Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di tahun 2007, menteri luar negeri dari tujuh negara yakni Brazil, Perancis,
Indonesia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan dan Thailand menyepakati Oslo
Ministerial Declaration yang secara langsung menghubungkan isu kesehatan
global dengan kebijakan luar negeri. Diplomasi tipe ini kemudian disebut dengan
global health diplomacy (Hotez 2014). Kickbush et.al mendefinisikan global
health diplomacy sebagai proses yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
sipil untuk menempatkan kesehatan dalam negosiasi kebijakan luar negeri dan
menciptakan bentuk baru global health governance. Lebih lanjut Kickbush &
Lokeny mendefinisikannya sebagai sistem organisasi, komunikasi dan proses
negosiasi yang membentuk lingkungan kebijakan global dalam lingkup kesehatan
dan hal-hal yang menyangkut kesehatan.
Elemen utama global health diplomacy tidak hanya menyangkut
pembicaraan antar diplomat yang satu dengan lainnya namun juga melibatkan ahli
dalam berbagai bidang dan disiplin yang bekerja sama untuk menyelesaikan isu
kesehatan global. Katz et al mengkategorikan beberapa aspek yang membedakan
global health diplomacy dengan diplomasi lainnya sebagai berikut : (1) Core
diplomacy, merujuk pada “classical Westphalian negotiations” antar negara dalam
hubungannya dengan perjanjian bilateral dan multilateral, contoh : WHO
Framework Convention on Tobacco Control and International Health Regulations
(IHR) 2005; (2) Multistakeholder diplomacy, merupakan diplomasi antar negara
atau antara negara dengan agensi internasional seperti WHO, GAVI, United
States Agency for International Development (USAID) dan non-governmental
organizations (NGOs); (3) Informal diplomacy, yang menyertakan peer-to-peer
scientific partnership, dana dari perseorangan seperti Bill & Melinda Gates
Foundation, dan bahkan pegawai dari institusi pemerintah seperti USAID ataupun

1
militer AS yang terlibat secara langsung dalam sistem unik global health
diplomacy. 5 Kickbusch & Lokeny (2014) juga mencatat bahwa direktur jenderal
WHO berkali-kali menyebutkan perihal health diplomacy dalam pidato sesi
eksekutif pada bulan Januari 2013. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti kaitan antara globalisasi dan penggunaan “soft power”, kebijakan
keamanan, perjanjian perdagangan dan kebijakan menyangkut lingkungan dan
pembangunan internasional, juga isu kesehatan sebagai bagian dari berbagai
organisasi pemerintah dan agensi seperti Group of Eight (G8) dan negara Group
of Twenty (G20), Uni Eropa, OIC dan BRICS (Brazil, Russia, India, China, South
Africa). Faktor lainnya adalah peningkatan peran atase kesehatan dalam delegasi
asing dan agensi serta meningkatnya dialog dengan negara lowincome dan
middle-income.
Health politics seperti diketahui adalah ilmu dan seni untuk
memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui
sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau negara
untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan yang sehat secara keseluruhan.
Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan yang melahirkan kebijakan
yang pro rakyat untuk menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri.
Kebijakan pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk. Pertama yaitu
peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undang-undang, peraturan
preseiden, keputusan menteri, peraturan daerah baik tingkat provinsi maupun
kabupaten kota. Kebijakan kedua yaitu kebijakan pemerintah dalam bentuk
program yang meliputi segala aktivitas pemerintah baik yang terencana maupun
yang insidentil.
Maka dari itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka
dibutuhkan berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan
masyarakat luas, sehingga akan tercipta suasana dan lingkungan yang sehat. Di
samping itu, pemerintah harus membuat program yang dapat menjadi stimulus

2
bagi anggota masyarakat sehat, baik jasmani, rohani, social, serta mampu
membuat masyarakat hidup produktif secara social ekonomi.

B. Ruang Lingkup
Makalah ini mencakup 4 bab dengan rincian sebagai berikut.
1. Bab I pendahuluan, memuat tentang latar belakang, ruang lingkup, dan tujuan
2. Bab II pengertian health diplomacy dan health politics
3. Bab III contoh-contoh penerapan health diplomacy dan health politics di
tingkat nasional serta tingkat global
4. Bab IV Penutup memuat kesimpulan dan saran.

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan health diplomacy dalam bidang kesehatan
2. Menjelaskan health politics dan bidang kesehatan
3. Menjelaskan penerapan health diplomacy dan health politics di tingkat
nasional
4. Menjelaskan penerapan health diplomacy dan health politics di tingkat global

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Health Diplomacy
Global health diplomacy adalah kegiatan di mana pemerintah dan individu
atau organisasi yang memiliki pengaruh politik signifikan berkoordinasi untuk
mencari solusi kebijakan global untuk meningkatkan kesehatan global. Global
health diplomacy diartikan juga sebagai negosiasi antar pemerintah yang
membentuk dan mengatur kebijakan global di bidang kesehatan. Global health
diplomacy diperlukan untuk meningkatkan kapasitas di bidang kesehatan antara
WHO dan negara-negara anggota WHO dalam rangka menyikapi perubahan
lingkungan global.
Unsur-unsur yang berkontribusi di dalam global health diplomacy adalah
sebagai berikut:
1. Kementerian Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri terlibat juga di bidang kesehatan karena relevan
dengan soft power, kebijakan keamanan, perjanjian perdagangan, kebijakan
lingkungan dan pembangunan. Negara-negara harus mengatasi tantangan
yang bersifat trans-border yang dapat mengganggu stabilitas global, seperti
pandemik dan perubahan iklim. Karena bersifat lintas negara, maka peran
Kementerian Luar Negeri sangat diperlukan.
2. Bidang di mana health diplomacy dikembangkan
Global health diplomacy merujuk pada dua hal yaitu sebuah sistem
organisasi, dan proses komunikasi serta negosiasi yang membentuk
lingkungan kebijakan global di bidang kesehatan dan faktor penentunya.
Global issue diplomacy yang dikembangkan adalah HIV, kesehatan anak, dan
penyakit menular. Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan memiliki peran
ganda yaitu meningkatkan kesehatan negaranya dan juga memajukan
kesehatan komunitas global.

4
3. Globalisasi, hubungan antara donor dan penerima, peningkatan kerjasama
antara negara yang berpendapatan tinggi dan rendah meningkatkan kebutuhan
akan global health diplomacy.
4. Diplomat yang kompeten di bidang kesehatan
Negosiasi di bidang kesehatan berlangsung di berbagai tempat yang berbeda,
melibatkan interaksi di berbagai level pemerintahan, dan bersinggungan
dengan kebijakan domestik dan luar negeri. Agar dapat mengikuti proses
negosiasi dengan baik, sangat dibutuhkan persiapan yang baik di tingkat
nasional dan regional. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peran diplomat
yang kompeten di bidang kesehatan.
Global health diplomacy jika berjalan dengan baik akan meningkatkan
kesehatan global, equity, hubungan yang lebih baik dan terpercaya antara negara-
negara, dan menguatkan komitmen antara para stakeholder untuk bekerja sama
dalam rangka meningkatkan kesehatan nasional dan global.
B. Health Politics
Health Politics atau Politik Kesehatan biasanya secara signifikan seringkali
dikontruksikan menjadi politik pelayanan kesehatan (Freeman, 2000). Kondisi ini
dapat terjadi karena kesehatan dapat ditelusuri dari dua isu ideologi yaitu definisi
kesehatan pada satu sisi dan politik pada sisi yang lain. Konsep dan metode ilmu
politik secara jelas mempunyai kontribusi terhadap studi-studi kesehatan.
Meskipun demikian, debat spesifik tentang kesehatan belum dianggap secara luas
sebagai entitas politik misalnya dalam debat-debat akademik atau dalam
masyarakat (Bambra et al., 2008). Oleh karena itu, marginalisasi politik kesehatan
seakan-akan mempunyai solusi sederhana yaitu perlunya perlakuan atau treatment
kesehatan sebagai isu politik. Kesehatan termasuk aspek kehidupan manusia yang
merupakan sebuah isu politik dalam banyak hal (Bambra et al., 2005):
1. Kesehatan adalah politik karena sama seperti sumber daya yang lain atau
komoditas di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, beberapa kelompok
sosial mempunyai lebih dari yang lainnya (unequal distribution).

5
2. Kesehatan adalah politik karena determinan sosialnya (social determinants)
adalah mudah diterima dalam intervensi politik dan oleh karena bergantung
pada
3. Tindakan politik (biasanya) (health determinants).
4. Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir
(organization).
5. Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak
untuk kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek kewarganegaraan dan
hak asasi manusia (citizenship).
Kesehatan adalah politik karena saat ini kita menghadapi krisis global yang
cukup kompleks yang berdampak pada kesehatan dan kematian yang
sesungguhnya dapat dicegah (globalisation).
Kesehatan adalah politik karena kekuasaan dilaksanakan sepanjang itu
sebagai bagian dari sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Perubahan
sistem ini membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik. Mengapa kesehatan
berdimensi politik karena dalam bidang kesehatan terdapat disparitas derajat
kesehatan masyarakat antar suku dan ras, antar kelompok, antar wilayah dan
bahkan antar negara dimana sebagian kelompok tersebut memiliki akses dan
status kesehatan yang lebih baik sementara lainnya tidak. Untuk mencapai itu
perlu diperjuangkan dan mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam upaya
memenuhi keadilan terhadap berbagai masalah dibidang kesehatan (Palutturi,
2015).

6
BAB III PEMBAHASAN

A. Contoh Penerapan Health Diplomacy Dan Health Politics Di Tingkat Nasional


1. Kebijakan Kesehatan dengan Menaikan Harga Cukai Rokok
Politik Kesehatan adalah ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat
kesehatan masyarakat dalam satu wilayah atau negara untuk menciptakan
masyarakat dan lingkungan sehat secara keseluruhan. Untuk meraih tujuan
tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang dimiliki, maka akan
melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk menjamin derajat kesehatan
masyarakat itu sendiri.
Kebijakan pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk. Pertama,
peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi Undang-Undang,
Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah baik tingkat
Provinsi atau Kabupaten/Kota, dan peraturan lainnya, Kedua, kebijakan
pemerintah dalam bentuk program yaitu segala aktifitas pemerintah baik yang
terencana maupun yang insidentil dan semuanya bermuara pada peningkatan
kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan, dan masyarakat agar tetap sehat
dan sejahtera, baik fisik, jiwa, maupun sosial.
Bambra et all (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan
mengapa kesehatan itu adalah politik, karena dalam bidang kesehatan terjadi
disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana sebagian menikmati
kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi equity, keadilan
harus diperjuangkan.
Kesehatan adalah bagian dari politik karena derajat kesehatan atau
masalah kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat diarahkan atau
mengikuti kehendak (amenable) terhadap intervensi kebijakan politik.
Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan adalah Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka
dibutuhkan berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan

7
dan masyarakat luas, sehingga suasana dan lingkungan sehat selalu tercipta.
Di samping itu, pemerinth harus membuat program yang dapat menjadi
stimulus bagi anggota masyaarakat untuk menciptakan lingkungan dan
masyarakat sehat baik jasmani, rohani, sosial serta mamampukan masyarakat
hidup produktif secara sosial ekonomi.
Kesehatan merupakan hak rakyat dan negara pun tidak mau memiliki
rakyat yang sakit-sakitan sehingga diambilah keputusan politik yang juga
sehat yaitu dengan cara menaikan harga cukai rokok sehingga konsumsi rokok
di Indonesia berkurang. Biaya ekonomi dan sosial ditimbulkan akibat
konsumsi tembakau yang terus meningkat dan beban peningkatan ini sebagian
besar ditanggung oleh masyarakat miskin, Angka kerugian akibat rokok setiap
tahun mencapai 200 juta dolar Amerika sedangkan angka kematian akibat
penyakit yang diakibatkan oleh rokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah
biaya konsumsi dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas
akibat kematian dini, sakit, dan kecacatan adalah US $ 18.5 Milyar atau Rp
167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari
pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US $ 3,62 Milyar tahun 2005
(1 US$ -Rp 8.500).
Padat Tahun 2017, Sri Mulyani, Menteri Keuangan mengumumkan
besarnya tarif cukai di Kantor Pusat Bea Cukai. Menurut Sri Mulyani,
pemerintah menyadari bahwa rokok merugikan kesehatan masyarakat
sehingga harus dibatasi. Hal ini sejalan dengan prinsip pengenaan cukai yaitu
untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran. Selain aspek
kesehatan, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek lain dari rokok, yaitu
tenaga kerja, peredaran rokok ilegal, petani tembakau, dan penerimaan negara.
Oleh karena itu, menurutnya seluruh aspek tersebut perlu dipertimbangkan
secara komprehensif dan berimbang dalam pengambilan kebijakan yang
berkaitan dengan harga dan cukai rokok.

8
Untuk kepentingan kesehatan, Kementerian Keuangan melalui Bea
Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari
4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di tahun 2016. Tak hanya itu, pertumbuhan
produksi hasil tembakau pun telah dikendalikan, sehingga selama 10 tahun
terakhir menunjukkan tren yang negatif yaitu sebesar -0,28%, dimana pada
saat yang bersamaan jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 1,4%. Hal
ini membuktikan bahwa secara riil pemerintah dapat menekan konsumsi
rokok secara cukup signifikan. Hal tersebut sejalan dengan studi oleh
Djutaharta pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa ada korelasi antara
kenaikan cukai dengan penurunan konsumsi rokok.
Dari aspek ketenagakerjaan, kebijakan cukai juga berdampak pada
keberlangsungan lapangan pekerjaan sektor formal sebesar 401.989 orang,
dimana tiga perempatnya atau 291.824 orang terlibat di produksi Sigaret
Kretek Tangan yang merupakan industri padat karya. Jika ditambah dengan
sektor informal, maka kebijakan ini berdampak pada kehidupan 2,3 juta petani
tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau, dan 1 juta
pedagang eceran. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan cukai memberikan pengaruh berarti terhadap kehidupan lebih dari
5,8 juta masyarakat Indonesia. Data ini juga didukung oleh studi LPEM UI
tahun 2013 bahwa kebijakan cukai berpengaruh langsung terhadap lebih dari 6
juta orang.
Kementerian Keuangan c.q. Bea Cukai berkomitmen untuk
mengamankan kebijakan cukai secara maksimal, dengan cara melakukan
penindakan rokok ilegal. Hingga 29 September 2016 saja, Bea Cukai telah
melakukan penindakan terhadap 1.593 kasus hasil tembakau ilegal. Angka ini
meningkat 1,29 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2015 (1232
kasus) dan 1,76 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2014 (901
kasus). Dari Januari 2016 hingga saat ini, Bea Cukai berhasil mengamankan

9
176,22 juta batang rokok senilai Rp135,55 Miliar, dimana jumlah pelanggaran
terbanyak berasal dari jenis rokok yang diproduksi dengan mesin.
Berbicara soal penerimaan negara, Sri Mulyani mengungkapkan
bahwa kontribusi cukai terhadap APBN hingga kini berada pada kisaran 10-
12%. Untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap APBN adalah sebesar
12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%. Walau
berkontribusi cukup besar, namun angka dan peranannya menunjukkan
penurunan yang berarti. Kebijakan yang menyangkut aspek kesehatan adalah
dalam bentuk pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah berupa dana
alokasi kesehatan, atau dikenal dengan istilah earmarking. Di tahun 2014 dana
earmarking sebesar 11,2 Triliun, tahun 2015 sebesar 15,14 Triliun, dan tahun
2016 diperkirakan sebesar 17 Triliun. Adanya peningkatan pada jumlah dana
yang dialokasikan, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap
aspek kesehatan. Disamping untuk kesehatan, dana tersebut juga
diperuntukkan pada persiapan pengalihan orang yang bekerja dalam industri
rokok untuk beralih ke industri lain.
Untuk tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai yang
baru melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 147/PMK.010/2016. Dalam
kebijakan baru ini menyebutkan kenaikan tarif tertinggi adalah sebesar 13,46
% untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah
sebesar 0 % untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan
IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan
tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%.
Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan adalah pengendalian
produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai. Kebijakan tersebut
sudah dibicarakan dengan berbagai stakeholder, baik pihak yang peduli
dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi
pengusaha rokok. Selain itu juga dilakukan pertemuan dan diskusi dengan
pemerintah daerah, yayasan, dan universitas. Dari pertemuan dan diskusi yang

10
diselenggarakan, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai merupakan
langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan
produksi. Kenaikan tersebut harus berimbang, sehingga tidak berdampak
negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi
industri kecil.
Selain itu, dalam rangka pengamanan di bidang cukai, pemerintah
pada tahun ini meningkatkan pengawasan khususnya terkait dengan peredaran
mesin pembuat rokok. Hal ini sejalan dengan data intelijen dan hasil survei
bahwa pelanggaran yang paling besar adalah rokok sigaret kretek mesin
(SKM). Untuk menjamin efektivitas dan juga menghasilkan outcome yang
diharapkan, Bea Cukai akan melakukan pendataan mesin pembuat rokok
bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
dan instansi lainnya. Harapannya hal ini dapat berkorelasi positif dengan
penerimaan dari sektor cukai. Di tahun 2017, ditargetkan penerimaan cukai
sebesar 149,8 Triliun, yang merupakan 10,01% dari total penerimaan
perpajakan. Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih
cukup signifikan. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama
mengamankan kebijakan cukai. Karena apabila meleset, akan langsung
berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pembangunan nasional.
2. Revitalisasi Posyandu Di Jawa Barat Sebagai Upaya Diplomasi Kesehatan
Isu kesehatan merupakan isu yang utama bagi Indonesia sebab banyak
faktor yang menyebabkan ini krusial. Mulai dari faktor penduduk Indonesia
yang akan menuju kepada bonus demografi pada tahun 2015-2025.
Kepentingan nasional Indonesia dalam hal ini adalah memastikan kesehatan
seluruh warganya terjamin tanpa harus mengeluarkan biaya yang tidak efisien
mengingat sumber daya yang tersedia di Indonesia cukup banyak. Kiprah
Indonesia dalam diplomasi kesehatan global selama ini cukup diperhitungkan
baik di WHO, OKI, MDGs dan pendanaan donor-donor internasional lainnya

11
dalam membantu program kesehatan di Indonesia. Pada tataran negara,
Indonesia sebagai unitary actor dalam sistem internasional melakukan
beberapa upaya seperti membentuk Foreign Policy Global Health (FPGH)
aktif dalam perundingan WHO, khususnya dalam World Health Assembly.
Pada tahun 2013, Indonesia berkesempatan menjadi ketua dan mengusulkan
sebuah resolusi mengenai “Partnership in Global Health”. Diplomasi di
bidang kesehatan yang dilakukan oleh Indonesia perlu didukung dengan
kapasitas dan peningkatan kemampuan Indonesia sendiri di bidang kesehatan.
Sehingga manuver-manuver yang dilakukan oleh Indonesia dalam diplomasi
kesehatan global lebih memiliki daya ungkit yang cukup besar. Unsur-unsur
yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas dan peningkatan kemampuan
sistem kesehatan nasional, seperti pencapaian MDGs dan SDGs, pemanfaatan
sumber daya alam lokal, dan penguatan nilai-nilai khas Indonesia yang
mengakar cukup penting untuk ditambahkan dalam bagian diplomasi
kesehatan global yang dilakukan oleh Indonesia. Dengan reputasi dan track
record yang cukup baik di forum-forum internasional, unsur-unsur diatas akan
semakin mengokohkan posisi Indonesia dalam diplomasi kesehatan global.
Diplomasi menjadi bagian tidak terpisahkan dari ragam isu, teramasuk
isu kesehatan. Para pemimpin di bidang akademik dan kebijakan berusaha
untuk menggunakan diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan.
Kesehatan menjadi penting sebagai bagian dari lensa politik luar negeri,
dipengaruhi oleh faktor berikut: 1) Kesehatan adalah hak asasi manusia dan
sangat menentukan bagi stabilitas pembangunan nasional; 2) Meningkatnya
common vulnerability negara-negara terhadap public health risk dan threats,
sehingga pergerakan manusia, hewan, tumbuhan, dan perubahan iklim
berlangsung makin kerap, cepat dan trans-boundary. Shared risk ini tidak
mungkin ditangani sendiri dan perlu adanya kerja sama internasional dalam
upaya mengatasinya

12
Upaya untuk mengenalkan permasalahan kesehatan kepada publik
tidak bisa hanya dilakukan oleh negara saja, diplomasi ini harus melibatkan
aktor-aktor lain, bahkan lebih besar pengaruh dari negara, seperti individu,
organisasi nonpemerintah, institusi pendidikan, organisasi internasional,
perusahaan swasta, yang memiliki pengaruh lebih dalam terhadap publik
melalui akses akan kegiatan sehari-hari masyarakat. Agenda-agenda yang
dapat dipromosikan oleh aktor-aktor terkait melalui diplomasi kesehatan dapat
diperoleh dari agenda-agenda kesehatan dari organisasi internasional atau juga
dari target dan tujuan yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.
Isu kesehatan ibu dan anak yang merupakan salah satu bagian dari
pencapaian MDGs ataupun SDGs merupakan isu kesehatan global yang
menarik dikaji dalam kajian hubungan internasional. Program posyandu yang
hanya dimiliki oleh Indonesia menjadikan salah satu unggulan yang dapat
dijadikan salah satu usulan Indonesia terhadap cara penyelesaian masalah
kesehatan ibu dan anak secara global. Untuk lebih mengoptimalkan peran
Posyandu dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya adalah
dengan konsep kerjasama Public-Private Partnership (PPP). Kerjasama PPP
ini nantinya akan dilakukan oleh Indonesia dalam upaya Global Health
Diplomacy (GHD).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk, dan
bersama masyarakat, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar. Posyandu berlokasi di setiap desa/kelurahan/RT/RW atau dusun, salah
satu kios di pasar, salah satu ruangan perkantoran, atau tempat khusus yang
dibangun oleh swadaya masyarakat. Pemerintah Indonesia mencoba
melakukan perbaikan dari program Posyandu tersebut. Salah satunya adalah
mengeluarkan kebijakan revitalisasi. Sejak tahun 2001, Indonesia memulai

13
babak baru perkembangan posyandu melalui Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 411.3/1116/SJ Pada Tanggal 13 Juni 2001.
Provinsi Jawa Barat menuangkan kebijakan tersebut melalui Peraturan
Gubernur No. 53 tahun 2015. Kebijakan revitalisasi posyandu di Jawa Barat
merujuk dari Pasal 5 Peraturan Gubernur No. 53 Tahun 2015 tersebut berupa
peningkatan kapasitas kelembangaan posyandu melalui kegiatan peningkatan
kapasitas kader Posyandu, peningkatan sarana dan prasarana Posyandu, dan
peningkatan pendanaan Posyandu. Untuk kegiatan peningkatan kapasitas
kader Posyandu dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah kader posyandu
aktif sekurang-kurangnya lima orang setiap posyandu. Pemerintah Daerah
juga melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader posyandu.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kader posyandu
meliputi pemberdayaan masyarakat, teknis substantif pelayanan, administrasi
dan sistem informasi posyandu. Untuk menunjang program revitalisasi ini
juga, Pemerintah Daerah memfasilitasi peningkatan sarana dan prasarana
Posyandu. Mulai dari bangunan posyandu dan alat kelengkapan posyandu.
Pemerintah Daerah juga melalui kebijakan revitalisasi tersebut mengatur
mekanisme hibah dan bantuan sosial untuk operasional kegiatan dan kader
Posyandu sebagai bentuk fasilitasi mereka terhadap pendanaan Posyandu.
Kemudian dengan tujuan menjaga kualitas dari pelayanan posyandu di Jawa
Barat, dilakukan juga kegiatan monitoring, evaluasi, dan pendampingan
posyandu.
Perkembangan posyandu di Jawa Barat menunjukkan suatu kondisi
yang baik. Beberapa posyandu di Jawa Barat silih berganti menjuarai
kompetisi posyandu tingkat nasional. Berdasarkan temuan dari Laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan
posyandu secara nasional angkanya 65,2 persen dan angka tersebut di Jawa
Barat sebanyak 78,2%. Prestasi posyandu-posyandu di Jawa Barat juga

14
sangat baik, terbukti bahwa sejak 2011-2015 Pemerintah Kabupaten Bandung
Barat selalu meraih prestasi dalam program revitalisasi posyandu tingkat
daerah maupun nasional. Karakter posyandu di Kabupaten Bandung Barat
bersifat multifungsi menjadi keunggulan dibandingkan posyandu-posyandu
lain pada umumnya. Posyandu di Jawa Barat juga melakukan beberapa
kerjasama dengan perusahaan multinasional dalam kerangka Public Private
Partnership (PPP) untuk meningkatkan kualitas pelayanan mereka.
Pola diplomasi kesehatan alam program revitalisasi posyandu di Jawa
Barat yang terlihat adalah besarnya peran dan insiatif dari pemerintah
kabupaten. Hal ini juga terlihat dari data pengalokasian anggaran untuk
operasional posyandu di Kabupaten Bandung Barat. Pola kedua adalah
dilakukannya kerjasama antara pemerintah melalui posyandu dengan pihak
swasta, mempersilahkan perusahaan swasta untuk menggandeng posyandu
dalam program Coorporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan kerjasama
PPP Posyandu di Jawa Barat diantaranya dilakukan dengan beberapa pihak,
yaitu P&G, UNICEF, Nestle, PT. Kraft Indonesia dan Save The Children.
P&G dan UNICEF berkolaborasi dengan posyandu-posyandu di
Sukabumi dalam program Taman Posyandu dan Balita Cerdas. Mekanisme
kerjasama yang dilakukan adalah program Balita Cerdas sendiri sudah lama
berjalan sejak 2006 dan pemberian bantuan selama dua tahun oleh P&G dan
UNICEF terhadap 10 Taman Posyandu untuk meningkatkan pelayanan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sejak tahun 2012. Kerjasama pemerintah
Indonesia, P&G, dan UNICEF pada program Balita Cerdas meliputi advokasi,
sosialisasi, survei kebutuhan kesehatan masyarakat, pelatihan pekerja
kesehatan dan pendidikan kesehatan bagi orangtua, menyediakan sarana
belajar mengajar, serta pendampingan dan pengawasan. Selain itu, P&G juga
mendukung pembangunan 4 fasilitas P&G Center di Sukabumi.
Kerjasama lainnya dilakukan adalah antara Posyandu dan Nestle di
Bekasi, Jawa Barat. Bersama dengan Nestle, Posyandu di Bekasi melakukan

15
kegiatan “Posyandu Cares: Growth-Active-Response (Tumbuh-Aktif-
Tanggap/TAT) Movement 2012”. Kegiatan ini berisi beberapa rangkaian
kegiatan, seperti pelatihan dan kontes kader Posyandu serta Posyandu tingkat
nasional. Kerjasama yang dilakukan bertujuan memberikan pelatihan untuk
peningkatan pelayanan kesehatan melalui penyebaran informasi tumbuh-aktif-
tanggap. Pencapaian dari kerjasama Pemerintah Indonesia dan Nestle telah
mampu mencapai 15.400 kader di 3.700 posyandu dan melibatkan 350.000
bidan di Indonesia.
Posyandu di Jawa Barat juga melakukan kerjasama dengan pihak
swasta lainnya, yaitu PT. Kraft Indonesia dan Save the Children. Kerjasama
tersebut diberlakukan sejak tahun 2009 sampai 2012 melalui bantuan dana
senilai US$ 1,9 juta. Program ini difokuskan pada penanggulangan masalah
malnutrisi, mendukung gaya hidup sehat dan pembangunan komunitas
Indonesia. Pencapaian dari program tersebut adalah diberdayakan sebanyak
556 Posyandu yang dikonsentrasikan di 3 kabupaten di wilayah Provinsi Jawa
Barat, yaitu Kabupaten Bandung Barat (Padalarang, Cihampelas, dan
Ngamprah), Kabupaten Bekasi (Cikarang Utara dan Cikarang Selatan), dan
Kabupaten Karawang (Klari dan Purwasari), (Hidayat, 2017). Pemanfaatan
Posyandu ditambah program model akan membantu mengembangkan
pengetahuan dasar dan kemampuan sosial anak-anak untuk meningkatkan
kualitas nutrisi, kesehatan dan pendidikan mereka.
Revitalisasi Posyandu yang didukung oleh pihak swasta dapat menjadi
salah satu bentuk diplomasi kesehatan Indonesia (soft power) dalam
penguatan nilai-nilai kesehatan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia
serta dalam melakukan diplomasi di bidang kesehatan global dimana nilai-
nilai kesehatan tersebut dapat diadaptasi di negara lain.
B. Contoh Penerapan Health Diplomacy Dan Health Politics Di Tingkat Global
Salah satu forum diplomasi kesehatan yang telah menjadi ajang diplomasi
kesehtan adalah inisiatif Foreign Policy and Global Health (FPGH) . inisiatif ini

16
digagas oleh tujuh negara utama yakni, Indonesia, Thailand, Norwegia, Prancis,
Brazil, Afrika Selatan dan senegal. Mekanisme kebijakan yang diterapkan oleh
tujuh negara ini bersifat loose yang diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan
penyusunan inisitaif bersama diberbagi forum terkait seperti sidang majelis
umum PBB, Dewn Ham PBB dan World Health Assembly.
Salah satu wujud nyata dari kerja sama FPGH , Sidang majeis umum PBB
telah mengadopsi resolusi tentang “ Global Health and foreign Policy” . Selain itu
negara-negar FPGH juga menaruh perhatian pada isu lainnya seperti reformasi
WHO, agenda pembangunan berkelanjutan dan global health governance.
Dibentuknya Oslo Declaration didalam forum FPGH merupakan salah satu wujud
tindakan nyata dalam menekankan masalah kesehatan global.
Indonesia mengupayakan pengesahan resolusi “Pandemic Influenza
Preparedness : Sharing of Influenaza Viruses and Access to Vaccins and other
Benefits “ dalam sidang Word Health Assembly yang diselenggarakan di Jenewa
tanggal 14-23 Mei 2007 . Resolusi ini merupakan solusi terhadap permasalahan
mekanisme virus flu burung, dimana pada tahun 2003 terjadi penyebaran wabah
virus flu burung di Indonesia dengan tingkat kematian 70% dari setiap kasus
yang terjadi . Dengan adanya tingkat kematian yang sedemikian tinggi, WHO
mewajibkan semua negara untuk mengirimkan sampel virusnya kepada Global
Influenza Surveilance (GISN) yang merupakan lembaga rekanan WHO dalam
mencegah terjadinya pandemik virus. Dalam artian virus sharing menurut WHO
adalah negara berkembang mengirim virus gratis kepada negara maju , negara-
negara yang mengalami outbreak flu burung pada manusia menyerahkan virus
H5N1 kepada WHO Colaborating Centre yang dikirim dalam bentuk wild virus
yang diambil dari korban yang meninggal karena flu burung.
Negara-negara pengirim virus ini hanya diminta menunggu konfirmasi
diagnosis dari virus tersebut. Setelah itu mereka tidak pernah tahu perjalanan
virus yang dikirim. Pada akhirnya negara- negara tersebut harus membeli vaksin
flu burung dari negara-negara maju dengan harga mahal padahal mereka

17
mendapatkan sampel virus tersebut dengan gratis. Kondisi ini juga dialami oleh
Indonesia, virus yang dikirim oleh Indonesia ke WHO telah dikembangkan
menjadi vaksin di Australia, australia menjelaskan bahwa virus diperoleh dari
WHO. Oleh karena itu Menteri kesehtan menegaskan bahwa virus tersebut
dikirim untuk kepentingan kemanusiaan. Menteri Kesehatan Fadhilah Supari
melakukan protes terhadap WHO dan berusaha untuk merubah mekanisme
pengelolaan virus agar lebih adil dan setara.
Menyadari adanya upaya komersialisasi dari virus flu burung strain
Indonesia oleh perusahaan farmasi diluar negeri, Pemerintah Indonesia menuntut
dikembalikannya 58 virus yang telah dikirimkan Indonesia kepada WHO. WHO
menolak tuntutan Indonesia ini dengan alasan virus-virus tersebut telah
dipatenkan dalam seed virus oleh warga negara asing diluar negeri. Pada bulan
Januari 2007 indonesia tidak lagi berbagi virus dengan GISN tersebut .
Berdasarkan keputusan tersebut, Indonesia dipojokkan karena dianggap
mengambil langkah kontroversial dengan menghentikan kerja sama dengan
WHO dalam hal analisis virus flu burung.
Pada sidang WHA yang ke 60 Indonesia berhasil mendorong dunia
Internasional untuk membangun mekanisme sharing sample yang transfaran dan
adil serta memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang. Resolusi tersebut
telah memberikan pengakuan terhadap prinsip-prinsip hak kedaulatan negara
terhadap sumber daya hayati, prinsip permintaan virus kepada negara asal virus
dan penghormatan terhadap hukum nasional. Dengan disahkannya resolusi
tersebut yang mendapat dukungan dari negara-negara anggota WHO sepakat
untuk memmbangun kerangka kerja dan mekanisme benefit sharing yang adil,
termasuk akses terhadap vaksin negara – negara berkembang, khususnya
penelitian, teknologi dan produksi vaksin serta penyediaan dan distribusi vaksin
yang mengutamakan negara-negara berkembang.
Dalam sidang WHA ini menteri Kesehatan RI DR.dr. Siti Fadilah Supari
secara aklamasi terpilih sebagai anggota Dewan Eksekutif WHO , ini merupakan

18
sebuah pengakuan dan penghargaan atas peran aktif Menkes RI dan Indonesia
dalam upaya penanganana kesehatan global selama ini. Pada sidang WHA ke 64
ditetapkan resolusi resolusi WHA No.64/56 tentanng “Pandemic Influenza
Preparedness : Sharing of Influenaza Viruses and Access to Vaccins and other
Benefits “ . Resolusi ini menetapkan kerangka kerjasama multilateral dalam
kesiapan dunia menghadapi pandemiinfluenza,khususnya virus sharing , akses
pada vaksin dan manfaat lain serta Standard material Transferr Agreement
(SMTA).
Pada tahun 2013 , Indonesia dan seluruh anggota PBB telah terlibat
negosiasi selama sebulan untuk meluluskan konsensus atas rancangan resolusi
Majelis umum PBB untuk mata agenda “ Global Healt`h and Foreign Policy” .
Rancangan resolusi yang mengangkat tema “ Partnership for Global Health “
diadopsi dalam pleno ke 65 Sidang Majelis Umum PBB ke 68 di New York pada
11 Nopember 2013. Adapun resolusi tersebut mendorong agar terciptanya
kemitraan global yang dapat mendukung tercapainya tujuan kesehatan global.
Keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan resolusi tersebut
merupakan sebuah diplomasi yang sangat berharga, Indonesia telah berhasil
mendobrak sistem penanganan pandemi influenza dan tatanan penggunaan virus
yang telah berlaku selama 64 Tahun.

19
BAB IV
KESIMPULAN

1. Global health diplomacy adalah kegiatan di mana pemerintah dan individu


atau organisasi yang memiliki pengaruh politik signifikan berkoordinasi untuk
mencari solusi kebijakan global untuk meningkatkan kesehatan global. Unsur-
unsur yang berkontribusi di dalam global health diplomacy adalah: 1)
Kementerian Luar Negeri, 2) Bidang di mana health diplomacy
dikembangkan, 3) Globalisasi, hubungan antara donor dan penerima,
peningkatan kerjasama antara negara yang berpendapatan tinggi dan rendah
meningkatkan kebutuhan akan global health diplomacy, 4) Diplomat yang
kompeten di bidang kesehatan
2. Health Politics atau Politik Kesehatan biasanya secara signifikan seringkali
dikontruksikan menjadi politik pelayanan kesehatan (Freeman, 2000).
Kesehatan termasuk isu politik mencakup beberapa hal: 1) Kesehatan adalah
politik karena sama seperti sumber daya yang lain atau komoditas di bawah
sistem ekonomi neo-liberalisme, 2) Kesehatan adalah politik karena
determinan sosialnya, 3) Tindakan politik (biasanya) (health determinants), 4)
Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir
(organization), 5) Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar
kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek
kewarganegaraan dan hak asasi manusia (citizenship).

20
DAFTAR PUSTAKA

etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81451/.../S2-2015-342631-chapter1.pdf di akses
pada tanggal 5 Desember 2017
Hidayat, Taufik. (2017). Posyandu sebagai Soft Power Indonesia dalam Diplomasi
Kesehatan Global. Diakses melalui
http://www.intermesticjournal.fisip.unpad.ac.id pada tanggal 4 Desember 2017.
Kementerian Keuangan. (2016). Melalui Kebijakan Cukai 2017, Pemerintah Tingkatkan
Kepedulian akan Kesehatan, Kesempatan Kerja, dan Pembangunan Nasional.
Diakses melalui Web Resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
http://www.beacukai.go.id/berita/melalui-kebijakan-cukai-2017-pemerintah-
tingkatkan-kepedulian-akan-kesehatan-kesempatan-kerja-dan-pembangunan-
nasional.html pada tanggal 06 Desember 2017.
Kickbusch& Kökény. (2013) Global Health Diplomacy: Five Years On. Bulletin of
The World Health Organization. 91, 159 – 159A. DOI: 10.2471/BLT.13.118596
PAHO. (2017). What is Health Diplomacy and Why Important and Relevant at this time.
Diakses melalui http://www.paho.org/ocpc/index.php?option=com
_docman&view=download&alias=84-what-is-health-diplomacy-and-why-
important-relevant&category_slug=2017-health-diplomacy-training-workshop-in-
guyana&Itemid=490 pada tanggal 5 Desember 2017.
Palutturi, Sukri, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD. 2015. Health Politics Teori dan Praktek.
Makassar : Universitas Hasanudin.
Sade, Arfandi. (2012). Politik Kesehatan. Diakses melalui http://arfandisade-
as.blogspot.co.id/2012/08/politik-kesehatan.html pada tanggal 06 Desember
2017.
What is Health Diplomacy and Why is it So Important and Relevant at This Time?
Diakses pada 6 Desember 2017, dari
http://www.paho.org/ocpc/index.php?option=com_docman&view=download&alia
s=84-what-is-health-diplomacy-and-why-important-
relevant&category_slug=2017-health-diplomacy-training-workshop-in-
guyana&Itemid=490KESIM

21

Anda mungkin juga menyukai