Anda di halaman 1dari 26

POWERFUL COMBINATION TO

ACHIEVE BP CONTROL
Current Update On Hypertension Management

Djanggan Sargowo

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

I. PENDAHULUAN
Pada waktu akhir ini sedang ramai dibicarakan mengenai obat
Angiotensin II Receptor Antagonis (AII R Antagonis) untuk pengobatan
hipertensi. Walaupun obat ini sudah agak lama beredar di pasaran luar negeri,
namun di Indonesia termasuk relatif baru.
Pada tahun 1999, WHO-ISH Guidelines for Initiation of Antihypertensive
Treatment, telah merekomendasikan 6 klas antihipertensi yang dapat langsung
diberikan secara individual, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
kombinasi, ialah : Diuretik, Beta-blocker, ACE-inhibitor, Ca-antagonist, Alphablocker, Angiotensin II Receptor Blocker.
Dari

pertemuan

Internasional

Forum

on

Angiotensin

Receptor

Antagonism, Monte Carlo 1999 juga telah diambil kesepakatan, bahwa obat
antihipertensi yang ideal hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Once daily
2. Smooth anti hypertensive effect
3. Beneficial cardiovascular effect independent of blood pressure lowering.
Dalam hal ini Angiotensin II Receptor Antagonist (AIIRA), nampaknya
memenuhi syarat-syarat di atas.
Cara kerja AIIRA adalah dengan cara memblokade secara selektif pada
receptor AII yang terdapat pada target organ, sehingga effek Angiotensin II
yang biasanya bekerja di reseptor AII target organ tersebut akan dihambat oleh
obat AIIRA.
Oleh karena itu sebaiknya kita harus mengetahui lebih jauh mengenai
obat ini sehingga penggunaannya dapat tepat mengenai sasaran tanpa atau
sedikit menimbulkan efek samping yang merugikan, demikian juga keamanan
apabila obat tersebut dalam penggunaannya memerlukan kombinasi dengan
obat-obat lain.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dalam makalah ini akan
dibahas mengenai obat AII R Antagonis dan yang lebih penting adalah
patofisiologi AII meliputi pembentukan dan pelepasan AII, AII Reseptor, dan
efek AII terhadap sistem kardiovaskuler.

II. SISTEM RENIN ANGIOTENSIN ALDOSTERON DAN RESEPTOR


ANGIOTENSIN II
Pengaturan tonus pembuluh darah (relaksasi dan kontriksi) melalui
keseimbangan dua kelompok zat vasoaktif hormon yaitu : vasokonstriksi dan
vasodilatasi.

Hormon vasoaktif (Julius, 1995)

Vasokonstriktor

Vasodilator

Angiotensin

Kinins (bradykinin, kallidin)

Catecholamines

Endothelium-derived relaxing factor, nitric oxide,


nitrovasodilators

Vasopressin

Prostaglandin (PGI2, PGE2, PDV2)

Endothelin

Substance P

Thromboxane A2

Atrial, brain and C-type natriuretic hormones

Prostaglandin (PGF2a)

Histamine

Neuropeptide Y

Acetylcholine

Sodium pump inhibitor

Eledoisin
Adenosine
Adrenomedullin
Insulin

Ada 3 sistem golongan besar yang mengatur tonus/kontriksi pembuluh darah


dalam tubuh yaitu :

Renin Angiotensi Aldosteron System (RAAS)

Arginine vasopressin system

Symphatetic nervous system

Peran RAAS dalam tubuh yang penting meliputi :

Regulasi resistensi pembuluh darah

Volume intra vaskuler

Tekanan darah

Peredaran hormon :

- Vasokonstriksi Octapeptide AII


- Adrenal Steroid Aldosteron

Jadi AII merupakan zat vasoaktif hormon dalam RAAS. Pembentukan dan
pelepasan AII ini dimulai dari pembentukan renin yaitu suatu enzim yang
disekresi oleh ginjal, disimpan, dan mungkin diproduksi oleh granul dari sel-sel
juxta glomerular yang membatasi dinding aferens arterial glomeruli. Sebagai
renin juga diproduksi oleh otak, uterus dan dinding pembuluh darah (Burmier,
1995).
Peningkatan pelepasan renin ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain :
1. Penurunan tekanan perfusi ginjal. Tekanan perfusi ginjal yang menurun
akan merangsang reseptor di arteriole yang berakibat pelepasan renin
meningkat. Keadaan ini terjadi pada keadaan klinik seperti : kardiogenik
shok, perdarahan, dehidrasi, hipotensi, gagal jantung progresif.
2. Kenaikan kepekaan khemoreseptor yang terdapat di makula densa tubulus
distalis terhadap perubahan elektrolit seperti penurunan kadar natrium.
3. Rangsangan listrik pada aparatus juxta glomerulus yang kaya serabutserabut saraf simpatis.

Renin ini selanjutnya berperan mengubah Angiotensin (yaitu suatu


protein a2 globulin yang dibentuk oleh hepar dan setelah disekresi dalam
plasma, limfe dan ginjal) menjadi angiotensin I (yaitu suatu dekadeptid yang
tidak aktif). Dan kemudian angiotensin I oleh Angiotensin Converting Enzym
(ACE) (yaitu suatu protein yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah
semua organ) menjadi Angiotensin II (suatu hormon oktapeptid yang aktif).
Angiotensin

II

dapat

berubah

menjadi

Angiotensin

III

(suatu

heptapeptid) yang juga mempunyai peranan biologik, dimana potensinya 2030% dibanding AII. Oleh karena paru mempunyai vascular bed yang luas
diprakirakan selain merupakan tempat utama produksi ACE juga tempat utama
perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II (Johnston, 1996). Penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa ACE sama dengan enzim Kinase II dan enzim
ini bertanggung jawab terhadap degradasi dari bradikinin yang merupakan
suatu vasodilator dapat digambarkan seperti skema dibawah ini.

TONUS VASKULER DAN RENIN CONVERTING ENZYME


Angiotensinogen

Kininogen

Activated
Factor XII

Kallikrein

Pre-kallikrein

Renin
Bradykinin
Angiotensin I

Arachidonice Acid

+
+

ANGIOTENSIN
CONVERTING
ENZYME

Kinase B

_
Prostaglandins

Angiotensin II

?
Increased
Aldosteron
Release

Potensiation of
Symphatetic
Activity

Indomethacin
Sulindac

Inactive
Peptide

Cough

Vasodilation

Increase
Ca2+ current
vasoconstruction

(AM. J. Hypertension, 1996)

Pada penelitan terakhir beberapa peneliti menemukan adanya sistem


renin Angiotensin jaringan yang dibuktikan dengan identifikasi adanya
messenger RNA (mRNA) pada jaringan yang mana mampu mensintesa
Angiotensin II secara lokal. Fungsi RAS dengan sintesa Angiotensin II lokal
telah ditemukan pada berbagai bagian tubuh seperti dinding pembuluh darah,
jantung, ginjal, susunan saraf pusat, kelenjar adrenal, organ reproduksi dan
juga pada jaringan lemak. Ternyata bahwa RAS sirkulasi mengontrol efek
jangka pendek (Acute Circulating Hemostatic) sedangkan RAS jaringan

berperan penting terhadap proses perubahan struktur patologis dan fungsi


organ.
Para peneliti juga menghubungkan pembentukan Angiotensin II dengan
ACE gen polymorphis dimana penderita yang mempunyai ACE genotip DD
Homozygote aktivitas ACE sangat meningkat, ini terbukti dengan penderita
yang mempunyai DD homozygote angka kejadian penyakit pembuluh darah
seperti infark miokard, ventrikel kiri hipertropi, diabetic nepropati, idiopatik
dilated, kardiomiopati akan meningkat secara bermakna dibanding dengan
penderita dengan genotip I/D heterzygote maupun dengan genotip II
homozygote (Beneton, 1995).
Angiotensin II Reseptor (AIIR) tedapat tersebar di seluruh tubuh, namun
densitasnya berbeda-beda baik antara spesies satu dengan spesies lain maupun
antara organ satu dengan organ yang lain, bahkan dalam satu organ
densitasnya juga berbeda-beda antara satu bagian dengan bagian laian
(Burnier, 1995).

Kelenjar adrenal
- Perbandingan antar ATI dan ATII di kortex adalah 3 : 2 sedang di
medulla perbandingannya 1 : 9.

Ginjal
-

Hanya didapatkan ATI di glomerulus proximal tubula, inner, stripe dari


auiter medulla.

Otak
-

ATI terdapat dominan antara lain pada bagian circum ventricular organ
(pembuluh darah dan lamina terminalis, subfornical, median Eminance,
dan area postrema), median pre-optic nucleus, hypothalamic para
ventricular nucleus, medulla oblongata (Autonomic control). ATII
terdapat dominan antara lain pada locus coerculens lateral septal nuclei,

superior colliculus, subthalamic nucleus, beberapa nuclei di thalamus dan


nuclei olive inferior.

Berdasarkan penyebaran lokaliasasi AIIR diatas maka dapat diambil


suatu kesimpulan bahwa AIIR berhubungan dengan efek sentral dan perifer.
Efek sentral meliputi pusat cardiovascular action, drinking behaviour, neuro
endocrine actions, somatory and viscero sensory, system memory and learning
yang semuanya dikaitkan dengan ATI sedangkan ATII dikaitkan dengan
Auditory and visual system juga efek lain belum jelas.
Selain pada organ-organ diatas AIIR juga didapat juga pada : jantung,
pembuluh darah, otot, bronkus dan ureter. Pada jantung distribusi AIIR ini juga
tidak merata dimana dinding septum lebih tinggi dari pada di dinding bebas,
sedang pada otot papilaris lebih tinggi dari pada dinding ventrikel (Baker,
1984).
Ratio ATI dengan ATII mempunyai hubungan positif dengan tekanan di
atrium kanan dan fungsi jantung, presentase ATI akan naik pada tekanan
atrium dan fungsi ventrikel (ejection fraction) normal dan akan menurun
dengan kenaikan tekanan atrium kanan dan penurunan fungsi jantung dan
sebaliknya terhadap presentasi ATII pada atrium.
Walaupun diketahui dengan jelas bahwa afinitas ATI lebih besar dari
pada afinitas ATII terhadap AII, namun afinitas tersebut akan berubah dalam
berbagai keadaan yang berpengaruh pada sistem kepekaan untuk berinteraksi
antara AII dengan AIIR.
Beberapa hal yang diduga mempengaruhi kepekaan tersebut adalah :

AII endogen maupun exogen yang berlangsung lama

Endogen maupun exogen vasodilator

Kadar natrium maupun kalium

pH (keasaman)

Suhu/temperatur

Perubahan densitas AIIR.


Tingginya konsentrasi AII di plasma maupun di jaringan baik exogen

maupun endogen akan memberi kesempatan untuk berinteraksinya AII pada


AIIR dan selanjutnya efek AII akan timbul. Walaupun demikian hal tersebut
tidak selalu terutama pada penderita yang resisten atau oleh karena adanya
zat/obat yang memblokade AIIR. Para peneliti juga menghubungkan bahwa
penderita yang mempunyai gen polymorphism CC homozygote dan AC
heterozygote terdapat hubungan yang positif dengan kenaikan ratio antara
total dan HDL kolesterol juga terhadap kenaikan kecepatan aliran darah aorta
pada penderita hipertensi, tetapi hubungan positif tersebut tidak terjadi pada
penderita dengan genotip AA homozygote.
Efek AII tergantung dari target organ mana yang terkena sasaran. Efek
padapembuluh darah akan menimbulkan efek vasokonstriksi, pada kelainan
adrenal akan menstimulasi pelepasan hormon aldosteron sedangkan pada ginjal
akan mempengaruhi fungsi arteriole, glomerulus serta tubulus ginjal.
III. EFEK ANGIOTENSIN II PADA SISTEM KARDIOVASKULER
Telah kita ketahui bahwa efek AII dapat melalui sentral maupun perifer.
Efek AII perifer yang berperan dalam sistem kardiovaskuler berhubungan
dengan beberapa target organ yaitu jantung, pembuluh darah, adrenal, ginjal
dan sistem saraf. Hubungan antara target organ terhadap efek AII dapat
digambarkan sebagaimana skema berikut.

Efek angiotensin II pada jaringan berbeda (Burnier, 1995)


Direct vasopressor
effect

Fibroblast and
mycocyte
hypertrophy and
proliferation

Angiotensin II

CNS
mediated
Pressor
action
Thirst

Increased
peripheral
vascular
resistance

Aldosterone

Vascular wall
thinking Cardial
hypertrophy

Sodium and fluid


retention

Raised
blood
pressure

Expansion of
Intravacular volume

AII mempunyai efek langsung pada pembuluh darah yaitu berupa


vasokonstriksi dan perubahan struktur yang menyebabkan kenaikan resistensi
sehingga menambah kenaikan tekanan darah, disamping itu AII merangsang
kelenjar korteks adrenalin menyebabkan pelepasan aldosteron dimana
aldosteron ini mempunyai efek retsnsi natrium dan cairan yang menyebabkan
penambahan cairan ekstraseluler hal ini juga akan menambah peningkatan
tekanan darah. AII juga merangsang pelepasan non adrenalin dalam sistem
saraf simpatis dan katekolamin dari medulla adrenalin. Efek lain dari AII juga
berhubungan

dengan

kenaikan

sekresi

vasopresin

dan

endothelin,

mempengaruhi pusat rasa haus dan keinginan untuk minum, keniakan tonus

10

arteri koroner juga hipertropi miosit dan proliferasi fibroblas serta inotropik dan
kronotropik (Baker, 1984).
Pada penelitian ternyata efek tersebut disamping tergantung dari efek
patensiasi oleh subtan lain juga sangat tergantung dari dosis (Response dose)
dan dipengaruhi oleh lamanya efek AII berlangsung. Pemberian subpressor
dose AII menyebabkan efek kenaikan tekanan darah ringan dan pelan-pelan
tanpa diikuti adanya kenaikan retensi garam dan cairan sekresi aldosteron dan
kenaikan cairan ekstraseluler juga tidak terlihat adanya mekanisme kompensasi
yaitu kenaikan aktivitas simpatik, sekresi atrial natriuretic factor (ANF) serta
kenaikan produksi vasodilator prostaglandin. Tetapi pemberian dalam jangka
lama maka akan terjadi kenaikan tekanan darah makin nyata diikuti dengan
adanya vasopresor efek autopotensiasi vasopresor yang ditandai dengan
perubahan struktur pembuluh darah (Beneton, 1995). Sedangkan pemberian
presor dose AII akan terjadi efek kenaikan tekanan darah secara mendadak
dan nyata disertai dengan meningkatnya retensi garam dan cairan juga
kenaikan sekresi aldosteron sehingga terjadi kenaikan volume cairan ekstra
seluler diikuti dengan kenaikan curah jantung. Keadaan ini diikuti efek
mekanisme kompensasi dengan peningkatan

sekresi ANF dan vasodilatasi

prostaglandin. Bila dosis tinggi AII diberikan maka akan timbul efek toxik
pembuluh darah dimana terjadi injury pada pembuluh darah besar maupun
kecil terutama ginjal berupa proliferasi dan nekrosis arteri. Keadaan ini akan
lebih nyata apabila diberikan dalam waktu lama. Injury pada ginjal yaitu berupa
atropi tubulus infiltrasi monosit interstitiale dan fibrosis interstitiale. Dari
kenyataan diatas mungkin dapat diilustrasikan bahwa pressor dose AII
dihubungkan dengan patogenesis hipertensi akibat proses renal, sedangkan
subpresor dose AII dihubungkan dengan patogenesis hipertensi akibat proses
mekanisme ekstra renal (Beneton, 1995).

11

Efek inotropik positif AII terhadap otot jantung jelas terjadi pada atrium
sedangkan pada ventrikel masih kontroversial.
Penelitian invitro menunjukkan bahwa atrium mempunyai efek inotropik
positif lebih besar dari pada ventrikel dan keadaan ini tidak berbeda pada gagal
jantung maupun tidak, kenyataan ini berbeda dengan kenyataan peneliti lain
bahwa efek inotropik positif gagal jantung pada ventrikel kiri maupun kanan
tidak terjadi pada penderita gagal jantung. Mekanisme biomolekuler AII
terhadap perubahan kardiovaskuler digambar dalam skema dibawah ini
(Farivar, 1995).

Setelah terjadi AII dengan AIIR maka G protein (guanin nutcleotide binding
regulatory protein) yang berhubungan dengan AIIR ini akan berinteraksi
dengan stimulatory G protein dimana terjadi perubahan bentuk ikatan dari GDP
menjadi GTP (Guanosin Trifosfat) bentuk ikatan ini Gs protein menjadi aktif. Gs
protein yang aktif akan mengaktivasi PDE (phospodiesterase) dimana enzim ini
akan merubah inositol phospolipid menjadi IP3 (Inositol Triphosphate) dan 12 D G ( Diacyl glycerol). IP3 akan merangsang pelepasan calcium dari

12

sarkoplasmit retikulum selanjutnya calsium akan berikatan dengan calcium


binding protein. Troponin e dan kalmodulin menjadi bentuk aktif dimana
troponin C menyebabkan kontraksi otot sedangkan kalmodulin bergabung
dengan inactive synthese phosphoxylase Kinase (SPK) membentuk SPK aktif
yang mengkatalisa fosforilase B menjadi fosforilase A dimana enzim yang
terakhir ini berperan dalam perubahan glikogen menjadi glukosa yang
kemudian dimetaboliser menjadi ATP sebagai sumber enersi kontraksi otot.
Sedangkan 1-2 DG mengaktifkan protein kinase C yang diduga mempunyai efek
langsung pada kontratil protein. AII juga diduga mempengaruhi influx calcium
ke dalam sel melalui efek langsung AII R terhadap pembukaan calcium channel
gate walaupun mekanismenya belum jelas tetapi diduga berhubungan dengan
G protein. Efek AII yang lain yaitu merangsang pelepasan norepinephrin (NE)
dari pre synaptic neuron terminate dan menghambat re uptake NE yang dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

Selanjutnya NE akan berikatan dengan reseptor beta pada miocardium


maupun reseptor alpha-1 dan alpha-2 pada sel pembuluh darah. Aktivasi

13

resptor

alpha

menyebabkan

pembukaan Calcium

channel

gate

dan

pembentukan IP3 yang merangsang pelepasan kalsium dari SR akan meningkat


berakibat vasokonstriksi. Sedangkan efek stimulasi reseptor beta miocardium
melalui G protein mengaktifkan adenilate siklase yang mengubah ATP menjadi
siklik AMP (cAMP) selanjutnya cAMP akan mengaktifkan protein kinase
intraseluler sehingga terjadi fosforilase protein di sarkolema dan sirkoplasmik
retikulum berakibat peningkatan ion kalsium dalam sel. Disamping itu diduga
melalui G protein yang aktif dapat langsung mempengaruhi pembukaan calcium
channel gate, sehingga ion kalsium dalam sel lebih meningkat lagi akan
meningkatkan kontraksi miopkardium. Efek AII melalui mekanisme menaikan
aktivitas adenilate siklase ini masih diperdebatkan (Chen, 1995).

Hal tersebut dapat digambar sebagai berikut :

AII juga menyebabkan pelepasan endotelin meningkat yang berakibat


vasokonstriksi dan proliferasi pembuluh darah terutama apabila pelepasan
endotelin dalam jumlah besar dan berlangsung lama sebab dalam konsentrasi
tinggi endotelin-1 akan berinteraksi dengan reseptor endotelin A (ET-A).

14

Efek AII perubahan struktur kardiovaskuler telah dibuktikan oleh para


peneliti, perubahan tersebut meliputi hipertropi miosit dan hiperplasi fibroblas
dengan penimbunan kolagen, fibronektin, intertitium dan perivaskuler fibrosis
ekstra seluler matrik. Beberapa faktor yang mendukung terjadinya proses
tersebut adalah disamping efek langsung dari AII juga akibat dari kenaikan
vasopresor lain serta akibatnya yaitu vasopresin, endotelin, aktivitas simpatik,
aldosteron, hipertensi, kenaikan resistensi, autokrin pelepasan AII dan stimuli
autokrin growth faktor.
Disamping itu aktivasi protein kinase C akan menstimuli expresi proto
oncogenese, c-fos; c-myc, c-fos mRNA lalu diikuti sintesa dan pelepasan PDGFA chaim mRNA, serta growth faktor lain yang berperan dalam proliferasi sel dan
pembentukan kolagen (Farivar, 1995).

IV. EFEK ANGIOTENSIN II PADA HIPERTENSI

Pada hipertensi esential telah diketahui bahwa pendekatan dasar fisiologi


terjadinya hipertensi adalah akibat dari peningkatan cardiac output seperti pada
stres emosional yang menimbulkan takikardia dan atau peningkatan tahanan
vaskuler perifer yang dapat disebabkan oleh peningkatan faktor-faktor pengatur
vasokontriksi, atau meningkatnya sensitivitas arteriole perifer terhadap
mekanisme kerja vasokontriksi normal. Karena itu masalah hipertensi sangat
erat hubungannya dengan tahanan vaskuler perifer.
Angiotensin II adalah mediator utama dari RAS yang bekerja secara
berikatan dengan reseptor-reseptornya yang terletak pada setiap jaringan.
Peran yang pasti dari angiotensin II pada hipertensi adalah komplek dan tidak
selengkapnya dimengerti, meskipun hal ini terbukti bahwa sedikit peningkatan
AII plasma dapat meningkatkan tekanan darah.

15

Fungsi RAS dengan sintesa Angiotensin II lokal telah ditemukan pada


berbagai bagian tubuh seperti dinding pembuluh darah, jantung, ginjal,
susunan saraf pusat, kelenjar adrenal, organ reproduksi dan juga pada jaringan
lemak. Ternyata bahwa RAS sirkulasi mengontrol efek jangka pendek (Acute
Circulating Hemostatic) sedangkan RAS jaringan berperan penting terhadap
proses perubahan struktur patologis dan fungsi organ.
Beberapa efek yang merugikan dari RAS telah banyak dilaporkan, efek
sistemik jangka pendek dari RAS diantaranya vasokontriksi, positif kronotropik
dan aritmogenik pada jantung dan efek aldosteron yang berpengaruh pada
resorbsi natrium dan air di ginjal. Sedangkan efek kronis dari peningkatan
aktivitas RAS pada jaringan berhubungan erat dengan terjadinya hipertensi

16

intraglomeruler, hipertrofi vaskuler dan miokard, perubahan metabolik dan


disfungsi endotel.
Kerja utama dari Angiotensin II dalam mempertahankan tekanan darah
normal melalui :
-

Vasokontriksi kuat dan langsung dari otot polos pembuluh darah


arteriole

Pelepasan aldosteron dari cartex adrenal

Efek antinatriuretic langsung pada ginjal untuk meningkatkan


reabsorbsi natrium di tubulus proxsimal sehingga menghasilkan
retensi cairan dengan natrium.

Efek lain dari angiotensin II adalah menyebabkan efek inotropik


positif dan mempengaruhi fungsi ventrikel kiri. Juga mempermudah
pelepasan norepineprin dan aktivitas simfatetis, menimbulkan celluler
growth yang mungkin berakibat hipertrofi ventrikel kiri (LVH).

V. EFEK KARDIOPROTEKTIF DARI ACE1 DAN AIIRA


Pengobatan terhadap gagal jantung (HF) masih banyaktantangan yang
perlu diketahui lebih jauh, meski saat ini sudah terjadi perkembangan yang
pesat terhadap pengobatan HF. ACE inhibitor yang sekarang direkomendasikan
sebagai terapi standart untuk penderita HF. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegunaannya tidak perlu lagi dipertanyakan dalam meringankan gejala
dan meningkatkan kualitas hidup. Pada penelitian lebih lanjut b bloker
menunjukkan suatu perlambatan dari perjalanan penyakit dengan menekan
angka morbiditas dan mortalitas. Bagaimanapun juga strategi terapi yang
rasional dan efektif dibutuhkan untuk menurunkan progresivitas dari penyakit
tersebut.
Bukti yang ada mendukung bahwa kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA
pada pasien dengan HF memberikan manfaat pengobatan yang lebih besar

17

daripada dipakai dengan monoterapi. Dengan mempengaruhi RAS (Renin


Angiotensin System) melalui mekanisme yang lain, disamping aktivitas yang
biasa. Dimana obat ini mungkin menyebabkan perbaikan hemodinamik dan
mempengaruhi perkembangan gejala. Pemakaian kombinasi diantara keduanya
merupakan langkah maju dalam memperlambat perjalanan HF yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan perbaikan
penderita untuk beraktivitas dan kualitas hidupya. Dengan ini kita melihat
kembali bagaimana patofisiologi HF dan peran ACE inhibitor dan AIIRA dan
kombinasi keduanya dalam pengobatan penyakit HF.
Aktivasi RAS yang secara kronis dan berlebihan pada HF dapat
menyebabkan efek penghilangan dalam jangka pendek ataupun panjang, yang
mana efek penghilangan tersebut akibat aksi fisiologis dari Ang II yang memiliki
pengaruh dalam homeostasis kardiovaskuler-vasokonstriksi, vaskuler hipertropi
dan pelepasan aldosteron, dimana Ang II yang dipercaya sebagai penyebab
tersebut yaitu yaitu Ang II spesifik dari AT1. Dimana pada HF, aksi dari AT1
tersebut menyebabkan overload cairan dan menimbulkan hipertropi ventrikel
dan juga mempengaruhi fungsi ventrikel. Reseptor subtipe AT1, terdistribusikan
secara luas pada berbagai macam jaringan jantung dan ginjal. Hal ini secara
efektif diblokade oleh AIIRA. Sebaliknya reseptor Ang II yang lain yaitu AT2
dipercaya memiliki efek yang berbeda dengan AT1. Hal ini tampak jelas pada
fetus dan terbatas pada orang dewasa. Pada keadaan patologis, reseptor AT2
akan diperbanyak. Ketika reseptor AT1 diblokade oleh AIIRA reseptor, AT2
dapat terstimulasi. Hasil dari stimulasi ini masih diteliti, dimana keduanya
diduga berkaitan erat dengan vasodilation, growrth inhibisi dan apoptosis.
Penurunan kerja Ang II merupakan cara yang logis dalam terapi HF dan
sering dilakukan dengan pemakaian ACE inhibitor yang secara sistematis
memblokade An g I

Ang II, atau melalui blokade reseptor AT1, namun

demikian saat ini diketahui bahwa Ang II dapat dibentuk melalui kerja chymase

18

pada jaringan lokal, termasuk jantung yang tidak tergantung dengan ACE.
Untuk itu inhibisi lebih sempurna terhadap Ang II perlu dilakukan, yang secara
teoritis dilakukan dengan pemakaian AIIRA.

KAJIAN NON KLINIS DAN KLINIS ACE INHIBITOR DAN AIIRA PADA
GAGAL JANTUNG (HEART FAILURE)
Pada anjing, percobaan dengan cara menginduksi hipertropi ventrikel kiri
dan disfungsi diastolik, penggunaan ACE inhibitor atau AIIRA memperbaiki
efisiensi dan komplayen dari ventrikel kiri. Hasil ini mendukung bahwa dua
golongan ini potensial untuk terapi disfungsi ventrikel yang berhubungan
dengan hipertropi jantung.
Pada percobaan yang menggunakan babi, efek dari ACE inhibitor dan
blokade reseptor AT1 tunggal maupun kombinasi, pada fungsi ventrikel kiri,
hemodinamik sistemik dan aktivitas neurohumoral sistem pada HF diinduksi
oleh Chronic Pacing Tachycardia. Pengurangan dilatasi dari ventrikel kiri
memperbaiki

performance

dari

ventrikel

load

dan

normalisasi

kadar

neurohumoral termasuk NE dan aldosteron.


Hasil dari penelitian ini mendukung bahwa kombinasi ACE inhibitor clan
AIIRA terapi mungkin memberikan penambahan keuntungan pada fungsi
pompa dan geometri ventrikel. Pada penelitian lain dari laboratorium yang
sama, perubahan hemodinamik dan Regional Blood Flow dievaluasi pada
binatang sebelum dan setelah terapi dengan ACE inhibitor, AIIRA atau terapi
kombinasi. Keduanya mengurangi resistensi vaskuler sistemik, memperbaiki
COP dan mengurangi aktivitas neurohumoral sistem . Dengan latihan,
kornbinasi terapi rnenunjukkan efek yang lebih rnenguntungkan daripada
monoterapi. Sebagai tambahan terapi kombinasi memperbaiki aliran darah
miokardial pada saat istirahat dan mengurangi resistensi koroner yang tidak
dapat dicapai oleh kedua-duanya dalam monoterapi.

19

Pada penelitian double blind, kelompok-kelompok studi mengevaluasi


efek hemodinamik jantung dari AIIRA valsartan pada 116 pasien dengan HF
yang stabil (NYHA kelas II IV). Setelah 28 hari perawatan, dosis valsartan
ditingkatkan sampai 160 mg dua kali sehari mengurangi rata-rata tekanan
kapiler paru-paru dan resistensi vaskular sistemik dan meningkatkan cardiac out
put sebanding dengan placebo. Efikasi valsartan harnpir serupa dengan
lisinopril dalam penelitian ini. Hal ini mendukung bahwa AIIRA dapat
memproduksi efek terapi hemodinamik pada pasien HF dalam waktu yang
singkat.
Pada penelitian yang lain, bahwa AIIRA mungkin memberikan manfaat
pada pasien dalam waktu yang lama. Dalam penelitian ELITE (Evaluation of
Losartan in The Elderly), efek jangka panjang terapi dengan losartan atau
captopril pada fungsi ginjal dievaluasi pada pasien tua dengan HF. Pasien yang
dipilih secara acak untuk terapi dengan losartan (50 mg tiap hari) atau captopril
(50 mg tiga kali sehari), setelah 48 minggu kejadian disfungsi renal persisten
dengan kedua terapi tersebut tidak berbeda. Bagaimanapun secara umum
dapat ditoleransi lebih baik dan berhubungan dengan penurunan penyebab
rata-rata mortalitas. Penemuan ini dipertimbangkan karena ditemukan pada
populasi yang kecil dan fungsi ginjal bukan merupakan titik akhir, follow-up
penelitian ELITE II mendekati sempurna. Penelitian pada terapi HF didapatkan
bahwa terapi ACE inhibitor dan atau AIIRA memberikan hemodinamik yang
efektif dan memperbaiki simptom pada pasien HF. Meskipun terapi ACE
inhibitor memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien HF secara jelas, fakta
mendukung bahwa AIIRA mungkin memberikan efek yang sarna. Penggunaan
agent ini dalam kombinasi meningkatkan kemungkinan bahwa AIIRA dapat
memproduksi efek terapi tambahan pada pasien HF karena pada dasarnya
perbedaan kerja pada RAS. Tentu saja kedua penemuan secara klinis dan non
klinis mendukung kemajuan evaluasi dari terapi kombinasi HF.

20

KAJIAN KLINIS KOMBINASI ACE INHIBITOR DAN AIIRA PADA HEART


FAILURE

Kajian klinis awal menunjukkan bahwa dosisi tunggal dari ACE inhibitor
dan mempunyai kemampuan meningkatkan efek hemodinamik dalam
menurunkan tekanan darah. Hasil dari sebuah penelitian baru ini telah
dilaporkan. Penelitian double blind, efek hemodinamik dari AIIRA valsartan
pada 83 pasien yang kronis, HF yang stabil ( NYHA kelas II-IV) yang telah siap
menerima terapi standart untuk HF termasuk ACE inhibitor. Hal ini dirancang
untuk mengevaluasi apakah valsartan meningkatkan hemodinamik dan efek
horrnonal dalam berbagai ragam dosis ketika ditambahkan pada ACE inhibitor.
Pasien yang dipilih secara acak untuk menerima plasebo, 80 mg valsartan dua
kali sehari. Untuk menjamin bahwa pasien memperoleh dosis ACE inhibitor
yang adekuat, mereka juga diberikan dosis tunggal dari lisinopril. Monitoring
terhadap hemodinamik secara invasif dipakai sebagai basisnya dan setelah 4
minggu terapi. Penambahan valsartan secara kombinasi menghasilkan
penurunan yang signifikan pada sebagian besar pengukuran parameter
hemodinamik, termasuk tekanan kapiler paru, tekanan diastolik arteri paru,
tekanan sistolik dan diastolik dan rata-rata tekanan arteri paru. Pada pasien HF
yang menerima terapi ACE inhibitor, penambahan AIIRA bertujuan untuk
meningkatkan keuntungan bagi hemodinamik jantung. Ini tetap bisa dibuktikan
apakah keuntungan hemodinamik dari terapi kombinasi ini mendatangkan
keuntungan jangka panjang bagi pasien HF. Untuk memperjelas kemungkinan
keuntungan jangka panjang dari penambahan terapi AIIRA terhadap terapi
konvensional bagi HF termasuk ACE inhibitor terapi. Penelitian kasus kontrol
multicenter, multinasional, plasebo akan melibatkan 5200 pasien HF dan
mengajukan pertanyaan apakah blokade yang lengkap pada RAS menghasilkan
peningkatan keuntungan terapi termasuk menurunkan angka kematian. Pasien

21

ini akan menerima baik valsartan atau plasebo dalam penambahan sebagai
standar terapi HF. Dosis valsartan akan dititrasi dalam 160mg dua kali sehari.
Follow-up akan dilanjutkan sampai angka tertentu dimana terjadi kematian.
Kajian ini mempunyai kekuatan statistik sebesar 90%. untuk mendeteksi 20 %
perbedaan rata-rata mortaiitas. Hasil ini seharusnya menjadi langkah yang
signifikan dalam memperjelas keuntungan klinis dari kombinasi ACE inhibitor
AIIRA sebagai terapi untuk pasien HF.

VI. KESIMPULAN
Karena keuntungan yang dihasilkan kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA
merupakan batu pondasi bagi pengobatan HF. Tidak pernah sekalipun insiden
HF, penyebab kematian dan perawatan rumah sakit dilanjutkan untuk
menurunkan angka manifestasinya. Faktor demografi sendiri tidak dapat
menjelaskan secara memuaskan peningkatan ini karena semua kematian oleh
karena kardiovaskuler pada kenyataannya telah turun beberapa tahun terakhir
ini. Walaupun keuntungan dari terapi ACE inhibitor sebagai pengobatan HF
telah jelas mereka tidak akan menghilangkan tanda peningkatan morbiditas dan
angka mortalitas yang dihubungkan dengan kelainan ini. Konsekuensinya,
pendekatan farmakologik terhadap pengobatan HF seharusnya ditemukan.
Kombinasi ACE inhibitor dengan AIIRA adalah pendekatan logis yang
bisa meningkatkan nilai terapi. Kedua studi klinis dan non klinis merupakan
indikasi kuat untuk menurunkan RAS, khususnya Ang II, menginduksi perbaikan
hemodinamik dan gejala pada pasien HF dan mungkin merupakan langkah
yang tidak mungkin dihindari dalam manajemen jangka panjang pada pasien
ini.. Baik ACE inhibitor maupun AIIRA menghambat Ang II tetapi pada dasarnya
mereka berbeda dan mampu melakukan mekanisme yang saling mendukung.
Kerja ACE inhibitor prinsipnya dengan mencegah pembentukan Ang II
pada RAS sistem. Baru-baru ini Ang II dapat dibentuk secara lokal pada

22

jaringan yang melewati jalur yang tidak tergantung pada ACE. Konsekuensinya,
penghambatan Ang II dengan penggunaan ACE inhibitor menunjukkan bahwa
kadar Ang II plasma meningkat selama dosis interval ACE inhibitor bahkan saat
aktivitas ACE sistemik ditekan. Kerja AIIRA pada langkah terakhir dari jalur RAS
adalah dengan memblokade reseptor secara spesiflk yang menjadi mediator
dan punya efek merugikan dari Ang II pada pasien dengan HF.
Baru-baru ini semua obat yang memblokade RAS dapat meningkatkan
plasma renin, yang meningkatkan kadar Ang II. Mekanisme homeostatis normal
akan menurunkan efek terapi dari ACE inhibitor lebih lama. Bagaimanapun
dengan pengeblokan AT1 reseptor, dampak negatif dari peningkatan Ang II
akan dimudahkan, bahkan dengan beberapa efek menguntungkan yang
mungkin berasal dari stimulasi lebih lanjut pada reseptor AT2.
Teori ini yang mendasari penggunaan kombinasi ACE inhibitor dan AIIRA
dalam pengobatan. Sesuai apakah macam-macam terapi kombinasi sungguhsungguh meningkatkan keuntungan klinis jangka panjang. Hasil dari percobaan
Val-HeFT menjelaskan keuntungan dari pengobatan yang menggunakan ACE
inhibitor - AIIRA dalam terapi HF.

23

DAFTAR PUSTAKA

1999 World Health Organization International Society of Hypertension


Guidelines for the Management of Hypertension. Guidelines
Subcommittee, J Hypertens. 1999;17:151-183.
Andersson OK, Neldam S. The antihypertensive effect and tolerability of
candesartan cilexetil, a new generation angiotensin II antagonist, in
comparison with losartan. Blood Press 1998; 7: 53-59.
Baker KM et al. Identification and Characterization of the Rabbit Angiotensin II
Myocardial Receptor. Circ Res. 1984,54;286-93.
Belz GG et al. Inhibition of angiotensin II pressor response and ex vivo
angiotensin II radioligand binding by candesartan cilexetil and losartan in
healthy human volunteers. J Hum Hypertens 1997; 11 (Suppl 2):S69S73.
Beneton A. et al. Influence of Angiotensin II Type 1 Receptor Polymorphism on
Aortic Stiffness in Never-Treated Hypertensive Patient. Hypertension
1995,26;44-7.
Burnier M. et al. Short-term and Sustained Renal Effects of Angiotensin II
Receptor Blockade in Healthy Subject. Hypertension 19956,25(part
I);602-9.
Chen L. et al. Heterogeneity in Vascular Smooth Muscle Responsiveness to
Angiotensin II Role of Endothelin. Hypertension 1995,26;83-8.
Cohn JN. Vasodilators in heart failure: conclusions from V-HeFT II and rationale
for V-HeFT III. Drugs 1994 (suppl 4): 47-58.
CohnJN, Archibld DG, Ziesche S, et al. Effect of vasodilator therapy on mortality
in chronic congestive heart failure: results of a Veterans Administration
Cooperative Study. N Eng J Med 1986;314:1547-52.
Farivar RS. et al. Effect of Angiotensin II Blockade on the Fibroproliferative
Response to Phenylephrine in the rat Heart. Hypertension 1995,25 (part
2);809-13.

24

Goodfriend MD, Elliot ME, Catt KJ. Angiotensin receptors and their antagonists.
N Engl J Med 1996; 334: 1649-1654.
Hubner R. Hogemann AM, Sunzel M, Ridel JG. Pharmacokinetics of candesartan
after single and repeated doses of candesartan cilexetil in young and
elderly healthy volunteers. J Hum Hypertens 1997; 11 (suppl 2):S19-S25.
Johnston CI, Risvanus J. Preclinical pharmacology of angiotensin II receptor
antagonists. Am J Hypertens 1997; 10: 306S-310S.
Johnston, Colin I. Preclinical Pharmacology of Angiotensin II Receptor
Antagonists : Update and Outstanding Issues. American Journal of
Hypertension, Volume 10; Issues 12 Part 2, pages 306S-310S.
Julius

S. Long-Term Potential of Angiotensin Receptor Blockade for


cardiovascular Protection in Hypertension : The Value Trial. Cardiology,
1999;91 (Suppl 1),8-13.

Oliverio MI, Coffman TM. Angiotensin II-receptors: new targets for


antihypertensive therapy. Clin Cardiol 1997;20:3-6.
Mazayev VP, Fomina IG, Kazakov EN et al. Valsartan in heart failure patients
previously untreated with an ACE inhibitor. Int J Cardiol 1998;65:239-46.
M. Soetomo. Peranan Angiotensin II pada kardiovaskuler. Simposium New
Choices for first step treatment of hypertension. Surabaya, 1997.
NOVARTIS.
Valsartan
selective,
effective,
Communictions. Editorial Development.

productive,

MediMedia

Opie LH. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor Scientific Basic for Clinical
Use, 2nd Edition. Authors Publishing house New York. 1992. P 1-18
Parmley, William W. Evolution of angiotensin-converting enzyme inhibition in
hypertension, heart failure, and vascular protection. The American
Journal of Medicine, Volume 105, Issue IA, pages 27S-31S.The sixth
report of the Joint National Committee on detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure (JNC-VI), Arch Intern Med. 1997:1572413-2446.

25

Soemantri D, Atmoko R. From the other closses to Angiotensin II Receptor


Blocker : A Further step forward in the safe treatment of hypertension.
Cardiology up date. Surabaya, 1998.
Thurmann PA, Kenedi P, Schmidt A, Harder S, Rictbrock N. Influence of the
Angiotensin II Antagonist Valsartan on Left Ventricular Hypertrophy in
Patients with Essential Hypertension. Circulation, 1998;98:2037-2042.

Anda mungkin juga menyukai