling lama satu tahun pertama setelah menduduki jabatan
struktural.
2. Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit
Kompetensi pejabat struktural rumah sakit diatur dalam pasal 10 sampai dengan
pasal 17. Pejabat struktural kesehatan RS meliputi direktur, wakil direktur
(pelayanan medis, administrasi umum, keuangan, SDM, pendidikan), kepala
bagian, dan kepala subbagian. Seorang sarjana kesehatan masyarakat dapat
menduduki posisi kepala bagian dan subbagian RS serta direktur RS namun
dengan ketentuan tertentu sesuai dengan pasal 10.

Tabel 2.9.1. b. Kompetensi Pejabat Struktural Rumah Sakit


Posisi Pendidikan Pelatihan Tambahan
Direktur Tenaga medis Kepemimpinan, Pengalaman
yang kewirausahaan, jabatan pada
mempunyai rencana aksi direktur
kemampuan dan strategis, menentukan
keahlian di rencana strategis kelas rumah
bidang bisnis, rencana sakit yang
perumahsakitan implementasi dapat dipimpin
dan tahunan, (ketentuan
tata kelola sesuai dengan
rumah sakit, pasal 10)
standar
pelayanan
minimal, sistem
akuntabilitas,
sistem
remunerasi RS,
pengelolaan
SDM

39
Wakil Sarjana Strata 2 Pelatihan Diutamakan
Direktur di bidang disesuaikan yang memiliki
Pelayanan kesehatan, dengan bidang pengalaman
Medis, sedangkan wakil masing-masing jabatan paling
Administrasi direktur (diatur dalam singkat tiga
Umum, keuangan paling pasal 11 sampai tahun di
Keuangan, sedikit Sarjana dengan pasal 15) bidang
Sumber Ekonomi atau masing-masing
Daya Akuntansi
Manusia,
Pendidikan
Kepala Paling sedikit Mengikuti Diutamakan
Bagian Sarjana sesuai pelatihan yang memiliki
dengan bidang kepemimpinan pengalaman
kerjanya dan jabatan paling
kewirausahaan, singkat tiga
rencana aksi tahun sesuai
strategis, dengan bidang
rencana tugasnya
Kepala implementasi -
Subbagian dan rencana
tahunan, sistem
rekrutmen
pegawai, dan
sistem
remunerasi

3. Kompetensi Pejabat Struktural Puskesmas


Dalam Permenkes RI Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 juga terdapat kompetensi
pejabat struktural Puskesmas, yaitu dalam pasal 22. Seorang sarjana kesehatan

40
masyarakat dapat menduduki jabatan kepala Puskesmas karena memenuhi
persyaratan dalam pasal tersebut. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kepala Puskesmas berlatar belakang pendidikan paling sedikit tenaga medis
atau sarjana kesehatan lainnya.
b. Kepala Puskesmas telah mengikuti pelatihan manajemen Puskesmas dan
pelatihan fasilitator pusat kesehatan desa.
c. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum atau
paling lama satu tahun pertama setelah menduduki jabatan struktural.
4. Kompetensi Pejabat Struktural UPT/UPTD
Kompetensi pejabat struktural UPT/UPTD dalam Permenkes RI Nomor
971/Menkes/Per/XI/2009 diatur dalam pasal 23. Seorang sarjana kesehatan
masyarakat harus melanjutkan studi S2 terlebih dahulu untuk dapat menjadi
kepala UPT/UPTD. Isi pasal 23 adalah sebagai berikut:
a. Kepala UPT/UPTD berlatar belakang pendidikan tenaga medis atau sarjana
kesehatan dengan pendidikan Sarjana Strata 2 di bidang kesehatan.
b. Kepala UPT/UPTD telah mengikuti pelatihan rencana strategis, pelatihan
teknis di bidangnya, kepemimpinan, dan sistem informasi manajemen
kesehatan.
c. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum atau
paling lama satu tahun pertama setelah menduduki jabatan struktural.

2.9.2 Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan

Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan ini didasarkan pada pemikiran


bahwa Pembukaan UUD 1945 mencantumkan cita-cita bangsa Indonesia yang
sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia,yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu wujud memajukan
kesejahteraan umum adalah Pembangunan Kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dankemampuan hidup sehat bagi setiap orang

41
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya, sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif. Kesehatan merupakan hak
asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka


melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan sumber daya kesehatan,
khususnya Tenaga Kesehatan yang memadai, baik dari segi kualitas,
kuantitas,maupun penyebarannya. Upaya pemenuhan kebutuhan Tenaga Kesehatan
sampai saat ini belum memadai, baik dari segi jenis,kualifikasi, jumlah, maupun
pendayagunaannya, Tantangan pengembangan tenaga kesehatan yang dihadapi
dewasa ini dan di masa depan adalah

1. pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan belum dapat memenuhi


kebutuhan TenagaKesehatan untuk pembangunan kesehatan;
2. regulasi untuk mendukung upaya pembangunan Tenaga Kesehatan masih
terbatas;
3. perencanaan kebijakan dan program Tenaga Kesehatan masih lemah;
4. kekurangserasian antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis Tenaga
Kesehatan;
5. kualitas hasil pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan pada umumnya masih
belum memadai;
6. pendayagunaan Tenaga Kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan Tenaga
Kesehatan berkualitasmasih kurang;
7. pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem penghargaan,
dan sanksibelum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan;
8. pengembangan profesi yang berkelanjutan masih terbatas;
9. pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan belum dapat dilaksanakan
sebagaimanayang diharapkan;
10. sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan
masih terbatas;
11. sistem informasi Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan data
dan informasiyang akurat, terpercaya, dan tepat waktu;
12. dukungan sumber daya pembiayaan dan sumber daya lain belum cukup.

42
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi
untuk pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan
pelaksanaannya, peningkatankerja sama lintas sector, dan peningkatan
pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah. Perencanaan kebutuhan
Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan
masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan,
serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai
dengan perencanaan kebutuhan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan,
baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta.

Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan


yang merata danberkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan
Tenaga Kesehatan, termasukpeningkatan karier.Pembinaan dan pengawasan mutu
Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitasTenaga Kesehatan
sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam mendukung
penyelenggaraanpelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan
dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen
dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan Tenaga
Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi,
Registrasi, perizinan, dan hak-hak Tenaga Kesehatan.

Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan


Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan,
penguatan sistem informasi TenagaKesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan
fasilitas pendukung lainnya.Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan
kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan, baikyang melakukan pelayanan langsung
kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepadamasyarakat penerima
pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang
sejalandengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan
serta sosial ekonomi dan budaya.

43
2.9.3 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 317/Menkes/Per/III/2010

Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing di Indonesia diatur


dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 317/Menkes/Per/III/2010. Tenaga
kesehatan warga negara asing (TK-WNA) merupakan warga negara asing pemegang
izin tinggal terbatas yang memilki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan. Para TK-WNA bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan
kesehatan di wilayah Indonesia. Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan
sepanjang terdapat hubungan bilateral antara negara Republik Indonesia dengan
negara asal TK-WNA yang dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik.

Bidang pekerjaan yang dapat ditempati oleh TK-WNA meliputi pemberi


pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta pemberi pelayanan.
Tenaga pendamping merupakan tenaga kesehatan Indonesia dengan keahlian yang
sesuai dan ditunjuk sebagai calon pengganti TK-WNA. Pasal 3 menyebutkan bahwa
TK-WNA dilarang paktik secara mandiri, termasuk dalam kerja sosial. Pasal 4
menerangkan bahwa TK-WNA dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan
tertentu sesuai peraturan perundang-undangan.

Jenis, kualifikasi pendidikan, dan persyaratan TK-WNA diatur dalam bab II


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 317/Menkes/Per/III/2010. Dalam bab tersebut
dijelaskan persyaratan TK-WNA pemberi pelayanan atau pelatihan, serta jangka
waktu bekerja mereka. Bagi TK-WNA yang memberi pelayanan, memiliki kewajiban
untuk mengikuti proses evaluasi. Evaluasi merupakan proses penyesuaian
kemampuan TK-WNA agar memenuhi kompetensi yang tepat untuk bekerja di
Indonesia.

Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat bekerja di fasilitas


pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA. Tenaga kesehatan
warga negara asing pemberi pelayanan hanya dapat bekerja di rumah sakit kelas A
dan B yang telah terakreditasi. Khusus untuk fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan TK-WNA harus memiliki izin operasional tetap dan telah berjalan

44
minimal dua tahun. Ketentuan lebih lanjut tentang syarat yang harus dipenuhi oleh
fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mendayagunakan TK-WNA diatur dalam
pasal 12 sampai pasal 17.

Pasal 23 membahas hak dari TK-WNA untuk mendapatkan perlindungan


hukum dan kompensasi dari fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan
sesuai kontrak. Kewajiban TK-WNA adalah menyampaikan laporan kegiatan atau
pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi.
Mereka juga berkewajiban menaati standar profesi, standar pelayanan, dan etika
profesi. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 317/Menkes/Per/III/2010 termasuk
kebijakan manajerial karena dikeluarkan oleh menteri kesehatan.

BAB III

45
CONCLUSION

1. Policies are written rules that the formal decision of the organization and
binding. Policies governing the behavior with the aim of creating new values
in society and must be implemented by the object
2. Policies of health sector is one form of public policy. Public policy is a policy
made by holders of public otorits, those who have a mandate from the public
or the people through an election process to act on behalf of the people, in this
case the government. This public policy is a form of government intervention
in strategic pemanfataan and troubleshooting resources - public affairs, as a
series of managerial processes working public officials in making and
implementing a policy, so that it serves as a public policy decision-making
process (Decision making) regarding who performed well which is not done
by the government in power and penangannan problem - public issue.
3. The type of policy in the field of health is essentially the same as the basic
type of public policy. This policy type consists of three types, namely Good
Policy / Good Politics, Policy Good / Bad Politics, Bad Policy / Good Politics
4. Health policy broadly divided into two, called the first health policy based on
the contents of the policy. Based on this case can be divided into three, that is
a policy that is strategic, policy Characteristically Managerial, Technical
Characteristically Policy Program. The second one is based on the level of
health policy. Based on this case can be divided into three, called Policy
Macro, Meso, and Micro.
5. As examples of policies in the health sector, among others, Regulation of the
Minister of Health (No. 1231 / Menkes / PER / XI / 2007 on Special
Assignment Health Human Resources), the Minister of Health of Indonesia
(No. 1235 / Menkes / SK / XII / 2007 on Incentives for SDMK Conducting
Special Assignments), Maternal and Child Health Policy (Kepmenkes RI
450 / Menkes / SK / IV / 20) 04 on exclusive breastfeeding for infants in
Indonesia from birth until the age of 6 months and recommended to 2 year old
child with appropriate complementary feeding and all health professionals
who work).

46
DAFTAR PUSTAKA

47
Anderson, James E. 2006. Public Policy Making: An Introduction. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy. London: Prentice-Hall.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009
tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan. Available from:
http://www.depkes.go.id/downloads/PMKNo.971.pdf [Accessed 12 May
2015].
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Available From
http://bppsdmk.depkes.go.id/web/filesa/peraturan/2.pdf [Accessed 10 May
2015]
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2014 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. Available from
http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regulasi/PMK_No._69_ttg_Kewaji
ban_RS_dan_Kewajiban_Pasien_.pdf. [Accessed 10 May 2015]
Sistem Kesehatan Nasional 2009. Available from:
http://www.depkes.go.id/downloads/SKN%20final.pdf [Accessed 13 May
2015].
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tenaga Kesehatan. Available from:
http://www.xa.yimg.com/kq/groups/18349759/383569538/name/UU [Accessed 12
May 2015].

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Available from: http://www.pih.depkominfo.go.id/userfiles/fkk/UU
%2036%20Tahun%202009.pdf [Accessed 13 May 2015]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Available from: http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2012/07/UU-No.-44-Th-2009-ttg-Rumah-
Sakit.pdf [Accessed 13 May 2015]

48

Anda mungkin juga menyukai