Disusun oleh :
HIKMAHWATI
NPM 1906430390
1. Introduction
“Policy” atau yang dalam bahasa Indonesia dapat kita artikan dengan “kebijakan”
merupakan suatu istilah (yang masih samar-samar, atau belum dapat ditentukan secara
tepat) dalam banyak pengertian untuk mendeskripsikan arahan organisasi, keputusan
untuk melakukan sesuatu pada permasalahan tertentu atau kumpulan prinsip pedoman
menuju tujuan tertentu (Titmus, 1974).
Proses pembuatan kebijakan telah ditentukan sebagai satu-satunya alat yang tersedia bagi
masyarakat modern untuk secara sadar dan sengaja memberikan solusi bagi permasalahan
mereka (Scharf p.349 cited in Hill and Hupe 2002, p.59). Konsep kebijakan ini kemudian
memainkan tingkatan berbeda, mendeskripsikan input spesifik pada topik spesifik maupun
nilai dan etos atau ajaran (the policy context) yang menginformasikan target dan tujuan
spesifik. Konteks kebijakan mencakup nilai yang secara luas bersifat konsensual seperti
demokrasi dan juga nilai yang diperebutkan seperti menejerialisme versus
profesionalisme. Maka dari itu, konteks kebijakan itu dinamis, membangun perdebatan
umum dan pemahaman dari sisi yang berbeda dan kelompok kepentingan.
Konsep yang lebih luas dari kebijakan kesehatan masyarakat telah didefinisikan oleh
WHO sebagai pembuatan lingkungan yang mendukung masyarakat dalam membangun
hidup sehat. Ini merupakan cerminan dari banyaknya faktor kompleks dan berbeda yang
mempengaruhi kesehatan juga penyakit. Kebijakan yang berdampak pada kesehatan
adalah pendidikan, pekerjaan, daerah regenerasi dan perbaruan, permasalahan lingkungan
seperti udara bersih, transportasi, keamanan dan kualitas pangan dan perumahan.
Pada level international, kebijakan pada rentang topik yang sama mempunyai dampak
yang lebih mendalam pada kesehatan.
Sebagai contoh, kebijakan internasional pada perubahan iklim: “The Kyoto
Protocol” yang diupdate pada United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) yang diadopsi tahun 1922. Perjanjian ini menekankan kepada
stabilisasi gas greenhouse untuk mencegah pemanasan global dengan rata-rata 5,2%
(menggunakan data 1900 sebagai baseline). Kyoto Protocol diadopsi tahun 1997 dan
diimpplementasi tahun 2005.
Konteks kebijakan dan jangkauan ekonomi makro, perubahan lingkungan dan demografi
adalah hal utama penggerak kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan. Praktisi
cenderung melihat kebijakan sebagai hal diluar kemampuan mereka, tapi kebijakan justru
membutuhkan pengaruh yang kuat dalam segi pelaksananya.
Seorang praktisi harus mampu melihat tujuan atau persyaratan khusus atau spesifik yang
telah diidentifikasikan dalam dokumen kebijakan, sebagai contoh untuk mengurangi
waktu tunggu di Rumah Sakit, atau persyaratan health trusts dan kemauan untuk bekerja
sama dengan pemerintah lokal. Dalam kasus tertentu, hal ini dapat diartikan sebagai
pengalihan sumber daya dari kondisi sebelumnya dan kondisi sebenarnya atau inovasi tapi
tetap berstrategi untuk mendapatkan tujuan atau target baru. Selain itu, arahan organisasi
juga dapat berubah disebabkan prioritas baru.
Terdapat beberapa pengertian bagi kebijakan untuk didasarkan pada bukti yang terpercaya
terkait “what works” (Cm 4310 1999). Bagaimana pun, terdapat kekurangan bukti terkait
intervensi efektif dari kebijakan kesehatan dan promosi kesehatan (Macintyre, dkk, 2001).
Sebagai contoh, terdapat penelitian tentang keberadaan kesenjangan (inequality)
kesehatan, tetapi sangat sedikit penelitian yang membandingkan efektivitas dari beragam
intervensi yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan kesehatan. Sebuah review
kebijakan kesehatan berbasis bukti UK melaporkan bahwa hanya 4% penelitian kesehatan
masyarakat fokus terhadap intervensi yang hanya 10%, atau 0,4% dari total, fokus pada
luaran intervensi (Milward, dkk, 2001). Evaluasi kebijakan semacam ini rumit karena
menemukan populasi kontrol yang tidak terpapar kebijakan adalah hal yang sulit.
Kebijakan berbasis bukti masih dalam tahapan pengembangan disebabkan pengaruh
persaingan dan rendahnya bukti yang cukup.
Untuk dapat memberikan masukan dan dampak bagi pembuatan dan implementasi
kebijakan, praktisi harus terbiasa dengan dan mengerti kebijakan kesehatan – asalnya,
tujuannya, proses dan dampaknya baik yang dimaksudkan kepadanya maupun tidak.
2. Conlusions
Konteks kebijakan adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi fokus praktisi,
prioritas dan pekerjaan. Meskipun proses kebijakan dapat ditampilkan sebagai hal yang
dikerjakan setiap hari, bagian ini telah mendemonstrasikan bahwa praktisi adalah kunci
kelompok pemerintah. Praktisi dapat mempunyai dampak pada kebijakan melalui
hubungan kerja, profesional dan kelompok lobbying lokal dan bukti penelitian. Kebijakan
sering ditampilkan sebagai hasil rasional peningkatan bukti, namun bagian ini telah
mengidentifikasikan pentingnya nilai dan idelogi dalam proses kebijakan. Praktisi yang
merefleksikan pada nilai dan ideolgi mereka sendiri akan mampu meletakkan kebijakan
dalam istilah mendasari nilai dan juga mengidentifikasi pandangan dan posisi pemerintah.
Pemahaman ini akan membuat praktisi mampu memaksimalkan saran mereka melalui lobi
efektif dengan partner yang sesuai.
Kebijakan dapat mengatur konteks dan arahan secara keseluruhan namun terdapat cakupan
cukup untuk fleksibilitas lokal dan individu dalam pelaksanaan lini terdepan dari
kebijakan. Sebuah pemahaman kuatnya hubungan antara partner kunci membuat praktisi
dapat merefleksikan kontibusi mereka sendiri dan orang lain bagi implementasi kebijakan.
Kebijakan, teori terkait, penelitian dan bukti adalah kunci utama bagi kesehatan
masyarakat dan praktik promosi kesehatan. Meskipun terdapat hubungan antara seluruh
elemen, kebijakan juga berperan sebagai praktik mandiri dan pemberi berdasar nilai.