Anda di halaman 1dari 21

LINGKUNGAN DAN KESEHATAN GLOBAL

“Health Diplomacy and Health Politic in Global Era”

KELOMPOK 6
ANGGOTA :

1. Dwinda Listya Indirwan 1806167900


2. Fitri Khoiriyah Parinduri 1806254106
3. Sheila Ridhawaty 1806168815
4. Silvia Fakhrunnisa 1806254730

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkn rahmat dan hidayah-NYA
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam
rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Lingkungan dan Kesehatan Global Program
Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepadadosen pengampu Mata Kuliah
Lingkungan dan Kesehatan Global yang telah mengarahkan kami dalam penyusunan makalah
ini. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu kesehatan masyarakat.

Depok, Desember 2018

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. LatarBelakang........................................................................................................1

B. Tujuan....................................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................3
A. Health Diplomacy..................................................................................................3

B. Health Politics.......................................................................................................4

C. ContohPenerapan Health Diplomacy dan Health Politics di Tingkat Nasional....8

D. ContohPenerapan Health Diplomacy dan Health Politics di TingkatGlobal.......14

BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................16


A. Kesimpulan..........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Padatahun 2007 menteri luar negeri dari tujuh negara yakni Afrika Selatan, Brasil,
Prancis, Indonesia, Norwegia, Senegal, dan Thailand menyepakati Oslo Ministerial
Declaration yang secara langsung menghubungkan isu kesehatan global dengan kebijakan
luar negeri. Diplomasi tipe ini kemudian disebut dengan global health diplomacy (Amorim et
al., 2007). MenurutKickbush et.al 2013 mendefinisikan global health diplomacy sebagai
proses yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil untuk menempatkan kesehatan
dalam negosiasi kebijakan luar negeri dan menciptakan bentuk baru global health
governance. Lebih lanjut Kickbush & Lokeny mendefinisikannya sebagai sistem organisasi,
komunikasi dan proses negosiasi yang membentuk lingkungan kebijakan global dalam
lingkup kesehatan dan hal-hal yang menyangkut kesehatan.
Elemen utama global health diplomacy tidak hanya menyangkut pembicaraan antar
diplomat yang satu dengan lainnya namun juga melibatkan ahli dalam berbagai bidang dan
disiplin yang bekerja sama untuk menyelesaikan isu kesehatan global. MenurutKatz et al
tahun 2011 mengkategorikan beberapa aspek yang membedakan global health diplomacy
dengan diplomasi lainnya sebagai berikut : (1) Core diplomacy, merujuk pada “classical
Westphalian negotiations” antar negara dalam hubungannya dengan perjanjian bilateral dan
multilateral, contoh : WHO Framework Convention on Tobacco Control and International
Health Regulations (IHR) 2005; (2) Multistakeholder diplomacy, merupakan diplomasi antar
negara atau antara negara dengan agensi internasional seperti WHO, GAVI, United States
Agency for International Development (USAID) dan non-governmental organizations
(NGOs); (3) Informal diplomacy, yang menyertakan peer-to-peer scientific partnership, dana
dari perseorangan seperti Bill & Melinda Gates Foundation, dan bahkan pegawai dari
institusi pemerintah seperti USAID ataupunmiliter AS yang terlibat secara langsung dalam
sistem unik global health diplomacy. Kickbusch & Lokeny (2013) juga mencatat bahwa
direktur jenderal WHO berkali-kali menyebutkan perihal health diplomacy dalam pidato sesi
eksekutif pada bulan Januari 2013. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktorseperti kaitan
antara globalisasi dan penggunaan “soft power”, kebijakankeamanan, perjanjian
perdagangan dan kebijakan menyangkut lingkungan dan pembangunan internasional, juga isu
kesehatan sebagai bagian dari berbagai organisasi pemerintah dan agensi seperti Group of
Eight (G8) dan negara Group of Twenty (G20), Uni Eropa, OIC dan BRICS (Brazil, Russia,

1
2

India, China, South Africa). Faktor lainnya adalah peningkatan peran atase kesehatan dalam
delegasi asing dan agensi serta meningkatnya dialog dengan negara lowincome dan middle-
income.
Health politics seperti diketahui adalah ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat
kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut
dalam sebuah wilayah atau negara untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan yang sehat
secara keseluruhan. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan yang melahirkan
kebijakan yang pro rakyat untuk menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri.
Kebijakan pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk. Pertama yaitu peraturan
pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undang-undang, peraturanpreseiden, keputusan
menteri, peraturan daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Kebijakan kedua
yaitu kebijakan pemerintah dalam bentukprogram yang meliputi segala aktivitas pemerintah
baik yang terencana maupun yang insidentil.
Maka dari itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka dibutuhkan
berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan masyarakat luas,
sehingga akan tercipta suasana dan lingkungan yang sehat. Di samping itu, pemerintah harus
membuat program yang dapat menjadi stimulus

B. Tujuan
1. Menjelaskan health diplomacy dalam bidang kesehatan
2. Menjelaskan health politics dalam bidang kesehatan
3. Menjelaskan penerapan health diplomacy dan health politics di tingkat nasional
4. Menjelaskan penerapan health diplomacy dan health politics di tingkat global
BAB II
PEMBAHASAN

A. Health Diplomacy
Global health diplomacy adalah kegiatan di mana pemerintah dan individuatau
organisasi yang memiliki pengaruh politik signifikan berkoordinasi untukmencari solusi
kebijakan global untuk meningkatkan kesehatan global. Globalhealth diplomacy diartikan
juga sebagai negosiasi antar pemerintah yangmembentuk dan mengatur kebijakan global di
bidang kesehatan.
Global Health Diplomacy yang dimaksud adalah diplomasi yang dilakukan oleh
beberapa pihak, baik negara maupun non-negara, memiliki tujuan mencapai pemenuhan
kesehatan global, terdapat kerjasama antara aktor negara dan non-negara, kerjasama berupa
transfer teknologi dan ilmu atau pemberian bantuan berupa obat-obatan atau dana.
Global healthdiplomacy diperlukan untuk meningkatkan kapasitas di bidang kesehatan
antaraWHO dan negara-negara anggota WHO dalam rangka menyikapi perubahanlingkungan
global.Unsur-unsur yang berkontribusi di dalam global health diplomacy adalahsebagai
berikut:
1. Kementerian Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri terlibat juga di bidang kesehatan karena relevandengan soft
power , kebijakan keamanan, perjanjian perdagangan, kebijakanlingkungan dan
pembangunan. Negara-negara harus mengatasi tantanganyang bersifat trans-border
yang dapat mengganggu stabilitas global, sepertipandemik dan perubahan iklim.
Karena bersifat lintas negara, maka peranKementerian Luar Negeri sangat diperlukan.
2. Bidang di mana health diplomacy dikembangkan
Global health diplomacy merujuk pada dua hal yaitu sebuah sistemorganisasi, dan
proses komunikasi serta negosiasi yang membentuklingkungan kebijakan global di
bidang kesehatan dan faktor penentunya.Global issue diplomacy yang dikembangkan
adalah HIV, kesehatan anak, danpenyakit menular. Terkait hal ini, Kementerian
Kesehatan memiliki peranganda yaitu meningkatkan kesehatan negaranya dan juga
memajukankesehatan komunitas global.
3. Globalisasi, hubungan antara donor dan penerima, peningkatan kerjasamaantara
negara yang berpendapatan tinggi dan rendah meningkatkan kebutuhanakan global
health diplomacy.
4. Diplomat yang kompeten di bidang kesehatan

3
4

Negosiasi di bidang kesehatan berlangsung di berbagai tempat yang


berbeda,melibatkan interaksi di berbagai level pemerintahan, dan
bersinggungandengan kebijakan domestik dan luar negeri. Agar dapat mengikuti
prosesnegosiasi dengan baik, sangat dibutuhkan persiapan yang baik di
tingkatnasional dan regional. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peran diplomatyang
kompeten di bidang kesehatan.

Global health diplomacy jika berjalan dengan baik akan meningkatkankesehatan global,
equity, hubungan yang lebih baik dan terpercaya antara negara-negara,dan menguatkan
komitmen antara para stakeholder untuk bekerja samadalam rangka meningkatkan kesehatan
nasional dan global.

B. Health Politics
1. PengertianHealth Politics
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Politik adalah (pengetahuan) mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar
pemerintahan), selain itu politik merupakan segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain(dalam
dan luar negeri) misal, kedua negara itu bekerja sama dalam bidang, ekonomi, dan
kebudayaan; partai. organisasi. Politik juga sebagai cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani suatu masalah) semisal menciptakan suatu kebijaksanaan.
Politik adalah tentang organisasi komunitas dan pengambilan keputusan kolektif
mengenai sumber daya.(Bambra, et.al, 2008) Namun, karena ada berbagai definisi yang
dimanfaatkan baik dari waktu ke waktu oleh ideologi politik yang berbeda maka dari itu
berikut ini menurut(Heywood 2000; Marsh & Stoker, 2002) dalam Pulutturi (2013),
klasifikasi dari definisi politik itu sendiri dibagi menjadi empat, diantaranya adalah:
a. Politik sebagai pemerintahan. Politik adalah berhubungan dengan seni pemerintahan
dan aktivitas sebuah negara. Ini berhubungan dengan Behavioralists dan
Institutionalist ilmu politik.
b. Politik sebagai kehidupan publik. Politik adalah berhubungan dengan masalah
urusan masyarakat. Cara pandang politik ini berhubungan dengan teori pilihan
rasional (Rational Choice Theory).
5

c. Politik sebagai resolusi konflik. Politik adalah berhubungan dengan ungkapan dan
resolusi konflik melalui kompromi, konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya. Ini
berhubungan dengan para ahli hubungan internasional (International Relations
Theorists).
d. Politik sebagai kekuasaan. Politik adalah proses melalui outcome yang ingin
dihasilkan, dicapai dalam produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya yang
terbatas dalam semua area eksistensi sosial. Cara pandang ini berhubungan dengan
ilmu politik Feminist dan Marxist (Feminist and Marxist political science).

Politik sangat menentukan corak social, ekonomi, hukum dan berbagai aspek
kehidupan lainnya. Politik juga menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat 
(publik Goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). (Bambra, et.al,
2008)Sedangkan, menurut Undang-Undang No.36 tahun2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa pengertian dari Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
Bambra et al. (2005) mengemukakan mengapa kesehatan itu adalah politik, karena
dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana
sebagian menikmati kesehatan dan sebagian lagi tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi
equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari politik karena
derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat
diarahkan atau mengikuti kehendak terhadap intervensi politik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik kesehatan merupakan suatu seni dalam
suatu aktivitas kenegaraan dengan berbagai tindakan untuk mencapai kebaikan bersama
untuk menjadikan masyarakat yang sehat baik secara fisik,mental, spiritual, maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis melalui kompromi, konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya baik itu dalam
skala hubungan dalam negeri ataupun internasional dengan melihat kepentingan bersama
bukan hanya kepentingan pribadi.

2. Sifat Politik Kesehatan


Menurut Bambra, et al., 2005 Kesehatan termasuk aspek kehidupan manusia lainnya
merupakan sebuah isu politik dalam banyak hal :
6

a. Kesehatan adalah politik karena, sama seperti sumber daya yang lain atau komoditas
di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, beberapa kelompok sosial mempunyai
lebih dari yang lainnya (unequal distribution).
b. Kesehatan adalah politik karena determinan sosialnya (social determinants) adalah
mudah diterima dalam intervensi politik dan oleh karena bergantung pada tindakan
politik (biasanya) (health determinants).
c. Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir (organization).
d. Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak untuk
kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek kewarganegaraan dan hak asasi
manusia (citizenship).
e. Kesehatan adalah politik karena saat ini kita menghadapi krisis global yang cukup
kompleks yang berdampak pada kesehatan dan kematian yang sesungguhnya dapat
dicegah (globalisation).
Kesehatan adalah politik karena kekuasaan dilaksanakan sepanjang itu sebagai
bagian dari sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Perubahan sistem ini
membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik(Bambra, Fox, & Scott-samuel, 2005).
Mengapa kesehatanberdimensi politik karena dalam bidang kesehatan terdapat disparitas
derajat kesehatan masyarakat antar suku dan ras, antar kelompok, antar wilayah dan
bahkan antar negara dimana sebagian kelompok tersebut memiliki akses dan status
kesehatan yang lebih baik sementara lainnya tidak. Untuk mencapai itu perlu
diperjuangkan dan mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam upaya memenuhi
keadilan terhadap berbagai masalah dibidang kesehatan(Pulutturi,2013)

3. Peran Politik dalam Kesehatan


Ketidaksetaraan kesehatan terus berlanjut dalam sebuah negara misalnya perbedaan
kelas sosial ekonomi, gender dan kelompok etnik diantara mereka. Masih terjadi
ketimpangan masalah kemakmuran, kesejahteraan dan sumber daya. Ketidakseimbangan
kesehatan ini merupakan suatu isu politik.
Penyebab dan faktor predisposisi terhadap sehat-sakit semakin dipahami dengan
baik (Bambra, et al., 2005). Hal ini tidak hanya dilihat dari segi kesehatan saja, tapi juga
faktor diluar kesehatan ikut mempengaruhi, faktor-faktor seperti perumahan, pendapatan
dan pengangguran dan isu lainnya banyak didominasi oleh masalah politik yang menjadi
7

determinan kesehatan dan kesejahteraan, sehingga diperlukannya pula kebijakan-


kebijakan dari berbagai sektor, tidak hanya mengandalkan sektor kesehatan saja.
Diakui bahwa determinan sosial terhadap kesehatan (social determinants of health)
telah mendapat porsi dalam banyak debat, diskusi dan mungkin kebijakan yang
mendukung untuk masalah tersebut, tetapi gagal dalam menyelesaikan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan determinan politik dan ketidaksetaraan kesehatan
(political determinants of health).
Perlakuan kesehatan sebagai politik hampir merupakan hasil interaksi dari sebuah
isu yang demikian kompleks. Terdapat hubungan antara politik, pasar tenaga kerja,
disparitas sosial dan outcome kesehatan (lihat Gambar 1). Politik yang dimaksudkan
misalnya dukungan elektoral yang diukur dengan partisipasi pemilih dan keberpihakan
pemilih, dan sumber daya kekuasaan yang mendukung setiap tradisi politik. Kondisi
politik ini berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja (labour market) dan negara dengan
kesejahteraan (welfare state). Pasar tenaga kerja mencakup populasi yang aktif,
partisipasi perempuan terhadap angkatan kerja, angka pengangguran terhadap perempuan
dan laki-laki sementara negara dengan kesejahteraan diukur dari keluaran kesehatan
masyarakat (public health expenditure) dan cakupan pelayanan kesehatan masyarakat
(public health care coverage). Baik pasar tenaga kerja maupun negara dengan
kesejahteraan berpengaruh terhadap disparitas sosial yang dikur dari disparitas
pendapatan. Tentu saja disparitas sosial memberi dampak terhadap kesehatan baik
terhadap angka kematian bayi maupun usia harapan hidup.

Gambar 1Hubungan Antara Politik dengan Kesehatan (Navarro et al., 2006)


Analisis yang dilakukan oleh navarro dkk. bahwa politik demikian berkontribusi
untuk bekerja pada kesehatan masyarakat dengan membuat hubungan empiris antara
politik dan kebijakan, serta menekankan kebutuhan untuk membangun interaksi antara
politik, kebijakan, dan hasil kesehatan. Temuan penting adalah implementasi kebijakan
8

yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial tampaknya memiliki pengaruh


yang bermanfaat pada populasi kesehatan, yang akan menjelaskan mengapa indikator
kesehatan seperti kematian bayi lebih baik di negara-negara yang diatur dengan suatu
politik yang sehat(Navarro et al., 2006).

C. ContohPenerapan Health Diplomacy dan Health Politics di Tingkat Nasional


Pada tahun 2008, Indonesia mendorong kepedulian internasional ketika menteri
kesehatan menolak protokol internasional dengan menolak berbagi sampel flu burung atau
melaporkan insiden penyakit, dan bersikeras bahwa indonesia menginginkan jaminan dari
negara-negara kaya dan produsen obat sehingga negara-negara berkembang akan
mendapatkan akses ke harga yang terjangkau.
Pada tahun 2010, Unit Penelitian Medis Angkatan Laut yang didukung AS 2 (NAMRU-
2), yang telah melakukan penelitian biomedis di Indonesia sejak tahun 1970 tentang penyakit
menular seperti malaria, demam berdarah, dan flu burung, ditutup. Penutupan itu adalah
hasil dari negosiasi panjang dan intens yang dimulai oleh tuduhan yang dibuat oleh menteri
kesehatan sebelumnya yang menuduh bahwa fasilitas itu terlibat dalam spionase dan
membantu mengembangkan senjata biologis, tuhan tersebut ditolak oleh pemerintah AS
(Hiebert, M, 2013)
Tahun 2013 menandai kedatangan Indonesia pada tahap diplomasi kesehatan global.
Pada saat itu, menteri kesehatan negara indonesia menjadi ketua Dana Global untuk
Memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria. Aktivisme diplomasi internasional Indonesia
pada saat ini menandai keberangkatan yang tajam dari beberapa tahun yang lalu.

Indonesia sebagai ketua dari global fund


Memainkan peran yang lebih besar dalam diplomasi kesehatan global adalah fokus
Indonesia tahun 2013. Pada pertemuan dewan Global Fund di Kolombo, Sri Lanka, Menteri
Kesehatan Nafsiah Mboi menjadi ketua Global Fund, yang didirikan pada 2002 untuk
menyediakan obat-obatan dan layanan kesehatan lainnya untuk mengobati tiga penyakit
paling mematikan di dunia: AIDS, tuberkulosis, dan malaria.
Nafsiah juga perlu bekerja dengan Mark Dybul, mantan President’s Emergency Plan for
AIDS Relief (PEPFAR) AS, untuk mengatasi beberapa tantangan manajemen risiko IMF.dan
dewan untuk menerapkan strategi hingga 2016 yang akan mencakup peninjauan negara mana
yang harus terus mendapatkan uang dan untuk apa. Strategi baru ini akan mencakup
penyeimbangan dana secara substansial yang akan memprioritaskan negara-negara yang
9

menghadapi beban penyakit yang tinggi. Negara-negara yang "kelebihan dana" di bawah
pedoman baru kemungkinan akan mengurangi pendanaan mereka, sehingga terjadi
pergeseran lebih banyak dana ke Afrika dan jauh dari negara-negara berpenghasilan
menengah di Eropa, Amerika Latin, dan Asia, termasuk India. Hal ini bisa menciptakan
ketegangan antara Global Fund dan negara-negara yang terkena dampak negatif, yang harus
ditangani oleh ketua dewan baru.
Menteri Kesehatan Indonesia dapat berada di bawah tekanan dari para penerima bantuan
di Asia, termasuk negaranya sendiri, untuk melindungi program mereka. Indonesia telah
menerima uang dari Global Fund untuk memerangi penyebaran HIV / AIDS di negara
tersebut. Meskipun telah mendapat bantuan, epidemi sebenarnya telah memburuk. IMF
merekomendasikan agar Indonesia memfokuskan pendanaannya pada daerah dengan tingkat
infeksi HIV baru yang lebih tinggi seperti Papua (di mana 2,4 persen populasi terinfeksi)
daripada menyebarkan uang secara merata di seluruh negeri, termasuk ke pulau-pulau dengan
populasi yang relatif kecil dan tingkat infeksi . (Tingkat HIV tertinggi di Indonesia dapat
ditemukan di kalangan pengguna narkoba suntikan, tetapi tingkat tertinggi infeksi baru
berasal dari penularan seksual, yang menciptakan risiko yang signifikan untuk seluruh
negara.)
Nafsiah secara luas dikagumi dalam pelayanannya di Jakarta di mana penekanannya
adalah untuk membantu negara tersebut memenuhi Millennium Development Goals (MDGs)
pada tahun 2015, khususnya meningkatkan angka kelangsungan hidup ibu, mengurangi
penyebaran HIV / AIDS, mengatasi obesitas, dan mengurangi tingkat kanker (Hiebert, M,
2013).

Menjadi tuan rumah Konferensi Pembiayaan Kesehatan APEC


Indonesia tahun 2013 menjadi tuan rumah forum APEC yang beranggotakan 21 negara,
yang mencakup Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan 18 negara lainnya di kedua sisi Samudra
Pasifik. APEC didirikan pada tahun 1989, berusaha untuk memperkuat integrasi ekonomi
regional dengan menghilangkan hambatan untuk perdagangan dan investasi, meningkatkan
konektivitas rantai pasokan, dan meningkatkan lingkungan bisnis di negara anggota.
Indonesia menjadi tuan rumah annual Leaders’ Summit and CEO Summit di Bali. Salah
satu dari lusinan pertemuan yang telah disetujui oleh Indonesia untuk diselenggarakan
sepanjang tahun akan mencakup konferensi gabungan menteri keuangan dan kesehatan
APEC, yang pertama dalam 24 tahun sejarah kelompok itu, untuk membahas pembiayaan
perawatan kesehatan yang berkelanjutan dan adil dan bagaimana memprioritaskan perawatan
10

kesehatan. penganggaran. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengembangkan


seperangkat prinsip untuk membiayai perawatan kesehatan di Asia Pasifik.
Negara-negara Asia berada pada tahap yang berbeda dalam menyediakan cakupan
layanan kesehatan universal untuk populasi mereka. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan
Singapura memiliki sistem yang canggih dan terpelihara dengan baik. Malaysia dan Thailand
cukup jauh dalam membangun perawatan kesehatan universal, sementara Filipina memiliki
sekitar tiga perempat dari populasinya yang terdaftar dalam sebuah program dan berencana
untuk memperluas cakupan lebih jauh dengan menggunakan pendapatan dari “pajak dosa”
baru di negara itu pada tembakau dan alkohol. Cina, Indonesia, dan Vietnam berada pada
tahap awal pengaturan cakupan asuransi kesehatan (Hiebert, M, 2013).

Indonesia Berpotensi Jadi Pelaku Penting Diplomasi Kesehatan Global


Menurut Dr. Makarim Wibisono, mantan Wakil Tetap RI untuk Markas Besar PBB
Jenewa, merujuk pada keberhasilan Indonesia dalam memperoleh akses vaksin H5N1 pada
tahun 2008, Indonesia memiliki potensi strategis untuk menjadi pemimpin dalam mengubah
sistem kesehatan global yang lebih adil dan setara.
Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kementerian Luar
Negeri menyampaikan bahwa isu kesehatan global tidak hanya berkutat pada isu penyakit
menular, tetapi juga pada angka kematian ibu dan anak di tingkat global yang masih jauh dari
target Sustainable Development Goals dan penyakit tidak menular yang mengancam
kesehatan global juga semakin menyita perhatian. Pada tahun 2015, WHO mencatat 40 juta
orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tidak menular.
Dubes Makarim juga menyampaikan bahwa Indonesia harus terus menegaskan bahwa
virus adalah bagian dari kedaulatan, sehingga sharing benefit dari penelitian dan produksi
virus adalah hak yang harus dinikmati negara berkembang. Untuk memperjuangkan hal itu,
diplomasi kesehatan harus dilaksanakan beyond traditional diplomacy. Diplomasi kesehatan
harus melibatkan berbagai aktor dalam negeri untuk terlibat dalam diplomasi, mengingat
banyaknya isu-isu yang bersifat teknis dan ilmiah yang perlu diselaraskan dengan diplomasi.
Prof. Adik Wibowo menjelaskan bahwa multidrugs resistance menjadi masalah yang
makin mengemuka, tetapi komunitas internasional tidak siap menghadapi hal itu dan masih
terlalu fokus pada isu-isu umum. Prof Adik Wibowo menyarankan perlunya Indonesia
memelopori kolaborasi internasional untuk bersama-sama dengan negara lain meningkatkan
kapasitas kesiapan nasional dalam menghadapi pandemik. Dalam hal ini, isu kesehatan perlu
11

diintegrasikan dengan sistem pertahanan nasional, sehingga sinergi antara instansi pemerintah
pusat, daerah, TNI, dan Polri perlu lebih diintensifkan.
Peran strategis Indonesia sebenarnya telah terlihat dari kontribusi Bio Farma yang saat
ini menjadi penyuplai 2/3 vaksin polio global. Dirut Biofarma menjelaskan bahwa hambatan
dalam pengembangan teknologi vaksin yang berkaitan dengan pembatasan hak paten tetap
harus menjadi fokus diplomasi kesehatan Indonesia. Apalagi, memang produksi vaksin dunia
masih didominasi oleh perusahaan multinasional dari negara maju, sebagaimana dijelaskan
oleh Dr. Syarifah Liza Munira. 
Indonesia perlu menjajaki hal baru, misalnya promosi diplomasi ekonomi di bidang
kesehatan. Bio Farma saat ini telah menjadi center of excellence dalam produksi vaksin bagi
negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dalam hal ini, anggota OKI dan
negara-negara berkembang dapat menjadi pasar potensial produksi vaksin Indonesia. Dr.
Syarifah menggaris bawahi bahwa Indonesia memiliki pengalaman untuk menjadi pemasok
vaksin global. Akan tetapi, untuk mempromosikan produk vaksin Indonesia pada pasar
global, Indonesia perlu mendorong keberlanjutan produksi, yang perlu direncanakan secara
komprehensif oleh berbagai pemangku kepentingan (Kemenlu, 2018).

Posyandu Sebagai Soft Power Indonesia Dalam Diplomasi Kesehatan


Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar. Posyandu berlokasi di setiap desa/kelurahan/RT/RW atau dusun, salah satu
kios di pasar, salah satu ruangan perkantoran, atau tempat khusus yang dibangun oleh
swadaya masyarakat. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan perbaikan dari program
Posyandu tersebut. Salah satunya adalah mengeluarkan kebijakan revitalisasi. Sejak tahun
2001, Indonesia memulai babak baru perkembangan posyandu melalui Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No. 411.3/1116/SJ Pada Tanggal 13 Juni 2001.
Provinsi Jawa Barat menuangkan kebijakan tersebut melalui Peraturan Gubernur No. 53
tahun 2015. Kebijakan revitalisasi posyandu di Jawa Barat merujuk dari Pasal 5 Peraturan
Gubernur No. 53 Tahun 2015 tersebut berupa peningkatan kapasitas kelembangaan posyandu
melalui kegiatan peningkatan kapasitas kader Posyandu, peningkatan sarana dan prasarana
Posyandu, dan peningkatan pendanaan Posyandu. Untuk kegiatan peningkatan kapasitas
kader Posyandu dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah kader posyandu aktif sekurang-
kurangnya lima orang setiap posyandu. Pemerintah Daerah juga melakukan peningkatan
12

pengetahuan dan keterampilan kader posyandu. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan


dan ketrampilan kader posyandu meliputi pemberdayaan masyarakat, teknis substantif
pelayanan, administrasi dan sistem informasi posyandu. Untuk menunjang program
revitalisasi ini juga, Pemerintah Daerah memfasilitasi peningkatan sarana dan prasarana
Posyandu. Mulai dari bangunan posyandu dan alat kelengkapan posyandu. Pemerintah
Daerah juga melalui kebijakan revitalisasi tersebut mengatur mekanisme hibah dan bantuan
sosial untuk operasional kegiatan dan kader Posyandu sebagai bentuk fasilitasi mereka
terhadap pendanaan Posyandu. Kemudian dengan tujuan menjaga kualitas dari pelayanan
posyandu di Jawa Barat, dilakukan juga kegiatan monitoring, evaluasi, dan pendampingan
posyandu.
Perkembangan posyandu di Jawa Barat menunjukkan suatu kondisi yang baik. Beberapa
posyandu di Jawa Barat silih berganti menjuarai kompetisi posyandu tingkat nasional.
Berdasarkan temuan dari Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bahwa pengetahuan rumah tangga tentang
keberadaan posyandu secara nasional angkanya 65,2 persen dan angka tersebut di Jawa Barat
sebanyak 78,2%. Prestasi posyandu-posyandu di Jawa Barat juga sangat baik, terbukti bahwa
sejak 2011-2015 Pemerintah Kabupaten Bandung Barat selalu meraih prestasi dalam program
revitalisasi posyandu tingkat daerah maupun nasional. Karakter posyandu di Kabupaten
Bandung Barat bersifat multifungsi menjadi keunggulan dibandingkan posyandu-posyandu
lain pada umumnya. Posyandu di Jawa Barat juga melakukan beberapa kerjasama dengan
perusahaan multinasional dalam kerangka Public Private Partnership (PPP) untuk
meningkatkan kualitas pelayanan mereka.
Pola diplomasi kesehatan alam program revitalisasi posyandu di Jawa Barat yang terlihat
adalah besarnya peran dan insiatif dari pemerintah kabupaten. Hal ini juga terlihat dari data
pengalokasian anggaran untuk operasional posyandu di Kabupaten Bandung Barat. Pola
kedua adalah dilakukannya kerjasama antara pemerintah melalui posyandu dengan pihak
swasta, mempersilahkan perusahaan swasta untuk menggandeng posyandu dalam program
Coorporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan kerjasama PPP Posyandu di Jawa Barat
diantaranya dilakukan dengan beberapa pihak, yaitu P&G, UNICEF, Nestle, PT. Kraft
Indonesia dan Save The Children.
P&G dan UNICEF berkolaborasi dengan posyandu-posyandu di Sukabumi dalam
program Taman Posyandu dan Balita Cerdas. Mekanisme kerjasama yang dilakukan adalah
program Balita Cerdas sendiri sudah lama berjalan sejak 2006 dan pemberian bantuan selama
dua tahun oleh P&G dan UNICEF terhadap 10 Taman Posyandu untuk meningkatkan
13

pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sejak tahun 2012. Kerjasama pemerintah
Indonesia, P&G, dan UNICEF pada program Balita Cerdas meliputi advokasi, sosialisasi,
survei kebutuhan kesehatan masyarakat, pelatihan pekerja kesehatan dan pendidikan
kesehatan bagi orangtua, menyediakan sarana belajar mengajar, serta pendampingan dan
pengawasan. Selain itu, P&G juga mendukung pembangunan 4 fasilitas P&G Center di
Sukabumi.
Kerjasama lainnya dilakukan adalah antara Posyandu dan Nestle di Bekasi, Jawa Barat.
Bersama dengan Nestle, Posyandu di Bekasi melakukan kegiatan “Posyandu Cares: Growth-
Active-Response (Tumbuh-Aktif- Tanggap/TAT) Movement 2012”. Kegiatan ini berisi
beberapa rangkaian kegiatan, seperti pelatihan dan kontes kader Posyandu serta Posyandu
tingkat nasional. Kerjasama yang dilakukan bertujuan memberikan pelatihan untuk
peningkatan pelayanan kesehatan melalui penyebaran informasi tumbuh-aktiftanggap.
Pencapaian dari kerjasama Pemerintah Indonesia dan Nestle telah mampu mencapai 15.400
kader di 3.700 posyandu dan melibatkan 350.000 bidan di Indonesia.
Posyandu di Jawa Barat juga melakukan kerjasama dengan pihak swasta lainnya, yaitu
PT. Kraft Indonesia dan Save the Children. Kerjasama tersebut diberlakukan sejak tahun
2009 sampai 2012 melalui bantuan dana senilai US$ 1,9 juta. Program ini difokuskan pada
penanggulangan masalah malnutrisi, mendukung gaya hidup sehat dan pembangunan
komunitas Indonesia. Pencapaian dari program tersebut adalah diberdayakan sebanyak 556
Posyandu yang dikonsentrasikan di 3 kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu
Kabupaten Bandung Barat (Padalarang, Cihampelas, dan Ngamprah), Kabupaten Bekasi
(Cikarang Utara dan Cikarang Selatan), dan Kabupaten Karawang (Klari dan Purwasari),
(Hidayat, 2017). Pemanfaatan Posyandu ditambah program model akan membantu
mengembangkan pengetahuan dasar dan kemampuan sosial anak-anak untuk meningkatkan
kualitas nutrisi, kesehatan dan pendidikan mereka.
Revitalisasi Posyandu yang didukung oleh pihak swasta dapat menjadi salah satu bentuk
diplomasi kesehatan Indonesia (soft power) dalam penguatan nilai-nilai kesehatan yang
terdapat di dalam masyarakat Indonesia serta dalam melakukan diplomasi di bidang
kesehatan global dimana nilai- nilai kesehatan tersebut dapat diadaptasi di negara lain
(Hidayat, Taufik. Dkk. 2017).
14

D. ContohPenerapan Health Diplomacy dan Health Politics di TingkatGlobal


Kickbusch dan Kökény (2013) menjelaskan mengenai kondisi global health diplomacy
pada tahun 2013 hingga beberapa tahun selanjutnya, dan menjelaskan beberapa pertemuan
yang membahas global health diplomacy, yaitu :
 United Nations High Level Meeting on Communicable Diseases yang diadopsi dari
Political Declaration on the Prevention and Control of Non-Communicable Diseases
Tingginya masalah penyakit tidak menular dan masalah kesehatan jiwa menjadi
alasan berbagai kepala negara atau kepala pemerintahan, anggota parlemen, menteri
luar negeri, menteri keuangan, menteri kesehatan, kepala atau perwakilan senior dari
departemen di PBB yang berhubungan dengan permasalahan penyakit tidka menular,
dan juga stakeholder dari berbagai lintas sektor melakukan pertemuan untuk membahas
tindakan-tindakan yang harus dilakukan seluruh negara untuk melaksanakan aksi
mempromosikan kesehatan pada penduduknya, mengurangi angka kemisikinan, dan
mengambil langkah untuk memastikan kesehatan semua penduduk (WHO 2018).
Pertemuan pertama kali dilakukan pada tahun 2011 yang dihadiri oleh 34 kepala negara
dan juga anggota pemerintahan negara. Outcome yang dihasilkan dari pertemuan
pertama tersebut adalah deklarasi politik pada masalah penyakit tidak menular.

 WHO FrameworkPandemic Influenza Preparedness (PIP) yang disetujui pada World


Health Assembly pada tahun 2010
Kerangka PIP menyatukan berbagai negara anggota, sektor industri, pemangku
kepentingan lainnya, dan WHO untuk mengimplementasikan kesiapan dan dapat
dengan cepat merespon pandemi influenza (H5N1, H1N1) melalui pendekatan global
(WHO 2017). Kerangka ini membuat WHO dapat mengakses secara real-time kurang
lebih 10% produksi vaksinasi secara global sehingga WHO dapat bertindak cepat bila
terdapat suatu negara berkembang yang membutuhkan vaksin tersebut. Banyak negara
yang masih mengandalkan pihak lain (negara maupun pabrik vaksin) dalam penyediaan
vaksin di negara nya, sehingga penyediaan vaksin dapat terhambat dengan kendala
waktu penyediaan. Berbagai pihak berkecimpung dalam kerangka PIP ini, dan alur
kerja dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
15

Gambar 2Alur kerja kerangka PIP

 Eliminate Illicate Trade in Tobacco Products yang diadopsi dari WHO Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC)
FCTC pertama kali dilangsungkan pada Juni 2003 di Jenewa dan kemudiam
dilanjutkan pada Juni 2004 di markas PBB, New York. Perjanjian mengenai
pembatasan penjualan tembakau tersebut ditanda tangani oleh 168 orang yang hadir
pada pertemuan, termasuk negara-negara di wilayah Eropa (WHO 2005). Hasil
konvensi kemudian berlaku pada Februari 2005. Kemudian 90 hari setelah proses
aksesi dan ratifikasi dari perjanjian hasil konvensi tersebut, sebanyak 40 negara
menyetujui perjanjian dan melaksanakan di negaranya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Global health diplomacy adalah kegiatan di mana pemerintah dan individuatau
organisasi yang memiliki pengaruh politik signifikan berkoordinasi untuk mencari solusi
kebijakan global untuk meningkatkan kesehatan global. Unsur-unsur yang berkontribusi di
dalam global health diplomacy adalah: 1) Kementerian Luar Negeri, 2) Bidang di mana
health diplomacy dikembangkan, 3) Globalisasi, hubungan antara donor dan penerima,
peningkatan kerjasama antara negara yang berpendapatan tinggi dan rendah meningkatkan
kebutuhan akan global health diplomacy, 4) Diplomat yang kompeten di bidang kesehatan
Health Politics atau Politik Kesehatan biasanya secara signifikan seringkali
dikontruksikan menjadi politik pelayanan kesehatan (Freeman, 2000).Kesehatan termasuk isu
politik mencakup beberapa hal: 1) Kesehatan adalah politik karena sama seperti sumber daya
yang lain atau komoditas di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, 2) Kesehatan adalah
politik karena determinan sosialnya, 3) Tindakan politik (biasanya) (health determinants), 4)
Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan
kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir (organization), 5) Kesehatan adalah
politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan
harus menjadi aspek kewarganegaraan dan hak asasi manusia (citizenship).

16
DAFTAR PUSTAKA

[WHO] World Health Organization. 2005. WHO Framework Convention On Tobacco


Control. Jenewa : WHO Document Production Services

[WHO] World Health Organization. Pandemic Influenza Preparedness Framework.


2017.https://www.who.int/nfeatures/qa/pandemic-influenza-preparedness/en/
Diakses pada 11 Desember 2018.

[WHO] World Health Organization. Third UN High-level Meeting on Non-communicable


Diseases. 2018. https://www.who.int/ncds/governance/third-un-meeting/brochure
.pdf?ua=1Diakses pada 11 Desember 2018.

Amorim, C., Douste-Blazy, P., Wirayuda, H., Store, J., Gadio, C., Dlamini-Zuma, N.,
&Pibulsonggram, N. (2007). Oslo Ministerial Declaration: Global health—a
pressing foreign policy issue of our time. Lancet, 369(9570), 1373–1378. Retrieved
from http://www.who.int/trade/events/Oslo_Ministerial_Declaration.pdf.Diakses
pada 12 Desember 2018

Bambra, C., Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health, 257–287.

Bambra, C., Fox, D., & Scott-samuel, A. (2005). Towards a politics of health, 20(2), 187–
193. https://doi.org/10.1093/heapro/dah608

Hidayat, Taufik. Dkk. 2017. Posyandu Sebagai Soft Power Indonesia Dalam Diplomasi
Kesehatan Global. Volume 1, No.2, Mei 2017 (194-210). Intermestic: Journal of
International Studies

Hiebert, Murray. 2013. Indonesia Steps Up Global Health Diplomacy. Washington: Center
for Strategic and International Studies

KamusBesar Bahasa Indonesia.[ online]. (www.kbbi.web.id). Diaksespada 12 Desember


2018

Katz, R., Kornblet, S., Arnold, G., Lief, E., & Fischer, J. E. (2011). Defining health diplo
macy: Changing demands in the era of globalization Milbank Quarterly, 89(3),
503–523.

17
18

Kemenlu. 2018. Indonesia Berpotensi Jadi Pelaku Penting Diplomasi Kesehatan Global.
Diambil pada tanggal 12 Desember 2018 dari :
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-Berpotensi-Jadi-Pelaku-
Penting-Diplomasi-Kesehatan-Global.aspx

Kickbusch I, Kökény M. 2013. Global Health Diplomacy: Five Years On. Bull World Health
Organ; 91:159–159A. doi:10.2471/BLT.13.118596. https://www.ncbi.nlm.nih.gov
/pmc/articles/PMC3590628/pdf/BLT.13.118596.pdfDiakses pada 10 Desember
2018

Navarro, V., Muntaner, C., Borrell, C., Benach, J., Quiroga, Á., Rodríguez-sanz, M., …
Pasarín, M. I. (2006). Public Health Politics and health outcomes, 1033–1037.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(06)69341-0

Palutturi, Sukri. 2013. Pentingnya Politik Bidang Kesehatan: The Importance Of Health
Politics. Jurnal AKK, Vol 2 No 3, September 2013, hal 42-46. Universitas
Hasanuddin

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. [online].(http://binfar.depkes.go.id


/dat/lama/1303887905_UU%2036-2009%20Kesehatan.pdf). Diakses pada 12
Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai